Download App
50% On My Back / Chapter 7: Rest'-'

Chapter 7: Rest'-'

Setelah selesai menbawa Kahime ke rumah sakit dan melakukan tranfusi darah padanya agar Kahime terselamatkan dari luka yang dia dapat. Ketika mau pulang ke rumah, Saki sempat menolak karena ingin menemani Kahime. Orang tuanya, terutama ayahnya yang seorang dokter dan pemilik rumah sakit itu, beliau tersenyum gemas karena tingkah putranya.

"Saki, untuk malam ini kamu harus pulang dan istirahat di rumah. Kami masih harus melakukan pemeriksaan. Mengerti?" ujar ayahnya sambil tersenyum kecil.

"Baik, kami pulang dulu. Sampai jumpa." Balasnya menganguk kecil.

Dengan begitu, Saki, Sasha,dan ibunya pulang.

Beberapa hari kemudian pemeriksaan pada Kahime sudah selesai, setelah mendengar kabar kalau mereka mulai bisa merawatnya.

"Ibu. Aku dan Sasha akan bergiliran merawatnya sampai sembuh. Tidak apa 'kan?" pinta Saki sambil memijat bahu ibunya.

"Tidak apa kok, selama kamu bertanggung jawab dan teguh. Karena kamu yang membawanya ke rumah sakit kita. Dan juga..." ibunya sengaja berhenti bicara dan memutar kedua tangan Saki ke belakang.

"Adaw! Awawaw! I-ibu, sakit." Rintih Saki merengek.

".... jangan berbuat macam-macam saat kamu hanya berdua dengannya, karena kamu satu-satunya anak laki-lakiku." Sambung ibunya menatap tajam dingin, matanya berkilat-kilat, dan tak lupa dengan seringai yang lebar.

"Eit, aduh! I-iya, aku paham kok. Mana mungkin aku berani macam-macam sama cewek galak, bisa-bisa kalau dia sadar aku bakal dihajar habis-habisan olehnya." Sahutnya agak gugup karena disiksa kecil ibunya.

Ibunya melepas tangannya dan penasaran kenapa putranya sampai bilang 'bakal dihajar habis-habisan.'

"Apa dia pernah memukulmu?" tanya ibunya heran.

"Tentu saja, dia pernah memukulku. Yang pertama, ketika aku pulang terlambat tengah malam. Yang kedua, ketika isirahat makan siang. Aku iseng tidak mau melepas tanganku darinya." Jawab Saki sehingga membentuk awan imajinasi di atas kepalanya.

"Jadi, sudah berapa kali dipukul?" tanya ibunya menatap tidak percaya pada putranya.

"Dua kali. Yah, dia itu bukan tipe cewek yang biasanya langsung baper kalau digoda." Cetusnya malas.

"Lalu?"

"Kalau digoda dia marah, jika dia mau bisa langsung pukul."

"Ibu, mengerti sekarang. Kamu sengaja menggoda dia, siapa tahu bisa berteman. Iya 'kan?" tanya ibunya menatap menggoda putranya.

"...Ummm, i-iya. Ibu 'kan tahu kalau kita berada di tempat baru harus bisa beradaptasi dan setidaknya punta teman walaupun satu atau dua orang." Jawab Saki gugup agak merona dan tiba-tiba terpikirkan kalau dia hampir terlambat untuk sekolah. Karena jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.35. "Bu, aku harus berangkat sekarang. Ini hampir kesiangan."

"Yah, baiklah. Hati-hati di jalan. Kalau sudah sampai disana, jangan lupa berikan makan siang ayah." Tutur ibunya memberinya dua kotak bekal makan siang.

"Terima kasih, bu. Aku berangkat dulu." Pamit Ssaki kepada ibunya, segera berlari keluar rumah menuju halte bus.

Setelah berlari sampai ke halte bus, dia menghela napas lega karena masih ada orang lain yang menunggu bus disitu.

"Saki. Selamat pagi." Sapa seorang gadis di sebelahnya.

"Selamat pagi." Balas Saki menoleh padanya.

"Bagaimana keadaanmu selama beberapa hari? Apa kau baik-baik saja?" tanya gadis itu lirih.

"Lumayan. Dan yang membuatku sebal adalah anak-anak penggosip. Mereka mengatakan hal aneh tentang Kahime, seolah-olah mereka kalau dia itu bohong." Jawabnya malas.

"Ternyata, kamu menyadarinya." Ucapnya tersenyum kecut.

"Memangnya kenapa? Apa Kahime dibenci sampai seperti itu?" tanyanya heran.

"Karena dia adalah anak guru di sekolah kita, mereka enggan berteman dengannya karena menyukai anime dan Jepang. Mereka bilang dia tidak pantas menjadi anak guru, jika perilakunya seperti anak-anak. Begitu juga dengan orang tuanya. Ups!" celatuknya panjang lebar sampai kaget sendiri. Saki tercengang dan ingin mendengar penjelasan dari gadis itu.

"Orang tuanya? Tunggu dulu, jadi dia masih punya keluarga?" tanyanya agak gugup ingin tahu lebih dalam tentang Kahime.

"Aku tidak akan menjawab. Ini di luar pembicaraan, maaf." Jawab Yuri mengabaikan pertanyaannya.

"Kenapa?" tanyanya gelisah.

"Karena kau tidak ada kaitannya dengan ini." Balasnya dingin. "Busnya sudah datang, ayo cepat naik." Sambung Yuri agak kasar menarik dasinya secara paksa

"Y-ya, tapi jangan gini... ukhh.. ga bica napazz."

********

"Bagaimana?" tanya pemuda berambut hitam berkacamata pada seseorang di telponnya.

"Apa maksudmu?" tanya balik orang di telponnya.

"Huh, ternyata kau sama sekali tidak menyadarinya, Tuan muda Sensuke." Jawabnya mendecak.

"Gadis itu, aku sudah tahu. Kenapa kau memilihnya?" tanya Sensuke dingin.

"Kenapa ya~? Apakah itu penting untukmu?.... dia itu luar biasa." Jawab pemuda itu dengan nada mengejek dan sangat menyebalkan.

"Katakan padaku, kenapa kau memilihnya?" tanya Sensuke kesal.

"Ah, baiklah~. Akan kukatakan padamu yang sebenarnya. Diselimuti kegelapan, tapi ingin tinggal di dalam cahaya." Jawabnya dengan tersenyum sinis dibalik bayangan korden jendela.

"Apa maksudnya? Apa artinya?!" tanya Sensuke semakin kesal menahan emosi.

"Khukhukhu..... cewekmu sudah lama mati dan cewek itu orang lain yang sangat mirip dengannya." Jawabnya enteng.

"Omae wa....darimana kau tahu?! Jika kau tidak bohong, beritahu aku namanya. Kalau namanya sama aku akan membunuhmu." Sahut Sensuke hampir marah mengancamnya.

"Kahime...." jawabannya terpotong.

"Ada apa? Kenapa kau berhenti?! Cepat lanjutkan!! Aku ingin tahu namanya sebelum bertemu dengan cewek yang sama dengannya!!" Sensuke sangat marah dan membentaknya dari telpon.

".... bersabarlah, aku lanjutkan. Namanya adalah Kahime Shitou." Sambungnya menyeringai puas membuat Sensuke marah dan terkejut. Sensuke tertegun, dia tidak percaya dengan jawaban orang itu.

"Kahime... Shitou?" tanya Sensuke gugup.

"Ah, sou desu ne. Aku sama sekali tidak bohong." Jawab pemuda itu berusaha meyakinkannya.

"Aku percaya padamu sekarang, jadi-....." ucapannya terpotong.

"Ya?"

"Darimana kau tahu kalau cewek itu sudah mati?" tanya Sensuke datar.

"Berita empat tahun yang lalu. Insiden kebakaran di komplek Puden 6, tanggal 7 Agustus 2012 pukul 08: 25. Kau juga tahu itu 'kan?" jelasnya mengambil sebuah figura yang terdapat dua buah foto.

"Waktu itu...." perkataannya terpotong.

"Kau harus merelakannya, dia pasti sudah hidup bahagia." Tutur pemuda itu menenangkannya. "Aku tutup telponnya, dah." Sambungnya sembari mengakhiri pangilannya dengan Sensuke.

Sensuke syok, dia masih tidak percaya dengan apa yang sudah dia dengar.

"Shitou-san, naze? KISAMA~~~~!!!!!! Ore ga ima no nani surunda?" tanya Sensuke bertanya pada dirinya sendiri dengan sangat kesal, setelah mendengar apa yang ingin dia dengar. Bukannya bisa membuatnya bahagia justru itu melukai dirinya.

********

Sesampainya di sekolah sama sekali tidak ada perbincangan diantara keduanya. Saki ingin tahu tentang Kahime dan keluarganya, sedangkan Yuri dia sama sekali tidak mau bicara tentang itu.

"Oi, Yuri. Tumben kok sendirian, dimana Si Muram?" tanya seorang anak cowok sekelasnya.

"Kahime, dia sedang tidak enak badan. Kemarin penyakitnya kambuh, jadi aku-..." belum selesai Yuri bicara, anak itu menyela.

"Oh, gitu toh. Baguslah kalau dia gak berangkat, lagipula aku cuman tanya kenapa dia gak masuk. Jadi, gak perlu jelasin lagi tentang dia dan penyakitnya yang gak jelas." Balas anak itu dingin seperti mengintimidasi.

"B-baiklah." Sahutnya tersenyum masam.

Yuri, apa dia tahu dengan apa yang sudah terjadi pada Kahime kemarin? Tapi, apakah dia mau menceritakannya padaku? Dia bilang aku tidak ada kaitannya. Hm?------ pikir Saki agak bimbang dalam lamunannya.

"Saki, ada apa?" tanya Yuri mengejutkannya. Ia gugup dan takut.

"Tidak, tidak ada apa-apa. Hanya terpikirkan sesuatu." Jawabnya gugup sambil mengagaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Apa yang sedang kau pikirkan? Kahime?" goda Yuri membuatnya kaget dan secara bersamaan wajahnya memerah. "Hei~... hei~, kenapa wajahmu semerah tomat?.... Oh~, jangan-jangan kamu suka dia." Sambungnya menyeringai dengan kedua tangan menopang kepala.

"Ha?! Ti-tidak.... aku..... sama sekali....." sahutnya gelapan dan memalingkan wajahnya dari Yuri.

Wajahku memerah? Padahal aku sama Kahime hanya teman. Mana mungkin aku suka padanya.

********

Pukul 15:15

Sedangkan Sasha dan ibunya, mereka berdua menemani Kahime di ruangannya. Sasha bermain boneka dan ibunya menonton TV.

{...telah terjadi perseteruan yang menghebohkan kota Jenan. Sepasang anak remaja laki-laki ini, merekam suatu kejadian lima hari yang lalu. Berikut adalah videonya.

"Cepat rekam ini, lihat semuanya. Ada seorang cewek mau melawan 20 cowok dari kelompok gangster." Ucap anak laki-laki membujuk temannya.

"Hei, bocah. Kamu mau melawan kami?"

"Cewek itu diam saja, apa dia akan melakukan serangan dadakan? Sepertinya dia akan bicara, dengarkan ini."

"Gimana ya? Sebenarnya aku sudah capek karena pekerjaan ini. Tapi, mau gimana lagi kalian musuhnya bosku dan mau membocorkan rahasianya."

"Tch! Serius nantang kami, gimana kalau satu lawan satu dulu? Cepat hajar dia."

"Baik."

"Aku terima, tapi kalian jangan marah kalau dia kalah."

"Hei, ngapain kalian disini? Anak kecil dilarang ikut campur urusan orang dewasa. Apa yang sedang kalian lakukan? Berikan kamera kalian."

"KYAAAAA~~."

Dan setelah dari itu, masih belum diketahui. Siapakah gadis yang bekerja sebagai petarung gangster ini? Lalu, dimanakah dia berada? Hal ini masih dipertanyakan oleh warga kota Jenan dan sekitarnya.}

"He~h? Ada-ada saja, orang-orang sekarang. Tapi, hal ini memang berlebihan. Mana mungkin ada yang bisa bertahan dari pekerjaan seperti itu." cetus ibunya mengomentari berita tersebut.

"Ibu, dimana coklatku?" tanya Sasha menarik-narik bajunya.

"Ah, maaf ibu lupa. Coklatnya ada di atas meja laci dekat jendela." Jawab ibunya gugup.

Kemudian Sasha beranjak dari tempatnya, memutari ranjang tidur pasien tempat Kahime terbaring. Saat dia hendak mengambil coklatnya, tiba-tiba pandangannya dialihkan oleh korden yang mengembul ditiup angin masuk ke dalam ruangan itu.

"Wah~." Ucapnya terperangah melihat Kahime. Jari tangan kirinya berkedut, mata lentiknya membuka perlahan sehingga mata lavender itu mulai tampak.

"Yu...ri...uh?" katanya mengigau. Dia tertegun, penglihatannya agak kabur dan secara perlahan semakin jelas. Matanya melirik ke kiri, itu membuat Sasha terkejut.

"Ibu." Panggil Sasha menutupi sebagian wajahnya saat Kahime terus menatapnya.

"Ada apa?.. Ha-ah, dia sudah sadar. Syukurlah." Balas ibunya menghampiri Kahime dan putrinya, kemudian duduk di kursi.

Dia beralih menatap wanita itu dengan lemas. Bibirnya bergetar ingin bicara, tapi tak bisa mengeluarkan suara karena tak ada tenaga.

"Apa kamu butuh sesuatu? Bagaimana perasaanmu?" tanya wanita itu lembut.

Kahime hanya diam melihat sekelilingnya.

"Kamu tidak usah khawatir, kamu berada di rumah sakit kami." Tuturnya lembut mengelus kepala Kahime dengan lembut pula.

Ha? Sudah berapa lama aku tidak merasakan belaian lembut dan kehangatan seperti ini? Syukurlah, aku masih diberi kesempatan untuk hidup.---- batin Kahime senang dengan tersenyum ,sampai-sampai air matanya tak bisa terbendung dan mengalir.

"He?! Ada apa?! Apa ada yang salah?" tanya wanita itu gugup dan gelisah.

Sedangkan Sasha diam-diam memandang Kahime dibalik boneka teddy bear kesayangannya.

"Teri....ma....ka....sih..." jawab Kahime terjeda karena pernapasannya yang belum stabil.

"Oh." Sahut mereka berdua ketika Kahime mulai bicara meskipun terjeda.

"Sama-sama." Balas wanita itu tersenyum.

"Mbak, jangan khawatir aku dan kakak akan merawatmu." Tuturnya gugup. Kahime hanya menganggukkan kepala tanda setuju.

Gadis kecil yang imut.--- pikir Kahime terkekeh kecil.

"Sasha, mengejutkan sekali. Baru kali ini kamu bicara seperti ini. Sangat langka kejadian seperti ini." kata ibunya terkagum-kagum pada putrinya. Wajahnya merona mendengar pujian tersebut.

Kemudian Kahime mnggerakkan tubuhnya untuk bangun, dibantu oleh wanita tersebut.

"Jangan terlalu banyak bergerak, lukamu belum pulih total. Kami pikir kamu tidak akan sadar setelah tenggelam dengan luka yang membuatmu kehilangan banyak darah." Ujarnya cemas menarik pelan putrinya, Sasha.

"Ibu, kenapa kakak belum datang juga?" tanya Sasha memandang ibunya.

"Iya ya, biasanya dia kalau terlambat kesini akan berlari sampai ngos-ngosan dan teledor sampai menabrak pintu." Celatuk ibunya meletakkan jari telunjuknya di dagu.

"Kakak yang terlalu berlebihan." Sahutnya sebal.

********

"Wah~!!! Aku terlambat~~!! Sasha pasti tidak mau bicara padaku kalau aku telat.....haha... tapi, aku sudah dapat penangkalnya." Ucap Saki berlari sekuat tenaga dengan penuh kekhawatiran di tengah perjalanan menuju rumah sakit sambil cengengesan melihat bungkus plastik yang menggembung.

Lima menit kemudian.....

GEDEBUM!! BRUK!

"Waduh! Aku lupa kalau ada pintunya." Rintihnya sampai terjatuh ke belakang.

Lalu dia segera bangun dan membuka pintu.

"Aku pulang~." Ucapnya sambil tersenyum. "Eh?" dia termangu membeku di tempatnya. Membuat mereka bertiga kaget dan salah satunya Kahime. Wajahnya memerah ,saat Saki memandangnya yang sedang dibersihkan oleh ibunya. Bagaimana tidak?! Kahime dalam keadaan setengah telanjang dengan punggung putihnya yang mulus dan Saki tidak berkutik.

Saki? Ngapain dia disini?! Apa-apaan pandangannya itu?! Jangan-jangan...dasar!--- pikir Kahime sebal

"Bodoh!! Apa yang kau lihat?! Keluar dari sini!!" bentaknya kesal. Saki terkejut ketika dibentak, ia mengerjipkan matanya beberapa kali dan wajahnya memerah sampai mimisan. Kesempatan yang diimpikan oleh para kaum adam dan sangat langka. Tanpa sengaja melihat cewek yang setengah telanjang di depan mereka͢ pikiran mesum para cowok. (Eits, ini bukan ecchi! Hanya kiasan.)

"Kakak bodoh. Lupa mengetuk pintu sebelum masuk ruangan." Cetus Sasha memukul kepala kakaknya dari belakang-Saki, menggunakan gagang sapu sampai pingsan ditambah benjol.

"Ma-maaf." Gumamnya dalam pingsan.

Ibunya menghela napas pendek ketika putranya melakukan hal yang sembrono.

"Itulah akibatnya mengintip anak gadis sedang membersihkan diri." Kata wanita tersebut geram.

Tak lama kemudian, setelah selesai membersihkan diri dan memakai kembali bajunya. Keadaan jadi hening, Kahime diselimuti hawa dingin suram, Saki berkeringat dingin dan gemetar ketakutan di kursi sofa, sedangkan ibunya dan sasha hanya memandang cemas karena keadaan yang yang sangat suram tersebut.

"Ma-maafkan ... a-aku. A-aku..ti-ti-tidak akan ... m-mengulanginya lagi." Ucapnya gelapan berusaha mencairkan suasana yang dingin.

"Kalau begitu ibu akan memberitahu ayah kalau temanmu sudah sadar." Kata ibunya guup segera beranjak dari tempat meninggalkan mereka bertiga.

"Aku akan disini mengawasi." Balas Sasha agak ragu.

"Ba-baiklah, ibu pergi dulu ya. Sasha, tolong jaga ruangan." Tutur ibunya gugup.

"Oke." Balasnya mengacungkan jempol kiri dengan kedua mata berkilat.

Berjuanglah.—ucap wanita tersebut dalam hati melempar senyum kecut.

Meskipun begitu, keadaan di ruangan kembali suram. Kemudian Kahime menghela napas panjang dan menatapnya tajam dengan tatapan membunuh. Saki merinding ketakutan seolah merasakan tatapannya secara tidak langsung.

"Ada apa? Bilang saja dan... bisakah berhenti menatapku seperti itu? Itu membuatku tidak nyaman." Cetusnya memberanikan dirinya membalas tatapan Kahime. Ia terkejut dengan mata berbinar-binar. Kahime tersenyum padanya. "Heh?"

"Terima kasih sudah menolongku, Saki." Katanya melempar senyum pada Saki.

Deg Deg Deg Deg

"Heh? ... ummm, sama-sama." Balasnya gugup dengan wajah agak merona.

"Saki." Panggilnya menatap lekat wajahnya.

"Ah, iya. A-ada apa?" tanya Saki gugup.

"Kamu nggak apa-apa 'kan?" tanya baliknya cemas.

"Ha?.. A-aku... aku baik-baik saja, kok. Tidak perlu mengkhawatirkanku." Celatuknya gelapan sampai wajahnya makin merah.

"Tapi, wajahmu memerah. Dek Sasha, bawa dia kesini." Pintanya menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.

"Okay. Ayo, kak." Ucap Sasha semangat langsung menggeret kakaknya, lalu mendudukkannya di kursi sebelah Kahime.

"Eh?.. tu-tunggu dulu. Apa yang kau lakukan?!" tanya Saki ketakutan. "Hmm." Ia sama sekali tak bisa berkutik melawan dan pasrah pada nasib. Lalu Kahime menempelkan tangan kirinya pada dahi Saki dan tangan kanan menyentuh dahinya sendiri.

"Nggak demam, tapi wajahmu merah banget sekarang." cetusnya heran. Ia memalingkan pandangan matanya dari Kahime.

Itu karena kamu tahu. Aku sendiri nggak tahu, harus ngapain?--- desahnya kesal dalam hati.

Clek!

Suara pintu terbuka mengejutkan mereka bertiga, Saki melepas sentuhan tangan Kahime dari dahinya, dan langsung meninggalkan ruangan tersebut.

"Mau kemana?" tanya pria berkacamata berjas putih, dan berkalungkan stetoskop di lehernya pada Saki.

"Keluar sebentar nyari angin." Jawabnya singkat datar dan pergi.

Hanya sebentar, hanya sebentar. Aku akan mancari tahu, sebenarnya apa yang sudah terjadi padaku? Aku hanyalah seorang anak pindahan baru di Sakura Hana. Aku hanyalah orang baru yang iseng padanya. Aku hanyalah orang asing di kehidupannya. Mana mungkin dia bakalan suka padaku?---- pikirnya sambil berjalan dan berhenti di taman kecil.

"Apa yang aku harapkan? Ini tidak mungkin. Mana mungkin aku ada-.... hah?" gerutunya terkejut sendiri ketika tangannya menyentuh dahinya, merasakan bekas sentuhan tangan Kahime tadi.

Aku jatuh cinta padanya?


Chapter 8: Feel Better

Tes... blop blop... tes blop blop

"Hei, berikan semua uangmu, maka kami akan melepasmu. Bocah." Ancam seorang cowok dengan perban yang menutupi sebagian wajahnya.

"A-a-aku tidak punya uang." Kata anak laki-laki sebelas belas tahun, berkacamata, berambut coklat itu sangat ketakutan. Dan itu membuatnya kesal, dia menarik kerah baju anak itu dengan kasar.

"Halah, nggak usah banyak omong. Cepetan mana uangnya." Ucap cowok itu mendesak anak tersebut. Kemudian anak tersebut mengambil uang dari saku celananya dan memberikannya pada cowok tersebut dengan gemetar ketakutan. Lalu cowok tersebut mengambil paksa uangnya.

"I-ini, kumohon lepaskan aku." Pinta anak itu gugup.

"Nah gitu dong." Cetusnya tersenyum sinis dan menatapnya dengan tatapan mengintimidasi.

"Wah, kayaknya kita bakal senang-senang lagi." Kata salah satu teman cowok itu mengelus kasar kepala anak itu.

"Kita bakal bersenang-senang terus lah, .kan ada nih bocah." Balasnya mengejek sembari mengambil kacamata anak tersebut.

"Jangan kacamataku! Kembalikan! ... a-aku sudah memberikan semua uangku pada kalian..." pinta anak itu meraba ke segala arah walaupun hanya udara yang bergesekan. Cowok itu tergelak dan melempar kacamatanya.

"Ternyata nih bocah rabun.... hahaha.... kenapa gak buta aja sekalian? Hahahaha..." ejeknya.

Dan sebuah tangan berhandshock biru dongker memungut kacamata yang lensanya sedikit retak di bagian bawahnya.

"Kasar amat sama bocah, udah gitu anak SD yang dipalak. Anak seumuran gitu rentan banget mentalnya bisa hancur.... sama kayak kalian." Tutur sosok dibalik siluet gedung.

"Lhu siapa? Tunjukin diri lho, kalo lhu bukan pengecut!" tegur cowok itu menaikkan suaranya.

"Oke deh... lagipula gua bukan pengecut kek kalian."sahut sosok gadis kecil dua belas tahun. bermata lavender, wajah tertutup oleh topeng yang sampai hidung dan masker, bertopi galaksi, berambut putih diikat ekor kuda, berjaket merah muda dengan tangan tertutup handsock biru dongker, dan pakaian yang senada, serta memakai sepatu kets hitam.

Dengan waspada kelompok itu berkumpul di dekat cowok berperban. Tak lupa bersenjata tongkat besi, tongkat baseball, regem yang terpasang di tangan, dan pisau lipat.

"Siapa lhu?" tanya cowok berperban itu datar.

"Aku bukan siap-siapa, cuma numpang lewat dan denger keributan disini." celatuknya cengengesan.

"Oh, mau jadi pahlawan ternyata. Kayaknya gak cocok buat lhu, soalnya badan lhu kecil kayak krempengan kerupuk." Cetus cowok itu mengejeknya.

Gadis itu mengamati dirinya, lalu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil terkekeh.

"Soal ukuran dan tampilan jangan jadi perbandingan, tapi kompetensinya harus baik itu pemikiran ataupun kekuatan." Sahutnya memasang kuda-kuda belakang.

Cowok itu mendengus menahan tawanya dan tangannya mengarah ke depan, kemudian mereka mulai menyerbu gadis itu beramai-ramai.

Gadis itu langsung menunduk dan meluncur melewati mereka ketika tongkat besi melayang ke arahnya.

Bocah berkacamata tersebut terperangah lebar , tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Gadis dua belas tahun aneh menolongnya dan menantang komplotan preman remaja yang berjumlah lima belas orang.

Gadis itu sama sekali tidak takut, dengan santai dia menghindar dari serangan mereka berpindah-pindah tempat tanpa hambatan. Terkadang tanpa disengaja ada yang terkena serangan ngawurnya, setiap kali dia menghindar di tempat yang sama sekali tidak disadari oleh mereka bahwa itu adalah jebakan kesengajaan dari akal cerdik anak dua belas tahun.

"Hei, ngapain diem disitu?! Cepetan pergi!!" tegur anak aneh itu sambil terus fokus menghindar dan melawan mereka.

Bocah kacamata itu terkejut mendengar tegurannya dan segera berlari meninggalkannya dengan kegelisahan.

Kakak itu, apa dia akan baik-baik-baik saja?—pikirnya gelisah sambil menengok ke belakang sejenak, lalu kembali berlari.

Di lorong jalan kecil.....

BRAK BRUK GEDEBUG

Lima belas orang berhasil dia kalahkan sehingga terkapar di tanah. Napasnya terengah-engah dan perlahan matanya berkaca-kaca sehingga meneteskan air mata ketika melihat sesosok anak laki-laki sepuluh tahun berambut putih, bermata lavender, dan sedang memperhatikannya dari jauh.

Anak laki-laki itu menyadari tatapannya dan segera berbalik, berlari meninggalkannya.

"Tunggu!" tegurnya dengan tangan berusaha menggapai bayangan punggung anak itu dari jauh.

Akan tetapi anak itu sama sekali tidak menghentikan kakinya, terus berlari sambil berteriak.

"Terima kasih!!"

Dia tertegun tersenyum kecut sambil melepas topeng dan masker, matanya berbinar-binar digenangi oleh air mata yang mengalir deras membasahi pipinya.

Maafkan aku, aku tidak bisa kembali untuk sekarang. Maafkan aku...adik... Maafkan kakak....

*****

"MAAFKAN AKU YANG BODOH INI~~!!!" teriak seorang gadis berteriak mengigau dan terbangun, dia membuka mata dengan air mata mengalir deras. Tangannya terangkat ke langit-langit berusaha menggapai sesuatu yang mustahil.

"Kahime?! Ada apa?!" tanya seorang pemuda di sampingnya dengan cemas.

Dia menoleh ke pemuda di sampingnya. Mata lavendernya membulat dan berkaca-kaca.

Pemuda itu tercengang ketika melihatnya menangis. Ia membantunya duduk.

"Kahime...." panggil pemuda itu perlahan memeluknya. "Tidak apa, sekarang semuanya baik-baik saja." Sambungnya membelai kepala gadis itu dengan lembut.

"...hiks...hiks...hiks.... " isak tangis Kahime dalam pelukan pemuda berambut pirang mata biru.

"Sudahlah, jangan takut. Apa kau bermimpi buruk?" tanyanya cemas.

Kahime hanya mengangguk pelan dalam pelukannya.

"Hmm, sudah jangan dipikir lagi. Sekarang kamu sudah bangun, aku akan panggil Sasha untuk menemanimu." Tuturnya halus melepas pelukannya dan menghapus air matanya. "Minum dulu, mungkin bisa menenangkanmu." Sambungnya menyodorkan segelas air putih padanya.

Setelah meminumnya sedikit, Kahime memandang gelas di tangannya.

"Saki, terima kasih." Kata Kahime lirih.

Saki tertegun sehingga kebingungan.

"A-ah, itu...sama-sama. Sudahlah, jangan berlebihan begitu. Kita 'kan berteman." Balasnya melempar senyum dan menatapnya lembut.

Kahime terkejut dan menoleh, lalu memalingkan wajahnya kembali menatap gelas di genggamannya.

Maafkan aku yang bodoh ini.--- pikir Kahime tersenyum kecut.

"Maaf." Ucapnya pelan.

"Eh? Kamu tadi....Kenapa tiba-tiba meminta maaf? Aku sama sekali tidak berpikir kalau kamu membuat kesalahan." Balasnya bingung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Apa yang membuatmu berpikir begitu?" tanya balik Kahime meletakkan gelas tadi di meja sampingnya dan menoleh pada Saki.

Ia semakin bingung dalam pembicaraan ini, lalu diam sejenak dan mengatur pernapasannya. Kemudian mulai membuka mulut menjawabnya.

"Karena pada awalnya akulah yang memulainya. Aku sudah salah padamu sejak awal bertemu sehinga membuatmu kesal padaku. Meskipun begitu, kau sudah menjadikanku sebagai teman. Itulah yang membuatku berpikir begitu." Jawabnya tanpa basa-basi dan percaya diri.

"Hmm, begitu ya. Baru kali ini gua ngelihat lho se-PD ini, udah gitu ngomongnya empat mata gini. Jangan-jangan ada something, nih." Cetusnya dengan tatapan penuh selidik.

Spontan wajah Saki merona memerah semerah tomat dan panas seperti BBQ.

"Hah?!...a-a-apa'an?!....bi-bibibi-asaa.. aja,kok. Gua u-udah biasa...dan-..." perkataannya terpotong saat Kahime menyentuhkan antar dahi sehingga jarak wajah mereka cukup dekat.

"HAH?!"

Gawat! Ja-jaraknya terlalu dekat. Apa yang sedang dia lakukan sampai melakukan ini?!

Detak jantungku semakin cepat, kuharap dia tidak mendengarnya. Jangan sampai dia mendengarnya.--- batin Saki gelisah dengan memejamkan kedua matanya.

Kahime memandangnya dari dekat, iris lavendernya melebar dengan sendu.

"Hei, Saki. Ada yang ingin aku bicarakan padamu." Cetusnya datar.

"A-apa itu?" tanya Saki gugup masih memejamkan kedua matanya dengan rapat dan wajahnya yang semerah tomat.

Apa ingin dia bicarakan? Apakah dia sudah tahu kalau aku suka dia?—pikir Saki bertanya-tanya.

"Ini sangat penting, karena bisa mempengaruhiku dan dirimu begitupun kehidupan kita bisa terpengaruh. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa orang lain termasuk padamu." Tutunya membelai pipi kiri Saki dengan tangan kanannya.

"Ka-katakan intinya saja." Cetusnya gugup.

Jangan bertele-tele, katakan saja. Tapi, jangan sampai itu sesuatu yang buruk.

Kahime menghela napas panjang sehingga ia dapat merasakan deru napasnya.

"Jangan sampai kau jatuh cinta ataupun suka padaku." Sahutnya kembali menjaga jarak.

Ia terkejut sampai terbelalak tidak percaya, hatinya terasa hancur berkeping-keping setelah mendengar penjelasannya. Perasaannya telah disakiti oleh temannya sendiri, seorang gadis yang masih lemah dalam tahap pemulihan.

"Apa hanya itu yang ingin kau bicarakan denganku?" tanya Saki datar sambil melepas sentuhan tangannya dan berdiri beranjak dari tempatnya.

"Tidak, masih ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Jawabnya sembari memeras selimut yang membalutnya, dia menggertakkan giginya dan menggigit birbinya sendiri sampai berdarah.

Saki tercengang dengan sikapnya, tapi sama sekali tidak menghiraukannya.

"Aku harus pergi, Sasha yang akan menemanimu. Sebaiknya kamu kembali beristirahat." Ujar Saki segera beranjak dari sana ke pintu. Baru beberapa langkah ia berjalan, langkahnya dicegah olehnya.

"Kalau sampai itu benar-benar terjadi, kau harus melupakanku." Cetusnya dengan kesal.

"Aku mengerti, sudahlah kau harus kembali beristirahat." Sahutnya datar dan kembali melangkah meninggalkannya.

*****

Keesokan paginya.....

"Hoammm~, selamat pagi." Sapa gadis kecil sambil duduk di kursi samping ranjang pasien. "Kok nggak ada yang jawab. Loh, mbak Kahime?" Sambungnya heran, lalu terkejut karena Kahime tidak ada di tempatnya.

Sasha segera berlari ke tempat resepsionis rumah sakit dan meminjam telepon dari sana.

Di kamar Saki....

TRUTUTUTU TU~T TRUTUTUTU TU~T TI~T

"Halo, ini siapa?" tanya Saki dalam keadaan masih mengantuk mengangkat telepon.

[Kak! Ini aku Sasha. Ada keadaan darurat!] jawab Sasha gelisah.

"Ada apa? Kalau itu soal bonekamu aku gak urus." Cetusnya malas.

[Ini, ini soal mbak Kahime!!]

Mendengar nama Kahime, ia segera bangkit dari kasur.

"Kahime? Ada apa sama dia?" tanyanya cemas.

[Mbak Kahime, dia gak ada di ruangannya sama sekali. Perawat bilang, dia sudah pulang kemarin malam. Semalam, dia pulang dengan membawa resep dari Ayah juga. Dan sudah membayar biaya rumah sakit selama satu bulan dua minggu.]

"APA?! Kamu jangan bercanda dek!" bentaknya geram tidak percaya.

[Aku nggak bohong kak! Ngapain aku bohongin kakak?! Mbak Kahime beneran nggak ada disini, coba kakak cek rumahnya. Apa udah pulang?]

"Oke, kakak cek sebentar." Ujarnya berusaha menenangkan adiknya.

Kemudian, dia bergegas memakai pakaiannya dan keluar dari kamar, lalu turun ke lantai bawah.

"Saki, tumben pagi gini di hari libur udah bangun." Sapa ibunya yang baru saja selesai membuang sampah. "Nak, ada apa? Kenapa kamu kelihatan panik begini?" sambung ibunya khawatir melihat putranya yang tampak buru-buru.

Saki segera mengambil sepatu dari rak dan memakainya, lalu berlari ke rumah di sebelahnya—rumah Kahime. Sesampainya di depan pintu dia berhenti sejenak, menambil napas panjang dan menatap ke depan tanpa ragu. Ketika tangannya hendak mengetuk pintu, ia terhenti teringat pembicaraannya bersama Kahime semalam.

["Jangan sampai kau jatuh cinta ataupun suka padaku."

"Apa hanya itu yang ingin kau bicarakan denganku?" tanya Saki datar sambil melepas sentuhan tangannya dan berdiri beranjak dari tempatnya.

"Tidak, masih ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Jawabnya sembari memeras selimut yang membalutnya, dia menggertakkan giginya dan menggigit birbinya sendiri sampai berdarah.

Saki tercengang dengan sikapnya, tapi sama sekali tidak menghiraukannya.

"Aku harus pergi, Sasha yang akan menemanimu. Sebaiknya kamu kembali beristirahat." Ujar Saki segera beranjak dari sana ke pintu. Baru beberapa langkah ia berjalan, langkahnya dicegah olehnya.

"Kalau sampai itu benar-benar terjadi, kau harus melupakanku." Cetusnya dengan kesal.

"Aku mengerti, sudahlah kau harus kembali beristirahat." Sahutnya datar dan kembali melangkah meninggalkannya.]

Ia terbelalak karena de javu dan itu membuatnya terluka.

Sial! Kenapa terbayang yang semalam?!—cetusnya kesal dalam hati dan tangan kanannya memukul pintu dengan keras sampai tangannya berdarah.

"Saki." Sapa seseorang dari belakangnya dan ia menoleh, matanya membulat berbinar-binar. Ia lega karena gadis yang dia sukai masih berada di tempatnya berada. "Kamu ngapain disini?... tunggu dulu, perlihatkan tanganmu padaku." Sambung gadis itu gelisah, dia menghampiri Saki dan menarik tangan kanannya.

"Aku tidak apa-apa, luka kecil seperti ini tidak akan membunuhku." Sahutnya cengengesan sambil menggaruk pipi kirinya yang tidak gatal.

"Dasar ceroboh. Kalau dibiarkan bisa makin parah, kita harus obati lukamu. Kamu tunggu saja di halaman belakang, nanti aku akan menyusulmu." Tuturnya lembut sambil menepuk-nepuk bahu besar itu beberapa kali.

"Baiklah." Cetusnya melempar senyum seperti anak kecil.

"Huft--3"

Di halaman belakang....

"Kenapa tanganmu bisa terluka seperti itu?" tanya Kahime heran sembari duduk di sampingnya.

"Ummm... itu, aku sudah memukul pintu rumah depanmu." Jawabnya gugup sambil cengengesan.

"Oh, kukira kau sudah bertengkar dengan orang lain." Sahutnya ber-oh ria dengan datar, lalu memegang tangan kanan Saki dan membersihkan luka, setelah itu mengobatinya.

Saki termangu karena dia sama sekali tidak marah. Ia memandang wajahnya seperti anak kecil yang sangat ingin tahu.

"Kenapa memandangku seperti itu?" tanyanya heran dengan menatap tajam Saki penuh selidik. "Untuk apa aku marah karena kau sudah memukul pintu yang cuman 4 jutaan itu. Ya enggaklah." Sambungnya dengan nada mengejek.

"HAH?!? Yang bener kamu?! Pintu depan rumah seharga komputer, mana mungkin ada yang jual begituan?! Kamu udah ditipu, BEGOO!!!" celatuknya kesal dengan menekankan kata 'BEGO'. Meskipun sudah keceplosan mengatai Kahime 'BEGO', dan dia sama sekali tidak menggubrisnya.

Dia hanya menghela napas pendek dan melanjutkan pekerjaan mengobati tangannya. Ia pun terpekik, hanya diam memperhatikan dia sedang mengobati tangannya.

"Maaf, aku tidak bilang kalau mau pulang." Katanya lembut sambil memasang perban di tangan Saki. Ia tertegun, lalu melihat tangan kanannya yang selesai diperban. Sedangkan dia, duduk terdiam merasa bersalah pada penolongnya. Kemudian ia memegang tangan kanan Kahime, dia terkejut dan menoleh.

"Nggak apa-apa kok. Selama kamu udah baikan, itu udah cukup buatku." Balasnya mengecup jemari kanan Kahime. Dia tercekat dan mulai bingung.

"AH! Aku baru ingat!" celatuknya dengan menarik paksa tangannya dari Saki dan berdiri.

"Apa kau sudah mulai sibuk?" tanyanya heran.

"Tidak juga, aku ada urusan karena sudah satu bulan dua minggu ngak masuk sekolah. Selain itu, masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini." jawabnya dengan santai sembari membereskan kotak P3K-nya.

"Hmm, kalau begitu aku pulang dulu dan makasih udah mau ngobatin tanganku." Cetusnya beranjak dari teras halaman.

"Udah gak usah berlebihan, anggap saja imbalan karena sudah menolongku. Juga..." perkataannya terpotong, dia tampak sungkan dan menelan ludah.

"Juga?" tanya Saki mengulang perkataannya.

"Nanti, aku akan mampir kalau semuanya sudah selesai." Jawab Kahime sembari melempar sebuah remukan kertas padanya. Ia menangkapnya dan mengerjipkan mata berkali-kali, bingung karena diberi remukan kertas.

"Sebagai tetangga yang baik, aku akan berkunjung." Sambungnya menggantungkan senyum tipis pada Saki. Mendengar dia akan berkunjung ia sangat senang. Wajahnya berser-seri, kemudian segera pulang.

Sesaat kemudian, dia kembali dingin mengambil ponselnya dan mencari sebuah kontak. Dia mengetik di pencarian kontaknya dan mengetik 'pekerjaan'. Setelah menemukannya, dia menekan tombol panggilantersebut sambil menunggu terhubung.

*****

TUU~TT TUU~TT

Seorang pemuda berkamata, berambut biru mengangkat telepon tersebut. Ketika mengetahui panggilan itu, pemuda tersebut tersenyum dan mengangkatnya.

"Halo, tumben kau meneleponku. Ada apa?" tanya pemuda itu sambil berjalan ke sebuah taman bunga.

["Selamat pagi, dimana kau sekarang?"] tanya balik seorang gadis dari telepon.

"Aku sedang di rumahku, menikmati keindahan bunga di taman. Oh iya, ada pekerjaan kecil untukmu dan bisa kau kerjakan nanti malam seperti biasa." Jawabnya sembari memetik bunga lily di sampingnya.

["Pekerjaan kecil? Apa yang harus aku lakukan?"] tanya gadis itu heran.

"Ya, pekerjaan kecil. Ini sangatlah mudah." Sahutnya melempar bunga lily yang sudah dia petik tanpa sadar.

["Apa yang membuatmu yakin, kalau pekerjaan kali ini sangatlah mudah?"] tanya gadis itu penasaran.

"Tentu saja aku yakin, karena kau hanya perlu membawa senjata yang sudah kuberikan padamu. Kau tidak perlu menemuiku nanti malam, itu sangat berbahaya." Ujarnya cemas.

["Eh~, kau khawatir padaku ya?"] goda gadis itu dengan nada mengejek.

"Bagaimana bisa aku tidak mengkhawatirkan senjata spertimu, huh?" balasnya mendengus kesal. "Kamu harus hati-hati, berita tentangmu mulai tersebar di sini. Jika sampai mereka tahu, keluargamu bisa terancam." Sambungnya agak berbisik dengan serius.

DEGUP

Gadis itu tercekat dan menghela napas pendek. Mata lavendernya tampak tajam dan sendu. ["Hmm, aku mengerti. Terima kasih sudah memberitahuku. Maaf, aku harus mengurus sekolahku yang kosong. Sampai jumpa."] pamit gadis itu segera mengakhiri panggilannya.

*****

"Kamu harus hati-hati, berita tentangmu mulai tersebar di sini. Jika sampai mereka tahu, keluargamu bisa terancam."--- perkataan pemuda itu masih menggema di pikirannya. Dia segera menaiki anak tangga menuju kamarnya.

Untuk sementara saja, aku nggak apa-apa. Demi keluargaku, akan kulakukan semampuku. Meskipun harus kehilangan nyawa, setidaknya aku bisa menyelamatkan mereka dari ancaman ini.---pikirnya sembari duduk di meja belajar yang bersampingan dengan tempat tidurnya, lalu mengambil sebuah buku hitam bermotif bunga lily putih dan membukanya pada halamn yang sudah dibatasi oleh seutas tali merah.

Satu lembar foto berlaminating, masih tampak jernih dan warnanya belum luntur. Dia mengamati foto tersebut dengan mata berkaca-kaca dan tersenyum kecut.

Di foto tersebut terdapat sebuah keluarga kecil yang tampak bahagia dan harmonis. Sepasang suami istri, seorang anak perempuan yang ceria, dan dua anak laki-laki yang menggemaskan memeluk anak perempuan yang lebih tua dari dua anak laki-laki itu.

"Minna aitakatta." Ucapnya lirih dan mencium foto tersebut.

TRING~ TRING~ TRIRIRING~

"Huh?!" dia kaget dan segera membuka ponselnya dan mendapat panggilan dari nomor asing.

"Etto~.... ini siapa? Kuangkat sajalah." Gumamnya gugup dan mengangkat panggilan tersebut.

"Halo-...." sapaannya terpotong tiba-tiba.

["Halo~~!! Apa kau sudah menyelesaikan semua urusan dan pekerjaanmu~~?!?"] tanya seorang pemuda dengan lantang sampai memekakkan telinganya.

"GOBLOK~~!!!" bentaknya kesal dan langsung mengakhiri panggilan.

*****

"Lho? Kok, dimati'in sih. Sepertinya dia sedang kesal." gumam Saki di atas ranjang sambil membuka korden jendela kamarnya. Ia melihatnya tampak kesal sampai ngos-ngosan.

"Dia beneran kesal banget. Sepertinya harus menunggu waktu yang tepat." Gumamnya langsung kembali berbaring di kasur empuknya.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C7
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank 200+ Power Ranking
Stone 0 Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login

tip Paragraph comment

Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.

Also, you can always turn it off/on in Settings.

GOT IT