Download App
2.64% Penguasa Misteri / Chapter 24: Orang Kikir

Chapter 24: Orang Kikir

Editor: Atlas Studios

Langit di luar sedikit demi sedikit berubah menjadi berwarna keemasan saat Klein menatap mata Melissa. Dia kehilangan kata-katanya untuk beberapa saat; tidak ada kalimat yang sudah dipersiapkannya dapat digunakan di situasi ini.

Dia terbatuk ringan sebanyak dua kali saat dia dengan cepat memutar otaknya.

"Melissa, ini bukan suatu pemborosan. Di masa depan, kolega-kolegaku, serta kolega Benson mungkin akan berkunjung. Apakah kita akan menjamu mereka di tempat seperti ini? Ketika Benson dan aku menikah dan memiliki istri, apakah kita masih akan tidur di ranjang susun? "

"Belum ada dari kalian yang punya tunangan, bukan? Kita bisa menunggunya sebentar lagi dan menabung lebih banyak lagi untuk sementara," jawab Melissa dengan cara yang singkat dan logis.

"Tidak, Melissa. Ini adalah aturan sosial." Klein kebingungan dan hanya bisa mengandalkan prinsip-prinsip yang tinggi. "Karena aku menghasilkan tiga pound seminggu, maka aku seharusnya terlihat seperti menghasilkan tiga pound seminggu."

Sejujurnya, setelah menyewa apartemen sebelumnya bersama dengan yang lainnya, Zhou Mingrui sudah tidak asing lagi dengan kondisi hidupnya yang sekarang sebagai Klein. Dia sangat terbiasa dengan hal itu, tetapi justru karena pengalaman masa lalunya itulah, dia tahu betapa tidak nyamannya lingkungan seperti ini bagi seorang gadis. Selain itu, tujuannya adalah untuk menjadi seorang Pelampau dan mempelajari mistisisme untuk menemukan jalan pulang. Di masa depan nanti, dia sepertinya akan perlu untuk melakukan beberapa ritual magis di rumah. Memiliki terlalu banyak orang di dalam gedung apartemennya akan membuat insiden-insiden lebih memungkinkan untuk terjadi.

Klein melihat bahwa Melissa tampak akan meneruskan perdebatannya, dan cepat-cepat menambahkan, "Tenang saja. Aku tidak berencana untuk mendapatkan sebuah bungalo, tetapi mungkin sebuah rumah teras. Intinya, tempat tinggal kita nanti harus memiliki kamar mandi yang bisa kita sebut sebagai milik kita sendiri. Dan aku pun suka roti Nyonya Smyrin, biskuit Tingen, dan kue lemon juga. Pertama-tama kita dapat mempertimbangkan tempat-tempat di dekat Jalan Persimpangan Besi dan Jalan Bunga Bakung."

Melissa sedikit memanyunkan mulutnya dan terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk perlahan.

"Selain itu, aku juga tidak terburu-buru untuk pindah. Kita harus menunggu Benson pulang," kata Klein sambil terkekeh. "Kita tidak bisa membuatnya syok ketika dia membuka pintu untuk menemukan apartemen yang kosong, bukan? Bayangkan dia berkata dengan takjub — 'Di manakah barang-barangku? Di manakah saudara kandungku? Di manakah rumahku? Apakah ini rumahku? Apakah aku membuat kesalahan? Oh Dewi, bangunkanlah aku jika ini adalah sebuah mimpi. Kenapa rumahku hilang setelah aku pergi beberapa hari!? '"

Klein meniru suara Benson, membuat Melissa tanpa sadar tersenyum ketika dia menyipitkan matanya dan menunjukkan lesung pipinya yang dangkal.

"Tidak, Tuan Franky pasti akan menunggunya di pintu depan untuk membuat Benson menyerahkan kunci apartemennya. Benson bahkan tidak akan bisa naik ke sini." Gadis itu meledek pemilik bangunannya yang kikir.

Di rumah tangga Moretti, mereka semua ingin menjadikan Tuan Franky sebagai sasaran lelucon mereka untuk setiap persoalan sepele maupun persoalan penting. Itu semua berkat Benson yang memulai kebiasaan ini.

"Benar, dia tidak mungkin mengganti kunci untuk para penyewa setelah kita," Klein membalasnya sambil tersenyum. Dia menunjuk ke pintu dan menyindir, "Nona Melissa, mari kita pergi ke Restoran Mahkota Perak untuk merayakannya."

Melissa menghela napas dengan pelan dan berkata, "Klein, apakah kamu kenal Selena? Teman sekelasku dan juga teman baikku?"

Selena? Gambaran seorang gadis dengan rambut berwarna merah anggur dan mata cokelat tua muncul di benak Klein. Orang tuanya adalah penganut Dewi Malam. Mereka mengambil namanya dari Santa Selena sebagai sebuah berkat. Dia belum menginjak usia enam belas tahun, dan setengah tahun lebih muda dari Melissa. Dia adalah gadis yang bahagia, ceria, dan ramah.

"Iya." Klein mengangguk sebagai afirmasi.

"Kakak laki-lakinya, Chris, adalah seorang pengacara. Saat ini, dia pun berpenghasilan hampir tiga pound seminggu. Tunangannya bekerja paruh waktu sebagai juru ketik," jelas Melissa. "Mereka telah bertunangan selama lebih dari empat tahun. Untuk memastikan kehidupan yang layak dan stabil setelah menikah, mereka masih menabung hingga hari ini. Mereka belum pergi ke lorong pernikahan dan berencana untuk menunggu setidaknya satu tahun lagi. Menurut Selena, ada banyak orang yang seperti kakaknya. Mereka biasanya menikah setelah berumur lebih dari dua puluh delapan tahun. Kamu harus benar-benar membuat persiapan dan menabung. Jangan menghabiskan uangmu."

Ini hanyalah makan di sebuah restoran. Apakah kamu harus menasehatiku … Klein dibuatnya bingung antara harus tertawa atau menangis. Setelah berpikir beberapa detik, dia berkata, "Melissa, aku sudah mendapatkan gaji tiga pound seminggu, dan akan ada kenaikan gaji setiap tahunnya. Kamu tidak usah khawatir."

"Tetapi kita perlu menabung untuk berjaga-jaga jika ada keadaan darurat yang tidak terduga. Misalnya, bagaimana jika perusahaan keamanan itu tiba-tiba tutup? Aku punya teman sekelas yang perusahaan ayahnya bangkrut. Dia harus mencari pekerjaan sementara di dermaga dan kondisi kehidupan mereka menjadi sangat buruk dalam sekejap. Dia tidak punya pilihan selain berhenti sekolah," saran Melissa dengan ekspresi yang serius.

… Klein mengulurkan tangannya untuk menutupi wajahnya. "I-ini perusahaan keamanan dan pemerintah … ya, memiliki beberapa koneksi dengan pemerintah. Perusahaan ini tidak akan mudah tutup."

"Tetapi bahkan pemerintah pun tidak stabil. Setelah setiap pemilihan, jika terdapat perubahan pada anggota yang berkuasa, banyak orang akan kehilangan posisi mereka. Hal itu berubah menjadi kekacauan." Melissa membalas dengan sikap pantang menyerah.

… Dik, kamu benar-benar tahu banyak … Klein menemukan humor dalam kegelisahannya, saat dia menggelengkan kepalanya. "Baiklah kalau begitu …."

"Kalau begitu aku akan merebus sup dengan sisa makanan dari kemarin. Belilah beberapa ikan goreng, seiris daging sapi lada hitam, sebotol kecil mentega, dan secangkir bir gandum untukku. Bagaimanapun juga, kita masih tetap harus merayakannya."

Mereka umumnya merupakan barang-barang yang dijual oleh para pedagang kaki lima di Jalan Persimpangan Besi. Sepotong ikan goreng harganya enam hingga delapan sen; sepotong daging sapi lada hitam yang tidak terlalu besar harganya lima sen; secangkir bir malt harganya satu sen; dan sebotol mentega dengan berat sekitar seperempat pon harganya empat sen, tetapi membeli satu pon mentega hanya akan menghabiskan satu soli tiga sen.

Klein yang asli bertanggung jawab untuk membeli bahan-bahan selama liburan, jadi dia sudah tidak asing lagi dengan harga-harga tersebut. Klein melakukan perkiraan kasar bahwa Melissa akan membutuhkan sekitar satu soli enam sen. Karena itu, dia pun mengeluarkan dua lembar uang kertas bernilai satu soli.

"Baiklah." Melissa tidak keberatan dengan usulan Klein. Dia meletakkan ranselnya yang berisikan alat tulis dan mengambil uang kertas tersebut.

Ketika dia melihat adik perempuannya membawa sebuah botol kecil untuk mentega dan panci untuk makanan lainnya dan berjalan dengan cepat menuju pintu, Klein berpikir sejenak dan berteriak kepadanya. "Melissa, gunakanlah sisa uangnya untuk membeli buah-buahan."

Ada banyak pedagang keliling di Jalan Persimpangan Besi yang akan membeli buah berkualitas rendah atau kedaluwarsa dari tempat lain. Penduduk sekitar tidak marah mengenai hal ini karena harganya sangat murah. Mereka bisa merasakan citarasa yang luar biasa setelah membuang bagian yang busuk, jadi itu adalah sebuah kenikmatan yang murah.

Setelah mengatakan hal itu, Klein mengambil beberapa langkah cepat ke depan dan mengeluarkan sisa uang sen tembaga dari sakunya dan memberikannya ke telapak tangan adik perempuannya.

"Hah?" Mata cokelat Melissa menatap kakaknya dengan bingung.

Klein mundur dua langkah dan tersenyum. "Ingatlah untuk pergi ke Nyonya Smyrin. Belilah kue lemon kecil untuk dirimu sendiri."

"…" Mulut Melissa melebar saat dia berkedip. Akhirnya, dia mengucapkan satu kata, "Baiklah."

Dia cepat-cepat berbalik, membuka pintu, dan berlari menuju tangga.

….

Sebuah sungai membelah daratan, dengan pohon-pohon aras dan pohon-pohon maple yang berbaris di sepanjang tepi sungai; udaranya begitu segar, dan memabukkan.

Klein, yang berada di sini untuk mengakhiri wawancaranya, membawa revolvernya. Dia memegang tongkatnya dan membayar enam sen untuk kereta kuda umum. Dia berjalan menyusuri jalan yang disemen dan mendekati sebuah bangunan batu berlantai tiga yang dinaungi oleh tanaman hijau. Itu adalah blok administrasi Universitas Tingen.

"Ini benar-benar layak menjadi salah satu dari dua universitas utama Kerajaan Loen …" Karena ini merupakan pertama kalinya dia berada di sini, Klein menghela napas saat dia berjalan.

Dibandingkan dengan Universitas Tingen, Universitas Khoy yang berada tepat di seberang sungai hanya bisa digambarkan sebagai kumuh.

"Aa-yo!"

"Aa-yo!"

Terdengar suara-suara mendekat perlahan ketika dua perahu dayung menuju ke hulu melintasi Sungai Khoy. Dayung-dayung itu didayung secara teratur dan berirama.

Ini adalah olahraga dayung yang populer di semua universitas di Kerajaan Loen. Dengan Klein yang membutuhkan beasiswa untuk membiayai kuliahnya di universitas, dia, Welch, dan yang lainnya telah bergabung dengan klub dayung Universitas Khoy dan cukup mahir dalam hal itu.

"Ini adalah masa muda …" Klein berhenti dan melihat ke kejauhan sebelum menghela napas sedih.

Pemandangan seperti itu tidak akan terlihat lagi setelah seminggu ke depan karena sekolah akan libur musim panas.

Ketika dia berjalan menyusuri jalan yang dinaungi oleh pepohonan, Klein berhenti di sebuah bangunan batu berlantai tiga. Dia masuk setelah berhasil mendaftarkan dirinya dan dengan mudah menemukan jalan ke kantor orang yang mengurusnya waktu itu.

Tok! Tok! Tok! Dia mengetuk pintu yang setengah tertutup itu dengan pelan.

"Silakan masuk." Terdengar suara seorang pria dari dalam.

Seorang instruktur setengah baya yang mengenakan kemeja putih dan tuksedo berwarna hitam mengerutkan keningnya ketika dia melihat Klein masuk. "Masih ada satu jam lagi sampai wawancara dimulai."

"Tuan Stone, apakah Anda masih mengingatku? Aku adalah mahasiswa bimbingan Asosiasi Profesor Senior Cohen, Klein Moretti. Anda telah membaca surat rekomendasiku sebelumnya." Klein tersenyum saat dia melepas topinya.

Harvin Stone mengelus jenggot hitamnya dan merasa bingung, kemudian bertanya, "Apakah ada yang salah? Aku tidak bertanggung jawab atas wawancaramu."

"Begini situasinya. Aku sudah mendapatkan sebuah pekerjaan, jadi aku tidak akan berpartisipasi dalam wawancara hari ini." Klein memberikan alasan untuk kedatangannya.

"Begitu …" Ketika Harvin Stone mengetahui alasannya, dia berdiri dan mengulurkan tangan kanannya. "Selamat. Kamu benar-benar anak yang sopan. Aku akan memberi tahu profesor dan asosiasi profesor senior."

Klein menjabat tangan Harvin dan berencana untuk membuat sedikit obrolan sebelum mengucapkan selamat tinggal padanya ketika dia mendengar suara yang dikenalnya dari belakangnya.

"Moretti, kamu menemukan pekerjaan lain?"

Klein berbalik dan melihat seorang penatua dengan rambut perak di kepalanya yang meninggalkan kesan yang mendalam pada siluetnya. Mata birunya yang dalam tenggelam ke dalam wajahnya dan dia memiliki sedikit keriput. Pria itu tampak keren dengan tuksedo hitamnya.

"Selamat sore, Pembimbing. Tuan Azik," dia buru-buru menyapa. "Kenapa Anda berdua ada di sini?"

Penatua itu tidak lain dari Asosiasi Profesor Senior dari Jurusan Sejarah Universitas Khoy, yang juga merupakan pembimbingnya, Tuan Quentin Cohen. Di samping Cohen ada seorang pria paruh baya dengan kulit sawo matang dan dengan postur tubuh rata-rata. Dia tidak memiliki kumis ataupun jengot dan memegang sebuah koran di tangannya. Rambutnya berwarna hitam dan pupilnya berwarna cokelat. Rupa wajahnya terlihat lembut dan matanya mengungkapkan rasa lelah yang tak terlukiskan seperti telah melihat kemalangan-kemalangan dalam kehidupan. Di bawah telinga kanannya ada tahi lalat hitam yang hanya akan terlihat jika diperhatikan dengan saksama.

Klein mengenalinya karena dia adalah dosen jurusan sejarah Universitas Khoy, Tuan Azik, yang sering membantu Klein yang asli. Tuan Azik senang berdebat dengan pembimbingnya, Asosiasi Profesor Senior Cohen. Mereka sering berselisih paham, namun meskipun demikian, mereka adalah teman baik; jika tidak, mereka tidak akan mau untuk sengaja bertemu dan mengobrol.

Cohen mengangguk dan berkata dengan nada santai, "Azik dan saya di sini untuk berpartisipasi dalam konferensi akademik. Pekerjaan seperti apakah yang telah kamu dapatkan?"

"Itu adalah perusahaan keamanan yang mencari, mengumpulkan, dan melindungi barang-barang peninggalan kuno. Mereka membutuhkan seorang konsultan profesional dan membayarku tiga pound seminggu." Klein mengulangi apa yang telah dia katakan kepada adik perempuannya kemarin. Setelah itu, dia menjelaskan, "Seperti yang Anda tahu, aku lebih suka menjelajahi sejarah, daripada meringkasnya."

Cohen sedikit mengangguk dan berkata, "Semua orang punya pilihan masing-masing. Saya sangat senang kamu sudah repot-repot untuk datang ke Universitas Tingen untuk memberi kabar kepada mereka, alih-alih tidak muncul sama sekali."

Pada saat itu, Azik menyela, "Klein, apakah kamu tahu apa yang terjadi pada Welch dan Naya? Saya membaca di surat kabar kalau mereka telah dibunuh oleh pencuri."

Insiden tersebut telah menjadi kasus perampokan bersenjata? Dan kenapa itu sudah muncul di koran? Klein terkejut saat dia mempertimbangkan apa yang akan dia katakan selanjutnya.

"Aku juga tidak terlalu mengerti detailnya. Welch mendapatkan buku harian keluarga Antigonus dari Kekaisaran Solomon pada Zaman Keempat. Dia memintaku untuk membantu menafsirkannya. Jadi, aku membantu mereka selama beberapa hari pertama, tetapi kemudian aku sibuk mencari-cari pekerjaan. Polisi bahkan mendatangiku dua hari yang lalu."

Dia dengan sengaja mengungkapkan masalah tentang Kekaisaran Solomon dan keluarga Antigonus dengan harapan akan mendapatkan informasi dari kedua guru sejarah tersebut.

"Zaman Keempat …" Cohen bergumam dengan muka masam.

Azik, dengan kulit sawo matang dan mata lelahnya, tampak menjadi kosong sebelum dia kemudian menarik napas. Dia menggosok pelipisnya dengan tangan kirinya yang sedang memegang koran dan berkata, "Antigonus … sepertinya saya pernah mendengarnya … tetapi kenapa saya tidak ingat …."


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C24
    Fail to post. Please try again
    • Translation Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login