Download App

Chapter 3: Dara Manis

Macet masih menghambat perjalanan pulang. Rumah Daun Merah berada di bagian selatan pusat kota ini. Di wilayah dengan kontur perbukitan. Orang-orang menyebut kota atas.

Kota ini memang aneh. Di satu wilayah namun memiliki perbedaan yang mencolok. Di bagian utara merupakan dataran rendah hasil sedimentasi tanah selama ratusan tahun yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Soal suhu jangan ditanya. Namun begitu, kota bawah menjadi pusat aktivitas warga kota. Di sini pusat-pusat pemerintahan, perdagangan, perkantoran, perbelanjaan dan wisata berada. Dan, kawasan kota tua juga berada di sini.

Sedangkan di selatan, bukit-bukit membentuk perbukitan yang memikat dengan berbagai vegetasi yang cukup terjaga. Daerah ini tentunya menjadi hunian yang nyaman karena suhu yang relatif sejuk. Soal jalan yang menanjak, menurun, dan menikung jangan ditanya.

Di antara kemacetan ini, Daun Merah meraih ponselnya. Sebuah nomor dihubungi. Nada sambung terdengar.

"Kamu di rumah?" tanya Daun Merah segera setelah nada sambung berhenti.

"Iya, halo. Assalamu'alaikum, iya, saya di rumah," jawab seseorang di seberang sana.

"Jangan kemana-mana, ya. Waalaikumsalam." Balas Daun Merah dan langsung menutup panggilan.

Terdengar beberapa kali klakson dari belakang dan depan saat Daun Merah memutar haluan kendaraannya. Tak peduli dengan suara itu, dia pun melajukan mobilnya ke arah yang sering dia kunjungi saat mood buruk melandanya. Sebuah rumah yang tak jauh dari sini, di perkampungan padat penduduk bernama Taman Borneo.

Daun Merah memasuki gang sempit yang nyaris selebar city car yang dikendarainya. Lalu, menghentikan kendaraannya di area taman. Iya, di taman. Taman ini tak seperti taman. Lebih tepatnya disebut sebagai lahan serba guna. Rumput hijau telah lama berganti dengan plester campuran pasir dan semen. Bunga-bunga telah berubah menjadi tiang-tiang jemuran. Juga terdapat tiang net dan lampu yang terlihat berkarat. Ada beberapa gerobak terdiam di bagian selatan taman. Beberapa pohon mangga tumbuh rindang di beberapa bagian pinggir taman. Rumah-rumah penduduk berkeliling menghadap taman ini. Setidaknya terdapat sekitar tiga puluhan rumah. Rata-rata luasnya 6x9 m.

Daun Merah langsung menuju rumah bercat putih tanpa pagar. Meneriakkan salam, menyelinap ke dalam rumah yang sedikit terbuka pintunya, dan langsung menaruh bokongnya di salah satu kursi. Balasan salam terdengar dari dalam kamar.

"Duh, tuan putri datang. Ada angin apa ini?" Sambut seorang perempuan yang keluar dari kamar. Dia menyalami Daun Merah lalu ikut duduk di sebelahnya.

"Tuan putri apaan. Putri apes? Ini ada angin ribut yang membawaku ke sini," timpal Daun Merah.

Perempuan itu melepas mukena sambil menanti kelanjutan cerita Daun Merah.

"Hari ini apes banget. JJS--jalan-jalan sore--di kota tua malah keserempet. Ini siku-ku lecet. Untung ada yang nolong. Pas saya ajak salaman, eh, malah pergi begitu saja. Sok kecakepan. Aku kan hanya ingin mengucapkan terima kasih. Mau pulang malah macet. Mampir ke sini deh. Ngomong-ngomong ibu-bapakmu kemana, Dara Manis?"

Perempuan yang dipanggil Dara Manis itu bangkit sambil menjawab, "Biasa, jualan." Dia menuju kamar, meletakkan mukena, dan mencari kotak P3K. "Tadinya, sih, saya diminta ikut jualan tapi saya katakan ada tuan putri yang akan ke sini." Dara Manis memeriksa siku Daun Merah. Membersihkan luka menggunakan kapas yang dibasahi Revalon. Lalu, memberi beberapa tetes betadin dan menutup goresan luka itu menggunakan plester.

"Aduh, pelan-pelan, perih," keluh Daun Merah.

"Mer, kamu sudah sholat magrib?" Tanya Dara Manis.

"Belum."

"Mukena saya letakkan di atas meja belajar," Dara Manis memberi tahu.

"Iya, nanti," timpal Daun Merah.

Dara Manis tahu betul arti "nanti" yang diucapkan oleh sahabatnya itu. Artinya, entah kapan atau suatu saat nanti di masa depan yang tak pasti kapan.

Tak hanya soal arti kata nanti, bahkan hampir semua perangai yang dimiliki Daun Merah diketahui oleh Dara Manis. Maklum keduanya telah menjalin pertemanan sejak kecil. Bahkan Dara Manis lahir beberapa hari saja lebih dulu dari Daun Merah.

Karena Daun Merah lahir dan menjalani masa kecilnya di sini. Tumbuh dan melewati hari-hari suka-duka bersama Dara Manis. Rumah yang dulu ditempati Daun Merah hanya dipisahkan beberapa rumah dari rumah ini.

Dan, kepada Dara Manislah, Daun Merah menyimpan sejarah kelam hidupnya.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login