Perasaan Angele menjadi tenang ketika mereka melewati perbatasan, dan tidak membutuhkan waktu lama bagi karavan mereka untuk sampai ke Pelabuhan Marua. Di luar gerbang kota, banyak sekali pedagang-pedagang yang berkumpul. Sepertinya, kelompok pedagang ini telah mendirikan pasar-pasar kecil yang tersebar di sekitar perbatasan Marua. Melihat banyaknya orang yang berjalan masuk dan keluar dari pasar-pasar itu, sangat jelas bahwa pasar itu sangat ramai.
Sekitar jam 3 sore, karavan Angele tiba di Marua, dan kereta-kereta kuda mereka berjalan perlahan-lahan di bawah naungan awan melewati pasar yang penuh sesak bersama-sama dengan karavan milik para pedagang garam laut. Sekitar dua hari yang lalu, Baron Karl menawarkan bayaran 50 koin emas kepada pemimpin karavan pedagang tersebut agar bisa masuk ke Pelabuhan Marua dengan mudah, dan mereka menyetujui tawaran itu.
Sang baron duduk di kereta kuda terdepan, pandangannya mengarah ke kota besar di luar jendela dan bertemu dengan dinding abu-abu yang menjulang tinggi. Sudut pandang dari jendela kereta menciptakan ilusi seakan-akan dinding abu-abu itu tak ada ujungnya. Di depan, pintu terbuka lebar, sehingga terlihat jelas para penduduk yang tenggelam dalam kesibukan mereka masing-masing. Beberapa kereta kuda, yang penuh dengan barang di gerobak belakangnya, berjalan keluar dari kota, sementara beberapa kereta lainnya berbincang-bincang dengan para penjaga untuk mendapatkan akses masuk. Para penjaga itu bersenjata lengkap, masing-masing mengenakan baju zirah hitam dan membawa tombak.
"Ini Kota Marua?" Angele keluar dari kereta, dan duduk di samping ayahnya.
"Iya, kita akan tiba di pinggir kota setelah melewati daerah ini. Dengan bantuan para pedagang itu, kita tidak perlu diperiksa satu per satu dan bisa masuk dengan mudah." kata sang baron sambil tersenyum.
"Jika kita tidak meminta bantuan para pedagang itu, akan membutuhkan waktu lama untuk masuk karena mereka harus memeriksa izin masuk kita satu per satu." lanjutnya.
Angele mengangguk dan melihat-lihat sekelilingnya. Di sana, ada banyak kereta kuda yang sangat mirip dengan kereta mereka. Dalam perjalanan ke pintu masuk, para pengawal karavan Angele melepaskan perlengkapan mereka dan meletakkan semuanya ke dalam kereta perbekalan. Tidak lama kemudian, mereka tiba di pintu masuk, dan melihat seorang pria tambun bermantel hitam turun dari kereta kuda merahnya. Pria itu terlihat lebih mirip seorang koki ketimbang seorang pedagang.
Pria itu berbincang-bincang dengan para penjaga pintu masuk selama beberapa saat. Wajahnya terus tersenyum sembari meletakkan sebuah kantong kecil ke tangan salah satu penjaga. Penjaga itu tertawa, dan melambaikan tangannya sebagai sinyal untuk membuka pintu. Namun, Angele melihat para penjaga menatap kereta kuda pria tambun itu selama beberapa saat - seakan mereka menyadari siapa pria itu sebenarnya, namun mereka tidak punya waktu untuk mengurusnya.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi karavan Angele untuk masuk ke kota, dan mata semua penumpang langsung tertuju kepada kota yang bersih dan nyaris tanpa sampah berceceran. Di kedua tepi jalan, berjejer toko-toko yang menjajakan barang-barang seperti garam, makanan laut, barang bekas, mutiara, hingga hewan eksotis yang tidak pernah Angele lihat sebelumnya. Ada juga beberapa orang yang saling tawar menawar dengan pemilik toko.
Karavan Angele bergerak perlahan-lahan melewati jalanan, dan beberapa orang melihat ke arah karavan mereka dengan rasa ingin tahu. Sementara itu, beberapa petugas pelabuhan berjalan mengelilingi pasar dan menagih iuran pengelolaan. Beberapa kali, kereta kuda Angele berpapasan dengan gerobak yang membawa berton-ton garam.
Mereka terus berjalan selama sekitar setengah jam, melewati jalan demi jalan hingga akhirnya mencapai sebuah perempatan. Di sebelah gedung berdinding abu-abu, berdiri seorang wanita paruh baya berbadan tambun yang mengenakan pakaian khas bangsawan.
"Adikku Maria yang tercinta, sudah lama tidak bertemu. Aku senang melihatmu baik-baik saja." sapa sang baron.
"Kakak tercinta, aku juga senang bisa bertemu denganmu." Wanita itu tersenyum, dan keduanya saling berpelukan. Kemudian, Baron Karl memanggil Angele untuk keluar dari kereta.
"Ini Angele, anak keduaku. Dia lahir setelah kau menikah, jadi mungkin kalian tidak pernah bertemu." sang baron menepuk pundak Angele, dan Maria memandang Angele selama beberapa saat, seakan-akan sedang memeriksanya.
"Anak baik, semoga kau bisa akur dengan anakku. Ia adalah sepupumu, Buster." Maria tersenyum.
"Terima kasih, Bibi Maria." Angele mengangguk hormat, dan menjawab dengan sopan.
"Nah, aku sudah menyiapkan perjamuan untuk menyambut kedatangan kalian di rumah. Bangunan Taman Mawar telah dikosongkan, jadi kalian bisa tinggal di sana. Tetapi, kukira kakak akan membawa lebih banyak orang. Di mana Old Wade?" tanya Maria.
"Kita akan bicarakan itu nanti, mari kita kembali ke rumah terlebih dahulu." jawab sang baron dengan sedikit sedih.
"Baiklah, mari kita pulang. Anger, tunjukkan jalan pada kakakku." Maria memandang Baron Karl selama beberapa saat, kemudian mengangguk.
"Baik, Nyonya." Salah satu pekerja menjawab perintah itu. Sang baron berjalan ke kereta terdepan, sementara Angele masuk ke dalam kereta kedua. Dia mengerti, ayahnya sudah lama tidak bertemu dengan Maria, jadi mereka pasti memiliki banyak hal untuk dibicarakan. Di dalam kereta kedua, Maggie, Celia, saudara-saudara mereka, dokter, dan Kapten Mark terlihat khawatir, namun kekhawatiran itu hilang saat Angele masuk ke kereta mereka.
"Tuan Muda Angele, pekerjaan apa yang bisa kita lakukan di pelabuhan? Aku tidak punya keahlian selain membunuh..." kata Mark.
"Jangan khawatir, kau sudah bekerja di bawah ayahku sejak lama. Pasti ayahku akan memberikanmu pekerjaan yang sesuai." Angele tersenyum.
Maggie dan Celia duduk di samping Angele. Kegelisahan terlihat jelas pada ekspresi keduanya. Setelah pengkhianatan itu, sang baron harus membangun kembali kedudukannya di sini, dan yang lain, khususnya mereka yang tidak memiliki bakat, tidak akan dipedulikan setelah sang baron mencapai tujuan itu. Ditambah lagi, sekarang sang baron tidak memiliki teritori dan sumber penghasilan, sehingga mereka tidak bisa lagi hidup seperti biasanya. Mereka khawatir akan apa yang mungkin terjadi di masa depan nanti.
Angele duduk di dalam kereta, berusaha memikirkan cara untuk meredakan kekhawatiran mereka. Tiba-tiba, kereta kuda yang ditungganginya mengurangi kecepatan.
"Angele, turunlah dari kereta." panggil sang baron. Angele menjadi bingung, namun ia segera turun, dan melihat ayahnya berdiri di samping Bibi Maria. Kebahagiaan terlihat jelas di wajah keduanya.
"Ayah, Bibi Maria, ada apa?" tanya Angele sembari berjalan mendekati keduanya. Semua kereta berhenti di tepi jalan, dan para penumpang kereta mulai menurunkan perbekalan yang dibawa.
"Ayahmu mengatakan bahwa kau ingin mendaftar ke sekolah. Bibi dan ayahmu setuju. Kau beruntung, karena sekarang Sekolah Pelabuhan Marua sedang menerima pendaftaran siswa baru. Jika kau memenuhi syarat-syaratnya, kau bisa mendaftar ke sana." kata Maria sambil tersenyum.
"Sekolah Pelabuhan Marua?" Angele memandang ayahnya. Dia tidak pernah mendengar tentang sekolah itu.
"Sekolah itu memiliki sejarah panjang, dan mengajari hampir semua hal seperti teknik bertarung, karyawisata, musik, sastra, seni tari, dan seni lukis. Selain itu, mereka berhak untuk merekomendasikan beberapa murid untuk masuk ke Sekolah Aliansi Andes setiap tahunnya." Sang baron menyunggingkan senyum dan mendekati anaknya.
"Kalau kau mau mencari tahu tentang Sekolah Aliansi Andes dan mendaftar ke sana, ini sangat penting!" Baron Karl berbisik kepada anaknya.
"Biayanya mahal, kan?" tanya Angele.
"Biaya pendaftarannya 100 koin, dan ada biaya tambahan untuk semua kelas yang ingin kau ambil. Namun, harga itu tidak ada apa-apanya dibandingkan ilmu yang akan kau dapatkan." kata sang baron.
Angele merasa sedikit lega. Mereka telah menjarah uang para penjahat yang menyerang mereka dan barang-barang milik Count Philip, sehingga sekarang mereka memiliki total 1200 koin emas. 200 koin adalah hasil jarahan dari para penjahat, sementara 1000 lainnya adalah jarahan dari kereta Count Philip, sehingga sekarang mereka cukup kaya.
"Ini adalah hari terakhir pendaftaran. Kau pasti akan diterima jika kau mendaftar sekarang." kata Maria.
"Ayahmu mengatakan jika kau ingin masuk ke Sekolah Aliansi Andes. Kalau kau mendapatkan nilai bagus di Sekolah Pelabuhan Marua, pasti kau akan direkomendasikan masuk ke Sekolah Aliansi Andes." lanjutnya.
"Bibi, aku mau mendaftar sekarang. Tolong minta seseorang untuk mengantarku ke sana!" kata Angele.
"Tuan Siva bekerja sebagai staf pendaftaran di sana. Beberapa waktu lalu, anaknya meminta Bowater untuk membantunya. Akan kuberitahu Pak Siva aku mengirimmu ke sana." Maria mengangguk. Bowater adalah suami Maria, paman Angele. Ia bekerja sebagai staf di departemen pemeriksaan pelabuhan.
"Terima kasih, Bi!" Angele berkata dengan tulusnya. Ia merasa sangat gembira setelah mendengar hal itu.
"Tetapi, kau harus tinggal di asrama setelah masuk ke sekolah itu, jadi kau harus membawa pakaian dan barang-barang lainnya." Maria melanjutkan.
"Aku mengerti, akan langsung kuambil barang-barangku." jawab Angele. Kemudian, Maria memerintahkan pria bernama Anderson untuk mengantar Angele. Sebelum Angele pergi, ayahnya menepuk pundaknya. Dia tidak mengatakan apa-apa, namun terlihat jelas harapan di matanya. Maggie dan Celia turun untuk mendoakannya, dan Angele mencium keduanya di depan semua orang sebelum pergi bersama Anderson.
Kesempatan itu datang tiba-tiba, namun Angele sadar bahwa ia harus mengambil kesempatan itu. Sudah beberapa waktu berlalu setelah kekuatannya mencapai batas, dan ia hanya akan memiliki kesempatan untuk meningkatkan kekuatannya di sekolah ini
Berpuluh-puluh pegunungan membentang di bagian barat Kota Marua. Jalan-jalan dua arah membentang di lembah alami yang terdapat di antara pegunungan itu. Di jalan yang seakan tak berujung itu, sebuah kereta kuda berwarna putih berjalan perlahan, berbelok-belok dan berputar hingga akhirnya memasuki hutan di akhir jalan itu. Di sana, terlihat banyak kereta kuda lainnya yang keluar masuk hutan, dan para pemilik kereta memberi salam kepada kenalan mereka sembari melanjutkan perjalanan.
Di kereta kuda putih itu, seorang remaja biasa berambut cokelat duduk di dekat jendela sambil memandang kereta-kereta berukiran lencana indah yang berpapasan di luar. Semua lencana itu sangat indah, namun Angele tidak mengenal satupun keluarga pemilik kencana itu. Dia mengenakan kaos putih bersih berbahan sutera, jubah kecil berwarna abu-abu, celana panjang biru, dan sepatu bot ketat berwarna hitam, membuatnya terlihat seperti anak bangsawan dari desa yang tidak tahu apa-apa tentang mode namun masih berusaha terlihat keren.
Sementara itu, seorang kusir berkepala botak dan berpakaian linen abu-abu khas pekerja duduk di samping Angele. Namanya Anderson, dan mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju kantor pendaftaran Sekolah Pelabuhan Marua. Selama perjalanan, Anderson menjelaskan situasi di sekolah itu, sementara kereta kuda mereka terus bergerak maju.
"Tuan Muda Angele, Nyonya Maria menyuruh saya untuk mengingatkan agar Anda hanya mengambil kelas yang diwajibkan oleh pihak sekolah. Beberapa kelas mungkin masih terlalu mahal untuk Anda sekarang…" Anderson tidak melanjutkan kata-katanya, namun Angele mengerti maksudnya.
"Aku mengerti. Apakah hanya membutuhkan uang untuk masuk ke sekolah pelabuhan ini?" tanya Angele.
"Sepertinya iya. Saya tidak pernah dengar ada orang yang ditolak setelah mereka membayar." Anderson membasahi bibirnya dan menjawab Angele.
Angele mengangguk setelah memahami situasinya saat ini. Kemungkinan besar, cara kerja sekolah itu mirip seperti sekolah swasta di bumi, di mana para calon murid harus membayar sejumlah biaya pendaftaran agar bisa masuk. Hanya saja, kualitas pendidikan di dunia ini sangat bermacam-macam, tidak seperti di bumi. Salah satu alasan mengapa Angele ingin memasuki sekolah ini adalah untuk berhenti menghabiskan waktunya di istana, dan mempelajari hal-hal baru dengan bantuan chip-nya.
"Lagipula, biaya pendaftarannya tidak terlalu mahal, bahkan cukup terjangkau bagi anak-anak pedagang. Orang-orang yang tidak punya cukup uang bisa membayar murid-murid sekolah itu untuk mengajari mereka. Itu sudah hal biasa disini, dan Anda mungkin bisa mencobanya jika Anda tidak punya cukup uang untuk mengambil kelas yang Anda inginkan." kata Anderson dengan ramah.
"Terima kasih, nanti akan kupikirkan lagi." Angele tersenyum, dan perbincangan antara keduanya berhenti. Dia sadar bahwa murid-murid itu tidak mungkin mau mengajarinya jika ia hanya membayar mereka. Kemungkinan besar ia harus meminta mereka mengajarinya dengan sangat sopan dan merendahkan dirinya sendiri. Walaupun metode ini lebih murah, Angele tidak mau mengorbankan harga dirinya. Dengan chip-nya, dia bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan orang lain dengan mudah.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk memasuki bagian dalam hutan, di mana sebuah pintu besi selebar sepuluh meter menunggu mereka. Di samping pintu masuk, dinding-dinding menjulang tinggi menutupi area yang luas, hingga ujung dinding itu seakan menghilang di antara pegunungan. Tepat di luar dinding itu, ada sebuah lapangan kosong yang luas, di mana beberapa kereta kuda kecil terparkir. Beberapa kereta kuda itu terlihat mencolok karena lencana yang terukir di badannya. Terlihat orang-orang berpakaian mewah berjalan keluar masuk melewati pintu dengan kereta kuda mereka. Sebagian besar dari mereka adalah remaja berumur 12 hingga 16 tahun yang ingin mendaftar di sekolah ini juga. Sepertinya, tidak ada batasan umur untuk masuk ke sekolah ini.
Setelah memarkir kereta kuda mereka, Angele mengikuti Anderson masuk ke dalam sekolah itu. Seperti halnya murid-murid pada umumnya, ada rasa ingin tahu yang besar terpancar dari mata Angele saat ia melihat-lihat banyak gedung putih setinggi 5 atau 6 lantai, jalan bebatuan yang mengarah ke salah satu gedung putih di depannya, dan tanah berumput yang menghiasi halaman sekolah itu.
Di tepi jalan itu, berdiri beberapa patung tembaga dengan ukiran tulisan di bawahnya. Angele mendekati dan membaca ukiran salah satu patung, lalu ia melihat kalimat 'Count Albert Parrington telah mendonasikan 20 ribu koin emas pada tahun 1307'. Angele pun terdiam. Awalnya, ia berpikir bahwa patung-patung itu ditujukan untuk orang – orang berprestasi yang membuat sekolah ini menjadi terkenal, tapi ternyata patung-patung itu ditujukan untuk orang-orang kaya yang memberikan donasi untuk sekolah minimal 10 ribu koin emas. Ia tidak lagi tertarik pada patung-patung itu, jadi ia berhenti melihat-lihat dan mengikuti Anderson masuk ke lantai pertama gedung putih.
Seorang pria paruh baya yang berjenggot duduk di tengah aula yang berhiaskan furnitur mewah, seolah sedang ada pesta. Matanya terfokus pada kertas di meja dan tangannya menuliskan nama-nama murid yang sedang mendaftar. Di depan pria itu, ada sekitar 20 sampai 30 calon murid yang sedang mengantri. Sementara itu, Anderson mengambil surat rekomendasi dari Tuan Siva. Orang-orang di sekelilingnya memandangnya seperti makhluk hina dan mulai menjauhinya.
Tidak lama kemudian, Anderson kembali bersama seorang pria berambut keriting berwarna yang segera membawa Angele masuk ke dalam salah satu ruangan di tepi aula.
Angele segera membayar biaya pendaftaran, dan saat itu juga langsung mendapatkan sebuah sertifikat putih berbahan kulit sebagai tanda identitasnya. Di sertifikat itu, tertulis nomor induk kesiswaan, kelas, nomor kamar, dan identitasnya. Sebuah stempel berwarna merah di tepi bawah sertifikat itu adalah bukti pelunasan pembayaran. Setelah semua tahap pendaftaran selesai, Anderson langsung pergi dari sekolah itu.
Menurut penjelasan pada kertas instruksi, bangunan di bagian kiri adalah asrama untuk para murid. Angele segera ke sana mengikuti arah yang tertulis di kertas itu. Ada banyak ruangan kosong, namun lorong sangat penuh sesak dengan murid-murid yang berjalan ke sana kemari mencari ruangan mereka. Walaupun banyak murid-murid yang mengenakan pakaian mewah di sana, pemandangan itu masih mengingatkan Angele akan para calon ksatria yang tinggal dan berlatih di Kastil Karl dulu. Kebanyakan siswa di situ terlihat sangat berbeda, karena mereka memakai pakaian mewah. Mereka berbicara dengan sangat perlahan dan lembut, sehingga perkataan mereka terdengar palsu.
Di kota ini, Angele bukan lagi seorang bangsawan. Ia hanya seorang murid biasa dan mantan bangsawan yang meninggalkan Kerajaan Rudin yang hampir mati untuk menyelamatkan diri bersama ayahnya. Namun, tidak ada batasan warna pakaian di Aliansi Andes, sehingga rakyat biasa pun bisa mengenakan pakaian berwarna-warni ataupun pakaian putih sekalipun. Tidak seperti di Rudin, ada hukuman bagi rakyat yang mengenakan pakaian berwarna-warni.
Setiap kamar di sana hanya cukup untuk satu murid, karena pihak sekolah menyadari bahwa anak bangsawan tidak akan mau berbagi ruangan di sana. Di dalam setiap ruangan, hanya ada satu meja, satu kursi, dan satu tempat tidur. Semuanya terbuat dari kayu yang tidak dicat. Bau tajam khas kayu tercium saat Angele masuk, meletakkan barang-barang, dan mengganti bajunya.
"Jadwal terbaru sudah keluar!" teriak seorang siswa dari luar ruangan.
"Jadwal itu ditempel di luar Gedung 5, harganya 5 koin emas!" lanjutnya.
"Kita harus membayar setidaknya 100 koin; kalau tidak, kita akan rugi." Terdengar suara lain dari luar.
"Harganya sesuai dengan yang ditentukan oleh Master Banner. Jika kalian ada pertanyaan, bicaralah langsung dengannya, karena aku hanya pengantar pesan." kata siswa itu. Seketika, murid-murid lain semakin ribut.
DOK! DOK! DOK!
Terdengar suara ketukan dari pintu ruangan Angele, dan ia langsung membuka pintunya. Seorang remaja laki-laki berambut hitam dan berpakaian merah-kuning khas bangsawan berdiri di depan pintu.
"Kau anak baru di sini? Kau sudah dengar harganya?" tanya remaja dengan bintik-bintik merah di wajahnya itu. Angele mengangguk.
"Bagus, itu adalah harga yang sudah ditentukan oleh Master Banner. Kalau kau ingin mengajari para murid yang kurang mampu, kau harus mengikuti aturan ini, mengerti?" lanjutnya. Angele pun mengangguk lagi.
"Oke." jawab Angele. Lagipula, dia tidak berencana untuk mencari uang dengan mengajari murid lain,
"Bagus." kata remaja itu dengan wajah puas.
"Untuk ukuran anak baru, kau lumayan juga. Jangan lupa membayar biaya yang tertulis di belakang jadwal." kata remaja itu sebelum meninggalkan kamar Angele. Angele menutup pintu dan memikirkan sesuatu. Lalu, ia mengambil selembar kertas yang bertuliskan berbagai macam kelas, jadwal, dan harga kelas tersebut. Daftar itu sangat panjang, dan tulisannya tidak jelas, kemungkinan besar karena tidak ditulis tangan. Jika remaja itu tidak memberitahunya, dia tidak akan tahu tentang ini.
Di kertas itu, tertulis harga-harga setiap kelas.
Musik – 2 kelas, durasi 1 jam. 20 koin emas.
Seni Lukis – 2 kelas, durasi 1 jam, 20 koin emas.
Seni Tari – 2 kelas, durasi 1 jam, 20 koin emas.
Berkuda – 2 kelas, durasi 1 jam, 20 koin emas.
Pelatihan Bertarung Bebas – 2 kelas, durasi 1 jam, 30 koin emas.
Sejarah Aliansi Andes – 2 kelas, durasi 1 jam, 10 koin emas.
Strategi Peperangan – 2 kelas, durasi 1 jam, 50 koin emas.
Teknik Berpedang – 2 kelas, durasi 1 jam, 20 koin emas.
Teknik Berpedang Katana – 2 kelas, durasi 1 jam, 20 koin emas.
Teknik Bertarung dengan Senjata Berat Ganda – 2 kelas, durasi 1 jam, 30 koin emas.
Memanah – 2 kelas, durasi 1 jam, 50 koin emas.
Bahasa – 2 kelas, durasi 1 jam, 20 koin emas.
Setiap murid diwajibkan untuk mengambil sepuluh kelas, dan jadwal setiap kelas akan ditentukan sebelum kelas tersebut dimulai. Semua pembayaran harus dilunasi pada hari yang sama setelah memilih kelas.
Angele mengernyitkan alisnya. Harga ini sangat mahal karena ia membutuhkan setidaknya 100 koin emas untuk menyelesaikan satu kelas. Walaupun ia telah berbekal dua kartu emas yang masing-masing berharga 1000 koin emas, harga itu masih sangat mahal baginya. Kartu itu dapat ditukar dengan koin di bagian pelayanan sekolah kapanpun ia mau.
You may also Like
Paragraph comment
Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.
Also, you can always turn it off/on in Settings.
GOT IT