Ada yang kangen????
Happy reading guys 😄😄😄😄😄
-----------------
Gea mendorong bahu Devan membuatnya tersentak ke belakang. Wajahnya sudah semerah kepiting rebus saja. Dia masih melihat Digo hanya mematung, sama sekali bukan Digo yang biasanya meledak-ledak seperti biasa. Dan Oh dia melihat totte bag yang dibawa oleh lelaki itu−tepatnya tergolek di dekat kakinya. Gea begitu penasaran tentang isinya apa.
Gea meringis takut saat Digo mendekat. Langkahnya yang tenang justru membuat sebagian dirinya gelisah. Gea tak setenang lelaki itu. dia terus bergerak-gerak dengan gelisah. Devan mengernyitkan kening. "Kau kenapa, hunn?"
Arah pandang Gea tetap menyorot pada orang di hadapannya. Devan yang mulai mengerti membalik badannya. Melihat Digo tak sedikit pun membuatnya terkejut. Dia justru lebih tenang dari terakhir kali mereka bertemu−kali peristiwa yang hampir saja merenggut nyawanya.
PLOK. PLOK. PLOK
Digo menepukkan kedua tangannya di udara. Suara nyaring membelah ruangan yang kosong. Telinga Gea yang tak kedap suara pun mampu menangkap maksudnya.
"Great. So great." Ucapnya sambil terus melirikkan pandangan sinis.
Devan malah semakin menjadi-jadi dengan menautkan telapak tangannya. Menggenggam Gea seutuhnya.
"So what, boss?" tantangnya.
"Tidak ada. Kurasa aku memang salah masuk kamar." Giginya bergemelutuk menahan marah.
Devan merekahkan senyum. "Bagus. Tahu diri."
Digo yang tak tahan bagai kambing dungu mendekati pasangan itu. melepaskan tautan lengan keduanya. Gea agak meringis kesakitan mendapatinya.
"Mas, kamu hanya emosi. itu tadi, Kita−"
"Ciuman." Sela Devan.
"No." Ucap Gea sambil menyilangkan tangannya di dada membentuk tanda X.
"Yes."
Digo melempar senyum sarkas pada Gea. Menatapnya dengan pandangan gelap. "Harusnya ku patahkan leher lelaki itu." bisiknya pada telinga Gea.
"Kalau begitu, aku pulang. Waktuku terbuang percuma di sini."
Lalu dia keluar dari ruangan itu.
Suasana canggung yang langsung menyergap menghantarkan keterdiaman bagi keduanya. Tidak ada yang ingin membuka suara. mereka−sepertinya hanya Gea−merasa shock atas kejadian tadi. Bagaimana bisa Gea terhanyut dalam suasana intin selain dengan Digo. Dan kenapa Digo bisa memergokinya tengah beradegan sialan dengan lelaki di hadapannya ini. Crazy.
"I hate you," lirihnya. Tapi mungkin masih bisa di dengar Devan.
Kenop pintu itu begerak ke bawah. Apa Digo kembali lagi. Tapi hanya dokter dan dua suster yang masuk. Membawa stetokop dan peralatan-peralatan Gea yang tidak diketahuinya. Gea menghela napasnya. Berusaha bersikap senormal mungkin dari yang dia bisa. Agar tidak menimbulkan suasana yang sama bagi dokter dan suster itu.
"Selamat pagi, Mrs. Lakhsmi" Devan di sampingnya menoleh pada dokter itu. Dokter itu tersenyum ke arahnya.
"Dokter Devan, right? Hai dok." Gea melirik pada dokter itu. penasaran.
Devan hanya mengernyit bingung. Dia tak tahu atau malah merasa asing dengan dokter itu. dokter tampan yang umurnya kira-kira di akhir dua puluh.
"Halo." Jawab Devan canggung. Dia tak begitu mengenal dokter itu.
Suster-suster yang berada di belakngnya berbisik-bisik lalu setelahnya juga melempar senyum. Berbeda dengan senyum dokter tadi, senyum perawat ini seperti sebuah isyarat. Ajakan ranjang mungkin.
"Have we met ever? Apa kita pernah menjadi rekanan sebelumnya?" Devan masih penasaran.
"Jadi kalian bukan teman?" tebak Gea. "kupikir dia adalah teman kencanmu." Gea tertawa dan Devan melotot.
"Yang benar saja. Aku masih normal. Yakali makan terong." Dua suster itu berpandangan lalu terkikik geli.
"Tidak Mrs. Lakhsmi".
"Just Geisha"
"Ya, just Geisha," Dokter itu tersenyum geli. Tidak ada yang lucu padahal. "Kami tidak pernah menjadi teman, rekan, atau kencan buta seperti yang Anda katakan. We're even first meet for the first time. But, siapa yang tidak kenal dengan dokter muda yang memiliki segudang prestasi. Saya merasa terhormat bisa bertemu Anda apalagi bila sampai berkenalan."
"Jadi ini semacam jumpa fans?" Gea melirik sebal.
Devan merangkulnya. "No, hunn. Bagi seorang dokter tidak akan pernah adanya jumpa fans. Kita hanya jumpa pasien, kateter, dan mayat."
Gea memutar bola matanya.
"Kalau boleh tahu Anda dokter−"
"Satria." Imbuh dokter muda dengan wajah tampan yang awet muda.
"Kalau begitu boleh saya periksa Geisha nya?"
"Oh tentu." Devan mempersilakan dengan menjauh darinya. "Saya juga sudah mencopot alat-alat yang membuat pasien kesusahan." Tambahnya.
"Anda memang terbaik."
Dokter itu memeriksa tekanan darah, denyut jantung, dan entah apa guna Gea disuruh menjulurkan lidah, dan sejuta pemeriksaan ribet yang terkesan dipaksakan, menurutnya.
"Anda sudah bisa pulang nanti siang Mrs. Lakhsmi."
Gea mengangguk setuju. Lagian dia juga sudah merasa jenuh berada di sini.
"Oh iya. Di mana suami Anda?" Tanya dokter itu setelah selesai pemeriksaan.
"Suami? Sejak kapan saya punya suami?"
"Sejak hari ini. Aku suami mu." Gea melotot.
"Itu . Lelaki yang membawa Anda Gea ke rumah sakit panik. Dia seperti sosok suami romantis yang menunggu Anda Geanya sadar di ruangan ini. Dia bakan tak meninggalkan ruangan ini barang sedikit pun." Ucap salah seorang perempuan.
"Saya juga tipe sweet." Gea mengacuhkannya.
"Lelaki yang menggendong Anda saat Anda benar-benar kritis. Dia begitu tampan ."
"Tampanan saya lah." Devan masih saja meladeni.
Suami? Yang membawa aku ke sini? Apa mungkin Digo. Rasanya proses percobaan bunuh diri itu dilakikan di bath ub nya. Dia menenggelamkan diri. Tapi bagaimana mungkin. Itu mustahil. Lelaki itu bahkan tak peduli dengannya. Apa mungkin dia?
.
.
.
Masih mau lanjut????
Kalian tim siapa
Gea
Digo
Devan
Renata
Love you,,,