Di sebuah ruangan di sisi barat, junior duduk di sebuah kursi kayu usang dengan ikatan di bagian kaki dan tangan. Dengan dua pria bertubuh tinggi besar dengan otot pengan yang mencuat keluar, junior dapat merasakan masalah yang saat ini ia alami.
Pria besar dengan otot dan wajah menyeramkan jelas bukan untuk bahan bercandaan atau kejutan untuk hari upang tahunnya. Situasi saat ini jelas tidak baik dan hanya menunggu waktu untuk melihat puncak dari masalahnya.
Tapi bukankah dia tidak bisa terus berdiam diri dan hanya menunggu waktu. Setidaknya ia masih memiliki mulut yang bisa mempengaruhi dua pria berotot namun tak berotak itu.
"paman. Bisakah kalian memberiku segelas air?" pinta junior.
Dia tidak benar-benar haus, hanya saja ia melihat gepas berbahan stainless dan juga lantai beton yang cukup untuk menimbulkan suara saat menjatuhkannya.
Ia tidak tahu akan ada yang mendengar atau tidak, tapi itu pebih bermakna daripada ia duduk berdiam diri tanpa usaha.
Salah satu pria memberinya segelas air minum dan meletakkannya di tangan yang tertangkup karena ikatan tali. Junior meminumnya dan dengan sengaja menjatuhkannya saat air tersebut sudah habis.
Berdasarkan teori pelajaran fisika yang ia ingat, suara akan terdengar lebih keras saat suatu benda yang di pukul itu kosong dan itulah yang terjadi.
Suara dentangan gepas yang beradu dengan lantai menimbulkan suara yang keras di tambah oleh gema dari ruangan tempat ia berada.
"hai bocah, apa yang kau lakukan?" ujar pria yang memberinya air dengan tatapan tidak ramah.
"ahh, paman ada ulat di gelas itu"
Tepat saat pria itu membungkuk untuk meraih gelas itu, junior menendang gelas itu hingga membentur tembok dan menimbulkan suara yang lebih nyaring dari sebelumnya.
"paman. Jangan memegangnya, itu kotor" kata junior dengan senyum licik yang tersimpan jauh di bibirnya.
Di luar, andre yang mendengar suara keributan itu menghampiri dengan mengendap-endap. Matanya tertuju pada punggung kecil yang terlalu familiar di matanya dan dua pria garang yang setia menjaganya. Dia sudah akan menerjang masuk namun melihat pria itu berbalik dengan sepucuk pistol di pinggangnya, ia mengulurkan niatnya.
Langkahnya mungkin cepat namun tetap akan kalah dengan kecepatan peluru. Karena itu, ia mengambil jalan memutar dan menimbulkan suara dengan melempar batu ke arah drum di luar ruangan untuk memancing salah satunya keluar.
Benar saja, salah satu pria itu keluar untuk memeriksa dan dengan cepat di sambut oleh pukulan pada bagian tengkuk hingga tak sadarkan diri. Dia sengaja menunggu pria yang lain keluar sendiri setelah temannya yang terkapar dan tak kembali ke dalam.
Dan...
Kedua pria itu tergeletak tak berdaya di lantai. Andre bisa saja membunuh keduanya, tapi itu akan jadi tindak kriminal yang akan membuatnya semakin lama berada di penjara setelah vonis pertamanya. Dia tidak akan bertindak gegabah lagi yang akan berakibat semakin jauh jarak antara ia dan meri.
"ayah" junior berteriak senang melihat andre masuk dengan santai dan senyum di wajahnya.
"halo jagoan. Apa kau bersenang-senang di sini?" tanya andre sambil melepas ikatan di kaki junior.
"mereka terlalu mudah. Aku pikir ayah akan bersenang-senang dengan dua paman tadi tapi ternyata. Huft, mengecewakan" ejek junior.
Dalam benaknya ia membayangkan pertarungan sengit antara ayahnya dan dua pria itu. Tapi itu mengecewakan melihat ayahnya menang tanpa setetes keringatpun.
Andre yang mendengar ocehan anaknya semakin mepebarkan senyumnya dan mengusap rambut junior dengan gemas.
"dasar kau anak nakal" goda andre.
Andre membawa junior keluar melalui jalan lain agar junior tidak melihat bahwa ibunya sedang berjuang di dalam. Akan merepotkan jika ia harus membelah pikirannya antara menjaga junior dan menyelamatkan meri.
Hal yang pertama adalah membawa junior keluar dan kembali untuk membawa meri keluar. Tepat saat ia akan melangkahi dua pria berotot yang terkapar itu, andre melihat ponsel pria itu menyala. Ia mengambilnya perlahan dan melihat nomor yang begitu familiar.
Tak ingin membuang waktu, ia mengambil ponsel itu dan segera keluar bersama dengan junior yang merasa senang dengan petualangan yang ia rasa cukup menegangkan.
Meri masih sibuk bernegosiasi dengan pria tua yang tak lain mertuanya saat ilham masuk dan mendapati keduanya sedang beradu argumen.
"ah lihat. Putraku sudah datang"
Meri dengan cepat memalingkan wajahnya dan memberi tatapan tajam ke arah putra yang begitu berbakti kepada ayahnya itu.
Ilham yang mendapat tatapan itu merasa sekelilingnya padang pasir dengan kaktus di bawah kakinya. Rasanya ia ingin segera menghilang dari pertempuran panas antara mertua dan menantu di hadapannya.
Dengan cepat meri memalingkan wajahnya dan kembali fokus kepada mertua yang tidak pernah ia akui. Ilham yang berada di sampingnya seakan hanya bayangan hitam dari si tua yang kini berusaha mencari masalah dengannya.
"aku tidak punya banyak waktu untuk berbasa basi. Berhubung putramu sudah kembali, kembalikan juga putraku" meri tak ingin membuang waktu meladeni si tua di depannya.
"bukankah dia cucuku. Jadi biarkan dia bersenang-senang bersama kakeknya"
"kakeknya sudah lama mati. Dia hanya mengenal satu kakek yaitu ayahku"
Apa yang di katakan meri adalah kebenaran. Sejak mencari tahu identitas andre, ia sudah tahu bahwa ayah andre sudah meninggal sejak ia masih di kandungan ibunya. Jadi, apa yang ia maksud kakek yang sudah mati adalah kakek junior yang sebenarnya dan bukan untuk mengolok-olok ayah ilham.
"meri..." ilham merasa tidak senang dengan apa yang di katakan meri.
Kalimatnya jelas tidak menuju kepada ayahnya tapi juga tidak menunjukkan keramahannya atas apa yang yang di ucapkan ayahnya. Mereka masih harus menghormati yang pebih tua terlepas dari betapa bencinya dia, pria tua itu masihlah mertuanya saat ini.
"apa? Kau juga mau memaksaku untuk mengakuinya sebagai ayah mertua?" potong meri dengan tatapan bengis.
Perasaannya saat ini benar-benar kacau antara melawan mertuanya atau menyalahkan suaminya. Mereka dua orang tapi jika ia melawan yang satu maka ia juga secara harus menyinggung yang lainnya.
Dia tidak pernah menduga bahwa rumah tangganya akan selalu menghadapi masalah pada orang tua suaminya. Dahulu ibu ilham dan sekarang ayah ilham.
Perasaannya menentang dan merasa menyesal memiliki mertua yang tidak bisa berdamai tapi ia juga tidak berharap menikahi pria yatim piatu. Setidaknya masalahnya dengan ibu mertuanya sudah teratasi dan tak di sangka bagai hujan di musim salju, ayah mertuanya hidup kembali bagai zombi.
Penampilan pria tua itu juga tidak kurang menyeramkan dari zombie. Mertuanya memang terlihat tampan tapi dengan lingkaran hitam di sekitar mata dan tubuh yang semakin renta membuatnya terlihat menyedihkan.
"tidak bisakah kita bicara seperti keluarga seharusnya?" ilham berusaha menengahi.
"hah, keluarga? Sejak kapan kita menjadi sebuah keluarga? Pertama, ayahmu menculik putraku dan membawanya jauh dari ibunya. Kedua, dia pria kaya namun mengajakku bertemu di sebuah gudang tua. Ketiga, mereka mengawalku dengan puluhan pria menyeramkan dan senjata di masing-masing tangan. Ke empat, dia bahkan tidak membiarkanku untuk melihat putraku. Apa itu semua bisa di nilai sebagai sambutan seorang keluarga kepada keluarga yabg sudah lama tidak bertemu? Jika benar maka aku terkesan" meri mengatakan setiap kalimat tanpa membiarkan seorangpun memotong perkataannya hingga ia selesai dengan senyum mengejek yang terlalu mendominasi di bibirnya.
Mendengar hal itu, ilham terdiam. Dia tidak cukup pintar untuk membela diri di depan hal yang sudah terbuka. Ia tidak akan bisa bersembunyi di sebatang lidi.
Meri kemudian melanjutkan dengan suara yang pebih tegas dan terdengar tak memberi ruang untuk diskusi. "kembalikan putraku. Aku tidak berharap anakmu akan membelaku setelah kebohongan yang dia sembunyikan selama ini. Aku juga tidak berharap dia meminta maaf, cukup kembali putraku dan aku akan menganggap masalah ini selesai"
"sayang, junior juga putraku jadi ayahku tidak akan mencelakainya. Mengenai kebohonganku, kita bisa membicarakan hal ini di rumah" ilham merangsek maju untuk meraih lengan meri namun terhempas begitu saja.
"aku sudah selesai dengan apa yang harus aku lihat dan dengar. Tidak ada lagi penjelasan lain, tidak di sini, di rumah atau di manapun. Aku harus mengerti bahwa kau putranya jadi terus mendukungnya dan aku seorang ibu yang akan terus melindungi putraku bahkan jika itu harus mengorbankan suamiku"
"wah wah. Aku baru kali ini melihat istri yang menekan suaminya. Jika itu aku, tidak akan ada tempat untuk perempuan sepertimu" ujar ayah ilham.
"apa kau yakin? Pak tua, apa melihat wajahku tidak mengingatkanmu pada seseorang? Kau mungkin lupa dengan banyaknya perempuan yang kau rusak dan kau terlantarkan bagai sampah. Bagiku, kau tidak lebih dari anjing jalanan yang hanya bisa merayu dan hidup dengan nafsu binatangmu" meri benar-benar tidak menyaring kalimatnya lagi.
Emosinya memuncak karena semua yang ptia yua itu lakukan di masa lalunya membuatnya muak dan lebih muak lagi saat mendengar pria tua itu bahkan berusaha berceramah tentang bagaimana ia harus bersikap sebagai seorang istri.
"meri, apa kata-katamu tidak keterlaluan?" ilham masih berusaha mengingatkan istrinya.
Mendengar ilham yang lagi-lagi membela ayahnya, meri menatapnya tajam dan semakin kehilangan kendali kata-katanya.
"keterlaluan? Membohongiku selama delapan tahun, menyembunyikan ayahmu dan membebaskan dari hukuman mati yang seharusnya ia dapat. Apa itu tidak keterlaluan?"
"dia masih ayahku. Meri, tuhan mengampuni siapa saja yang ingin bertobat, apa salahnya jika ayahku ingin berubah menjadi lebih baik"
"apa yang saat ini terjadi adalah cerminan dari taubat yang kau katakan? Ilham, dia menculik putraku. Apa kau buta hingga tidak bisa menilai bahwa ayahmu belum berubah?" meri semakin kesal dengan kebutaan suaminya melihat betap bejat ayahnya.
Dulu, sumpah serapah ia lontarkan kepada andre yang juga membela ayahnya yang tak lain adalah orang yang sama yang juga di bela ilham. Tapi itu masih lebih baik karena andre membelanya hanya untuk mengelabuhi si tua itu. Tapi apa yang dilakukan ilham murni karena pengabdian seorang anak kepada ayahnya.
"junior adalah cucunya, dia hanya ingin bertemu. Dia tidak akan mencelakai cucunya sendiri"
Meri merasa kehabisan kata-kata melihat betapa gigih suaminya membela mertuanya.
"aku sudah selesai di sini. Kembalikan putraku selarang dan kita selesai"
Kalimat terakhir yang terlontar dari bibir merah muda itu seakan menyambar sudut hati paling sensitif ilham.
Ini pertama kalinya mereka beradu pendapat dan juga yang terparah hingga kalimat kita selesai bisa terucap dengan begitu mudah.
Tepat saat itu, ponsel meri berdering menandakan sebuah pesan masuk. Dengan acuh meri membukanya dan melihat pesan dari andre yang mengatakan bahwa junior sudah aman dan dia harus segera keluar sebelum polisi setempat tiba.
Andre sudah mengawasi perdebatan di ruangan itu sejak lama dan tidak merasa menguntungkan untuk terjun ke tengah mereka jadi ia hanya mengirim pesan kepada meri.
Setelah memastikan meri membacanya dan menerima balasan dengan hanya kata "oke" dia keluar dan menunggu di mobil bersama dengan junior.
"ayah, apa kita masih menunggu seseorang?" tanya junior.