Flashback - Satu tahun lalu.
Sangat sulit baginya untuk dapat menggerakkan tubuhnya, seperti ada berton-ton batu yang berada di atas tubuhnya. Tapi ia terus berusaha mencoba sedikit menggerakkan jarinya, dan berhasil. Tidak hanya tubuhnya yang terasa amat berat, ia sadar kelopak matanya cukup berat untuk dibuka. Dirinya merasa sangat takut akan kesunyian yang ia rasakan, dan bau yang tidak nyaman sungguh ingin membuatnya segera bangun dan berlari.
Pelan-pelan ia menggerakkan kedua bola matanya, walaupun matanya masih terpejam. Ia harus berusaha untuk membuka matanya dan melihat apa yang terjadi dan berada dimana dirinya sekarang?
Dengan usaha yang cukup keras, ia berhasil membuka matanya. Menatap sebuah atap putih, masih berfikir keras apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Ia pun tersadar, ada sebuah alat bantu nafas yang terpasang antara hidung dan mulutnya.
Sebuah Infus juga terpasang dan selangnya yang terhubung dengan punggung tangan kanannya. Ternyata itu yang membuat dirinya tidak nyaman, bukan hanya satu tabung infus dia melihat ada dua tabung infus yang berada di samping tempat tidurnya.
Dirinya kembali mencoba mengingat hal terakhir apa yang bisa dia ingat, ya dia mengingat kejadian di toilet sekolah. Setelah perkelahiannya dengan Putri, Mega sudah tidak sadarkan diri. Mega pun menyadari, ada sesorang yang memegang erat tangan kirinya.
Tapi dia tidak bisa melihat sosok tersebut, sosok tersebut sedang tertidur sambil memegang erat tangannya. Mega masih belum sanggup untuk menggerakkan kepalanya yang sudah cukup membuatnya pusing.
Mega memutuskan untuk menggerakkan jari jemarinya, setelah mencoba berkali-kali akhirnya sosok tersebut sadar. Wira mengangkat kepalanya dan masih menahan rasa ngantuk, Wira yang terbangun masih belum sadar bahwa Mega yang membuatnya terbangun.
Mega kembali menjerakkan jari jemarinya, dan berhasil menarik perhatian Wira. Wira langsung menatap Mega yang sudah membuka kedua matanya. "Mega, kamu udah sadar!" Ucap Wira dengan lantang.
Tidak hanya Wira yang dibuat terkejut, seorang wanita tua yang sedak duduk di sofa diruangan tersebut soktak ikut terbangun. Dengan langkah pelannya, langsung menuju tempat tidur Mega.
Mega masih belum sanggup menggerakkan mulutnya untuk berbicara, tapi ia bisa melihat wajah neneknya yang penuh dengan kecemasan. "Mega Sayang, cucukku kamu sudah sadar." Ucap Neneknya tersenyum dan menahan air matanya.
Wira memegang pipi mega dengan lembut, terlihat senyum bahagia yang ditunjukkan olehnya. "Nenek, Wira panggil dokter dulu ya." Ucap Wira dengan tergesa-gesa dan meninggalkan ruangan.
Tidak lama dokter memasuki ruangan, memeriksa kondisi Mega yang sudah sadar. Tapi kepulihannya tidak membuat Mega harus meninggalkan rumah sakit. Hari-hari berikutnya Mega habiskan didalam kamar di rumah sakit.
Siang itu akhirnya Mega bisa menegakkan tubuhnya, dokter yang merawatnya mengatakan bahwa ini adalah sebuah kemajuan yang bagus. Apalagi setelah tiga hari dari dirinya sadar, Mega sudah bisa bergerak dengan lancar.
Neneknya masih terus menjaganya, dan selalu berada disampingnya tanpa kenal lelah. "Mega kamu mau makan buah jeruk ini, biar nenek bantu kupas ya." Ucap Neneknya sambil mengambil buah jeruk yang belum Mega habiskan di sarapan paginya.
Mega hanya mengangguk dengan pelan, kemudian dia memegang dahinya yang masih ditutup perban. Sakit itu masih sangat dirasakannya, "Auu.." Serunya dengan pelan, Nenek langsung memandang Mega yang meringis, bahkan meletakkan asal.jeruk yang ia pegang.
"Pelan-pelan sayang, dokter belum mengijinkan untuk perbannya dibuka." Ucap Nenek memperingatkan. "Nenek luka ini sepertinya dalam, apa aku akan menjadi cacat?" tanya Mega dengan penasaran. "Nenek dengar dua hari lagi baru boleh dibuka." Ucap Nenek dengan manis seraya menurunkan tangan Mega yang memegangi dahinya.
"Nek, berapa lama Mega sudah disini?" Tanya Mega menatap balik wajah neneknya. Nenek kembali memegang jeruknya dan mulai membelah jeruknya dan memberikan potongan kecil ke cucu tersayangnya.
"Sayang, Nenek ingat sekali waktu itu nenek sedang berada di Toko Bunga. Nenek sedang menyiapkan beberapa pupuk yang sudah datang. Kamu masih ingat kan, kamu yang pesan." Nenek tersenyum, kemudian duduk membelakangi Mega.
Nenek mengambil sisir yang berada di meja, dan mulai menyisir rambut Putri dengan pelan-pelan. "Siang itu Wira datang, wajahnya pucat dan bikin nenek takut. Dia gak bilang banyak waktu datang ke toko. Dia bilang, nenek harus ikut dia ke rumah sakit karena katanya kamu ada disana." Ucapan Nenek terhenti, kemudian terdengar nenek menarik nafasnya dengan pelan dan panjang.
"Nenek benar-benar takut kehilangan cucu tersayang nenek. Sampai rumah sakit kamu sudah diruang operasi. Cukup lama." Ucap Nenek, kemudian mengepang rambut Mega.
"Berapa lama nek?" Tanya Mega penasaran.
"Setelah operasi itu, kondisi kamu cukup kritis karena luka kamu cukup dalam dan ada retakan di bagian kepala. dua minggu kamu koma setelah operasi." Nenek telah menyelesaikan kepangannya. Bangkit dari duduknya dan menatap Mega masih dengan senyuman.
"Dua minggu, aku enggak sadarkan diri nek?" Ucap Mega memastikan kembali. "Iya sayang, tapi yang terpenting sekarang kamu sudah sadar, dan sudah lebih baik kan." Nenek menggenggam tangan Mega dengan sangat erat.
"Kamu tau gak, selama tiga hari Wira tidak masuk sekolah cuman menemani kamu dirumah sakit. Dan setiap hari datang, membawa semua keperluan yang kamu butuhkan." Nenek menjelaskan, tetapi Mega hanya terdiam mendengarkan penjelasan neneknya.
"Wira nek? Hanya Wira yang datang?" Tanya Mega, dirinya penasaran apakah tidak ada teman-temannya yang datang untuk berkunjung melihatnya dirumah sakit. "Ada yang lain datang, tapi saat kamu masih koma. Ada saudara-saudara Wira datang, termasuk Ibunya Wira." Jawab Nenek dengan nadanya yang lembut.
"Saudara Wira Nek? Ehh,, apa dia ada?" Tanya Mega dengan Ragu. "Maksud kamu yang namanya Putri?" Nenek balik bertanya. "Nenek tau kan, penyebab aku bisa begini karena adik Wira itu." Kali ini suara Mega terdengar kesal dan emosi, tapi neneknya tidak terlihat kaget justru semakin tersenyum memandang cucunya.
"Ya nenek tau sayang, Wira sudah cerita semua. Wira dan Ibunya juga bahkan meminta maaf kepada nenek atas apa yang sudah terjadi. Ibu Wira mengatakan akan memberikan pengobatan terbaik untuk kamu." Mega memandang neneknya dengan sangat bingung. "Nenek gak marah, lihat cucu nenek seperti ini?" Tanya Mega dengan kesal.
"Pastinya Nenek marah, kamu kan cucu nenek satu-satunya. Tapi yang terpenting dari semua ini adalah kesehatan kamu." Nenek kembali tersenyum dan menyentuh pipi Mega dengan sentuhan hangat.
"Ibu Wira juga bersedia memberikan ganti rugi atas kejadian ini." Nenek kemudian mengangkat wajah Mega yang sedari tadi menunduk kesal. "Dan nenek akan terima?" Tanya Mega dengan kesal.
Nenek tidak menjawab, tapi raut wajahnya langsung terlihat sedih. Nenek bangkit dari duduknya, dan berbalik menuju lemari yang ada di belakangnya. Mengambil beberapa selimut dan melipatnya dengan rapi kemudian memasukkan ke dalam lemari tersebut.
"Nenek hanya ingin kamu bahagia, tidak lebih." Ucap Nenek yang Mega yakin bahwa neneknya membalikkan wajahnya karena tidak ingin cucunya melihatnya menangis. Mega pun menahan kesalnya.
"Maaf aku ganggu." Wira memasuki ruangan, dan melihat Mega menatapnya dengan air mata yang masih membasahi pipinya. "Eh, dek Wira sudah datang, kebetulan nenek mau keluar dulu. Tolong jaga Mega sebentar ya." Ucap nenek yang serta menyeka air matanya, dan pergi meninggalkan ruangan.
"Kamu, ngapain kesini?" Ucap Mega sambil memalingkan wajahnya ke arah jendela kamar. Wira tidak mempedulikan sikap penolakan Mega, masih terus berjalan menuju tempat tidur Mega dan duduk disamping tempat tidur.
"Aku mau jenguk kamu." Ucap Wira dengan tenang, Mega memberanikan untuk menatap wajah Wira. Terlihat Wira tersenyum, dan menyodorkan sebuah rangkaian bunga. "Ini buat kamu." Ucap Wira masih dengan senyumannya.
"Kenapa kamu masih baik sama aku, kamu tau kan bekas luka ini akan membuat wajahku buruk." Ucap Mega masih belum menerima rangkaian bunga di depannya. Wira meletakkan rangkaian bunganya tepat berada disampingnya.
"Kalau soal ini, kamu gak perlu khawatir. Aku sudah bicarakan semuanya dengan ibuku." Ucap Wira sambil memegang dahi Mega yang masih tertutup dengan balutan kain. "Yang terpenting kondisi kamu sudah lebih baik, dan kamu gak perlu khawatirkan apapun. Kalau ada hal lain yang kamu inginkan, tolong katakan saja."
Mega memandang Wira dengan tatapan yang penuh makna, dia sangat menyayangi orang yang berada di depannya. Sungguh tidak mengira Wira sangat penuh perhatian dan selalu berada disampingnya.
Mega pun memeluk Wira dengan erat, air matanya pun bercucuran. Tidak peduli dengan luka dahinya yang bersentuhan dengan bahu Wira. Wira membalasnya dengan pelukan erat, pelukan untuk melindungi orang yang selalu ia sayangi.
Ternyata rasa sakit itu tidak hilang begitu saja, Mega hampir tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak. Bahkan mimpi-mimpi buruk terus berdatangan di setiap malam selama ia tinggal dirumah sakit. Nenek dan Wira sangat mengkhawatirkan kondisi mentalnya, Mega semakin histeris ketika dia sudah bisa melihat bekas luka di dahinya.
Walaupun kini dirinya sudah berada di rumah, Mega masih belum bisa menerima kondisinya saat itu. Wira sudah berkali-kali menawarkan untuk melakukan operasi plastik agar bekas luka itu hilang, tapi Mega terlalu menjunjung tinggi harga dirinya. Hubungannya dengan Wira pun tidak semakin baik.
Penolakan demi penolakan dilakukan olehnya terhadap Wira, bahkan Mega belum berani untuk kembali ke sekolah. Dengan bantuan Nenek dan Wira, Mega melakukan home scholling. Lagi-lagi Mega menerima bantuan Wira dan keluarganya, lalu kemana orang yang menyebabkan masalah ini?
Mega pada awalnya tidak pernah membenci Putri, tapi pelan-pelan Putri sendiri yang menabuhkan benih-benih kebencian. Mega menatap ke arah luar jendela, menatap guru private-nya yang telah pergi meninggalkan pekarangan rumah.
"Mega, sayang." Terdengar langkah nenek memasuki kamar Mega, tapi Mega tidak bergeming dan masih menatap jendela kamar. Kali ini bukan gurunya yang dia lihat, tapi pantulan wajahnya di jendela, dia pun melihat bekas luka yang panjang yang ada didahinya.
Apakah ini nasibnya sekarang? apakah dia akan menerima begitu saja semua penderitaan yang dirasakan selama ini. Atau bisakah dia kembali berjuang, kembali melawan dan menunjukkan bahwa dia adalah orang yang kuat dan membuang jauh-jauh rasa takutnya.
"Sayang.." Nenek kembali memanggil dan mulai khawatir. Mega masih tetap tidak bergeming. "Nek," ucapnya dengan pelan. "Mega sudah putuskan, Mega akan melakukannya. Dan Mega ingin kembali bersekolah." Ucap Mega dengan pelan, tapi cukup membuat Neneknya terkejut.
Mega meletakkan handphone yang ia pegang sedari tadi, dan berbalik memandang neneknya dengan senyuman. Tapi Nenek merasakan, bukan senyuman kebahagian. Entah mengapa Nenek merasakan senyuman penuh dengan kebencian dan kepalsuan.
Notification Message From Mega:
Aku terima tawaranmu, dan setelahnya aku ingin kembali bersekolah.
Wira memegang handphonenya, tersenyum senang membaca pesan yang masuk. Kembali menatap ke arah papan tulis yang berada di depannya. Sambil mengingat kembali pesan yang baru saja diterimanya, berharap sebuah permulaan yang baik akan dimulai.