Ku meminum bir langsung dari botolnya. Ini botol yang ke tiga atau ke empat, mungkin bisa juga ini botol yang kelima. Entahlah yang jelas sudah ada banyak botol kosong berserakan di lantai kamarku. Aku ingin mabuk. Tetapi aku belum bisa mabuk. Sial!
Aku benar-benar terpukul dengan kejadian tadi siang. Aku akui, aku ingin menghancurkan Pak Handoko. Tapi bukan berarti, aku bahagia atas kematiannya. Apalagi kematian dengan cara seperti itu. Kematian dimana jasad beliau terjepit oleh roda truck. Diantara ketiga korban, jenazah pak Handoko lah yang paling sulit untuk dikeluarkan.
Iya, jenazah. Pak Handoko dan Supir Taksi dinyatakan tewas ditempat. Sedangkan bu Verona, beliau tewas saat dalam perjalanan ke rumah sakit. Bu Verona tewas tepat dipangkuanku.
Benar, aku ikut ke rumah sakit. Berharap masih ada harapan untuk Bu Verona. Beharap semoga kematian belum mendekat padanya. Berharap semoga keselamatan masih terus menyertainya. Namun ternyata, bukan kita yang meminta takdir. Takdirlah yang memaksa kita untuk menurutinya. Jujur aku kecewa, aku terluka dan aku pun sangat berduka. Terlebih lagi, saat ku lihat Tiara yang menangis dan meraung di kamar mayat. Suaranya benar-benar sangat begitu menyanyat.
Saat itu aku tidak bisa melakukan apapun untuk menghiburnya. Sebab aku tahu, tidak akan ada hiburan yang pantas untuk seseorang menangisi kematian, selain air mata itu sendiri. Jadilah aku, hanya mengamatinya dari jauh. Melihatnya berduka dengan air mata. Mendengar raungannya dengan luka yang sama.
"Hentikan aksimu itu!" Suara Daniel yang menggelegar menyeretku dari lamunan panjangku. "Berikan padaku!" Daniel mengambil paksa botol yang ada digenggamanku. "Kau seharian belum makan. Dan hanya meminum ini. Kau benar-benar cari mati ya?"
Aku tidak menjawabnya. Melainkan hanya tersenyum. Bukan senyum kebahagian, melainkan senyuman yang mengatakan 'beginkan hidup'.
"Katakan padaku, Rio! Siapa kau sebenarnya?" Daniel mulai curiga. "Kenapa nama ahli waris Pak Handoko sangat mirip dengan namamu, Satrio Andika Wijaya? Katakan padaku, siapa sebenarnya dirimu?"
"Itu tidak mirip Daniel. Di KTP ku tidak ada nama Wijaya."
"Kau mabuk?" Daniel menampar pipiku cukup keras. "Katakan padaku Rio, apa hubunganmu dengan Pak Handoko? Kenapa kau bisa seperti ini hanya karena kematiannya?"
"Aku tidak mabuk Daniel, aku hanya pusing. Kepalaku berputar-putar."
"Siapa Satrio Andika Wijaya? Apakah dia sama dengan Satrio Andika?"
"Iya. Dia satu orang_" Sial, Mulutku tidak bisa aku kendalikan. "Iya. Aku. Aku adalah Satrio Andika dan Satrio Andika Wijaya." Aku mengaku karena sudah terlanjur basah.
"Kenapa Wijaya bisa menjadi namamu?" Ternyata Daniel itu kepo-an.
"Aku Putra Angkatnya, Daniel." Ucapku sambil berdiri dari dudukku. "Aku anak yang dipungutnya pertama kali. TAPI MEREKA MENYIKSAKU. MEREKA MENYIKSAKU. SEHINGGA...Sehingga...sehingga..." Kenapa semuanya berputar? Kenapa semuanya bergoyang? Kenapa pandanganku kabur? Apakah lampunya bermasalah? Apakah terjadi gempa? Kenapa berputarnya semakin cepat? "Daniel, apakah ada gempa?" Tanyaku sebelum semuanya menjadi gelap.
~oo0oo~
Pasca mabukku kemarin, aku menceritakan semuanya pada Daniel. Dari sana, Daniel mendapatkan spekulasinya. Kenapa Pak Handoko tidak mengganti namaku sebagai ahli waris? Karena waktunya tidak tepat.
Saat aku pergi dari rumah, Pak Handoko ingin mengganti namaku dengan nama Tiara. Tetapi, Tiara belum berusia tujuh belas tahun. Jadi Pak Handoko tidak bisa melakukannya. Saat usia Tiara tujuh belas tahun, Pak Handoko mulai mengalami pailit. Sehingga dia tidak segera mengganti namaku menjadi nama Tiara. Pak Handoko tidak mau membebani Tiara.
Pailit pun terus berlanjut. Hingga suatu hari Pak Handoko mengangkat seorang bayi, yang kuanggap bayi itu adalah Kevin. Jika nanti Kevin sudah berusia tujuh belas tahun, Pak Handoko akan menjadikannya sebagai ahli waris. Bukan untuk mewarisi kekayaannya tapi utang-utangnya. Itu sebabnya, Pak Handoko selalu tenang meski utangnya berlimpah. Ternyata, dia sudah memepersiapkan tumbal.
Eh tunggu! Itu hanya spekulasiku dan Daniel. Jangan ditanggapi serius. Lagipula, pak Handoko sudah meninggal. Tidak baik membuka aib orang yang sudah meninggal, itu yang kata sinetron azab. Apalagi hari ini adalah hari pemakaman mereka, hari dimana kita memberikan penghormatan terakhir kita untuk mereka.
Tetapi sayangnya aku tidak mampu melakukan itu. Aku tidak mampu melihat prosesi pemakaman mereka. Itu sebabnya, aku meminta Daniel untuk menggantikan posisiku disana. Sedangkan aku, aku hanya duduk di bathtub untuk mengurangi nyeri di seluruh tubuhku.
~oo0oo~
Dua hari yang lalu setelah dari pemakaman pak Handoko dan bu Verona, Daniel memberitahuku akan diadakannya sebuah rapat. Rapat ini tentang kemana bisnis pak Handoko akan berlabuh. Itu sebabnya, rapat ini adalah rapat yang sangat penting.
Aku dan Daniel telah hadir disana. Dengan semua bukti-bukti yang dibawa oleh Daniel, telah menempatkanku sebagai ahli waris terkuat untuk memegang perusahaan pak Handoko. Tapi itu tidak membuat posisiku diterima dikalangan mereka. Mereka berfikir, bahwa reputasiku akan sama seperti reputasi pak Handoko.
Setelah mengalami kemelut panjang, akhirnya aku ditunjuk sebagai penerus bisnis propertinya saja. Untuk jabatan sebagai kepala cabang perusahan semen, telah diberikan kepada orang lain. Meskipun begitu, aku masih tetap harus bertanggung jawab untuk membayar segala hutang dan denda pak Handoko yang sudah ditorehkan kepada dua perusahaan tersebut. Tidak apa. Tidak masalah. Ini memang konsekuensi yang sudah aku perkirakan. Walalupun begitu, aku berhak atas segala aset yang ditinggalkan oleh pak Handoko. Termasuk rumah yang ditempati oleh Tiara.
~oo0oo~
"Kau yakin akan tinggal disini?" Daniel menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah Tiara. "Tega-teganya kau meninggalkanku."
"Hal baiknya Daniel, kau bisa memasukan segala jenis wanita ke kamarmu secara bebas. Dan kau juga tidak perlu lagi, menahan suaramu saat mencapai klimaks."
"Wow! Kau selalu mendengarkan aktifitas panasku? Apa kau cemburu?" Pertanyaan Daniel membuatku bergindik.
"Wanitamu itu yang menjerit terlalu keras. Astaga! Kenapa aku tidak melaporkan hal ini pada ibumu?" Keluhku sambil keluar dari mobil.
"Awas saja kalau kau sampai melakukan hal itu!" Ekspresi Daniel terlihat mengancam. "Baiklah, aku pergi dulu. Dan selamat menikmati rumah masalalumu." Kemudian dia segera menyalakan mobilnya dan pergi dari hadapanku.
Memang jika hari kerja, biasanya Daniel tinggal di apartemenku. Dia ada disana untuk mempermudah urusan pekerjaannya. Sedangkan ibu Daniel, beliau tinggal dipinggiran kota bersama sang adik, di rumah yang aku belikan.
Itu dulu, setidaknya sampai kemarin. Karena mulai saat ini, Daniel lah yang akan menguasai apartermenku. Sebab mulai hari ini pula, aku akan mengusai rumah Tiara. Rumah yang sudah aku tinggalkan selama sepuluh tahun lamanya.
Tidak ada yang berubah dari rumah ini, kecuali tata taman depan dan cat rumahnya. Selain itu, bentuk rumahnya masih sama.
Aku melangkah menuju gerbang, ternyata gerbangnya tidak dikunci. Kenapa gerbangnya tidak dikunci? Aku melihat ke arah pos satpam yang kosong. Kenapa tidak ada satpam? Padahal dulu, Pak Handoko punya kurang lebih lima orang satpam.
Kulangkahkan kakiku lagi untuk memasuki halaman rumah yang memang sangat luas. Aku bertanya-tanya, apakah Kang Maman dan Bi Darmi masih ada di rumah ini? Tapi kalau masih ada, kenapa rumah ini terlihat sepi. Sangat sepi. Bahkan, aku melihat ada berberapa rumput di taman yang belum dipangkas. Atau jangan-jangan, penghuni rumah ini hanya Tiara dan adik angkatnya?
Aku sampai di depan pintu rumah Tiara. Meskipun aku telah sah menjadi pemilik rumah ini, aku masih harus mengetuk pintu itu untuk menghormati orang yang ada di dalam rumah. Ya begitulah kira-kira.
Setelah ketukan ketiga, terdengar suara 'ceklek' dari dalam. Tidak lama kemudian, pintu pun terbuka. Ternyata seorang anak kecilah yang membukakan pintu untukku. Kevin? Apakah dia Kevin?
"Hai, Anda siapa?" Tanyanya dengan takut-takut. "Mau mencari siapa?"
Ini adalah pertemuan pertamaku dengannya. Dia terlihat seperti anak yang manis. Bahkan terlalu manis. "Aku Rio, boleh aku masuk?"
"Siapa yang datang, Kevin?" Suara yang sangat tidak asing untukku. "Apakah...." Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena dia sudah mendapatiku dalam pandangannya.
"Halo Tiara!" Sapaku sambil memasuki rumah itu meskipun belum mendapatkan ijin.
Bersambung...
Hai! untuk yang nggk sabar dan sangat penasaran dengan ceritanya, ini sudah ada di Google Book kok. Dengan nama penerbit Queency Publisher.