Download App
10.05% Konsekuensi / Chapter 38: Keponakan yang Hilang

Chapter 38: Keponakan yang Hilang

"Apa yang akan ibu lakukan setelah ibu benar-benar berhasil membuat keluarga Dhananjaya aman dari bibi Raya?"

Jhana terdiam sesaat setelah Mona melontarkan pertanyaan tersebut.

"Entahlah, mungkin ibu akan membawa kalian pergi dari sini dan kita akan hidup bersama lagi," jawab Jhana.

"Mereka harus menerima ibu lagi," ujar Fina.

"Ibu tidak membutuhkan orang-orang seperti mereka lagi, cukup melindungi mereka saja dan menjauhkan bibi Raya, setelah itu kita tidak perlu tinggal disini bersama mereka," ucap Mona.

Jhana hanya tersenyun mendengar ucapan Mona itu.

Di rumah makan Populer, disebuah kursi pelanggan, tampak Salma yang sedang memainkan ponsel jadulnya, entah Sudoku atau Bounce, yang jelas, ia sedang memainkan sebuah game jadul dari caranya memencet-mencet tombol di ponselnya itu.

"Boleh aku duduk disini?" tanya Arvin sambil menarik sebuah kursi yang terletak tepat disebelah Salma. Salma meliriknya, namun tidak menjawabnya, mungkin Salma sudah lelah menyuruh Arvin untuk menjauh darinya, jadi ia membiarkan segalanya berjalan, terlebih lagi setelah mendapatkan pesan balasan dari Dina yang berbunyi 'Aku memang serius dengan perkataanku waktu itu, tapi aku tidak menyuruhnya untuk bekerja disana,' Salma semakin tidak berdaya karena ternyata menjadi pelayan di rumah makan Populer adalah murni keinginan Arvin sendiri.

Arvin kemudian duduk untuk memulai basa-basinya lagi.

"Sudoku? Tua sekali, ini bukan zaman Sudoku lagi, ini zaman game pertarungan."

"Setidaknya aku pernah main Plants VS Zombie sebagai pengalamanku bermian game pertarungan," ketus Salma.

"Sebenarnya itu game tahun dua ribu sepuluh," gumam Arvin.

"Ngomong-ngomong, apa cita-citamu?" tanya Arvin.

"Tidak spesifik," jawab Salma.

"Hahaha, seperti anak-anak saja. Kau adalah gadis terpolos yang tidak polos yang pernah kutemui. Lupakan. Dan, ya, aku jadi teringat masa kanak-kanakku."

"Jangan menceritakannya, aku tidak tertarik."

"Jadi sekarang kau sudah mau menanggapiku? Baguslah."

Salma lantas terdiam dan melirik Arvin sesaat.

"Apa cuma aku atau kau juga? Ketika aku belum bersekolah, aku bercita-cita untuk menjadi seorang superhero dengan kekuatan yang menakjubkan, dan ketika aku mulai bersekolah cita-citaku berubah, mulai dari ingin menjadi Pembalap, Presiden, Dokter, Penyanyi sampai Astronot. Lucunya ketika aku hampir memasuki masa akhir sekolah menengah atasku, aku justru hanya ingin membuat sebuah prestasi yang membuatku dikenal diseluruh dunia dan sangat dibanggakan, namun ketika aku mulai berkuliah di jurusan Pertanian, aku hanya ingin menyelesaikan kuliahku, tapi aku malah memutuskan kuliahku. Aku tidak tahu seberapa kecewa orangtuaku, waktu kecil cita-citaku terdengar menakjubkan meskipun mainstream, dan seiring berjalannya waktu aku justru tidak mencapai segala cita-citaku dan tidak menjadi apa-apa dan siapa-siapa," ucap Arvin.

"Dan berakhir dengan bekerja di rumah makan ini. Cukup, meskipun kau bercerita seluruh kisah hidupmu, aku tidak akan memahaminya, aku tidak berkuliah, sekolah pun tidak selesai," ujar Salma.

Arvin hanya bisa tersenyum mendengar hal itu. "Tapi tentunya kau punya cita-cita yang kau pikir bisa membuat orangtuamu bangga, kan?"

Salma lalu bernafas dengan kasar, gadis yang sudah berusia matang itu lalu berhenti memainkan Sudoku di ponselnya dan mematiman ponselnya. "Aku tidak punya orangtua sejak lahir."

Kontan saja Arvin terkejut dengan pernyataan Salma barusan.

'Pantas saja tida terus mengatakan kalau dia tidak akan paham tentang ceritaku,' batin Arvin.

"Jadi berhentilah menceritakan kisah hidupmu karena hal itu tidak akan berpengaruh padaku, aku tidak bisa memahaminya sebab hal itu, jadi ceritamu hanya akan sia-sia," sambung Salma.

"A-aku, aku minta maaf," ujar Arvin.

"Tidak apa, aku sudah terbiasa."

"Bukan soal itu."

Salma lantas melirik Arvin, berharap kalau ia akan mengetahui maksud dari perkataan Arvin barusan.

"Aku ..., aku ingin tahu tentang hidupmu, makanya aku meminta maaf dulu agar kau tidak keberatan menceritakannya," sambung Arvin.

"Tidak ada yang menarik dari hidupku, jadi kupikir sebaiknya tidak ada yang kau ketahui tentang hidupku."

"Kenapa?" tanya Arvin.

"Karena aku tidak seberuntung dirimu yang sejak kecil sudah merasakan hidup senang dengan kasih sayang orangtua dan tidak mengalami kesulitan ekonomi. Orangtuaku meninggal karena kecelakaan. Ketika ibuku akan melahirkanku, ayahku menyewa sebuah mobil bak untuk pergi ke rumah sakit, namun di perjalanan ibuku melahirkanku hanya dengan bantuan ayahku, tapi kemudian mobil bak itu mengalami kecelakaan tunggal dan mengakibatkan seluruh penumpang termasuk sopir meninggal, kecuali aku. Sejak kecil aku dirawat oleh paman dan bibiku, namun nenekku memutuskan untuk mengambil alih peran paman dan bibiku yang menggantikan kedua orangtuaku. Kami berdua kemudian pindah ke kota ini," jelas Salma.

Arvin terdiam mendengar cerita Salma itu.

"Hey gadis tangguh, kau pikir menjadi orang kaya itu selamanya enak? Aku tidak bisa berteman dengan orang yang tulus berteman denganku, kebanyakan orang berteman denganku karena aku adalah orang kaya, itu membuatku muak. Ketahuilah kalau terkadang beberapa orang kaya juga ingin hidup sederhana dengan bekerja banting tulang," ucap Arvin.

"Jadi itu alasanmu bekerja disini? Aku tidak yakin."

"Memang tidak. Alasanku adalah untuk mendekatimu, hehehe."

Salma lantas memutar kedua bola matanya.

"Permisi," ucap seorang wanita tua yang tidak lain adalah bibi Vey, ia baru saja masuk kedalam rumah makan itu.

"Kalau mau makan, makan saja, Nyonya. Pilih kursinya dan pesan menu makanan yang ingin Anda makan, tidak perlu pakai permisi, ini bukan tempat privasi, ini tempat umum," ujar Wanda yang terlihat kesal dengan kedekatan Arvin dan Salma.

"Ehm, maaf, saya kesini bukan untuk makan. Saya melihat sebuah iklan di koran," kata bibi Vey.

"Tentu saja di koran ada iklan."

"Apa yang kau lakukan, Wanda? Berbicaralah dengan sopan pada orangtua," Yahya menegur Wanda.

"Argh, iya, iya."

"Apa yang Nyonya lihat adalah iklan lowongan pekerjaan disini? Makanya Nyonya datang kesini?" Yahya bertanya pada bibi Vey.

"I-iya," jawab bibi Vey.

"Mohon maaf, Nyonya, tapi syarat untuk bisa bekerja disini adalah dengan usia maksimal tiga puluh lima tahun."

"Iya, saya tahu, saya mencari lowongan pekerjaan untuk keponakan saya yang usianya baru dua puluh tiga tahun."

"Oh begitu. Mungkin besok Nyonya bisa datang lagi kesini dan membawa keponakan Nyonya. Keponakan Nyonya bisa langsung bertemu dengan pemilik rumah makan ini besok."

"Baik. Terima kasih. Saya permisi."

"Sama-sama."

Bibi Vey kemudian pergi dari rumah makan itu.

Sore itu, bibi Vey baru saja pulang dari rumah makan Populer. Sejak Joshua diperbolehkan untuk pulang, bibi Vey selalu pergi dan pulang pada malam hari ketika Joshua sedang tertidur, namun kali ini wanita itu pulang pada sore hari tatkala Joshua sedang menonton TV.

"Bibi? Bibi dari mana saja? Sejak kemarin bibi selalu pergi, bibi semalam pulang jam berapa? Kenapa tadi pagi bibi pergi sebelum aku bangun?" tanya Joshua.

"Apa bibi sudah memberitahukan pada pak Wahyu mengenai kondisiku? Apa tanggapannya?" sambung Joshua.

'Haduh, bagaimana ini? Bagaimana caraku menjelaskan padanya kalau sejak dia pulang aku terus mencari lowongan pekerjaan untukku? Aku pergi dan pulang di waktu yang tidak memungkinkan baginya untuk bertanya agar aku terhindar dari hal itu. Dan sekarang aku sudah mendapatkan sebuah lowongan, tapi justru untuknya, sedangkan dia masih sakit, namun aku tidak bisa membuang kesempatan ini. Semuanya terlalu rumit untuk dijelaskan,' batin bibi Vey.

"Bibi, kenapa bibi diam?" Joshua kembali bertanya.

"Aku ..., aku ..." bibi Vey menjadi gugup.

"Nak, mungkin ini saatnya aku jujur padamu," ujar bibi Vey.

"Memangnya hal apa yang bibi sembunyikan dariku?"

"Sebenarnya, semalam aku sudah menghubungi pak Wahyu. Aku menceritakan segala yang terjadi padamu kemarin, dan dia memutuskan untuk memecatmu," jelas bibu Vey.

"Kenapa tadi pagi bibi bilang kalau pak Wahyu memberikan cuti padaku selama masa penyembuhanku?"

"Agar kau tidak terguncang dengan hal itu. Aku tahu kalau kau tahu bahwa keuangan kita sangat tipis dan kita bisa tidak makan selama beberapa hari jika kau tidak bekerja. Aku sudah memperkirakan kalau hal itu pasti akan terdampak pada kesehatanmu juga, kau pasti akan memikirkannya dan proses penyembuhanmu agar berjalan lebih lama. Jadi aku mencari lowongan pekerjaan untukku, tapi tadi, aku menemukan sebuah lowongan di rumah makan, sayangnya aku tidak bisa diterima, namun kau bisa. Besok kita akan kesana dan menjelaskan kalau kau baru bisa bekerja dua minggu lagi."

"Mana bisa seperti itu, bibi, lagi pula uang yang diberikan Tuan Novandiro cukup untuk makan kita selama dua minggu kedepan. Bibi tidak perlu bekerja, fokus saja pada penyembuhanku."

"Tidak, uang itu hanya cukup untuk makan. Uang itu tidak cukup untuk membayar uang bulanan kontrakan ini, uang listrik dan uang air. Kau tidak memikirkan hal itu karena biasanya aku yang membayar semuanya."

Joshua hanya terdiam.

"Kenapa kita tidak meminta bantuan pada mereka saja?" ucap Joshua.

"Kenapa kau masih saja bergantung dan memikirkan mereka? Apa yang membuatmu terus memikirkan mereka? Uang mereka?" oceh bibi Vey.

"Tidak, bukan seperti itu, bibi."

"Lalu jika bukan seperti itu, kenapa kau masih memikirkan mereka dan tidak pernah memikirkan kakakmu yang hilang?!"

"Karena aku hanya mengenal mereka berlima! Aku tidak pernah tahu seperti apa rupa kakakku yang hilang itu. Dia hilang sembilan tahun sebelum aku lahir dan wajar jika aku tidak pernah memikirkannya."

"Tidakkah kau berpikir kalau dia masih hidup?" lirih bibi Vey.

"Hal itu tidak pernah terlintas dipikiranku."

"Lalu bagaimana dengan mereka?"

"Dia hanya masa lalu, bibi, kita tidak akan pernah menemukannya. Lupakan tujuan bibi untuk bertemu dengannya sebelum bibi tutup usia, itu mustahil."

"Aku tahu bahkan Jamal tidak akan berkata apa yang kau katakan barusan meskipun dia adalah dalang yang menyebabkan kita seperti ini sekarang."

"Kecuali jika kak Jamal memang menginginkan adiknya hilang."

"Diam! Tidak ada manusia yang sampai seperti itu."

"Tapi tidak ada yang mustahil."

"Kalau begitu aku akan bertemu dengan kakak tirimu yang hilang itu, dan hal itu tidak mustahil jika pada akhirnya kau mengatakan kalau tidak ada hal yang mustahil."

Sekali lagi, Joshua hanya bisa diam.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C38
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login