01 Oktober 1274 AG - 10:00 Pm
Soutforest - 20 Km dari Kota Tigris
—————
Suara gemeretak kayu menghiasi malam. Di tepian api unggun itu menancap batang-batang kayu pemanggang daging. Setelah kebetulan menyelamatkan desa petani, sebagian daging omegra itu menjadi makan malam Mascara dan anggota party.
"Vodi, berhenti berliur!" Simian menegur seseorang berbadan besar yang menatap api unggun itu dengan mata berbinar-binar. "Entah tumbuh sebesar apalagi kamu. Aku heran ayah masih mau menggendongmu kemana-mana."
Pemuda yang dipanggil Vodi itu tidak menjawab. Lebih tepatnya, dia tidak bersuara. Dia hanya memeluk Simian seperti anak kecil yang minta disayang.
"Sampai kapan kamu manja sama aku?" Simian berkata sambil menggelitiki perut si bisu itu.
Vodi adalah seorang pemuda berbadan besar, atau bisa dibilang gendut. Si bungsu itu memiliki tinggi 210 cm dan berat badannya yang terus bertambah. Dari belasan daging yang sudah matang, lebih dari separuhnya meluncur ke perut si rakus itu. Dan selain Vodi, ada satu orang lagi yang sampai detik ini masih mengunyah seperti tikus.
"Apa semua daging itu berakhir di dada besarmu?" Mascara bertanya.
"Aku dalam masa pertumbuhan." Conna menjawab cuek. Dia mengambil salah satu daging itu dan menyodorkannya ke hadapan Mascara. "Kamu tidak sedang menjaga berat badan, 'kan? Daging omegra ini ada manis-manisnya, loh."
Mascara langsung mual.
Daging omegra memang laku keras karena rasanya yang lebih lezat dibanding daging binatang biasa. Di Propinsi Tigris pun omegra jarang kelihatan karena menjadi target buruan para petualang. Namun kelezatan itu sama sekali tidak mengusik nafsu makan Mascara. Dia terlampau jijik karena omegra adalah makhluk yang memangsa manusia.
Sekalipun omegra itu berjenis herbivora.
"Tidak mau ya sudah, aku habiskan jatahmu."
Mascara langsung meremas lipatan perut Conna yang agak menggembung.
"Kamu ini perempuan, jaga penampilanmu."
Conna membalasnya dengan meremas dada Mascara.
"Kamu ini perempuan, Mascara, jaga ... oh, lupakan itu."
Si kecil itu jelas-jelas menyindir. Bukan, dia menghina. Mascara spontan meradang dan langsung berargumen. "Jangan sombong, dada besar hanya menghalangi pertarungan."
"Dada kecil menghalangi jodohmu."
"Tidak semua laki-laki tertarik dengan dada besarmu yang tidak berguna itu."
"Oh, kamu bicara seolah-olah kamu ini sudah laku. Apa kamu masih menyumpal benda rata itu pakai taplak meja, Nona warrior?" Conna bersikap semakin menyebalkan.
"Kata siapa!?" Mascara pun semakin meradang. Dia menarik sedikit bagian jaketnya untuk menunjukan bahwa di baliknya tidak ada lapisan apa-apa. "Lihat sendiri, jangan menghinaku!"
Conna ikut-ikutan menunjukan bagian tubuhnya yang selalu membuat Mascara iri. Tidak tanggung-tanggung, dia membuka seluruh kain penutup dadanya hingga mata Mascara berasa seperti dicolok.
"Ya ampun, inilah kenapa aku benci teori bumi datar dari gereja. Hanya idiot saja yang mempercayainya."
Mascara hilang kesabaran ketika Conna meremas-remas benda besar itu untuk mengejeknya. Si tomboy itu pun membuka seluruh jaket dan mengelus perut atletisnya, untuk menunjukan bahwa tidak ada satu lipatan lemak pun. Tapi dia langsung menuntup jaketnya begitu mendengar seseorang berhenti mengunyah.
Dengan badan gemetaran dia menengok Simian yang ternyata sudah mimisan.
"Lanjukan aktivitas kalian, Nona-nona, anggap aku tidak ada."
PLAK!!!
***
"Setelah ini kita langsung jelajahi dungeon itu." Simian bicara sambil mengarahkan jari telunjuknya pada sebuah obyek yang kita-kira 50 meter di belakang tenda. "Analisamu, Nona pathfinder?"
Mascara menoleh ke arah yang sama. Dia melihat sebuah lubang yang merupakan pintu dungeon tujuan quest party-nya.
Di kanan kiri pintu yang nampak seperti gua itu terdapat papan penanda dari para petualang terdahulu. Terdapat pula bekas rumbai-rumbai tanaman yang baru dipotong, pohon-pohon yang telah lama ditebang, serta tumpukan batu yang sudah dibersihkan.
Setelah mengamati sejenak, Mascara kembali menoleh Simian dan memberi penjelasan.
"Pintu masuk dungeon itu sebenarnya pintu belakang. Pintu utamanya ada di sisi lain."
Mascara melihat Simian ikut memindai semua obyek di sekitaran pintu dungeon. Pria itu mengamati bekas-bekas galian di sekitar pintunya, sebelum menoleh lagi ke arah Mascara.
"Kamu yakin?"
Mascara mengambil serpihan batu yang tadi dia kumpulkan saat mengamati pintu itu. Batu itu dia tunjukan pada Simian dan meremukannya.
"Kamu lihat batu lapuk ini? Pintu itu dulunya hanya lubang-lubang ventilasi kecil yang lembab. Aku yakin ventilasi itu dibuka paksa oleh para petualang. Aku juga tidak mengendus bau kencing omegra di sekitarnya tadi. Kamu tahu artinya apa?"
"Iya, tidak ada omegra yang migrasi dari luar ke dalam dungeon atau sebaliknya," kata Simian memindai sisi dalam pintu gua selebar dua meter itu dari kejauhan. "Berarti dungeon ini tipe labirin sesuai peta yang kamu lihat kemarin? Pantas saja tidak ada omegra sama sekali."
Mascara tersenyum kecil. Dia berganti menoleh ke dua makhluk rakus yang masih mendengkur. Matanya kontan mengarah ke gadis imut yang entah sejak kapan sudah pindah 20 meter dari posisi tidurnya semula.
"Petualang kali ini akan lebih mudah karena si kecil itu ... ah, aku benci mengakuinya, tapi Conna adalah petualang yang paling hebat di antara kita berempat. Ayo kita bangunkan mereka."
Hmmm ... Conna yang paling hebat? Kenapa?