Dua bunyi poh.. yang terakhir terpancar ketika pantatnya sudah masuk ke air tebat. Hal itu
menyebabkan air tebat tentang pantatnya seperti menggelegak sesaat, karena ada beberapa
gelembung udara memecah ke atas. Belasan anak buahnya yang masih kedinginan dalam tebat busuk itu tiba-tiba terbagi menjadi tiga kelompok. sebagian tetap diam karena amat kedinginan, sebagian juga kedinginan, tapi tak berani tertawa. Mereka hanya nyengir. Tapi sebagian lagi, kendati tebat itu dingin dan busuk, tak dapat menahan rasa gelinya. Suara kentut si mayor akibat ketakutan itu benar-benar menjadi hiburan langka, karenanya merekapun tertawa "Huhu.. hihi..hehe.."
Mayor ini benar-benar merasa gacar. Dan tak seorang pun diantara mereka yang berani cepat-cepat naik ke darat. Seperti terbayang di mata, betapa kalau mereka naik, tiba-tiba saja anak muda bersamurai itu muncul. Lalu menebas batang leher mereka seperti menebas leher Atto tadi.
Hiii…!
Tapi setelah hari agak senja, karena tak tahan dingin akhirnya mayor itu merangkak juga ke atas. Apalagi bau tebat yang busuk karena tai manusia itu membuat beberapa dari mereka sudah mutah kayak. Bahagian bawah tubuh mereka juga jadi geli karena disundul-sundul ikan emas.
Setelah merangkak ke atas si mayor bergegas berpakaian dan berteriak memanggil prajuritnya yang masih di dalam tebat untuk naik semua. Tatkala semua sudah naik dan berbaris mengikuti perintahnya, yang tadi berteriak menakut-nakutinya dengan mengatakan mungkin si Bungsu masih ada, yang menyebabkan kentutnya terpancar saat dia kembali melosoh[1] ke dalam tebat, dia perintahkan tegak ke depan. Lalu dengan sepenuh berang dia tampar prajurit bego itu.
"Bagerooo Waang takut-takuti saya yaa" Puak. . . .puak. . . .plak. . plak.
Muka prajurit itu lapuak-lapuak di lampang[2] si mayor yang mukanya sudah membiru kedinginan itu. Tidak hanya yang satu itu, semua dapat bagian tempelengnya, sebab hampir semua tertawa ketika kentutnya tabosek[3] tadi. Si prajurit hanya tegak dengan sikap sempurna. Untunglah tak lama setelah mereka kena tempeleng, sebuah jeep dan sebuah truk datang. Seorang Tai-I (Kapten) turun. Dia memberi hormat. Namun segera terheran-heran melihat pasukan yang ada di depannya basah kuyup,
"Jangan melongo saja", Mayor itu membentak.
Si Kapten segera sadar.
"Saya diperintahkan untuk mencari pak Mayor. Sejak siang tadi dinanti di markas besar. Kami kira mendapat kesulitan. . ."
"Tak ada kira-kira. Kau pikir kami sedang lomba renang di sini?" Mayor itu membentak lagi sambil bergegas naik ke atas jeep. Pasukan yang lain melompat keatas truk. Dan kendaraan itu bergerak menuju ke Panorama. Malam itu juga benar2 dikerahkan tak kurang dari seratus tentara Jepang untuk mencari jejak pejuang-pejuang tersebut. Dan benar juga dugaan penduduk Birugo Puhun. Semua rumah digeledah sepanjang malam itu. Hampir seribu penduduk diinterogasi. Beberapa orang ditangkap. Jepang tak peduli, bahwa rumah yang dipergunakan untuk rapat itu sebenarnya rumah yang sudah lama tak berpenghuni. Pemiliknya sudah pindah ke Bandung sejak lima tahun yang lalu. Jepang tak peduli itu. Yang jelas perusuh-perusuh itu rapat di wilayah Birugo Puhun. Tentu penduduk kampung itu merestui pertemuan itu.
Maka penghuni lima buah rumah yang berdekatan dengan rumah tempat rapat itu ditangkap. Diinterogasi di markas besar. Begitu selalu nasib penduduk sipil. Namun bagi penduduk, nasib demikian nampaknya sudah mereka terima dengan tabah. Keganasan suatu rezim justru menimbulkan kebencian pada rezim itu. Tak ada yang bisa dicapai dengan kekerasan. Penduduk justru makin mengharapkan agar pejuang-pejuang itu makin kuat. Meski dari luar mereka terlihat pasrah menerima nasib atas perlakuan rezim yang menjajah negeri mereka. Sebab, apakah lagi yang bisa mereka perbuat, jika kepada mereka yang lemah ditodongkan ujung sangkur dan moncong bedil. Apalagi yang bisa diperbuat selain dari pasrah. Namun, dari dalam tahanan para penduduk tetap berdoa semoga perang segera meletus. Mereka berdoa dan berharap. agar kemerdekaan segera tercipta bagi negara mereka.
Siang itu si Bungsu sedang berada di rumah seorang tabib, untuk mengobati luka di bahunya akibat perkelahian dengan Syo-I Atto di Birugo tempo hari. Saat menunggu tabib meramu obat itulah tiba-tiba saja rumah itu telah dikepung oleh dua puluh tentara Jepang. Dia sudah dianggap demikian berbahayanya. Sehingga Jepang mengerahkan hampir seluruh intelejennya yang ada di Sumatera Barat untuk mencium jejak pelariannya. Tiga hari sebelumnya, mata-mata mereka mengetahui bahwa si Bungsu bersembunyi di sebuah rumah di kaki gunung Merapi. Diketahui pula bahwa lukanya akan diobati di rumah seorang tabib obat di Koto Baru. Begitulah, saat dia tengah menanti obat diramu, satuan-satuan tentara Jepang yang telah disiapkan segera mengepung tempat tersebut. Dan yang memimpin penangkapan itu tak lain adalah Mayor yang dia suruh berendam ke dalam tebat dalam keadaan telanjang di Birugo dulu. Si Mayor yang telah tegak di depan rumah tabib tersebut terdengar berseru:
"Bungsu, keluarlah. Rumah ini telah dikepung. Kalau kalian tak keluar dalam lima hitungan, rumah ini akan saya ledakkan dengan dinamit"
Dia seperti mengulangi lagi kalimat berbentuk ancaman yang dia ucapkan saat dia dan pasukannya mengepung rumah tempat para pejuang rapat di Birugo Puhun, sepekan yang lalu. Kali ini kemujuran serta nasib baik nampaknya tidak berpihak pada si Bungsu. Luka di dadanya mengalami infeksi. Ramuan obat yang dia ramu saat di Gunung Sago dan selalu dia bawa kemanapun pergi, telah habis. Ketika dia ingin kembali meramu obat-obatan itu, dia terbentur pada ketiadaan beberapa jenis tumbuhan untuk bahan pembuatnya. Ada empat macam jenis akar, kulit, daun dan bunga kayu yang mengandung bisa dan tiga jenis rerumputan menjalar yang bergetah yang dia pakai sebagai ramuan. Di kaki gunung Merapi, dimana dia bersembunyi, tak semua jenis kayu dan rerumputan itu dia peroleh. Kendati sudah empat lima orang mencarinya selama beberapa hari. Karena lukanya semakin berinfeksi, akhirnya dia menurut ketika disarankan berobat ke seorang tabib di Koto Baru.
Mereka sebelumnya memang telah khawatir bahwa akan diketahui intelijen Jepang. Kini kekhawatiran itu terbukti. Datuk Penghulu yang selalu berada bersama si Bungsu tertegun. Dia menatap pada si tabib. Si Bungsu perlahan duduk dari pembaringannya. Tubuhnya amat lemah, wajahnya pucat karena sudah dua hari demam dengan panas amat tinggi. Di luar sana terdengar suara si mayor mulai menghitung. Tabib yang ditatap Datuk Penghulu itu sendiri jadi pucat.
"Saya tidak mengkhianati tuan-tuan. Demi Allah, saya tidak mengkhianati tuan-tuan" ujar tabib itu.
Datuk Penghulu masih menatapnya. Demikian pula si Bungsu.
"Tidak. Kami tahu bapak tidak mengkhianati kami. Mereka memang telah menyebar ratusan intelejen. . .jangan takut …." si Bungsu berkata sambil melangkah turun.
Bersama Datuk Penghulu dia membuka pintu tatkala hitungan mencapai empat. Semua tentara Jepang yang mengepung rumah itu mengacungkan bedil mereka. Mayor itu sendiri tegak dengan pistol di tangan. Nampaknya dia tak mau menanggung resiko. Pengalaman di Birugo Puhun dulu menyebabkan dia amat berhati-hati.
"Lemparkan samuraimu Bungsu. Lemparkan ke tanah. Kemudian kalian berdua berjalan kemari dengan tangan ke atas dan bergerak mundur. cepat. . . ."
Si Bungsu melakukan perintah Mayor itu. Dan melemparkan samurainya ke tanah. Kemudian samurai itu dipungut oleh seorang sersan. Mayor yang pernah mereka rendam di dalam tebat di Birugo beberapa hari yang lalu itu melangkah mendekat, begitu dia lihat samurai si Bungsu sudah dipungut anak buahnya. Mayor ini merasa malu bukan main sejak peristiwa berendam dalam tebat tersebut. Marah serta dendam itu kini dia muntahkan. Dia tegak setengah depa di depan si Bungsu. Menatap anak muda itu dengan pandangan seperti akan melulurnya mentah-mentah. Tiba-tiba tangannya bergerak. cepat sekali. Demikian cepatnya, sehingga Datuk penghulu sendiri tak melihat bagaimana cara mayor itu menggerakkan tangannya. Si Bungsu terdengar memekik.
Tangan mayor itu bergerak lagi, dan meski sudah ditahan sekuat mungkin, namun tetap saja si Bungsu tak dapat untuk tidak memekik. Gerakan Mayor itu adalah sebuah gerakan karate bern chudan Nukite choki. Yaitu sebuah tusukan dengan keempat jari-jari tangan ke luka di bahu kiri si Bungsu. Tusukan jari-jari tangan yang dirapatkan itu amat telak dan amat cepat. Kembali menusuk luka bekas tebasan samurai Syo-i Atto itu seperti pisau menusuk daging.
Pada tusukan keempat jari pertama, kain yang membalut luka sementara dibahu si Bungsu jebol, amblas ke dalam luka tersebut. Pada hantaman ke dua, keempat jari tangan mayor tersebut masuk hampir sepertiganya. Demikian kuat dan cepatnya gerakan itu. Dilakukan oleh seorang ahli karate yang telah memiliki tingkatan Dan IV. Yaitu tingkatan keempat bagi pemegang sabuk hitam. Mendengar pekik yang menahan sakit luar biasa dari mulut si Bungsu, itu Datuk Penghulu yang tegak empat depa di belakangnya tersentak. Anak muda itu rubuh ke tanah. Saat itulah, dengan melupakan setiap mara bahaya, semata-mata karena kasihan dan sayangnya pada si Bungsu, Datuk Penghulu tiba-tiba menghambur. Tubuhnya melayang di udara. Dan sebelum Kempetai-Kempetai itu sadar apa yang terjadi, tendangannya mendarat di kepala Syo Sha tersebut. Mayor itu terpelanting dua depa. Jatuh berguling di tanah, seorang prajurit mengangkat bedil. Namun Datuk yang sudah kalap itu bergulingan di Ketika dia berdiri, tendangannya menghantam kerampang prajurit yang tengah membidik senapan itu meledak, tapi alat-alat di kerampangnya juga meledak kena tendang. Peluru senapannya menghantam tanah. Masih dalam kecepatan yang hanya dimiliki oleh pesilat-pesilat tangguh, pada langkah keempat setelah menyepak kerampang si prajurit, dia sampai kedekat Mayor yang kini sudah akan bangkit. Mayor itu mencabut samurainya. Gerakannya demikian cepat. Dia masih berlutut ketika samurainya sudah keluar separoh. Tapi saat itu pula tendangan Datuk Penghulu menghajar dadanya. Namun saat itu pula samurainya berkelebat. Tubuh mayor itu tercampak. Dari mulutnya menyembur darah merah. Rusuknya patah tiga buah, lalu tergeletak tak sadar diri dengan muka membiru.
------
[1] melosoh - melorot
[2] lampang = tampar
[3] tabosek = keluar tanpa sengaja