Namaku Motoyasu Kitamura.
Aku seorang mahasiswa, dan suatu hari aku mendapati diriku di transport ke dunia lain — dunia yang menyerupai sebuah game yang biasa kumainkan.
Aku dipanggil kesini untuk menjadi salah satu dari empat Pahlawan yang ditakdirkan untuk menyelamatkan dunia, dan aku adalah sang Pahlawan Tombak.
Kurasa aku punya keberuntungan yang cukup besar. Dunia ini sangat mirip dengan game yang kuketahui yang mana aku sudah punya pengetahuan yang kuperlukan untuk menyelamatkannya, dan dalam proses melakukannya, aku mendapati diriku dikelilingi oleh cewek-cewek cantik.
"Hei, kau yang sebelah sana! Kau nganggur? Mau kencan?"
Negeri vini memberiku sebuah tugas, dan untuk menyelesaikannya aku harus pergi ke sebuah tempat bernama Guild.
Kalau misalnya ini sebuah game, ini adalah sebuah tempat dimana para player menerima quest, atau berpartisipasi dalam berbagai event. Namun, didunia ini juga ada banyak petualang yang berbeda untuk menghasilkan uang.
"Aku nggak tau... aku penasaran..."
Mata cewek manis itu mengarah pada tombak besar yang ada dipundakku.
"Apa kau tau gimana mengunakan itu?"
Aku mengulurkannya dan mengubah bentuknya tepat didepan matanya. Itu adalah kekuatan yang diberikan pada kami para pahlawan!
Menunjukkan kekuatan itu harusnya sudah cukup untuk membuktikan siapa aku ini.
"OOOH! Kau benar-benar sang Pahlawan Tombak! Keren!"
Dia bersemangat dan mulai berteriak dengan nada tinggi ciri khasnya para cewek.
Heh, heh, ini akan jadi hari yang menyenangkan.
"Tuan Motoyasu, Guild punya sebuah permintaan!"
Seorang cewek manis dengan rambut merah mendorong cewek lain (cewek yang sedang kuajak bicara) menjauh dan memberiku sebuah gulungan.
"Maaf nona, tapi Tuan Motoyasu punya pekerjaan penting, jadi kau lebih baik pergi."
"Ta...Tapi!"
Cewek yang datang membawa gulungan itu bernama Myne.
Nama aslinya adalah Malty S. Melromarc. Dia sebenarnya, bersimpati dengan Pahlawan Perisai, tapi si Pahlawan Perisai menghianati dia, jadi dia ikut denganku.
Sumpah deh, pria itu adalah yang terburuk.
Dia dikirim ke dimensi lain, tapi yang dia pikirkan cuma yang ada dalam celananya.
"Apa? Kau mau masuk ke party Tuan Motoyasu juga?"
Yang baru bicara namanya Lesty. Kayaknya dia adalah teman sekolahnya Myne. Beberapa hari setelah Myne satu party denganku, dia memutuskan dia ingin bergabung dengan kami.
Wajahnya sedikit lebih sinis daripada Myne. Kalau Myne 9, dia mungkin 8.
"Perjalanan Tuan Motoyasu sangat sulit. Apa kau benar-benar berpikir kau bisa mengatasinya?"
Itu adalah Elena. Dia satu party denganku sekitar seminggu setelah semua ini dimulai. Dia ikut bersamaku sama seperti Myne dan Lesty.
Para anggota yang lain terus datang dan pergi dengan frekuensi yang relatif.
Aku ada disini sekitar tiga minggu, tapi slot party tampaknya selalu terisi dengan orang yang berbeda.
Tapi, memang kayak beginilah game-game online. Kalau aku membiarkannya menggangguku, aku nggak akan bisa kemana-mana.
Saat pertama aku kesini, aku meminta banyak orang untuk pergi bersamaku, tapi mereka selalu pergi nggak lama setelah kami satu tim. Aku nggak terlalu peduli kalau laki-laki yang pergi, tapi aku selalu berusaha ekstra baik pada para cewek, dan mereka pergi juga. Aku bahkan nggak bisa mengingat berapa banyak yang sudah pergi. Mereka selalu mengatakan bahwa mereka nggak merasa cocok dengan party. Itulah satu-satunya jawaban yang kudapatkan.
Terserahlah. Lagian aku nggak suka cewek yang pilih-pilih.
Pokoknya, sudah tiga minggu sejak kedatanganku. Aku harus merayakannya dengan para cewek yang setia denganku. Tentu saja, itulah yang akan kami lakukan.
"Kau mau ikut bersama kami?"
"Ya!"
"Bagus, ayo pergi kalau begitu. Siapa namamu?"
"R...Rino."
"Baiklah, Rino, ayo berangkat."
Aku meraih tangannya dan mengirim undangan party pada dia.
Dia menerima undangan tersebut dan menjadi bagian dari partyku.
"..."
Aku merasa aku melihat Myne melotot pada Rino, jadi aku berbalik untuk melihat, tapi ternyata tidak. Myne tersenyum ramah.
"Jadi apa pekerjaan selanjutnya, Myne?"
"Sebuah bencana kelaparan melanda sebuah desa di Baratdaya. Kita akan melindungi kereta yang mengantarkan makanan pada mereka."
Apa ini? Aku sangat yakin aku sudah mendengar pekerjaan itu sebelumnya.
Quest yang sama tersedia di Guild didalam game yang pernah kumainkan. Perintahnya sudah ditempatkan, dan level kami sesuai dengan tugas tersebut.
"Paham. Dimana dan kapan kita bertemu dengan keretanya?"
"Keretanya berangkat besok pagi, dari sini di gudang Guild."
"Oke. Kurasa itu artinya kita bebas saat ini. Ayo pergi leveling, dan kemudian memanjakan diri kita malam ini."
"Yayyyyyy!"
Cewek-cewek itu berteriak kegirangan.
Kurasa pasa cewek didunia ini menyukai saat-saat yang menyenangkan. Selain itu, aku ingin membuang unek-unek.
"Baiklah cewek-cewek, waktunya beraksi!"
"Yayyyyy!"
Kami leveling di sekitar sini di sebuah tempat yang kutemukan.
Kami mencari sebuah tempat dimana monster muncul secara berkelompok dan mulai berburu. Seekor monster segera muncul.
Itu adalah seekor monster mirip burung bernama Sky Blue Wing.
Kemampuan terbangnya rendah, dan monster itu bukanlah pelari cepat seperti Filolial. Tapi monster itu masih memberi exp poin yang lumayan.
Ini merupakan cara yang sangat efesien untuk naik level saat kau berlevel sekitar 30 dan 40.
"Kalian mundurlah."
"Oke! Semoga beruntung!"
"Huh?"
Rupanya Rino nggak terbiasa bertarung dalam partyku, jadi dia melihat sekeliling dengan bingung.
"Kalian para cewek cantik nggak cocok dengan pertarungan berdarah ini. Jadi tetap saja dibelakang dan semangati aku."
"Oh... Baik..."
Ya! Aku mengeluarkan Air Strike Javelin pada Sky Blue Wing, dan monster itu tumbang dengan mudah.
"Woooow! Kau sungguh keren, Motoyasu!"
Sorakan-sorakan itu benar-benar membuatku bersemangat.
"Tuan Motoyasu! Ada satu lagi!"
"Argh!"
"Satu lagi!"
"Argh!"
"Tuan Motoyasu, aku haus!"
"Argh!"
"Tuan Motoyasu, boleh aku makan camilan?"
"Argh!"
"Tuan Motoyasu, kita akan istirahat."
"Argh!"
Kami menghabiskan hari dengan cara itu, dan aku naik level. Aku mencapai level 43, dan Myne level 39. Lasty level 38, dan Elena level 35. Si cewek baru, Rino, masih level 20.
"Cukup untuk hari ini. Ayo kembali."
Aku sudah cukup berkeringat hari ini, jadi kami mengakhirinya sebelum matahari terbenam dan kembali ke kota.
"Hari yang melelahkan."
"Tentu. Kalau kau nggak menyorakiku, aku mungkin nggak bisa melaluinya."
".....?"
Rino tampak kebingungan lagi. Ada apa dengan dia?
Tentunya dia nggak mau berlubang dalam lumpur dan naik level? Nggak mungkin! Cewek-cewek nggak menyukai hal semacam itu.
"Kalau sudah gelap, mari bertemu lagi di penginapan."
"Oke. Kami akan ke apa sampai saat itu."
"Bagus. Selamat bersenang-senang."
"Sampai nanti."
"Um..."
Rino nggak kelihatan paham apa yang terjadi. Itu cuma suatu cara bagi para cewek untuk membuat ikatan.
Aku nggak segitu noraknya sampai-sampai melompat masuk dan memaksakan diriku kedalam pertemanan mereka.
Yah, itu adalah hari untuk latihan. Aku harus ke pasar dan membeli beberapa makanan.
Aku pergi ke pasar dan membeli makanan lalu ke dapur dan mulai memasak. Saat persiapannya sudah selesai, matahari sudah terbenam, dan malam datang.
"Oh, tuan Motoyasu, kami kembaliiii!"
Aku memberitahu pemilik penginapan untuk datang ke dapur saat mereka tiba.
"Um... Apa yang kau lakukan di dapur?"
"Oh, aku cuma mau memberi kejutan untuk... Hei, dimana Rino?"
"Dia bilang bahwa saat kita berburu hari ini, dia menyadari bahwa dia nggak cocok dengan party kita. Dia memutuskan untuk pergi, tapi dia bilang, 'terimakasih untuk semuanya, dan kuharap kita bertemu lagi'."
"Oh...."
Lagi? Kayaknya nggak ada yang cocok dengan partyku.
Apakah itu karena Myne dan temannya adalah bagian dari keluarga bangsawan? Kau akan berpikir mereka masih bisa akrab, namun... Selain itu, semua orang setara dipartyku! Aku mencintai mereka secara merata.
"Jadi apa yang akan kita lakukan malam ini?"
"Yah, hari ini tepat 3 minggu sejak pertama aku di panggil ke dunia ini. Aku ingin merayakan bersama kalian semua, jadi aku memutuskan untuk memasak untuk kita."
"Woooow!"
Mereka menatap makanan buatanku.
Itu adalah makanan yang dimasak dengan menggunakan cara diduniaku, jadi aku nggak yakin mereka akan menyukainya. Hanya untuk memastikan, aku mencicipinya.
Aku belum memasak lagi selama beberapa saat, dan aku nggak pernah menerima sedikitpun keluhan.
Selain itu, aku adalah seorang yang jenius didapur. Aku bisa membuat apapun, dan para cewek menyukainya.
"Aku nggak tau kau bisa masak! Kau bisa melakukan apapun tuan Motoyasu! Kau menakjubkan!"
"Ya, kau sungguh sangat berbakat. Seorang panlawan sejati!"
"Mereka bebat! Perutku jadi keroncongan cuma dengan melihatnya!"
"Aku tau. Silahkan!"
Semuanya mengatakan makanan itu lezat, dan mereka makan banyak.
Tapi kurasa aku membuatnya terlalu banyak karena kayaknya sisanya masih banyak.
"Selamat malam."
Setelah kami selesai makan malam, dan selesai mandi, kami ngobrol sebentar sebelum para cewek pergi ke kamar mereka masing-masing.
Tapi kehidupan malam hariku belum usai.
Kurasa para cewek sudah nggak punya tenaga yang cukup untuk pergi malam hari, tapi aku masih punya banyak tenaga. Aku memutuskan untuk ke bar.
Aku meninggalkan penginapan dan berjalan di gang yang gelap. Gang itu membawaku ke area kumuh dibelakang area keramaian.
"Ah... Aku... Tidak..."
Aku bisa mendengar orang sedang melakukan sesuatu. Suara mereka menggema didalam sebuah bangunan kecil. Mereka kayaknya sedang menikmati malam hari.
Nggak peduli dimana kau berada, selalu ada orang mencari pelampiasan untuk kelakuan cabul mereka. Oh yah. Itu nggak kayak aku akan menerobos kesana dan menyelamatkan gadis itu atau semacamnya. Gimanapun juga itu adalah pekerjaan gadis itu.
Tapi suara itu terdengar kayak Rino. Aku yakin itu cuma kebetulan. Rino adalah seorang petualang, dan dia kayaknya memiliki kepala yang bagus. Dia nggak akan berkerja di tempat kayak gitu.
"Ah! Oh! Seseorang! Tolong aku!"
Kurasa si pelanggan bertindak agak kasar. Aku kabayang akan hal itu seraya aku berjalan di kota. Akhirnya, aku menemukan bar yang kelihatan bagus.
"Haaaaaaah!"
"Uooooah!"
"Dia... Dia sangat kuat. Dan lihat tombak itu!"
"Apa mungkin... dia si Pahlawan Tombak?!"
"Aku nggak akan memperkenalkan diri pada sampah kayak kalian!"
Kami sedang berada ditengah sebuah quest untuk melindungi kereta beserta barang bawaannya.
Perjalanan kami aman-aman saja sampai kami dihadang oleh para bandit. Aku mengalahkan mereka.
"Kau luar biasa, tuan Motoyasu! Wow!"
"Itu benar! Kau mengalahkan mereka dengan mudah! Kurasa aku jatuh cinta padamu!"
"Berjuanglah Motoyasu!"
"Oh, ayolah..."
Aku mengikat para bandit itu dan menyerahkan mereka pada pos penjagaan di desa terdekat. Kurasa itu adalah desa Riyute.
"Hm?"
Kupikir aku melihat Naofumi menuju ke pegunungan bersama seorang gadis kecil yang kotor. Mungkin cuma bayanganku.
Gadis itu kelihatan seperti anak pinggiran. Dia nggak terlalu manis. Bodo amat dah, kembali ke pekerjaan.
Nggak lama setelah itu kami sampai di desa yang dilanda kelaparan.
"Oh, makanan! Terimakasih banyak, Pahlawan Tombak."
"Oh, ini bukan apa-apa. Pastikan kau membagikan makanan secara merata."
Warga desa berkerumun di sekitar kereta dan kargonya. Ada anak-anak yang kelaparan dan kurus diantara mereka. Memilukan sekali rasanya hanya dengan melihat mereka. Aku harus menyelesaikan questnya. Tapi sebelum itu...
"Manis! Mau minum teh?"
"Aku...."
Beneran deh, nggak peduli didunia mana kau berada, cewek-cewek sungguh manis. Aku sampai bosan dengan hal itu, jadi kami memutuskan untuk menginap di kota.
Besok paginya, aku bangun dan pergi kekamar dimana para cewek tidur.
"N... Muuu...."
Aku melihat wajah tidur Myne. Dia menggumamkan sesuatu yang aneh.
Aku memutuskan untuk mencoret-coret wajahnya. Dia begitu terkejut saat dia bangun!
"Pahlawan Tombak... Akan pergi kemana kau sekarang?"
Wajahku merah karena ditampar Myne, bayaran yang setimpal untuk grafitiku. Aku berbicara dengan kepala desa.
"Cuma sedikit... Kau tau, memerangi bencana kelapara."
"Tuan Motoyasu, akan kemana kita hari ini?"
"Ke dungeon terdekat. Ada sebuah item yang akan menolong desa."
"Oh, memang tau segalanya, kan, tuan Motoyasu?"
"Jangan membuatku malu. Ayo pergi."
Ya, ada sebuah dungeon didekat sini. Ada sesuatu disana, didalam reruntuhan, yang akan memperbaiki keadaan desa.
Sebenarnya, aku harus melakukan beberapa penelitian di perpustakaan istana. Tapi aku sudah mendapatkan informasi lain, dan itu harusnya bukanlah masalah besar.
Selain itu, semakin cepat kami memecahkan masalah kelaparan, semakin sedikit orang yang menderita.
Itulah tujuannya. Kami segera sampai di reruntuhan itu.
Dungeonnya punya tiga lantai. Mereka mengatakan kau bisa masuk sendirian dengan level 30. Itu adalah sebuah quest yang cukup mudah.
Sekarang, apa ini sebuah game, kau mungkin bisa menetapkan tingkat kesulitan dari "instant dungeon" untuk menyesuaikan levelmu sendiri. Ini adalah sebuah instant dungeon, dan dungeon itu dengan segera dibuat hanya untukmu dan partymu saja. Ada sebuah peta, dan kau nggak akan bertemu dengan player lain didalam. Kau bisa menaklukkannya hanya dengan partymu saja. Sejujurnya, di level kami saat ini, menyelesaikannya adalah hal yang mudah.
Dungeon itu terbuat dari batu, dan jaraknya sekitar satu jam berjalan kaki dari desa. Dungeon itu ada di tebing tanah merah yang dimakan cuaca... sama seperti didalam game itu.
Kami memasuki reruntuhan berlumut itu dan menyalakan lilin yang ada disana. Aku ingat bahwa dungeon syarat akan jebakan.
"Kita harusnya nggak banyak bertemu monster disini, dan kita harusnya baik-baik saja dengan level kita saat ini."
"Oke!"
Nah sekarang, mengenai jebakannya kurasa ada hubungannya dengan lilin yang kami nyalakan di perjalanan. Keberhasilan atau kegagalan kami akan bergantung pada hal itu.
Kalau kami gagal, kami akan memulai semuanya dari awal.
Perangkap itu seperti ini: sebelum lilinnya mati, kau harus mengalahkan golem yang ada di ujung dungeon.
Didalam game, batas waktunya asalah 30 menit. Agar berhasil, kau harus sampai di lantai paling bawah. Itu mungkin sudah diatur seperti sebuah labirin, tapi aku sudah mengetahui jalannya.
Ada beberapa versi yang berbeda, tapi aku sudah mengingat semuanya, jadi kami harusnya baik-baik aja. Atau begitulah yang kupikirkan. Kami terus berjalan kearah jalan buntu. Yah ini aneh. Didalam game sudah pasti ini adalah jalan yang benar.
Meski begitu, kami berhasil sampai diujung dungeon dengan waktu yang ditentukan. Ruangannya dipenuhi dengan udara dingin. Dindingnya terbuat dari batu namun berwarna biru dan transparan seolah terbuat dari es. Tempat ini terasa mistis dan nggak nyata.
"Wow...."
Myne dan yang lainnya takjub saat melihat sekeliling.
"Baiklah, harusnya ada sebuah peti harta, disebelah sana."
Aku menunjuk sebuah kotak besar yang penuh hiasan di ujung ruangan.
"Tapi apa yang ada didalamnya?"
"Ada sebuah benih ajaibMiracle Seed disana yang akan menyelamatkan penduduk desa. Tapi pertama-tama kita harus mengalahkan siapapun yang menjaganya."
"Apa maksudmu?"
"Saat kau mendekati peti itu, bebatuan akan jatuh dari atas dan berubah menjadi golem. Jangan kuatir. Dia nggak terlalu kuat. Kalau kalian mendukungku dengan sihir, kita akan baik-baik saja."
"Baik!"
"Kami akan menjadi pendukungmu!"
"Kau bisa melakukannya, tuan Motoyasu! Itu seperti kau mengetahui segalanya!"
"Aku tau, aku tau. Berhentilah membuatku malu."
Kami berjalan mendekati peti harta itu. Tentunya, aku berada didepan dan para cewek mengikuti dibelakang.
Dan sama seperti yang kuduga, golem jatuh dari atas.
"Groooowl..."
Golem batu itu mengangkat tangannya untuk menyerangku.
"Aku akan melindungimu! Wing Blow!"
"First Aqua Shot!"
"Kau bisa melakukannya!"
Dengan serangan sihir para cewek dan skillku, golem itu dengan cepat tumbang. Dari bebatuan yang runtuh, inti dari golem itu mengapung di udara.
"Haah!"
Sebelum golem itu bisa bangkit lagi, aku segera membelah inti itu menjadi dua.
"Ha! Rasakan ini!"
"Kau begitu kuat, tuan Motoyasu!"
"Ya! Kau betul-betul mengalahkan golem besar itu!"
"Kau menakjubkan!"
Mereka terus menyoraki aku.
"Oh yah, itu nggak seberapa... Bercanda! Itu betul-betul luar biasa! Hahahaha!"
Nah sekarang, waktunya membuka kotak itu dan mendapatkan benihnya. Atau begitulah yang kupikirkan. Tapi kemudian....
Ada sebuah gemuruh yang kuat dan secara tiba-tiba. Lantainya berguncang.
"Ap...Apa ini?!"
"Gempa bumi?!"
"Ini... Ini..."
Aku memiliki perasaan yang sangat buruk.
"Ini aneh. Kita nggak gagal..."
"Apa itu?!"
"Kalau kau membuat kekacauan, reruntuhannya akan runtuh. Tentu saja ada jalan keluar, tapi kau harus memulainya dari awal lagi m dan untuk keluar dari sini, ada sebuah pinalti dungeon."
Ada sebuah item yang bisa kami dapatkan cuma di dungeon itu, tapi itu nggak seperti kami betul-betul memerlukannya. Saatbaki memainkan versi beta dari MMORPG, ada sebuah equipment yang sangat kuat yang bisa kau dapatkan saeu salah satu monster yang muncul selama evenr pinalti ini. Tapi sekarang kamu harus fokus pada rencana dengan level lebih rendah.
"Apa?"
Aku nggak mengerti. Kami harusnya masih punya waktu lebih dari 10 menit yang tersisa.
"Apa yang membuatmu gagal?"
"Ingat lilin yang kita nyalakan saat pertama kita masuk? Kita harus mengalahkan golemnya sebelum lilin itu habis. Dan tentu saja, jika lilin itu habis dalam waktu yang ditentukan, kita diijinkan untuk kembali dan menyalakan kembali. Bergantung pada tingkat kesulitan yang kau tetapkan, kau bisa dipaksa melakukan hal itu karena pertarungan akan membutuhkan waktu lebih lama."
"Huh....?"
Myne terdengar kebingungan.
"Ada apa?"
"Yah kupikir kita nggak membutuhannya, jadi aku memadamkannya."
"Apaaaaaaaa?!"
Saat aku berteriak, lantainya terbelah, dan kami jatuh kedalam retakan tersebut.
"Woooooaaaahhhhhh!"
"Yaaaaaaaaahhhh"
Kami jatuh ke semacam seluncuran batu yang besar, dan kami semua meluncur dengan cepat.
"M...Myne!"
"Tuan Motoyasu!"
Aku mengulurkan tanganku, tapi sebelum kami bisa saling berpegangan, kami terpisah kearah yang berbeda dan dipisahkan oleh dinding.
"Dimana ini?"
Seluncurannya berakhir. Aku menyalakan obor dan menyelidiki sekelilingku.
Kalau ini seperti game, maka jalur kami akan bertemu....
Aku membayangkan petanya didalam kepalaku dan mulai berlari.
Harusnya di dungeon ini nggak ada monster yang nggak bisa ditangani oleh Myne dan yang lainnya. Meski begitu, aku merasa lebih baik kalau kami bersama-sama.
"Kau tau?"
Aku mendengar seseorang berbicara.
"Pria bodoh itu perlu diberi pelajaran. Kau tau?"
"Dia cuma melihat payudara dan pantat kita. Itu membuatku gelisah."
"Dia mencoret-coret wajahku saat aku tidur! Dia perlu menyadari posisinya."
"Tapi dia mudah dimanfaatkan karena dia bodoh. Dia mendapatkan uang, dan dia adalah seorang pahlawan, jadi kita bisa melakukan apapun yang kita mau."
"Aku tau!"
"Meski begitu, yang kemarin itu? Nggak mungkin!"
"Lidahku yang malang. Makanan mengerikan dari dunianya itu menjijikkan."
"Aku tau!"
"Gimana dengan gadis yang berusaha untuk masuk kedalam tim kita tempo hari? Dia agak sesuatu!"
"Oh, aku tau! Apa kau ingat gimana kita menjual dia di toko itu? Aku memberitahu dia kita akan ke spa, dan dia berjalan sambil diborgol! Itu sangat mudah! Sangat sulit untuk menahan tawa!"
Aku ingat sekarang. Tema dungeon ini adalah penghianatan.
Ada peluang 30% bertemu dengan monster bernama Voice Fighter, dan monster itu menyamar menjadi suata dari anggota partymu. Monster itu mengatakan hal-hal yang terlalu keji untuk dipercaya.
Tentu saja, didalam game kau nggak bisa mendengar suara yang sebenarnya, tapi karaktermu akan berakhir kebingungan.
Di telingaku, itu terdengar seperti Myne dan yang lainnya mengatakan hal-hal yang keji.
Aku berjalan ke sudut dan mendapati diriku berada di ruang terbuka yang besar.
Dan Myne serta yang lainnya ada disana. Mereka barusaja mengalahkan Voice Fighter yang berada dalam wujud seekor kelelawar.
"Oh! Tuan Motoyasu!"
"Apa kalian baik-baik saja? Tempat ini memiliki monster berbahaya yang memainkan pikiranmu."
"Kami baik-baik saja!"
Betul juga, mereka sudah menghabisi monster itu sebelum aku tiba. Baguslah.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Sudah aman. Ikuti aku."
Aku menunjuk lorong yang akan membawa kami keluar. Kami mengikuti lorong itu dan mendapati diri kami ada diluar.
Kami baru sebentar didalam dungeon, tapi matahari terasa sangat menyilaukan.
"Oke, kalian tetaplah di pintu masuk dan jagalah lilinnya. Aku akan ke lantai bawah dungeon."
"Oke, tuan Motoyasu."
"Ya! Kami akan melindungi lilinnya dengan nyawa kami!"
"Serahkan pada kami!"
"Oke!"
Aku berlari menyusuri dungeon dan mendapatkan Miracle Seed.
Aku juga membiarkan tombakku menyerap inti golem dan beberapa batu yang ada disana. Tombak itu membuka sebuah item drop dan nggak terlalu berguna.
Equip bonusnya adalah peningkatan statistik. Mungkin akan berguna nantinya.
Kami kembali ke desa dan memberikan Miracle Seed pada kepala desa.
"Apa ini?"
"Itu adalah Miracle Seed yang menghasilkan makanan dalam jumlah yang melimpah saat kau menanamnya. Itu akan menyelesaikan masalah kelaparan disini, jadi aku berasumsi kau mau membelinya."
"Ini... Benih ini?"
"Ya, benih itu tersembunyi didalam dungeon disekitar sini. Rawatlah baik-baik."
"Tapi reruntuhan itu harusnya telah disegel oleh alkemis jahat yang kuat."
"Apa?"
"Oh, bukan apa-apa. Kalau Pahlawan Tombak berkata begitu, itu pasti benar."
Dia tersenyum, dan menanam benih itu di ladang.
Seketika benih itu berkecambah, tumbuh, dan menghasilkan buah. Penduduk desa bersorak.
"Terimakasih banyak, Pahlawan Tombak!"
"Ha ha ha! Untuk itulah aku ada disini, untuk menyelamatkan dunia!"
Itu terasa benar-benar menyenangkan untuk membantu orang-orang.
"Oh hei. Setelah kalian berdua mencapai level 40 kita harus kembali ke Kastil Kota untuk mengubah kelas kalian."
Keempat Pahlawan nggak bisa mengubah kelas mereka, yang mana berbeda dengan game. Tapi Myne dan yang lainnya bisa mengubah kelas mereka.
Perubahan kelas adalah sebuah upacara yang harus kau jalani untuk meningkatkan batas levelmu dan untuk meningkatkan statistikmu.
Mereka mengadakan upacaranya di Dragon Hourglass.
Myne ahli dalam sihir, jadi misalnya ini adalah game l, dia mungkin akan menjadi seorang wizard. Jika demikian, maka aku akan membuat dia jadi seorang wizard berlevel tinggi.
Selain itu, aku tau bagaimana cara kerja dunia ini, jadi keputusanku tentunya akan menjadi yang terbaik pada akhirnya.
"Ya!"
"Wow! Sudah waktunya buat menaikkan kelas?!"
"Menakjubkan! Sekarang kami bisa melakukan lebih banyak hal untukmu! Kami ingin membantumu, tuan Motoyasu!"
"Tentu!"
Aku mengarahkan tinjuku ke udara dan merayakan kemenangan kami.
Lalu mengarahkan tanganku ke pantat Myne dan meremasnya.
"Apa itu?! Oh, tuan Motoyasu, kuharap kau bisa mengendalikan dirimu sendiri."
"Ahahaha!"
Dunia ini memang menyenangkan.
Aku sudah mengetahui segala yang perlu kuketahui dari game, dan semua cewek menyukai aku.
Selain itu, wanita keji yang membunuhku nggak ada disini. Itu sangat menyenangkan! Aku nggak bisa berhenti tertawa.
Gelombangnya akan datang enam hari lagi. Dan aku mulai menantikannya.
Begitulah cara kami menjalani keseharian kami. Bersenang-senang dan leveling. Kami segera kembali ke Kastil Kota.
Itu adalah tempat yang bagus bagi dia, sebuah dunia ideal yang penuh dengan kegembiraan. Dia bangga berada disana.Dalam Catatan Empat Senjata Suci dikatakan bahwa sang Pahlawan Tombak sangat memikirkan teman-temannya.Jika dia melanjutkan tanpa memahami perbedaan antara kebaikan dan kenaifan, nasib seperti apa yang akan dia temui?Pada saat itu, dia bukanlah pahlawan sejati. Dia tidak lebih dari seorang badut.Dia hanya mendengar apa yang dia inginkan, dan mengabaikan apa yang menyinggung dia. Kepercayaanny pada teman-temannya tidak berdasar dan mengarahkan dia pada bahaya yang besar nantinya.
Apa yang terjadi pada kota yang dia selamatkan? Jawabannya tidak tertulis sebagai bagian dari kisah dia.Kisah ini diwariskan oleh seorang petapa yang disampaikan seekor burung sakral.Tapi bahkan hal itu tidak cukup untuk menghentikan gelombang besar yang datang.Pada akhirnya, semuanya ditenggelamkan oleh gelombang-gelombang kehancuran....
***
"Aku berangkat!"
"Pastikan pulang saat makan siang!"
"Oke!"
Cuacanya sangat bagus hari ini!
Setelah berpamitan pada orangtuaku, aku menuju ke alun-alun kota. Keel dan yang lainnya sedang menungguku disana.
"Hei, kau betul-betul datang!"
"Tentu."
Keel menggoyangkan telinga kecilnya yang seperti anjing seraya dia menungguku. Anak-anak yang lain juga sudah ada disana.
"Mereka bilang kita nggak boleh ke laut hari ini karena Sadeena nggak ikut. Aku bilang nggak apa-apa, tapi tetap saja..."
"Tapi Keel, kau hampir tenggelam sebelumnya."
"Oh diam! Ayo main di padang rumput hari ini."
"Oke!"
Semua orang mengangguk setuju.
"Baiklah ayo pergi! Kau lebih baik jangan jauh-jauh dariku biar kau nggak tersesat!"
"Kau pikir kau bicara pada siapa? Aku seorang pelari cepat!"
Kami semua balapan ke padang rumput.
Tapi beneran, aku seorang pelari cepat. Aku mungkin secepat Keel, dan semua orang mengatakan bahwa dia adalah yang tercepat.
Setelah aku mulai berlari, semua orang tertinggal dibelakangku.
"Kau benar-benar cepat!"
"Kalau kau menggerakkan tanganmu sambil berpikir tentang lari lebih cepat, kau akan benar-benar meningkatkan kecepatanmu."
Aku mencoba memberitahu anak yang paling lambat caranya berlari cepat, dan saat kami berbicara tentang hal itu kami sampai di padang rumput.
Orangtuaku bilang bahwa kami harus berhati-hati karena disana ada monster, tapi kami nggak pernah menghadapi bahaya apapun.
"Hari ini apa yang akan lakukan?"
"Ah soal! Aku kalah. Aku bersumpah aku akan mengalahkanmu lain kali!" Keel mengarahkan tatapan tajam padaku.
Heh, heh. Ini akan jadi hari yang menyenangkan.
"Ayo main kucing-kucingan!"
"Kedengarannya bagus!"
"Yeah!"
Semuanya setuju dengan usulanku.
"Aku yakin! Aku akan menangkapmu"
"Kau nggak akan bisa menangkapku!"
Keel betul-betul benci kalah, tapi itu adalah salah satu hal terbaik dari dia.
"Ahahaha!"
"Sial! Tunggu!"
Kayaknya Keel betul-betul marah. Dia cuma mengejarku. Pada akhinya kami semua kelelahan, dan kami memutuskan untuk beristirahat.
"Apa yang akan kita lakukan berikutnya?"
"Semuanya masih bisa bermain, kan?"
"Aku nggak harus membantu dirumah, jadi aku masih bisa bermain."
Karena suatu alasan, ada saat-saat dimana setiap orang memiliki tugas yang harus dilakukan dirumah. Aku membantu ibuku memasak.
"Ayo main kucing-kucingan lagi!"
"Tapi aku capek sekali. Aku mau istirahat dulu."
Keel punya energi yang banyak sekali. Kurasa anak laki-laki memang kayak gitu.
"Terserahlah. Kalau begitu kami akan main tanpa kamu."
"Ya!"
Semua anak laki-laki berdiri dan bermain kucing-kucingan.
"Mereka memang energik."
"Aku tau!"
Anak perempuan disebelahku, Rifana, setuju denganku. Kami berdua duduk dan melihat anak laki-laki bermain.
"Hei, siapa yang kamu sukai?"
"Hmmm...."
Kami sebaya dimana kami mulai peduli tentang cinta dan hubungan.
Kami mulai berbicara tentang seseorang yang berkencan, dan siapa yang kami pikir akan menikah. Nggak lama setelah itu kami berbicara penuh kegembiraan.
"Mungkin seseorang seperti ayahku!"
"Itu curang! Laki-laki itu harus seumuran denganmu!"
"Hmm...."
Aku menoleh untuk melihat anak laki-laki yang sedang bermain.
Keel mungkin yang paling keren diantara mereka. Dia memiliki wajah tampan. Tapi aku tau aku nggak seharusnya mengatakan hal seperti ini, aku nggak pernah menyukai penampilan wajahku sendiri di cermin.
Kalau kami pergi ke kota terdekat ada banyak gadis manis disana, dan semakin tua usianya semakin jelas kecantikan mereka.
Dan rasku tidaklah terkenal atas kecantikan kami...
Tapi ayahku keren, dan dia tampan. Aku ingin seperti ayahku.
Semua orang mengatakan bahwa ibuku cantik. Dia benar-benar baik, dia pandai memasak...
Aku bertanya-tanya.... Apa aku akan jadi cantik saat aku tumbuh dewasa? Aku pernah menayakan itu pada ibuku sebelumnya.
Dia tersenyum dan mengangguk.
Jadi aku yakin aku akan cantik setelah aku dewasa.
Dilain waktu, aku menanyai dia seperti apa itu jatuh cinta pada laki-laki. Apakah berbeda dengan mencintai keluargamu?
Dia kelihatan bingung.
Kurasa dia mencintai pria secara berbeda dari cara dia mencintai aku.
"Kurasa ada perlunya bedaan cara untuk menyukai orang. Ibuku pernah bilang bahwa dia menyukai orang secara berbeda dari cara dia menyukai aku."
"Ya! Aku paham itu. Tapi aku ingin menikahi seseorang seperti... seseorang seperti sang Pahlawan Perisai Legendaris!"
Rifana adalah sahabatku dari desa. Dia lebih feminim daripada aku, dan dia suka berbicara tentang cinta dan laki-laki. Dia terutama suka berbicara tentang Catatan Empat Senjata Suci, karena disana dikatakan bahwa sang Pahlawan Perisai sangat baik pada para demi-human.
"Yah aku..."
Tapi kemudian....
Sampai titik itu, aku nggak pernah berpikir bahwa kehidupanku akan terdiri dari sesuatu yang lain selain hari-hari yang damai seterusnya. Aku benar-benar mempercayainya.
Ping!
Sebuah suara keras menggema di padang rumput.
Saat aku mulai bertanya-tanya apa itu, udara bergetar, dan angin kencang menerpa.
"Ah!"
"Kyaaah!"
"Apa ini?"
Kami semua terjatuh dan menunggu anginnya mereda. Sesaat setelah angin kencang itu mereda. Segalanya sangat tenang.
"Apa itu?!"
"Hei, lihat itu."
Keel menunjuk ke langit.
Aku menatap kearah yang dia tunjuk dan tertegun dalam keheningan.
Langitnya tampak terbelah. Membentuk retakan berwarna merah gelap, seperti cangkang kura-kura. Itu menakutkan.
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Orangtuaku bilang untuk kembali ke desa kalau terjadi sesuatu."
"Kalau kita nggak memeriksanya sekarang, kita mungkin nggak akan dapat kesempatan lagi."
"Jangan! Keel!"
Aku dan anak-anak yang lain menahan Keel, dan kami kembali ke desa bersama.
"Raphtalia!"
"Ayah!"
Ayahku kembali dari kota sebelah. Aku berlari kearah dia.
"Apa kau baik-baik saja? Aku begitu kuatir!"
"Aku baik-baik saja. Kau bilang harus kembali ke desa kalau sesuatu terjadi, jadi aku bergegas kembali kesini."
"Gadis pintar."
Dia mengusap kepalaku.
Hee hee hee.....
Ayahku mulai berbicara pada semua orang dewasa yang lain.
"Semuanya dengar. Aku baru saja pergi menjumpai penguasa daerah ini. Dia mengatakan bahwa retakan di langit itu mengarah ke tanah dan kawanan monster dalam jumlah besar keluar dari retakan itu."
"Apa itu artinya kita harus melawan mereka?"
"Kurasa begitu."
Ada lolongan mengerikan berasal dari retakan di langit.
Ekorku mulai mengibas secara agresif pada suara lolongan itu. Itu begitu menakutkan.
"Akankah kita baik-baik saja?"
"Hm...."
"H...Hei! Kita berada dalam masalah! Para monster sudah memasuki kota! Disana sangat kacau!"
Seorang pria tua dari desa berlari mendekat dan mengumumkan berita itu. Wajahnya pucat!
"Tapi.... Bagaimana? Bagaimana bisa mereka sampai disini secepat itu?!"
"Penguasa telah memerintahkan kita untuk evakuasi secepat mungkin! Dia sudah memanggil bantuan dari istana!"
"Apa yang terjadi pada penguasa?"
"Aku nggak tau, tapi dia meninggalkan instruksi agar semua orang segera evakuasi secepat mungkin!"
"Ugh...."
Para orang dewasa terlihat sangat marah saat mereka berbicara.
"Dan Sadeena sedang pergi, serta semua pemburu pergi melaut..."
"Ada badai besar dilaut juga. Siapa yang tau apakah mereka bisa kembali dengan selamat?"
Langitnya terlihat semakin dan semakin memburuk.
Lalu ada suara aneh yang keras. Semua orang menoleh untuk melihat apa itu.
"Apa... itu?!"
Disana ada sesuatu yang besar, seperti.... seperti seseorang yang terbuat dari tulang-tulang. Mahluk itu pincang dan menyeret kakinya saat dia berjalan kearah kami.
Mahluk itu membawa sesuatu seperti sebuah senjata ditangan tulangnya, dan senjata itu berkilauan dengan cahaya menakutkan.
Aku ketakutan. Aku sungguh sangat ketakutan.
Itu adalah seekor monster.
Cuma kata itu yang cocok, dan menggambarkannya secara sempurna.
"Uh... aaaaaaaahhhhhhh!"
Para orang dewasa berteriak dan mulai melarikan diri.
Para penduduk desa juga mulai berteriak.
"Aku memerintahkan sumber kekuatan. Cahaya! Bunuh mahluk yang ada dihadapanku! 'First Holy!"
Sebuah bola sihir memancarkan cahaya terbang dari tangan ayahku, dan monster tulang itu jatuh.
"Semuanya tolong tenang dan dengarkan aku. Kita harus segera evakuasi dari sini secepatnya. Meskipun suku kita memiliki kekuatan besar, kita nggak punya peluang bisa menahan jumlah sebanyak itu."
"Kau benar."
Ibuku melemparkan sebuah kapak pada seekor skeleton yang mengarah ke desa.
"Kami akan tetap disini dan mengulur waktu. Kalian..."
"Uh... baik."
"Y...Ya."
"Baiklah. Kalau kau yakin..."
Semua orang menahan nafas mereka sebentar sebelum memulai evakuasi.
Mereka memutuskan untuk pergi ke kota di pelabuhan. Bahkan dalam badai, mereka masih bisa kabur menggunakan perahu dan pergi ke laut.
"AAAHHHHH!"
Tapi itu nggak berjalan sesuai dengan yang direncanakan.
"Sialan para monster ini!"
Seekor binatang besar dengan tiga kepala berlari ke desa.
Orangtuaku bertarung dengan segala kemampuan mereka, tapi itu nggak cukup. Binatang itu sangat cepat, dia terus menghindari sihir milik ayah dan kapak milik ibu.
"Gaaaahhhh!"
Binatang itu dengan ganas mengayunkan cakarnya, dan ayahku beserta penduduk desa yang lain terlempar ke udara. Mereka berdua jatuh ke tanah, sendi-sendi mereka terkilir.
Huh? Apa?
Aku nggak bisa mempercayainya...
"Wh.... WHAAAAAAA!!"
"AAAHHHHHH!!"
Para penduduk desa mulai panik dan berlari secepat yang mereka bisa. Mereka mengabaikan teriakan ayahku dan berlari ke laut. Para penduduk desa yang panik mendorongku, dan aku jatuh ke tanah.
"Semuanya, tunggu sebentar!"
"Apa kau baik-baik saja?"
Ibuku ada disana, memelukku. Tapi wajahnya pucat.
Seekor anjing berkepala tiga mengejar para penduduk desa, menyerang mereka menggunakan taring dan cakarnya.
"Aku.... takut..."
Ibuku menyisir rambutku dengan jarinya.
"Nggak apa-apa. Kita akan baik-baik saja, jangan kuatir."
"Um.... Um...."
Kalau ibu bilang kami akan baik-baik saja... Itu benar... kan?
"Kita akan pergi."
Ayahku mulai berlari setelah para penduduk yang lain kabur. Aku dan ibuku mengikuti tepat dibelakangnya.
Para penduduk sampai di sebuah tebing dekat laut dan mulai melompat ke laut.
Anjing itu mengejar mereka. Dan kemudian, aku nggak bisa mempercayainya! Anjing itu melompat ke laut mengikuti mereka dan mulai memakan para penduduk yang berenang.
Lautnya menjadi merah.
"Wahhhhhhhhh!"
"Sialan, kita terlambat!"
Ayahku berteriak. Dia dan ibuku berlari untuk menyerang anjing itu dan melindungi para penduduk yang tersisa. Aku bersembunyi dibelakang mereka.
"Aaaaaaaah!"
Anjing besar berkepala tiga itu melompat keluar dari laut dan mengarahkan wajahnya pada kami. Dia melolong. Dia menyudutkan kami pada tebing, jadi kami nggak bisa lari kemana-mana.
"Grrr...."
Anjing berkepala tiga itu melompat kearah kami, menunjukkan cakarnya.
Ayahku berhasil menangkis cakar itu dengan sihir miliknya, tapi kemudian darah menyembur dari bahunya.
Huh?
"Sayang, apa kau baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja... Tapi...."
Kami naik ke tebing. Para penduduk desa yang lainnya sudah dilaut, tapi lebih dari setengah telah.... telah....
"Ahhh...."
Aku sungguh takut. Aku memeluk punggung ibuku.
Semua orang yang ada dibawah sedang berenang menyelamatkan nyawa mereka sendiri, tapi arusnya sangat kuat, dan mereka terus berenang kearah laut. Mereka akan tenggelam.
"Kalau kita nggak menghabiskan monster ini, dia akan mengejar penduduk desa ke laut dan membunuh mereka semua."
"Aku tau..."
"Aku minta maaf, sayang...."
"Aku sudah siap."
Mereka selesai berbicara dan mereka berdua berbalik padaku.
"Raphtalia."
"A...Apa?"
Ibiku mengelus punggungku, berusaha menenangkan aku.
"Jangan lupa untuk tersenyum. Baik-baiklah dengan orang lain."
"Dia benar. Saat kau senyum, semua orang tersenyum."
Ayah mengusap kepalaku.
"Raphtalia... Segalanya akan sulit bagimu. Kalau kamu nggak hati-hati, kamu mungkin akan mati."
"Tapi tetap saja... Tetap saja, Raphtalia, kami ingin kamu terus hidup. Jadi tolong, maafkan keegoisan kami."
Hatiku mulai berdetak kencang... Itu seperti... Itu seperti aku nggak akan pernah melihat mereka lagi.
"Tidaaaaak! Ibu! Ayah!"
Aku nggak mau meninggalkan mereka.
Ayahku mendorongku keras-keras, dan aku jatuh dari tebing, dan jatuh di laut.
Yang bisa kulihat cuma gelembung yang bermunculan disana-sini. Aku bergegas mengeluarkan kepalaku dari air.
Dan kemudian... aku melihatnya. Aku melihat tepat saat anjing berkepala tiga itu melompat kearah orangtuaku.
"TIDAAAAAAAAAAAAK!"
Arusnya membawaku, tapi aku berenang kembali.
Saat aku akhirnya mendapati diriku berada di pantai, langitnya sudah gelap.
Huff.... Huff...
Ada orang-orang yang selamat dari desa juga. Tapi beberapa penduduk yang tewas juga terbawa arus kesini.
Langitnya sudah kembali ke warna normalnya. Aku nggak tau apa yang terjadi.
Tapi aku mau bertemu orangtuaku lagi. Aku bergegas kembali ke tebing dimana aku meninggalkan mereka.
Ada tukang-tulang yang berserakan. Sepertinya bala bantuan telah tiba dari istana untuk mengusir para monster itu.
Saat aku tiba, aku menemukan segumpal daging, dan kerangka dari monster itu. Para knight dan petualang sedang mengangkutnya.
Aku bisa menyimpulan apa yang telah terjadi.
"Yah, hal bagusnya monster itu sudah babak belur...."
"Ya, jika tidak, kita mungkin nggak bisa mengalahkannya."
Para petualang dan knight bergurau saat mereka melihatku ada disana.
"Ada apa dengan bocah itu? Haruskah kita menangkap dia?"
"Tunggu. Kita berada di wilayah demi-human."
"Apa yang kau bicarakan? Penguasa area sudah tewas, tidakkah kau mendengarnya?"
"Oh ya?"
"Biarkan saja dia. Kau tau apa yang akan terjadi."
Mereka membuka jalan bagiku untuk lewat.
Lalu aku berjalan ke tepi tebing dan melihat keadaan orangtuaku. Aku mulai gemetar dan menangis.
"TIDAAAAAAAAAAK!"
Berapa lama waktu yang telah berlalu?
Saat aku memgetahui apa yang kulakukan, aku sudah selesai membuat makam untuk ayah dan ibuku.
"Jangan lupa untuk tersenyum. Baik-baiklah dengan orang lain."
"Dia benar. Saat kamu tersenyum, semua orang tersenyum."
"Benar...."
Mereka telah mengorbankan nyawa mereka untuk menyelamatkan para penduduk desa yang lain, dan mereka mempercayakan penduduk yang selamat padaku.
Akan aku tunjukkan pada mereka... Aku akan ramah pada semua orang! Aku nggak akan membiarkan kematian mereka sia-sia.... Kalau aku cuma diam disini dan menangis, ayah dan ibuku akan marah.
"Aku nggak akan nangis lagi. Aku pergi sekarang..."
Aku mulai berjalan kembali ke desa.
"Uhuuuuuuh...."
"Ayah.... Ibu...."
Para penduduk desa yang kabur ke laut telah membentuk kerumunan. Disana lebih banyak anak-anak daripada orang dewasa.
"Apa itu Raphtalia?!"
"Ya."
"Apa orangtuamu berhasil?"
Seorang pria tua yang merupakan tetangga kami menanyai aku. Dia kelihatan kuatir. Aku berusaha sekuat mungkin agar nggak menangis. Aku menggelengkan kepalaku.
"Oh... Itu...."
Dia nggak bisa berkata apa-apa. Dia pasti tau bahwa apapun yang dia katakan akan membuatku menangis.
"Nggak apa-apa. Ayah dan ibuku memberitahuku untuk menyemangati semua orang."
"Iya kah? Kau sungguh gadis yang kuat."
"Hee, hee."
Apa aku tertawa?
Nggak apa-apa. Kalau aku menangis, ayah dan ibuku akan marah.
"Semuanya!"
Aku berteriak untuk mendapatkan perhatian semua orang, dan semua mata menangis dari anak-anak tertuju padaku.
"Aku tau kalian semua sedih. Aku juga. Tapi akankah orangtua dan saudara-saudara serta teman-teman kita ingin kita tetap disini dan menangis?"
Semua orang tampak gelisah pada kata-kataku. Mereka menengadahkan wajah mereka keatas.
Aku mengarahkan tanganku pada hatiku dan melangkah maju.
"Untuk kalian semua yang berpikir orang-orang yang kita cintai tidak mati, aku tanya pada kalian bagaimana yang akan mereka rasakan jika mereka kembali ke desa kita dan mendapati kita semua seperti ini?"
Benar. Ini adalah desa milik semua orang. Kita nggak boleh membiarkannya begitu saja.
Ayahku, sang penguasa, selalu mengatakan bahwa desa adalah sebuah keluarga yang kita bangun bersama.
"Aku tau seberapa sedihnya kalian. Percayalah padaku, aku tau rasanya. Tapi itu semua merupakan alasan untuk bangkit kembali. Maksudku, kita adalah keluarga!"
Ya, ayah selalu bilang begitu. Dia bilang untuk memperlakukan orang-orang deaa seolah mereka adalah bagian dari keluarga kami.
Jadi aku akan melakukannya. Aku akan menjaga mereka semua, sama seperti yang ayah katakan.
"Benarkan?"
Aku melakukan semua yang aku bisa untuk tersenyum.
"Raphtalia...."
"Raphtalia, apa kau nggak sedih?"
"Kenapa kau tersenyum? Ayahmu tewas!"
Senyumku melemah pada kata-kata mereka.
Aku nggak akan menangis... Kalau aku mulai menangis, aku nggak akan bisa berhenti....
"Betul... Aku... nggak... sedih."
Aku nggak boleh menangis. Kalau aku mulai menangis, nggak seorangpun akan bisa menghiburku.
"Oh...."
"Lihatlah seberapa keras gadis ini berusaha! Ayolah semuanya. Kalau dia bisa melakukannya, kita bisa melakukannya!"
"Ya!"
"Kau benar, Raphtalia! Aku akan berjuang juga!"
Keel menangis, tapi dia berpaling padaku, penuh energi.
"Ya!"
Sang penguasa telah memberi desa kami sebuah bendera. Itu adalah sebuah hadiah, dan sebuah simbol kota. Lalu bendera itu berkibar dari atas dan jatuh ke depanku. Itu seperti bendera itu setuju denganku.
Itu dia. Itu adalah sebuah tanda, tanda bahwa ayah dan ibuku memperhatikan kami.
Aku mengambil bendera itu, dan para penduduk desa yang lain membawakan tiang besar untuk bendera itu. Kami mengikat bendera tersebut pada tiang itu.
"Itu adalah sebuah tanda dari langit! Ayo bekerja untuk membangun kembali desa kita!"
"Yeah!"
Dan dengan begitu semua orang memutuskan untuk berusaha dan bangkit kembali.
"TIDAAAAAAAAAAAAK!!!"
Aku langsung terbangun. Aku berada didalam tenda yang kami buat.
Rumahku terbakar sampai rata dengan tanah—sebagian besar dari kami. Jadi kami semua tidur bersama di sebuah tenda besar.
Kurasa aku mungkin bermomp.
"Hei, apa kau dengar suara itu?"
Seorang pria tua bergegas mendekat kearahku.
"Raphtalia, kau menjerit."
"Benarkah?"
Aku harus tersenyum. Kalau aku nggak tersenyum, itu akan membuat mereka kuatir.
"Aku baik-baik saja! Aku cuma bermimpi buruk."
"Baiklah... Yah... jangan terlalu memaksakan."
"Aku baik-baik saja! Terimakasih banyak."
Ayah. Ibu. Aku akan berjuang sebaik mungkin, aku janji....
Esok paginya kami memutuskan untuk meninggalkan rumah-rumah yang sudah hancur sepenuhnya sebagaimana adanya untuk saat ini dan berfokus pada memperbaiki rumah-rumah yang bisa segera kami tinggali.
Kami juga menugaskan beberapa orang untuk membuat makam untuk mayat-mayat yang terbawa sampai ke pantai.
Orang-orang dewasa semuanya berfokus pada membangun kembali kota, dan semua anak-anak melakukan apa yang mereka bisa untuk membantu.
Tapi kami semakin khawatir dengan persediaan makanan. Persediaannya mungkin nggak bisa bertahan.
Kami telah berdiskusi mengirim perahu nelayan untuk mendapatkan lebih banyak makanan, tapi lautnya sangat ganas, dan kami memutuskan untuk melakukannya nanti.
"Apa lagi sekarang...."
Cuma kami saja orang-orang yang selamat. Cuma seperempat dari desa yang selamat.
Meski begitu, salah satu dari tetua bilang bahwa kita telah berhasil sebaik yang dia harapkan.
"Seperti yang dikatakan Raphtalia. Kita semua masih hidup."
"Yeah!"
Apa yang aku nggak tau kemudian adalah bahwa semua upaya kami dihancurkan secara kejam.
"Woi! Apa yang kau lakukan?!"
Ada beberapa orang terlihat jahat berkeliaran di desa, dan mereka mengarahkan pedang mereka pada sekelompok orang dewasa.
"Woi!"
"Siapa kalian?!"
"Ahahaha! Kudengar bahwa masih ada beberapa demi-human yang masih hidup disini. Kurasa itu benar!"
"Ya, dan area ini nggak terlindungi. Kita mungkin bisa mendapatkan uang yang lumayan banyak!"
"Ya! Argh!"
Salah satu orang dewasa melangkah maju dan berteriak pada para penyerang.
"Penguasa daerah ini nggak akan pernah memaafkan perbuatan kalian ini! Masih ada para knight istana di area ini juga!"
Orang-orang yang kelihatan jahat itu semuanya tersenyum.
"Apa peduli kami kalau penguasa kalian yang sudah mati marah? Selain itu...."
Swipe! Itu terjadi lebih cepat daripada yang bisa kulihat. Itu terjadi sebelum aku bisa memahami apa yang sedang terjadi.
Perut pria tua itu terbelah. Salah satu pria jahat telah memotong dia dengan pedangnya.
"Apa..."
"Ahaha!"
"Bisakah kau mengatakannya? Kami adalah para knight istana!"
"Mereka belum mengetahuinya, iya kan, boss?"
"Tidak!"
"AHAHAHAHAHA!"
Pria tua itu jatuh ke kolam darah. Dia bahkan tidak mengejang.
Kolam darah itu melebar. Segera setelahnya mencapai kakiku.
"Ah! AHHHHHHHH!"
Tiba-tiba semua orang panik. Aku nggak tau apa yang harus dilakukan, jadi aku lari.
"Jangan biarkan mereka kabur! Bunuh yang tua! Kita masih bisa menjual wanita dan anak-anak, jadi biarkan mereka kabur!"
Aku nggak betul-betul bisa mengingat apa yang terjadi selanjutnya.
"Tidaaaaaaaaaaak!"
"Tenang! Rasakan ini!"
"Ugh...."
Seseorang menarik rambutku. Aku merasa seseorang memukulku, dan kemudian tidak ada lagi.
Seminggu berlalu. Aku terus mendapatkan mimpi tentang kematian orangtuaku.
Mereka menangkapku, dan menjualku ke perbudakan.
Pemilik pertamaku tampak baik. Dia cuma ingin aku bertindak sebagai seorang pelayan, tapi kemudian dia menjualku, dan aku masih nggak tau kenapa.
Pemilik yang selanjutnya...
"Rasakan ini!"
"Ugh..."
Kenapa? Kenapa mereka memperlakukan aku seperti ini?
Dia adalah seorang pria gemuk dan tampak seperti orang jahat. Dia mengurungku di ruang bawah tanah dari sebuah rumah besar, di sebuah kota yang nggak pernah kudengar. Ada hewan-hewan disana. Mereka sama seperti aku... Ugh... Sepertinya pria ini telah membeli Rifana sebelum dia membeli aku.
Setiap hati, setiap kali dia merasa menginginkannya, dia akan menggantungku di langit-langit menggunakan rantai dan memukulku dengan sebuah cambuk. Dia memukulku sampai aku berdarah. Lalu dia akan terus memukulku.
Setiap kali aku mencoba menghentikan dia, atau mencoba memprotes dia, kutukan budak di dadaku akan membakarku. Rasa sakit dari cambuk itu membuatku gila.
Tapi aku nggak akan menyerah.
Aku akan menahannya, untuk ayah dan ibuku, dan untuk semua orang yang ada didesa yang gagal.
Jadi aku nggak akan menyerah.
"Raphtalia.... Uhuk."
"Nggak apa-apa... Nggak apa-apa. Kita akan kembali ke desa."
Saat aku berkumpul lagi dengan Rifana, dia sudah sakit. Meski begitu, pria itu nggak pernah berhenti memukuli dia.
"Ya... Kita... Kita akan... berhasil..."
Apa yang diinginkan pria ini dari kami? Apa dia cuma berpikir itu memyenangkan untuk memukuli kami dengan cambuk?
"Ha! Kemapa kau masih memiliki mimpi dari sebuah kehidupan yang lebih baik?"
Slap! Dia memukulku lagi, dan aku merasa darah mengalir di punggungku.
Aku merasa air mata berkumpul karena rasa sakit itu.
"Ya! Menjeritlah karena kesakitan!"
"Ahhhh!"
Sampai titik itu, semuanya semakin memburuk. Dia mulai menyiksaku.
Aku akhirnya bebas, dan compang-camping, tapi aku merangkak ke lantai berlumpur untuk merawat Rifana.
Dia membawakan kami semangkuk sup yang bau. Rasanya kayak lumpur. Namun cuma itu satu-satunya makanan kami dalam sehari.
"Huff... Huff..."
Aku perlahan-lahan menyuapi Rifana. Itu setara dengan memperpanjang hidupnya selama satu hari lebih lama.
Nggak apa-apa. Kita harus berhasil kembali ke desa. Semua orang menunggu kami.
"Bertahanlah... Aku janji aku akan membantumu."
Ada banyak jeruji besi yang panjangnya hampir mencapai tanah. Aku menyadari kalau aku mengambil batu di dinding, dan menggali tanah di bawah jeruji itu, kami bisa kabur dengan merangkak lewat galian yang kubuat! Harusnya ini bisa berhasil.
"Terima kasih."
"Ya! Kita bisa bertemu dengan mereka lagi!"
Ibu dan ayahku pernah bilang, agar aku menjaga semua penduduk desa. Warga desa lain pun pasti akan memyelamatkan kami. Sadeena pasti akan mengumpulkan yang lainnya untuk datang menyelamatkan kami. Yang harus kami lakukan adalah terus bertahan hidup.
"Kau… ingat… di hari itu? Raph…ta…lia…"
Tubuh Rifana gemetar. Dia merentangkan tangannya ke arah langit-langit.
"Kau masih ingat… bendera… pemimpin… kita?"
"Ya… aku ingat!"
Aku menggenggam tangannya erat-erat. Aku masih ingat. Bendera itu yang memberi kami harapan. Aku rindu dengan hari-hari damai itu… hari dimana tidak ada kesedihan seperti ini.
Tapi hari-hari itu sekarang tinggal kenangan. Jadi, aku sendiri yang harus mengembalikannya. Semuanya bergantung padaku.
Uhuk! Uhuk!
Tiga hari telah berlalu. Aku bisa mendengar langkah kaki pria itu yang semakin mendekat.
"Raphtalia…*Uhuk*!"
Saat-saat mengerikan itu datang lagi. Sepertinya aku sudah ketularan demam Rifana. Tapi aku akan baik-baik saja.
Aku selipkan jerami basah ke dalam lubang yang sedang kugali, di bawah jeruji besi itu.
"Rifana?"
"…"
Rifana tidak menjawabku.
Pria itu membuka pintu kandang tempat Rifana berada, dan menyentuhnya.
"Sepertinya dia sudah mati. Ugh, menyusahkan saja."
Sambil bergumam sendiri, dia panggul tubuh Rifana di bahunya.
Tubuh Rifana terlihat lunglai, tatapan matanya pun kosong.
"Sial, dan sekarang hampir waktunya dia dikembalikan. Ini sama saja dengan melanggar kontrak!"
Lalu pria itu menendang tubuh Rifana, seperti menendang sebuah mainan.
Saat itu aku belum tau, sampai aku tau yang sebenarnya. Sepertinya, ada beberapa tingkatan sosial yang mencari kesenangan dari membeli budak demi-human, dan menyiksa mereka. Dan itulah kami, dua ekor budak yang dibeli, untuk menjadi sasaran perbuatan kejam pria itu.
"Heee?!"
Apa? Apa? Apa yang terjadi pada Rifana? Tidak… Tidak mungkin. Tanganku gemetar saat menyentuhnya.
Tubuhnya dingin, sangat dingin! Aku nggak ingin mempercayainya. Tidak… Rifana!
Aku begitu marah, sedih, takut,… dan putus asa. Ada banyak perasaan yang berkecamuk dalam diriku. Kenapa? Rifana tidak pernah berbuat salah pada pria itu!
"Ini pasti karena tiap malam kau tidak mau berhenti menjerit! Dia jadi kurang tidur! Ini semua SALAHMU!"
"Tidak… Ugh… *Hiks*... Rifana..."
Pria itu menggantungku dan mulai mencambukku. Dia bahkan mencambukku lebih lama dari biasanya.
Tapi mataku terus tertuju pada Rifana yang terbujur kaku di sana, hingga aku nggak lagi merasakan rasa sakit di tubuhku.
"Oh hei, kau selalu menggumamkan tentang suatu desa, kan?"
"…"
Aku nggak ingin menjawabnya. Semua penduduk desa sedang menungguku.
"Sepertinya, belum lama ini desa itu sudah dihancurkan. Lihat."
Dia mengulurkan sebuah bola kristal ke arahku.
Sebuah sorot cahaya muncul dari bola kristal tersebut, dan memproyeksikan sebuah desa di dinding yang disinarinya.
Itu lebih parah daripada desa yang aku tau. Desa itu hancur, dan nggak ada siapa-siapa disana. Benderanya terkoyak dan terbakar, dan tulang-belulang berserakan ditanah.
"Oh iya, aku dengar kau pernah bilang, kalau kau lah orang yang meyakinkan penduduk untuk membangun desamu kembali. Dan nyatanya, mereka kabur dan meninggalkan desamu itu."
"Ah…"
Pria itu menyeringai. Dia belum pernah melihatku menangis atau bahkan berkedip. Dan dia pasti menikmati keadaanku yang sekarang.
"Ugh…. Ugh… Wahhhh!"
Sesuatu didalam diriku tersentak.
Aku tidak sanggup lagi.
Ibu dan ayahku telah mempercayakan desa kami padaku, tapi tiada seorangpun yang tersisa di sana. Apa yang harus kulakukan?
Harapan dan tujuanku benar-benar sudah musnah.
"Menangislah! Menangislah lebih keras lagi!"
Rasa sakitnya begitu menyakitkan, seakan membuatku gila. Semua mimpi yang menghantuiku setiap malam, mulai merusak pikiranku. Mimpi tentang terakhir kalinya aku melihat kedua orangtuaku. Dan mimpi itu semakin memburuk.
Aku ini gadis nakal, karena tidak menyelamatkan desaku. Mereka berharap aku nggak bisa tersenyum lagi. Aku nggak punya hak untuk hidup. Mereka terus berbisik: Mati… Mati…
Mereka... benar. Aku nggak akan pernah tersenyum lagi. Aku nggak mau tersenyum lagi. Karena... Aku... Aku melanggar janjiku sendiri…
Akhirnya pria itu menjualku.
Mungkin memang begitu, atau waktu kontrak "permainan siksaannya" telah habis.
"Ini buruk. Bayaranmu ini lebih rendah, dari harga kontrak gadis budak ini. Sial."
"Ayolah, dia ini hampir mati. Karena kondisinya sudah seperti ini, aku harus mendapat potongan biaya, karena sudah mengembalikannya lebih awal."
"Aku mengerti. Ya."
Seorang pria gemuk yang mengenakan pakaian rapi telah membeliku. Dia orang yang berbeda, dengan pedagang budak yang terakhir mengurusku.
Akan seperti apa pemilikku yang berikutnya?
"Aku yakin, harusnya gadis ini diperlakukan sedikit lebih layak..."
Pedagang budak yang baru itu memberiku obat dan makanan.
Uhuk! Uhuk!
"Sepertinya gadis ini nggak akan bisa bertahan hidup lebih lama lagi."
Pedagang budak itu berkata begitu, sambil menyuruhku masuk ke sebuah kerangkeng. Jadi.... Aku tetap nggak ada harganya di hadapan siapapun.
Ayah dan ibuku telah meninggal, dan desaku telah lenyap. Seakan dunia ini ingin agar aku mati saja.
Ini menyakitkan. Aku ingin mati saja. Aku ingin mati secepat mungkin.
Aku nggak tau sudah berapa lama waktu berlalu. Aku terus memandangi jeruji kerangkengku. Banyak pembeli yang datang dan pergi.
Dan kemudian....
"Inilah budak termurah yang bisa kutawarkan padamu."
Si penjual budak membawa seorang pria muda ke kerangkengku.
"Yang sebelah kanan punya penyakit genetik. Dia seorang kelinci. Yang tengah punya serangan panik dan seorang rakun, dan yang terakhir persilangan manusia kadal. Mereka semua memiliki masalahnya sendiri-sendiri."
Pria muda itu bernegosiasi dengan si penjual budak. Pria muda itu melihatku sebentar.
Matanya tajam, cukup tajam untuk membunuh. Dia terlihat marah. Aku terkesiap.
Matanya melihat-lihat dua budak yang lain. Matanya menakutkan. Dia dipenuhi dengan kebencian, kebencian yang lebih dalam daripada pria yang mencambuki aku. Itu terlihat seperti dia membenci seluruh dunia.
Kalau dia membeliku, aku mungkin akan mati dalam satu atau dua hari....
"Gadis ini memiliki serangan panik pada malam hari. Dia cukup merepotkan..."
Apa mereka membicarakan tentang aku? Aku nggak tau.
Tapi pada akhirnya, pria muda itu membeliku.
Mantra untuk pendaftaran sebagai seorang budak selalu sakit. Aku membencinya. Tapi aku yakin ini akan jadi pemilikku yang terakhir. Karena aku.... aku sudah nggak punya banyak waktu yang tersisa. Beberapa saat setelah itu, si pemilik baru memberiku sebuah pisau dan membuatku membunuh seekor monster. Itu begitu menakutkan, tapi kalau aku nggak melakukannya, kutukan di dadaku akan terbakar.
Kami meninggalkan toko senjata, dan perutku mulai keroncongan.
Dia akan berteriak padaku! Aku menggelengkan kepalaku, aku ingin mengatakan pada dia kalau aki baik-baik saja. Aku baik-baik saja! Jadi jangan marah padaku! Jangan cambuk aku!
Haaaaa....
Dia cuma menghela nafas. Apa dia marah?
Dia cuma berjalan saja dan membawaku ke toko lain. Mereka menjual makanan disana. Kurasa aku pernah melihat toko itu dikota sebelumnya.
"Aku pesan makanan yang paling murah, dan dia makanan anak-anak kayak yang dimakan anak disebelah sana."
"Apa?!"
Aku menatap iri pada apa yang sedang dimakan anak lain. Lalu pemilik baruku membelikannya untukku? Aku nggak bisa mempercayai telingaku sendiri.
Siapapun diluar desaku harusnya jahat, kan?
"Ke...Kenapa?"
"Hm? Kau kelihatan ingin memakannya. Jadi apa masalahnya? Kau mau sesuatu yang lain?"
Aku menggeleng.
"Kenapa kau memberiku makan?"
Karena, sejak aku menjadi seorang budak, nggak ada yang memperlakukan aku seperti ini.
"Sudah kubilang. Kau kelihatan seperti kau mau makan itu."
"Tapi...."
"Makan saja. Aku perlu kau sehat. Kalau kau kurus kering kayak gitu, kau cuma akan mati."
Mati...? Aku akan mati. Aku pasti mati... Sama seperti Rifana. Aku akan mati karena penyakit yang sama.
"Pesanan datang."
Si pelayan menyajikan sebuah makanan yang besar dan meriah didepanku. Ada sebuah bendera diatasnya.
Apa yang aku irikan beberapa menit sebelumnya, sekarang aku punya sendiri. Aku ragu-ragu. Aku yakin saat aku mau memakannya, pria muda itu akan melemparnya ke lantai dan menertawai aku.
"Kau nggak mau makan?" Dia menatapku, kebingungan.
"Boleh kah?"
"Ya, cepatlah."
Ya. Dia mungkin akan menghancurkannya. Aku perlahan-lahan mengulurkan tanganku. Aku melihat sekilas pada dia.
Dia nggak kelihatan seperti dia akan melakukan sesuatu. Aku menyentuh makanannya. Aku menarik bendera kecil itu dan merasa seperti aku akan mencapai sesuatu. Aku merasa seperti, selama aku punya bendera itu, aku nggak memerlukan apapun dari siapapun. Aku merasa seperti aku kembali ke desaku. Aku merasa seperti itu adalah bendera yang sama persis, bendera kami yang telah hilang.
Aku memegang bendera itu erat-erat saat aku memakan makanannya. Makanannya begitu lezat hingga aku mendapati air mata mengalir di pipiku.
Kalau aku menangis, dia pasti akan berteriak padaku. Aku berusaha mengusap air mataku tanpa membiarkan dia tau.
"Apakah enak?"
"Ya!"
Tidak! Aku secara nggak sengaja menjawab dia, dan dia akan melihat bahwa aku senang. Dia pasti akan menghukumku.
"Baguslah."
Cuma itu yang dia katakan. Aku nggak mengerti.
Aku memegang benderanya erat-erat. Aku merasa dipenuhi dengan... sesuatu.
Dibandingkan dengan bendera yang diberikan penguasa kami, bendera itu sangat kecil dan sangat murah, tapi aku merasa seperti bendera itu berisikan segala sesuatu yang telah hilang dariku. Aku merasa seperti bendera itu ingin aku mengingat sesuatu yang penting.
Aku menghadap pria muda itu.
Dia terlihat marah seperti biasanya, tapi ada sesuatu yang berbeda. Apa itu? Wajah dan suaranya memang begitu menakutkan, tapi apa dia betul-betul orang yang baik?
Aku punya begitu banyak keraguan.
Banyak hal terjadi pada hari itu. Dia memberiku obat, dan mengajakku berjalan-jalan ke segala macam tempat.
Tapi ada satu perbedaan besar.
Mimpi yang menghantui aku berbeda.
"Raphtalia..."
Kedua orangtuaku berdiri diatas bukit.
"Ayah! Ibu!"
Aku berlari kearah mereka dengan segala kekuatanku.
Aku ingin berjumpa dengan mereka. Aku ingin bersama mereka.
Aku tau bahwa aku nggak seharusnya, tidak didepan mereka, tapi aku merasa air mata memenuhi mataku.
"Nggak apa-apa... Nggak apa-apa...."
"Jangan menangis. Jadilah kuat."
"Ugh... Tapi..."
Aku terus menangis, dan kedua orangtuaku hanya memelukku dan mengusap kepalaku.
"Kami selalu memperhatikan kami."
"Ya. Berbahagialah."
"Tapi...."
"Kamu akan baik-baik saja bersama pria itu..."
Lalu aku bangun.
Aku nggak bisa mempercayainya. Pemilik baruku sedang memelukku, dan mengusap kepalaku. Dia bukanlah orang yang jahat. Dia nggak akan mempermainkan aku, nggak akan menyakiti aku.
Dia kasar dan kikuk, tapi dia adalah orang yang baik.
Dia miskin, tapi dia masih memberiku obat, membelikan aku makanan, dan memprioritaskan equipmentku diatas dirinya sendiri.
Lalu, aku akhirnya mengetahui siapa dia sebenarnya.
Matanya gelap dan dipenuhi dengan kebencian serta kesedihan. Dia kasar, pemarah dan vulgar. Dia menakutkan. Tapi dia memahami rasa sakit, dan didalam hatinya dia baik orangnya. Ya, dia adalah orang yang aku dan Rifana rindukan... Sang Pahlawan Perisai.
Sang Pahlawan Perisai membelikan aku segala macam hal.
Aku telah kehilangan segalanya, tapi sekarang aku dikelilingi harta karun.
"Hee, hee...."
Sang Pahlawan memberiku sebuah tas, dan aku tersenyum saat aku memenuhinya dengan harta yang dia berikan padaku. Ada sebuah bola. Ada pisau patah. Ada banyak hal. Tapi yang barang yang paling penting adalah bendera itu.
Ada banyak hal yang nggak bisa kumasukkan kedalam tas. Aku merasa lebih sehat, lebih baik, dan lebih kuat.
"Ini, makanlah."
"Baik!"
Rifana, bisakah kamu mendengarku?
Aku berjuang bersama sang Pahlawan Perisai. Kamu nggak akan pernah mempercayainya.
Aku bermimpi malam itu juga... mimpi yang indah.
Rifana, dia berdiri tepat didepanku. Dia tersenyum. Aku memberitahu dia segala hal yang terjadi. Kami berbicara tentang segala macam hal.
"Rahptalia, tetaplah ceria!"
"Tentu."
"Beruntungnya kamu! Berjuang bersama sang Pahlawan Perisai!"
"Heh, heh... Iri?"
"Ahaha! Sedikit!"
Didalam mimpiku, dia terlihat bahagia dan damai. Dia tersenyum padaku.
"Aku terus memperhatikan kamu."
"Aku tau."
"Ayo kembali ke desa kita, dimana bendera itu berada."
"Ya! Sampai jumpa disana!"
Kuharap ayah dan ibuku melihatku dari manapun mereka berada. Aku ingin mereka melihatku membangun kembali semuanya.
Aku ingin kekuatan, aku ingin menjadi cukup kuat untuk menghadapi orang-orang jahat yang ingin melukai kami.
Dunia ini sangat kejam dan keras. Dunia ini dipenuhi dengan kegelapan dan kejahatan, tapi aku nggak akan menyerah. Aku nggak mau kalah pada siapapun juga.
Aku akan jadi lebih kuat, cukup kuat untuk melindungi orangtuaku, untuk melindungi Rifana. Dan ya, untuk melindungi Tuan Naofumi.
Aku bisa melakukannya. Dan aku bisa melanjutkannya.
***
Paragraph comment
Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.
Also, you can always turn it off/on in Settings.
GOT IT