Sudah hampir sebulan aku di ibukota, Helen. Berdasarkan pencapaianku, aku telah mendapat ganjaran yang cukup tinggi. Atas rekomendasi dari Kolonel Alan Havey , Panglima Garda Nasional Jenderal Conrad menaikkan jabatanku, yang sebelumnya dari Letnan Satu menjadi Kapten.
Aku juga telah menerima rumah dinas untuk perwira menengah , yakni; sebuah hunian mirip vila di kompleks Markas Besar. Vila itu mungkin tidak sebanding dengan kediaman Mugell yang terakhir ku kunjungi. Namun, itu cukup luas dan nyaman. Terdapat tiga kamar tidur, 1 kamar mandi, 1 ruang makan, 1 ruang tamu dan 1 ruang keluarga dan 1 ruang baca. Jaraknya juga, hanya beberapa meter dari markas besar. Jadi kupikir, ini akan memudahkanku untuk berangkat ke tempat kerja yang aku ditugaskan sekarang, sebagai Kapten Divisi Kelas Strategi.
Sementara, di sisi lain aku mendapat reward dari istana sebesar 100 koin emas. Yang kupikir, akan ku simpan untuk kugunakan suatu hari nanti. Karena aku berencana pensiun dini dari dunia kemiliteran ini. Mungkin aku akan membuka sebuah toko kue di ibukota untuk menaikkan angka kesempatan hidup yang lebih layak, ketimbang harus saling membunuh dikejamnya perang sipil.
Di sisi lain, aku benar-benar iba pada Sarah Mugell. Puteri bangsawan pemberontak yang kini menjadi budakku. Aku berpikir untuk membebaskannya. Namun, setelah aku melihat, Sarah tidak memiliki kecakapan apapun, aku mengurungkannya. Sarah selalu mengacaukan tugasnya. Dia memasak hingga bubur benar-benar menjadi arang, roti yang tak layak makan, air panas yang benar-benar panas, bahkan dapat memasak tubuh jika dipakai, dan mencuci kurang bersih.. Aku tidak melihat sesuatu yang kompeten pada dirinya sebagai seorang pelayan.
Aku tetap memperlakukannya layak. Meskipun, dia tidak memberikan banyak manfaat padaku. Aku bahkan memberikan 10 koin perak untuk digunakan sebagai upahnya. Aku sudah mengajarinya beberapa kali, dia masih tetap tidak mengerti. Jadi, kuputuskan untuk mengambil segala pekerjaan yang dikacaukannya. Sembari terus mengajarinya lagi dan lagi. Aku memiliki rencana untuk membebaskannya setelah ia terampil sebagai pelayan. Itu cukup miris jika melepasnya saat ini. Terburuknya, ia akan menjadi wanita penghibur dalam rumah-rumah bordil jika aku melakukannya. Karena jarang orang menampung budak dari faksi pemberontak saat ini.
Malam itu, aku duduk sambil membaca buku mengenai pengetahuan dunia ini. Kebanyakan buku-buku saat ini lebih mirip seperti tumpukan kertas yang dijalin dengan benang. Sehingga kadang tebalnya bisa lebih dari satu pengaris. Meskipun, tak sampai ratusan halaman. Namun, kupikir tidak. salah menggunakan informasi yang ditulis di situ sebagai bahan untuk mengetahui tentang dunia ini secara perlahan.
Berdasarkan informasi yang ku dapat dari buku, dunia ini memiliki semacam kepercayaan menyembah dewa-dewa yang beragam. Ada dewa Kesuburan, Kematian, Kelahiran, Pernikahan, Kemakmuran, Perang, Kebajikan, Keadilan dan Alam semesta. Mereka menyebutkan mereka sebagai sembilan tahta dewa. Dengan dewa alam semesta bertindak sebagai pemimpin dari delapan dewa lainnya. Mereka menyembah dewa sesuai kondisi mereka saat itu. Misalnya, mereka menyembah dewa perang saat berperang. Atau menyembah dewa kesuburan, saat melakukan cocok tanam. Benar-benar dewa yang fleksibel kurasa.
Hanya beberapa saat setelah aku asik bergumul dengan bacaan ini sebuah suara serak tak asing muncul dari balik ruang depan.
"Tuan.." Sarah menatap dengan ekspresi berharap padaku.
Entah bagaimana wanita ini memang sedikit penurut belakangan. Dia tahu aku menjadi bagian dari tentara yang menaklukkan ayahnya. Namun, entah itu untuk keselamatannya atau yang lain. Ia memperlakukanku sama seperti tuan baginya.
"Hm…" sahutku ringan.
Sarah terlihat membawa secangkir minuman yang tidak kusadari sebelumnya.
"Saya membawakanmu teh hangat…" Kata Sarah, dia melangkah pelan kemudian meletakkan cangkir dari perunggu di hadapanku.
"Terimakasih…"
Untuk beberapa alasan aku sedikit ragu menerimanya . Namun, jika melihat ekspresi Sarah, aku akhirnya meminum teh buatannya. Seperti yang kuduga, teh ini benar-benar buruk. Rasanya kurang manis dengan perbandingan daun teh yang lebih, membuatnya sangat menyengat. Bahkan untuk pembuatan teh sederhanapun, wanita ini gagal melakukannya.
Aku hanya tersenyum paksa membalas tatapan Sarah seolah mengeluarkan ekspresi dan pertanyaan "Bagaimana rasanya?"
Jadi aku menjawab ringan. "Ini tidak terlalu buruk, tetapi butuh beberapa tambahan gula."
Di dunia ini olahan seperti teh dan bubuk kopi sudah ditemukan. Hanya saja, pengolahannya masih kasar. Mereka menggunakan palung untuk menumbuk serbuk kopi dan bubuk teh.
Dia tampaknya sedikit kecewa dengan jawabanku. Kupikir tidak salah berkata jujur untuk kebaikannya.
Sebenarnya, aku ingin tahu apa yang dipikirkan Sarah selama beberapa bulan belakangan ini. Entah bagaimana aku ingin tahu, apa yang dipikirkannya padaku. Yang menjadi musuh almarhum ayahnya.
"Sarah apa yang kau pikirkan tentangku…?" tanyaku serius menatapnya.
Dia terlihat kaget dari pertanyaanku. Sambil menunduk, dia memasang ekspresi suram.
"Itu…" gumamnya.
"Apakah kau membenciku…?"
Wanita ini tidak dapat menjawab lebih jauh. Tetapi, kupikir dia diam tanpa bicara dan tak menampiknya menjadi alasan yang jelas bagiku. Dalam pikiran, aku menyesali perkataanku. Bagaimana aku melayangkan pertanyaan yang seharusnya aku tahu jawabannya? Sudah pasti Sarah membenciku.
"Itu bagus jika kau memiliki perasaan benci dan dendam padaku.."
Sarah secara tiba-tiba mengarahkan pandangan dan ekspresi terkejut padaku.
"Gunakan perasaan dendam itu sebagai alasanmu hidup."
Aku berdiri dan menepuk ringan pada pundak Sarah. Lalu, pergi ke kamar dan beristirahat malam itu.
***
Sudut Pandang Sarah Mugell
Aku sudah tinggal lebih dari sebulan dengan pria itu. Namanya adalah Peter. Dia adalah salah satu dari perwira militer yang mengalahkan pasukan kami di lembah Mugell.
Semenjak mereka membunuh ayah, sejak saat itu juga aku mulai membenci pasukan kerajaan, termasuk Peter. Aku membenci mereka yang mengeksekusi Ayah dan dua saudara laki-lakiku. Terlebih lagi prajurit mereka telah memperkosa Evelin sebelum dibawa keluar dari kamar. Aku bahkan sempat berpikiran untuk membunuh salah satu dari mereka.
Aku membenci mereka. Sangat membenci mereka semua. Namun, entah mengapa pria ini berbeda dari tentara yang memaksa masuk dalam kediaman kami. Bahkan, diawal aku bertemu muka dengannya. Ia tak memandang nafsu, seperti tentara kebanyakan di dalam ruangan. Ia malah menatap kami dengan perasaan iba.
Aku tidak tahu mengapa… Tetapi, pria ia secara acak menunjukku sebagai wanita jarahannya. Untuk beberapa alasan aku berpikir bahwa tatapannya diawal pertemuan kami adalah kebohongan.
Jadi, sesaat ia dan aku berada dalam satu ruangan yang sama. Secepat kilat aku berusaha menyerangnya. Sebelumnya aku berusaha mencari suatu alat yang dapat membunuhnya, atau setidaknya mencederainya. Namun, yang dapat kutemukan hanyalah dudukan lilin di atas meja. Aku tidak berpikir bahwa dudukan lilin akan membunuh pria itu. Jadi, aku hanya berpikir untuk memberi cedera serius seperti bagian matanya.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung melompat dan menyerangnya dengan ujung dudukan lilin. Seranganku hanya memberi sedikit luka pada pinggir wajahnya. Aku berpikir bahwa aku telah gagal. Jadi, aku sedikit lemas dan amat takut pria ini akan berbalik, dan menyerang penuh marah padaku. Hanya saja, pria itu tanpa ekpresi kemarahan di wajahnya menatapku dengan sebuah pertanyaan.
Aku bingung dengan pria ini. Ia tidak takut dan melawan. Aku bahkan yang berhasil menggores wajahnya seharusnya mampu membangkitkan amarahnya. Seharusnya ia bangkit ,lalu menyerang dan membunuhku. Namun, dia hanya diam tanpa melawan. Apakah dia tidak takut mati? atau dia tak percaya aku bisa membunuhnya. Walau hanya dengan dudukan lilin sekalipun?
Aku tersadar kalau pun aku berhasil membunuh pria ini. Aku akan dimangsa oleh pria lain di luar ruangan itu. Terburuknya, aku akan mengalami hal sama seperti yang dialami oleh Evelin. Jadi, aku berhenti disaat terakhir. Dan terduduk lesu di sudut ruangan setelah pria itu mendorongku.
Kupikir inilah akhirnya. Pilihan terburuk dalam hidupku. Memasrahkan segala sesuatu pada Dewa Alam Semesta. Jadi, aku secara ketakutan berdoa dalam hatiku yang sudah menggetir.
Pria itu memerintahkan aku untuk melepas pakaianku. Apakah ini adalah waktunya? Dia akan melakukan hal-hal yang sama seperti para tentara itu lakukan pada keluarga dan pendudukku?
Ah…Aku ingin mati rasanya.
Namun, pria ini justru berbalik dan meraih selimut yang terletak diatas meja ruangan. Kemudian ia melemparkannya padaku. Aku yang ketakutan hanya bisa menelan ludah. Ia menyuruhku untuk tidur di ranjang dan mengatakan bahwa ia tidak akan menyentuhku.
Bagaimana aku percaya? Kalian adalah penjahat di sini. Apakah mungkin seorang penjahat atau perampok akan mengatakan sesuatu hal seperti itu? Jadi, aku memasang selimut keseluruh tubuhku dan berjaga-jaga sepanjang malam.
Dua malam lamanya aku sudah tidak bisa tidur nyenyak. Bagaimana mungkin aku bisa tidur nyenyak dalam ruangan dengan satu pria yang sama?
Malam ketiga aku akhirnya jatuh dan terlelap. Ketika aku terbangun paginya, aku benar-benar menangis. Aku berpikir bahwa pria ini mungkin telah menodaiku. Jadi, secepat kilat aku memeriksa kondisi tubuhku.
Ibu pernah mengatakan bahwa pengalaman pertama seorang gadis adalah hal yang menyakitkan dan sedikit mengeluarkan darah. Aku meraih bagian tubuhku yang kata ibu akan berdarah jika melakukannya dengan seseorang,tetapi aku tidak menemukannya. Aku menghela nafas lega karena aku tidak mengalami hal tersebut. Mungkin, aku sedikit bisa memegang perkataan dari pria ini. Jadi, untuk saat ini mengikuti perintah dari pria ini akan membuatku aman.
Sudah tiga hari aku tidak melihat Evelin dan ibu. Aku berpikir bahwa mereka sudah dijual pada pedagang budak. Aku takut hal serupa akan menimpaku. Jadi, pada hari tentara kerajaan akan ditarik mundur , aku hampir mati ketakutan. Karena tidak jauh dari kamp, sekumpulan pedagang yang membawa penduduk dan wanita di Mugell dalam kerangkeng dan diikat tali. Kupikir, mereka adalah yang biasa disebut pedagang budak.
Namun, entah mengapa pria ini memberi tawaran kontrak padaku. Ia menyuruhku menandatangi pernyataan persetujuan untuk aku menjadi budaknya. Ini adalah hal yang jarang ditemui. Biasanya jika seseorang akan dijadikan budak. Itu cukup memberi semacam kutukan pada lehernya yang membuat dia tak dapat melawan kehendak tuannya. Aku tidak tahu apa yang dimaksud pria ini. Jadi, aku menyetujui dan menandatanginya.
Sudah satu bulan aku menjadi budaknya. Meskipun kukatakan budak, aku malah terlihat seperti seorang pelayan, bahkan kurasa diperlakukan lebih. Aku sama sekali tidak memiliki bakat sebagai budak ataupun pelayan. Aku berakhir dengan mengacaukan segalanya. Aku membuat bubur menjadi arang, selalu tidak cekatan dalam mencuci pakaian dan membersihkan rumah.
Ketakutan kembali muncul padaku. Bagaimana jika pria ini akan membuang atau menjualku nanti?Aku tidak dapat membayangkan , harus hidup sebagai wanita penghibur di rumah bordil atau pekerja di tambang. Namun, pria itu bukannya marah dan membuangku, malah dengan ringannya membantuku. Meskipun, kukatakan membantu itu terlihat seperti pria itu mengambil peran seperti memasak secara penuh. Kadang-kadang dia juga mengambil alih pekerjaanku seperti mencuci dan membersihkan rumah. Meskipun aku mengacaukan segala pekerjaan rumah, pria itu memperlakukan aku secara layak tidak seperti budak. Bahkan dia memberikan upah yang kupikir besar.
Pada suatu malam aku secara tak sengaja mendapati pria yang menjadi tuanku sedang asyik membaca. Jadi, kupikir inilah waktunya aku sedikit berguna. Dengan niat itu, aku berhasil membuat sebuah hidangan dari teh yang biasa disajikan pelayan di kediaman kami dulu.
Aku sebenarnya tidak tahu pasti bagaimana membuatnya. Namun, aku pernah melihat pelayan memasukkan dua komponen ,sama seperti yang dimiliki di dapur rumah ini. Jadi, aku hanya mencelupkan bahan-bahan yang ada kemudian menyeduhnya. Dengan perasaan senang bahwa aku bisa menyiapkan teh pertamaku. Aku beralih ke ruang baca dan menemui tuan yang sedang membaca buku yang kupikir sangat tebal. Lalu, aku menyapa dan menyajikan teh buatanku.
Ia menerimanya dengan tanpa ekpresi. Sesaat, setelah ia menyeruput teh buatankum ia mengeluarkan ekpresi kecut. Sebelum pada akhirnya menggantinya menjadi senyum yang kurasa agak dipaksakan. Ia mengatakan bahwa teh buatanku tak terlalu buruk. Lalu, menyuruhku menambahkan sedikit gula pada teh buatanku. Meskipun belum sempurna, kupikir aku sedikit senang dipuji olehnya.
Hanya...sesaat setelah pria itu meminum teh buatan ku, dia melontarkan pertanyaan yang tak pernah kupikirkan.
Apakah aku benci dan dendam padanya? Aku tahu , ini semacam kenyataan. Kalau aku hampir melupakan, bahwa pria ini juga terlibat dalam pembunuhan ayah dan saudaraku secara tidak langsung.
Ah.. kapan aku melupakannya?Aku sendiri tidak tahu. Jadi, aku hanya menunduk diam setelah menyadari itu.
Bagaimana aku melupakan kenyataan bahwa pria ini adalah salah satu pembunuh ayah? Namun, aku takut untuk menjawab. Jadi aku hanya diam. Aku takut jika aku menumpahkan perasaanku dan marah padanya, aku akan dibuang dan dijual olehnya. Jadi, aku terus diam.
Jika aku bersama pria ini, mungkin ini akan menjadi penjamin aku bisa hidup setelah semua yang terjadi. Jadi ,aku makin diam membisu. Pria ini bisa saja marah dan menumpahkan segala perlakuan kasar padaku. Itu wajar, aku adalah budak di sini.
Namun, Pria itu malah menepuk pundakku setelah dia mengatakan. Bahwa tidak salah menggunakan perasaan benci dan dendam untuk alasanku hidup. Aku tidak percaya bahwa pria itu mengatakan hal semacam itu padaku.
Namun, entah mengapa aku tidak dapat menahan sesak di dadaku…Aku sedih karena telah kehilangan keluargaku. Namun... Apakah aku bisa dendam dan benci akan pria ini? Dia terlalu baik. Bahkan untukku yang telah kehilangan segalanya.