Download App
50% We're Different (By Hyull) / Chapter 1: Part 1
We're Different (By Hyull) We're Different (By Hyull) original

We're Different (By Hyull)

Author: Hyull

© WebNovel

Chapter 1: Part 1

     Munculnya kuncup-kuncup bunga pohon plum (ume). Dan setelah bunga pohon plum berakhir, munculah kuncup-kuncup bunga paling terkenal di Jepang, bunga Sakura. Musim yang sangat dinanti. Berakhirnya musim dingin dan tak bersahabat membuat musim ini ditunggu-tunggu oleh banyak orang.

     Gadis itu memanfaatkan keindahan pohon sakura tersebut dengan cara tidur dibawahnya. Bajunya yang kebesaran telah menutupi hampir seluruh tubuhnya. Rambutnya yang hanya sebahu tak kuasa menahan terpaan angin sehingga membuat rambutnya terlihat berantakan. Namun sayang, waktu bersantainya dirusak oleh sebuah benda, sebuah benda yang melayang dan mengenai tepat dikepalanya. Gadis itu, Im Yoona, meringis kesakitan.

   "Yak! Apa kau tidak mendengarku? Aku sudah memanggilmu berkali-kali, apa kau sengaja tidak menghiraukanku? Aku akan melaporkan ini pada eomma!" teriak seorang gadis yang berada tidak jauh darinya. Gadis cantik itu terlihat sedang mencari kaleng minuman yang lainnya, dan sekarang hendak melemparnya kembali. Namun sayang, botol itu tidak mengenai sasaran, karena Yoona berhasil menangkap botol tersebut.

   "Kenapa kau menggangguku! Apa kau tidak lihat aku sedang tidur?" bentaknya yang kembali melempar kaleng tersebut. Tak terduga olehnya, kaleng itu mengenai lengan gadis itu, yaitu adiknya, tepatnya yaitu saudara kembarnya. Hal tersebut membuat adiknya menangis, sang ibu yang mendengar tangisan itu pun langsung berlari menghampiri anaknya, anak kesayangannya.

   "Wae geurae?" tanya ibunya dengan panik.

   "Dia melukaiku, kaleng ini, dia melempar kaleng ini ke arahku." ujarnya sambil menangis. Yoona yang mendengar perkataan adiknya hanya bisa tersenyum pahit.

   "Apa yang telah kau lakukan! Kenapa kau selalu melukainya! Sini kau, aku akan menghukummu!" Menahan sakitnya pukulan bambu yang mengenai betisnya. Pukulan itu berulang kali ia rasakan, tak ada lagi rasa perih disana, pukulan ini sudah menjadi santapannya.

     Sang ibu yang lebih menyayangi Eunna, yaitu adiknya, tidak pernah bersikap baik terhadapnya. Mungkin dikarenakan perbedaan yang terdapat pada diri mereka. Walau mereka dilahirkan dalam waktu yang hampir bersamaan, Eunna terlahir dengan wajah yang cantik, sedangkan Yoona, kecantikannya memudar dikarenakan banyaknya pukulan yang ia dapatkan.

     Tubuhnya dipenuhi dengan berbagai macam bekas luka. Sang ibu yang sering memukulinya tidak pernah menyesali perbuatannya itu. Yoona sendiri tidak pernah mengetahui penyebab sang ibu membencinya, walau begitu ia masih beruntung memiliki seorang ayah yang jauh menyayanginya. Kini ia duduk di kursi kayu yang terlihat rapuh, mengelus kedua betisnya yang sudah memar.

   "Yoona-a.. kemarilah." panggil ayahnya dari kejauhan. Mendengar suara ayahnya ia kembali bersemangat dan langsung menghampiri pria tua itu.

   "Apa yang harus aku bantu?" katanya dengan lirih.

   "Ada apa dengan suaramu? Kau sakit? bantu aku bawa sayur ini." profesi ayahnya yang sebagai petani membuatnya banyak menghabiskan waktunya dikebun. Dan sebagai anak yang baik, sepulangnya bersekolah ia selalu menyempatkan diri untuk membantu ayahnya.

   Seperti yang ia lakukan saat ini, membawa sayuran yang baru saja dipetik. Sayuran itu akan dijual ke juragan sayur, dan hasilnya akan diberikan kepada ibunya. "tunggu dulu, ada darah dikakimu." kata ayahnya ketika menyadari adanya darah yang mengalir dikaki anaknya. "apa dia menghukummu lagi? Apa yang kau perbuat sehingga dia menghukummu?"

   "Semua itu diluar dugaanku, aku memang bersalah. Aku pergi dulu." berlari mendahului ayahnya. Melewati perkebunan milik penduduk didesa tersebut.

     Perbedaan tidak harus disesali. Itulah yang ada dipikiran Yoona. Status mereka yang sebagai anak kembar selalu menjadi bahan bicaraan orang lain, banyak yang tidak mempercayai status mereka, itu dikarenakan keadaan fisik mereka yang jauh berbeda. Eunna sangat rajin merawat tubuhnya, sedangkan Yoona tidak pernah sekalipun berpikiran untuk melakukan itu. Pekerjaan berat yang ia jalani membuatnya tidak memiliki waktu untuk melakukan hal-hal seperti itu.

     Tidak hanya fisik, sikap mereka juga berbeda. Yoona terkenal dengan keramahannya, memiliki banyak teman terutama di kalangan petani. Mungkin dikarenakan kebaikannya yang sering membantu mereka. Sedangkan Eunna, ia terkenal dengan kesombongannya. Hanya beberapa pria yang mau berteman dengannya dan juga diperbudak olehnya. Pria-pria tersebut akan melakukan apapun yang ia perintah demi mendapatkan cintanya.

   "Wah, sayurmu segar sekali. Yoona, kakimu berdarah, apa dia memukulmu lagi? Kenapa dia begitu kejam terhadapmu?" kata si juragan dengan bahasa jepang.

   "Aa, tidak.. ini hanya luka biasa." jawabnya mencoba menutupi.

   "Kau tidak bisa membohongiku. Yasudah, ini kuberikan untukmu lebih. Simpanlah uang ini, kau pasti akan membutuhkannya." melihat semangatnya membuat siapapun menyayanginya. Seperti juragan tersebut yang selalu memberinya bayaran lebih dari yang semestinya.

   "Khamsahamnida... oo? Maksudku, arigato gozaimasu!" hal yang sering ia lakukan. Salah menggunakan bahasa. Itu dikarenakan dulunya mereka pernah menetap di Seoul, Korea Selatan.

     Ayahnya yang memiliki ibu di jepang memilih meninggalkan Seoul dan menetap di jepang, di sebuah desa dimana ibunya berada. Namun tidak lama setelah itu, ibunya tiada. Tidak ada keinginan untuk kembali ke Seoul, mungkin dikarenakan kenyamanan yang sudah mereka dapatkan disana. Mereka pun menetap di jepang. Tepatnya disebuah desa yang terkenal akan hasil perkebunannya.

     Pulang kerumah dengan senyumnya yang merekah. Sepanjang perjalanannya kerumah, ia selalu menyapa atau bahkan membantu mengangkat barang bawaan para petani. Berbincang sejenak lalu kembali kerumahnya.

     Terlihat dua buah koper didepan pintu rumahnya. Ia merasa ada sesuatu yang telah terlewatkan. Tanpa menunggu ia langsung masuk kedalam rumah. Berantakan. Terlihat kedua orangtuanya sedang berbincang, raut wajah ayahnya terlihat menyedihkan. Sedangkan ibunya, wanita tua itu terus-terusan membentak suaminya dan mengatakan sesuatu yang membuat Yoona tercengang.

   "Aku sudah tidak tahan hidup denganmu!" kalimat itulah yang Yoona dengar. Setelah ibunya mengatakan semua yang ada dibenaknya, ia langsung menarik Eunna yang sedang duduk manis sambil menyaksikan apa yang terjadi dihadapannya. Yoona yang tidak ingin berpisah dengan adiknya pun menarik tangan Eunna dengan kuat.

   "Kau! Jangan pergi, kumohon jangan!" katanya dengan keras. Sejujurnya, ia lebih memilih dihukum setiap harinya dari pada harus berpisah dengan adiknya dan juga ibunya.

   "Lepaskan aku!" Eunna berusaha untuk melepaskan genggaman Yoona.

   "Eomma komuhon, jangan pergi. Apapun yang kau perintahkan, aku akan melakukan semua itu asalkan kalian tidak pergi. Kumohon.." ucapnya dengan suaranya yang serak.

   "Enyahlah!" Eunna menatap Yoona dengan tatapan yang begitu menakutkan, tatapan yang tidak pantas ditujukan kepada orang sebaik Yoona. Tatapan yang penuh kebencian itu membuat Yoona terdiam. "apa kau lupa, kita berbeda!" mematung dan tak kuasa menahan air mata yang mengalir perlahan. Kini ia hanya bisa mengamati kedua orang yang ia sayangi pergi meninggalkannya dan juga ayahnya. Tanpa mengetahui kemana tujuan dua wanita itu. Ternyata waktu sesingkat itu. Pikirnya.

     Malam ini mereka lewatkan begitu saja, tanpa menyentuh makanan apapun. Ayahnya yang sedari tadi tidak juga keluar dari kamarnya membuat Yoona semakin cemas akan kesehatannya. Berulang kali ia mencoba membujuk ayahnya untuk segera mengisi perutnya, tapi ucapannya tidak mendapatkan jawaban. Hening.

     Tak terasa pagi tiba lebih awal. Sepinya kehidupan yang mereka alami membuat hari-hari mereka semakin singkat. Ditambah penyakit paru-paru sang ayah yang bertambah parah, dan biaya menjadi kendalanya. Untuk menutupi kekurangan, ia menggantikan pekerjaan ayahnya dan meninggalkan sekolahnya. Lantas seperti itulah kehidupan mereka setelah kepergian dua orang itu.

--

     Satu tahun setelah kepergian adik dan ibunya. Musim semi kembali menghampiri harinya. Seperti biasa, disaat bunga sakura bermekaran, yang ia lakukan yaitu tidur dibawah pohon. Menikmati udara yang sejuk. Mengamati keindahan bunga sakura atau sekadar menghilangkan penat dengan mengumpulkan bunga sakura yang mulai berguguran dikarenakan terjangan air hujan dan hempasan angin.

     Musim semi adalah hari yang ceria--merupakan pribahasa jepang yaitu, 'Fuyu kitarinaba, haru tookaraji'. Banyak orang memulai lembar baru mereka di musim semi. Menjadi murid di sekolah baru, mahasiswa di universitas baru, pegawai di kantor yang baru, pindah ke rumah baru, dan menikah. Dan Yoona, di musim semi ini, ia juga melewatinya dengan hal yang baru. Hidup seorang diri.

     Sang ayah telah meninggalkannya tiga bulan yang lalu dikarenakan penyakit paru-parunya yang semakin mengganas. Tapi hebatnya, tak pernah sekalipun ia meneteskan air mata. Kepergian ayahnya bukanlah sesuatu yang harus ia tangisi, seperti yang terakhir kali ayahnya katakan.

"Apa yang selama ini kau alami tidaklah penting, yang terpenting adalah bagaimana cara kau menghadapinya." kalimat itu selalu melayang dipikirannya. Tidak hanya itu, masih ada satu hal lagi yang terus-terusan ia pikirkan. Sebelum ayahnya menghembuskan nafas terakhirnya, ayahnya memberikannya selembar kertas yang berisikan sebuah alamat.

   "Kenapa dia memberikanku alamat ini? Apa aku harus mencari tahu? Kyoto? Jauh sekali.." ucapnya di dalam sepi.

   "Akiramenna... (Jangan putus asa) Ayahmu pasti meninggalkan sesuatu untukmu. Aku sangat mengenal kepribadiannya, dia orang yang bertanggung jawab. Pergilah, cari alamat itu. Ganbatte! (Semangat)" ujar salah satu tetangganya yang merupakan teman dekat ayahnya. Mendengar perkataan tetangganya itu, keinginannya untuk mencari tahu pun meningkat.

  "Hai! Aku harus menghadapinya! Ganbatte! hwaiting!"

--

     'The Capital of City' atau Kyoto Perfecture. Salah satu kota di Jepang yang mempunyai reputasi sebagai kota terindah dengan berbagai macam bangunan tradisional kuno dan kuil tertua dijepang. Kota yang dikenal dengan sebutan kota seribu kuil ini menawarkan beragam akomodasi kepada para wisatawan yang datang kesana, termasuk rumah-rumah tradisional yang masih diabadikan bahkan disewakan untuk setiap wisatawan yang ingin merasakan gaya hidup di kota Kyoto.

     Saat ini Yoona berada di kawasan Gion. Gion merupakan distrik geisha di kota Kyoto. Disekitaran Gion terdapat banyak toko-toko, restoran dan Ochaya (teahouse) dengan bergaya jepang tradisional. Dan kini, Tepat dihadapan Yoona, terdapat sebuah Town House yang biasa disebut Machiya. Berbeda dengan wisatawan lainnya, kedatangannya kesana bukanlah untuk berlibur. Sesuai alamat yang ada ditangannya, jelas sekali bahwa Machiya tersebutlah tujuannya.

   "Kenapa appa menyuruhku kesini?" pikirnya. Yoona masih meragukan kebenaran yang telah ia dapatkan. Memperhatikan keadaan rumah yang ada dihadapannya. Rumah tradisional itu terlihat terawat, segala sesuatunya tersusun rapi.

   "Konnichiwa.." sapa seorang wanita tua. Wanita yang baru saja keluar dari rumah tersebut terlihat anggun dengan kostum ala geisha. Menyapanya ramah. Belum juga menerima jawaban dari Yoona, wanita itu langsung melontarkan kalimat yang berhasil membuat Yoona tenang. "kau, mungkinkah kau putrinya Yoshi?" Yoshi merupakan nama dari ayahnya. Dikarenakan masih shock, Yoona hanya mengangguk. "aa, namamu Yoona, bukan? Wah, kau cantik sekali. Masuklah." tak perlu berlama-lama, wanita berkostum geisha itu langsung menariknya masuk kedalam rumah.

     Memberikannya segelas Gyokuro (jenis teh hijau yang termahal).  

   "Minumlah, teh ini aku persiapkan untukmu. Jangan sungkan-sungkan, lakukan apapun yang kau mau. Jika kau memerlukan sesuatu, kau bisa mengatakannya padaku." jelasnya dan hendak pergi. Yoona yang belum mengerti dengan apa yang ia katakan pun tersentak.

   "Chotto matte! (Tunggu). Sebelumnya aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu. Aa.. tidak. Banyak yang ingin kutanyakan padamu." katanya sambil menggenggam erat lengan wanita itu.

   "Akira, itu namaku. Kau tidak perlu khawatir, aku bersahabat dengan Yoshi sejak kami duduk disekolah dasar, dan kau, aku sudah mengetahui semua tentang dirimu darinya. Sekarang aku sedang sibuk. Kau naiklah keatas. Kamar paling sudut, itu kamarmu. Pintunya tidak terkunci, istirahatlah. Setelah pekerjaanku selesai, aku akan segera menghampirimu." setelah mengatakan itu, ia menghilang tertutupi wisatawan yang melintas disana.

     Rumah ini masih sangat kental akan budaya kunonya seperti terlihat dari kelengkapan rumah yang kuno dan antik. Termasuk furnitur, dapur, lesehan sampai kamar mandi terbuka dilengkapi dengan bak-mandi semacam onsen yang unik. Namun rumah ini terlihat sepi, tak terlihat seorang pun disana. Hanya dirinya.

   "Bukankah kamar-kamar ini disewakan? Kenapa tidak ada satupun manusia disini?" ujarnya sambil berjalan menuju kamar yang Akira maksud. "wanita tadi, kenapa aku begitu tenang disaat berada disampingnya? Apa benar dia sahabat appa?" panjangnya lorong membuatnya kelelahan.

     Ransel yang bergantungan dipundaknya dan kotak yang ada di pelukannya sangat berat untuk dirinya bawa seorang diri.

   "Seharusnya kotak ini kusimpan saja, tapi aku tidak bisa berpisah dengan barang ini. Apa aku masih bisa bertemu mereka? Eunna.. apa kau sehat? Eomma, bagaimana denganmu? Kau baik-baik saja? Apa kalian merindukanku? Aku sangat merindukan kalian." pikirnya dalam diam. Sambil terus melangkahkan kakinya menuju kamar yang terletak disudut lorong.

   "Yatta! (Berhasil). Wuhu..!" terdengar suara seseorang dari pintu yang ada disamping Yoona. Suara itu berhasil membuat Yoona tersentak dan dengan reflek menjatuhkan kotaknya. Hal hasil semua yang ada didalam kotak tersebut berhamburan dilantai. Ia langsung cepat-cepat mengumpulkan semuanya.

   "Kau kenapa? Apa mau aku bantu?" seorang pria keluar dari pintu dan menegurnya. Tanpa ekspresi ia menawarkan bantuannya.

   "Iie. (Tidak)" jawab Yoona tanpa melihat asal suara tersebut.

   "Kau baru saja masuk?" tanya  pria itu lagi.

   "Hai!" masih sibuk mengumpulkan semua barangnya.

   "Kau cuma sendiri?"

   "Hai!"

   "Apa kau sudah terbiasa berbicara tanpa melihat lawan bicaramu?"

   "Hai!" terdiam. Ia bahkan tidak mengetahui secara jelas apa yang sedari tadi pria itu tanyakan. Tapi kali ini, pertanyaannya melekat ditelinganya. Kontras membuatnya langsung mencari asal pertanyaan itu.    "tampannya.." pikirnya. "jadi, sedari tadi pria ini yang bertanya padaku?" pikirnya lagi.

   "Hah, kau lucu sekali. Apa sedari tadi kau mendengarkan perkataanku?" Malu-malu Yoona menggelengkan kepalanya. "hahaha.. Baiklah, aku maafkan. Sini biar aku bantu." ia tersenyum kepadanya. Membantunya mengutip semua barang bawaannya. "kau masih memainkan ini?" tanya pria itu disaat mengambil mainannya yang berserakan.

   "Iie. Semua ini hanya sekadar kenangan bagiku." jelasnya.

   "Kau kehilangan seseorang? Otousan? Okasan?"

   "Semuanya." jawabnya singkat.

   "Hee?" pria itu tercengang mendengar jawabannya. "kau bercanda?"

   "Apa aku terlihat bercanda? Arigato, telah membantuku. Aku masuk kekamar dulu. Sumimasen.. (permisi)"

--

     Diatas meja yang berukuran sedang, terdapat irisan ikan laut mentah yang segar. Ada juga saus, kecap asin, dan juga wasabi. Wasabi merupakan sambal hijau pedas yang biasanya disajikan bersama sashimi. Yoona yang tidak pernah menyantap makanan seperti itu pun tak kuasa menahan cacingnya yang terus-terusan memintanya untuk segera melahap sashimi tersebut.

   "Makanlah.. Kau pasti belum pernah mencobanya. Mulai saat ini, aku akan memasak makanan yang enak untukmu." Akira terlihat manis dengan gaun yang ia kenakan. Sekilas ia terlihat seperti seorang ibu yang sedang memperhatikan anaknya. Yoona dapat merasakan itu, kehangatan yang terpancar dari matanya. "jangan hanya menatapku, makanlah makanan yang ada dihadapanmu."

   "Ha-hai." memegang sumpit dan sendok, siap menatap sashimi yang ada dihadapannya.

   "Itadakimasu! (selamat makan)" suara itu mengagetkannya. Tidak hanya suara itu, keberadaan seorang pria disampingnya yang tanpa diketahui olehnya membuatnya menjatuhkan sumpit dan juga sendoknya.

   "Sehun! Kau mengagetkannya!" tegur Akira. Pria yang ternyata bernama Sehun itu langsung mengutip sumpit dan sendok tersebut, lalu melangkah kedapur dan kembali dengan membawa sumpit dan sendok yang baru.

   "Ini. Gomen'nasai.. (Maaf)" tersenyum kepada Yoona dan juga Akira. Setelah itu sesuap sashimi sudah berada dimulutnya. Mengunyah sashimi dengan semangat. "kenapa melihatku? Makanlah." katanya sembari mengunyah sashiminya.

   "Jangan berbicara disaat mengunyah!" Akira kembali menegurnya.

   "Dia melihatku terus, bagaimana aku bisa makan." ujarnya yang masih asik mengunyah.

   "Itu dikarenakan suaramu yang terlalu berisik."

   "Iya.. Iya.. Aku akan diam." suasana menjadi tenang. Tanpa suara Sehun yang menurut Akira terlalu berisik. Tapi tidak dengan Yoona, sebenarnya yang membuatnya menatap pria itu dikarenakan sikapnya yang ceria.

     Pria itu berhasil membuat keadaan menjadi ramai. Seperti dirinya yang dulu. Yoona selalu menjalani hidupnya dengan ceria, namun untuk saat ini, ia masih belum percaya diri untuk menunjukkan itu. Lingkungan barunya masih terlalu asing baginya, ia membutuhkan sedikit waktu untuk semua itu.

--

     Gion adalah kawasan yang penuh pesona. Sungai yang mengalir disepanjang Gion Shirakawa terlihat menakjubkan. Ditambah barisan pohon bunga sakura berwarna pink yang menjuntai tinggi. Tak heran jika melihat wisatawan yang mengambil banyak foto disana. Tempat tinggal Yoona yang terletak tidak jauh dari sana membuatnya dapat dengan mudah bermain kesana dan menikmati keindahan bunga sakura.

   "Disaat seperti ini, bayangan appa selalu menghantuiku. Aku ingat sekali, tak pernah sekalipun dia mengganggu waktuku disaat bersantai seperti ini. Berbeda dengan kedua wanita itu. Tapi anehnya, walau mereka memperlakukanku dengan buruk, aku tidak pernah mempunyai dendam sedikitpun. Aku bahkan sangat merindukan mereka. Kalian, apa kalian tidak mencariku? Sekarang aku seorang diri. Karena itu, carilah aku." meratapi keadaannya yang menyedihkan.

     Hidup tanpa satupun keluarga disampingnya. Walau begitu, tak terlihat air mata disana, yang terlihat hanya senyumannya yang terkulum indah di paras cantiknya. Parasnya yang sesungguhnya cantik tak pernah disadari oleh banyak orang, hanya ayahnya dan pria itu. Pria yang sedang mengamatinya dari kejauhan. Berdiri sambil menggunakan sebuah payung guna mengindari tetesan hujan yang mulai turun.

   "Gadis itu, apa ada yang salah dengan sistem kepekaan tubuhnya? Hujan begini dia masih saja terlihat santai? Apa dia tidak kedinginan?" pikirnya sembari berjalan mendekati Yoona yang masih saja tersenyum memandangi bunga sakura yang mulai berguguran akibat terjangan air hujan. "pakai ini." ia menyodorkan sebuah sweater kepada Yoona. Seperti biasa, pria itu memang selalu berhasil membuatnya kaget. Yoona menatap pria itu keheranan.

   "Kenapa pria ini selalu mengagetkanku?" batinnya yang masih menatap pria itu.

   "Jangan menatapku seperti itu, pakai dulu sweater ini.. Apa kau tidak merasa kedinginan?" Sehun memilih diam sambil terus menatapnya, menunggu reaksi darinya. Yoona masih saja terdiam. "penalaranmu sungguh lambat!"

     Ia meletakkan payung ke aspal, lalu memakaikan sweater itu ke tubuh Yoona. Setelah itu meraih kembali payungnya barulah mengamati pohon tersebut, pohon yang telah membuat gadis yang ada disampingnya tersenyum.

   "Tidak ada apa-apa disana, lalu kau tersenyum karena apa?" ujarnya. Tak mendapatkan jawaban. Ketika dilihatnya, ternyata Yoona sudah tidak berada disampingnya. Gadis itu sudah berjalan menelusuri jalanan disana. "mau kemana gadis itu? Dia meninggalkanku begitu saja? Wah.. benar-benar!" kesal yang ia rasakan tidak membuatnya berhenti mengikuti Yoona.

     Dibawah rintikan hujan yang halus ia berjalan mengikuti langkah Yoona. Seakan masih penasaran akan gadis itu.

   "Kemana dia akan pergi?" pikirnya seiring langkahnya yang bergerak perlahan. Dilihatnya Yoona kembali tersenyum memandangi bunga sakura yang terlihat sedang berguguran. Tidak menghiraukan tetesan hujan yang semakin deras. Dinginnya udara pada saat itu seakan lenyap oleh kenangan indahnya. Kenangan yang dapat ia rasakan disaat memandang bunga sakura, seperti yang ia lakukan pada saat itu.

     Sehun. Pria itu masih saja mengikuti Yoona. Terbayangkan segala macam pemikirannya tentang gadis itu. Keningnya yang mengerut menunjukkan seberapa keras ia memikirkan itu. Suara hentakkan kaki mengagetkannya. Langkahnya pun terhenti, dirinya kaget bukan main setelah mendapatkan gadis yang sedari tadi dibenaknya berdiri dihadapannya dengan tatapan kesal. Bahkan payung hampir terlepas dari tangannya.

   "Kau mengikutiku?" ucap Yoona geram.

   "Iie."

   "Lalu kau sedang apa? Kau terus berjalan dibelakangku, jelas sekali bahwa kau sedang mengikutiku." tambahnya dan kembali menghentakkan kakinya.

   "Jangan menghentakkan kakimu begitu, air cipratannya mengenaiku!"

   "Aku tidak peduli!" ia membalikkan tubuhnya dan hendak kembali berjalan. Selangkah kemudian ia menghentikan langkahnya lalu menatap Sehun yang masih mematung dibelakangnya. "jangan mengikutiku!" anggukan Sehun tidak sempat ia lihat, itu karena dirinya sudah berlari dibawah derasnya hujan, melangkahkan kakinya sesuka hatinya.

     Disaat tubuhnya mulai merasa kedinginan, ia memilih menikmati teh disalah satu tea house yang terkenal didaerah gion. Mengobrol dengan beberapa pengunjung disana. Setelah itu ia kembali berjalan, mencari geisha yang biasanya berdiri ditepi jalan. Namun sayang, malam itu tak terlihat satupun geisha disana. Dengan perasaan kecewa ia berjalan pulang.

     Machiya terlihat ramai. Kumpulan pria dan wanita dengan koper memenuhi halaman machiya. Melihat itu membuatnya enggan untuk masuk kesana. Ia memilih duduk di salah satu tempat duduk yang berada tidak jauh dari sana. Mengamati mereka yang masih berkumpul didepan machiya.

   "Sepertinya mereka akan menginap di rumah Akira. Huh.. syukurlah keadaan sudah ramai. Kalau tidak, machiya itu akan terlihat seperti tempat syuting film horor saja. Aku sampai membayangkan kehadiran sadako disana." ujarnya. Matanya terus menelusuri setiap pria dan wanita yang ada disana, terlihat juga Akira yang sedang berbincang dengan salah satu dari mereka. Sehun juga terlihat disana. "Eunna?" seorang gadis dengan paras yang begitu serupa dengan Eunna. Adiknya yang selama ini ia rindukan. "apa mungkin itu Eunna?"

     Langkahnya bergerak perlahan mendekati gadis yang sedang mengobrol dengan Sehun. Semakin dekat dirinya semakin yakin dengan sosok itu.

   "Eunna.. Kaukah itu?" tanyanya menggunakan bahasa korea. Tepat disamping gadis itu, menatapnya dengan tatapan penuh kerinduan. Airmata mulai menggenangi sudut matanya. Gadis itu hanya diam. Tapi kini wajah gadis itu menjadi kaku.

   "Benarkah ini kau? Kau Eunna? Aku Yoona, apa kau tidak mengenalku?" suaranya mulai mengeras. Sehun yang tadinya asik mengobrol kini melihat kearahnya. Begitu juga dengan orang-orang yang ada disekitar mereka.

   "Kau siapa?" kata gadis itu menggunakan bahasa jepang.

   "Eunna-a.. Kau pasti Eunna, aku tidak mungkin salah."

   "Maaf, saya sedang sibuk." menepis tangan Yoona yang hendak menggenggam tangannya. Aneh, gadis itu malah menjauh dari sana.

   "Aku yakin itu kau." tak tertahankan lagi olehnya, tetesan airmata akhirnya terlihat disana, dipipinya. Dengan langkah gontai ia menaiki tangga dan masuk kedalam kamarnya. Membuka kembali kotak yang telah ia bawa dari desa. Semua mainan itu merupakan milik Eunna.

--

     Rasa kantuk yang ia hadapi tak juga membuatnya berkeinginan untuk menutup mata. Ia masih saja terduduk diatas kasur sambil memikirkan gadis itu.

   "Apa mungkin aku yang salah? Tapi, wajah mereka sangat mirip." ditengah sepinya malam, dapat terdengar dengan jelas suara cacing perutnya yang meminta untuk segera diberi makanan. "huh.. ia sabar, aku juga lapar." ucapnya kepada cacingnya. Perlahan ia bangkit dari duduknya lalu berjalan menuruni tangga. Melangkahkan kakinya kedapur guna mencari makanan. "bagaimana ini, tidak ada makanan apapun disini." mengelus perutnya yang mulai terasa perih. Terduduk disalah satu kursi makan.

   "Kau sedang apa?" Sehun baru saja keluar dari kamar mandi yang terdapat dibelakang dapur.

   "Aku lapar." jawabnya penuh kejujuran.

   "Hahaha.. Yappa (Sudah kuduga). Kau seharian bermain dibawah hujan, tadi kau tidak menyantap apapun?"

   "Hanya segelas teh." wajahnya terlihat menyedihkan. Sehun merasa geli melihatnya kelaparan ditengah malam seperti itu.

   "Kawaisou.. (kasihan sekali). Ayo ikutlah denganku." menarik tangan Yoona. Ia tahu betul kemana dirinya harus membawa gadis itu.

--

     Di area Shirakawa Minami-dori. Didepan salah satu tea house, terdapat sebuah kedai kecil yang menjual sukiyaki (masakan yang direbus dan terdiri dari daging sapi, tahu, bawang, sayur bok-choy, jamur dan yang lainnya). Dari kejauhan aroma rebusannya sudah sangat menggoda.

     Sehun yang masih menggenggam tangan Yoona terus melangkahkan kakinya menuju kedai tersebut. Ia hanya bisa tersenyum ketika melihat ekspresi Yoona. Gadis itu tidak henti-hentinya menatap kedai itu. Menghirup aroma yang sangat menggugah seleranya. Dan sekarang, diatas meja yang berukuran sedang, sudah tersedia seporsi sukiyaki berukuran besar dan beberapa botol sake (Minuman khas jepang yang mengandung alkohol). Ada juga nori dan juga aburage (Lembaran tahu goreng untuk bahan campuran sup). Begitu banyak makanan dihadapan Yoona.

   "Makanlah." kata Sehun sembari menikmati sake yang telah ia pesan.

   "Hai! Itadakimasu!" katanya tenang. Menyantap sukiyaki dengan semangat. Dicelupkannnya nori kedalam kuah sukiyaki, dengan cepat nori tersebut sudah berada didalam mulutnya. Aburage pun sudah tak terlihat lagi, yang tersisa hanya kuah sukiyaki yang tak mampu ia habiskan. "Hoh, sepertinya aku sudah kenyang." mengelus perutnya yang sudah terasa penuh. Dilihatnya minuman yang ada dihadapannya. Tanpa berpikir langsung ia sambar. "uhuk! Uhuk! Ini apa? iuh.. Ini sake?" sebelumnya Yoona tidak pernah merasakan sake. Ayahnya melarang ia untuk meminum minuman itu. Minuman yang sering disebut anggur beras tersebut memiliki aroma yang mirip dengan tape beras. Walaupun ia tidak pernah meminumnya, ia dapat dengan mudah mengetahuinya. Karena dulunya sang ibu sangat rajin membuatkan sake untuk ayahnya.

    Hanya seteguk yang ia minum, tapi reaksinya bagaikan meminum berliter sake. Kepalanya terasa pusing. Ia dilanda dehidrasi dan malah berkeinginan untuk kembali meminum sake itu. Syukurnya Sehun berhasil menahannya. Pria itu langsung membawa Yoona pergi dari sana.

     Memapah gadis itu, gadis yang sedang mengatakan banyak kata. Sepanjang perjalanan Yoona tidak henti-hentinya berbicara yang sepertinya ditujukan kepada ayahnya. Prilakunya berubah drastis, ia lebih banyak tertawa dan berkata asal. Walau begitu, Sehun tidak merasa terbebani olehnya.

     Melihat gadis itu tertawa membuatnya menemukan sisi lain dari Yoona. Sesuatu yang selama ini masih tertanam dalam jiwa gadis itu. Namun kini tak dapat ia pungkiri, jantungnya berdetak seperti suara genderang pesta pernikahan. Gadis itu memeluknya dengan erat. Kali ini Yoona menatap Sehun sembari berkata. "aku sayang appa.." ujar Yoona dalam bahasa korea.

   "Hee?" Sehun tidak memahami arti dari perkataan Yoona.

     Begitu banyak gadis yang menyatakan perasaan kepadanya, namun kali ini jauh berbeda. Kalimat yang entah apa artinya itu membuatnya mendadak gugup. Kini Yoona kembali memeluknya. Sambil terus memanggil ayahnya.

   "Aku harus segera belajar bahasa    Korea." Batinnya. Dapat ia rasakan gerakan tubuh Yoona yang sepertinya akan terjatuh, tidak ingin hal itu terjadi. Kini dialah yang memeluk gadis itu. "huh, hanya seteguk kenapa kau sampai seperti ini? Merepotkan sekali." mengangkat tubuh Yoona ke punggungnya. Beratnya tubuh gadis itu tidak membuatnya patah semangat. Langkahnya yang terasa berat semakin lihai bergerak, terus melangkah menuju machiya. "aneh sekali, kenapa aku begitu bersemangat?"

--

     Diatas tempat tidurnya, Yoona memperhatikan dinding kamarnya. Gelap tanpa cahaya. Walaupun rasa pusing dikepalanya belum juga hilang, tapi ia tidak kunjung tertidur. Dapat ia lihat pintu kamarnya yang tidak tertutup rapat. Sehun sengaja melakukan itu. Entah kenapa, pria itu menjadi cemas setelah melihat keadaan Yoona seperti itu.

     Tiba-tiba saja terlintas dipikiran Yoona tentang gadis itu, gadis yang diyakininya sebagai Eunna. Walaupun gadis itu membantahnya, ia tetap saja yakin bahwa gadis itu adalah adiknya.

Brukkk!

     Terdengar suara dari luar kamarnya, seperti suara sebuah barang yang terjatuh kelantai. Namun bukan itu yang membuat Yoona bangkit dari kasurnya, ia merasa melihat sosok itu disana.

     Dibalik pintu yang tidak tertutup rapat, seorang gadis sedang mengamatinya. Tetapi setelah terdengar suara tersebut, gadis itu seakan tersentak dan mencoba kabur dari sana. Langkah Yoona terlihat lemah, pusing yang ia rasakan membuatnya sulit untuk mengejar gadis itu. Ditambah lorong yang tidak memiliki penerangan dengan baik, yang terlihat hanya bayangannya bersama gadis itu.

     Dapat ia rasakan tarikan tubuhnya yang semakin kuat, tubuhnya sedang berusaha untuk menjatuhkan dirinya. Tetapi ia tetap saja mencoba berlari mengejar bayangan yang ada dihadapannya. Keringat yang meluncur dikeningnya seakan memberi pertanda bahwa itulah sisa tenaganya.

   "Eunna-a.." ucapnya sebelum dirinya tersungkur kelantai dan tak sadarkan diri.

--

     Pagi ini Yoona terlihat lemah. Wajahnya terlihat tak bersemangat. Duduk disudut tempat tidurnya, memandangi minuman yang ada dihadapannya. Tepat diatas meja, terdapat sebuah gelas yang berisikan air putih hangat. Melihat itu membuatnya tersenyum.

   "O'genki desu'ka? (Apakah kau sudah sehat?)" Sehun datang sambil membawakan semangkuk bubur. "oo? Sudah ada minuman? Aku baru saja hendak kembali untuk mengambilnya, apa Akira yang menaruhnya? Tapi itu tidak mungkin."

   "Kenapa tidak mungkin?" tanya Yoona.

   "Semalam dia tidak pulang. Bagaimana kepalamu? Masih pusing?" Sehun memberikan bubur itu kepada Yoona, tak lupa ia menyodorkan sebuah obat.

   "Aku tidak butuh obat. Air hangat sudah cukup."

   "Kenapa begitu? Itu kan hanya air hangat."

   "Disaat aku jatuh sakit, aku tidak pernah minum obat. Hanya dengan air hangat aku dapat segera sembuh." sesuap demi sesuap bubur telah ia lakukan. Sesudah menyantap bubur, ia merasa lebih segar dan langsung berkeinginan untuk berjalan-jalan di sekitaran Gion Shirakawa.

     Memandangi bunga sakura pasti akan sangat membantu akan penyembuhannya. Namun sayang, disaat ia tiba disana, tak terlihat lagi bunga sakura disana. Yang terlihat hanya ranting pohon tak berbalutkan bunga. Selama perjalanannya, Sehun terus mengikutinya. Pria itu bagaikan pengawal, siap siaga dalam hal apapun.

   "Pakailah ini, pagi ini udara sangat dingin." baju hangat selalu ia bawa, mengingat gadis yang ada disampingnya itu tidak pernah memperhatikan keadaan tubuhnya. Tidak ada yang tahu dari mana Sehun mengetahui itu, tapi yang pastinya, pria itu mengetahui banyak hal tentang Yoona.

   "Kenapa kau selalu memberiku pakaian hangat seperti ini?" tanya Yoona sembari memakainya.

"Karena kau tidak pernah    memakainya, perhatikanlah kesehatan tubuhmu."

   "Jangan begitu." jawab Yoona pelan.

   "Nande? (Kenapa)"

   "Kau mengingatkanku kepada appa. Aa, maksudku otousan."

   "Kau merindukannya?"

   "Tentu saja."

   "Gadis itu, kau mengenalnya? Gadis yang kau panggil dengan sebutan Eunna."

   "Eunna itu adikku, saudara kembarku. dan gadis itu, aku yakin kalau dia adalah adikku."

   "Tapi dia bukan Eunna, namanya Mari."

   "Kau mengenalnya?" tanya Yoona dengan tenang.

   "Dia mahasiswi baru di kampusku. dan dia memiliki keluarga yang kaya raya di Tokyo."

   "Keluarga?" Tampak kaget, tapi Yoona mencoba untuk tetap tenang. Mencoba memutar kembali segala ingatannya, kejadian yang terjadi pada malam itu. Gadis yang memperhatikannya dibalik pintu, minuman hangat yang ada diatas meja. "kau, apa tadi malam kau yang membawaku kekamar?"

   "Kalau bukan aku siapa lagi? Aku menggendongmu dari kedai sukiyaki, kau tidak tahu itu?"

   "Tidak, maksudku, disaat aku terjatuh didepan kamarku, apa kau yang.." ia berhenti berbicara. "astaga, air hangat. Jadi, itu benar kau Eunna?" batinnya. Baru ia sadari, hanya keluarganya yang mengetahui kebiasaannya meminum air hangat disaat sakit. Memikirkan itu membuatnya semakin yakin dengan pemikirannya. "katakan padaku, gadis itu, ia dikamar nomor berapa?!!"

     Semangatnya yang luar biasa membuatnya melupakan kesehatannya. Berlari sekuat mungkin, menghampiri kamar wanita yang diyakininya sebagai kembarannya. Menghiraukan sapaan Akira yang baru saja pulang. Suara langkah kakinya begitu berisik. Menghentak dengan keras ke lantai kayu. Dan kini, tepat dihadapannya.

     Sebuah pintu berdiri tegak, menjuntai melebihi tubuhnya. Anehnya, Yoona merasa takut untuk mengetuknya, ia takut akan kenyataan yang akan ia hadapi. Jika dan jika.

   "Apa yang harus aku lakukan?" tubuhnya mematung. Ketika itu mendadak pintu itu terbuka dan terlihat seorang gadis dari balik pintu. Gadis itu terlihat shock dan hendak menutup kembali pintunya. Dengan cepat Yoona memasukan kaki kanannya untuk menyanggal pintu tersebut. "jangkamanyo!" Ujarnya.

   "Apa yang sedang kau lakukan! Singkirkan kakimu!" bentak gadis itu.

   "Kau bahkan masih suka membentakku? Kau kira aku tidak bisa mengenalimu?"

   "Apa yang sedang kau bicarakan!"

   "Eunna, kau benar-benar tidak mengenaliku?"

   "Siapa yang kau bicarakan? Tolong jangan menggangguku dan singkirkan kakimu!" gadis itu masih mencoba menutup pintu.

   "Tadi malam, apa itu kau?" Yoona terlihat tenang walau hatinya benar-benar risau. Tidak ada jawaban.

   "Kenapa? Apa kau mengkhawatirkanku?"

   "Pergilah." wajahnya terlihat kaku. Perkataan Yoona membuat nafasnya seakan tersengal.

   "Air hangat itu, apa kau yang menaruhnya? Apa kau tidak tidur semalaman karena memikirkan keadaanku? Pagi tadi air itu masih terasa hangat, kau pasti baru menaruhnya."

   "Hentikan omong kosongmu!"

   "Aku yakin itu kau Eunna."

   "Kalau kau tidak segera menyingkirkan kakimu, aku akan membanting pintu ini!"

   "Apa kau bisa melakukannya? Jika kau melakukan itu, kau juga akan merasakan sakitnya, kau lupa? Kita itu kembar."

   "Ani, kita berbeda!" ucap gadis itu dengan keras.

     Yoona terdiam mendengarnya. Apa yang baru saja gadis itu katakan begitu menusuk hatinya. Namun anehnya, ia terlihat cukup tenang. Kalimat itu sudah cukup untuk memastikan siapa gadis yang ada dihadapannya. Ya, sepertinya gadis itu tidak sadar bahwa sedari tadi ia menggunakan bahasa korea.

     Yoona menarik kakinya, membiarkan gadis itu menutup pintunya. Air mata mengalir dengan bebas, matanya terus menatap pintu itu, membayangkan apa yang sedang dilakukan gadis itu disana.

   "Apa kau juga sedang menangis sepertiku? Apa yang kau tangisi? Apa aku terlalu menyusahkanmu? Aish, kau bodoh sekali, kau bahkan tidak menyadari itu, baru saja kita menggunakan bahasa korea. Haha." mencoba tertawa, namun gagal. "apa yang salah pada diriku? Kenapa kau tidak pernah menerimaku sebagai kembaranmu? Perbedaan pada diri kita, apa itu salahku? Kenapa harus aku yang menanggung semua ini? Apa aku tidak pantas mendapatkan kehangatan itu? Kehangatan antara adik dan kakak. Kenapa kau setega ini padaku? Apa kau tahu bagaimana cara aku hidup didesa itu?" mencoba menahan amarah pada dirinya. Segala perasaan berkecamuk pada dirinya. Air mata terus mengalir, tanpa mengetahui keberadaan seseorang disana. Disudut ruangan, Sehun memperhatikannya. Dan kini, dilihatnya Yoona berjalan memasuki kamarnya. Yang amat jelas, Yoona terlihat rapuh.

Continued..


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C1
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login