“Ralin, lo pucat banget.”
Ralin terperangah, memfokuskan kembali perhatiannya. Ranu berdiri di hadapannya, terlihat cemas. Mereka berada di ruangan kecil di belakang panggung auditorium, menantikan giliran tampil. Panggung masih diisi oleh penampilan band para senior. Suara musiknya menghentak keras diiringi teriakan para penonton yang antusias. Kepala Ralin berdenyut makin sakit mendengar semua keributan itu.
“Kita keluar dulu. Ayo.”
Ranu menariknya berdiri, melangkahkan kaki melewati rekan sesama pemain yang asyik selonjoran di lantai. Mereka berjalan ke halaman yang ramai, lalu duduk di pelataran perpustakaan yang sedikit lebih sepi. Ranu menggenggam tangan Ralin, lalu memaksanya menyandarkan kepala di bahunya.
“Ranu…maaf…” ucap Ralin setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan.
“Santai aja kenapa?”
“Gue seperti memanfaatkan lo.”
“Enggak juga. Gue senang-senang aja bisa bersama lo, toh gue memang nggak pernah serius pacaran, kecuali lo mau.”