Iris berdiri dengan kaku di samping Morgan, kedua tangannya mengepal dan ia memejamkan matanya. Kata-kata yang meluncur dari mulut Michelle membuatnya merasa sangat marah.
Kerajaan Megalima?
"Kau benar-benar membenci kami?" Alita tidak bisa lagi menopang tubuhnya, ia jatuh terduduk di tanah dan kedua mata vampirnya itu memerah. "Thomas bahkan tidak tahu tentang pembantaian pack kalian, itu ulah Andreas!"
Michelle menyadari jika raut wajah ketiga orang yang ada di depannya ini langsung berubah, ia berusaha memutar otaknya agar dirinya bisa melarikan diri dari sini.
Tapi melihat mata Morgan membuatnya urung, ia tahu jika ia berani melompat selangkah saja, serigala besar itu tidak akan tinggal diam, Michelle mungkin akan dilibasnya dengan ekornya itu.
"Kalian tetaplah saudara," gumam Michelle. Matanya menukik dengan pandangan menuduh. "Eros mungkin sekarang sudah membawanya ke para prajurit yang berjaga di perbatasan Selatan."
Michelle dengan segala pemikiran sempitnya, ia tidak ingin repot-repot memikirkan berapa banyak anak yang dimiliki oleh ratu Dwizelle, ia juga tidak ingin tahu seberapa banyak pangeran atau putri yang ada. Baginya selama ada nama Phylla di belakang namanya maka orang itu adalah keluarga kerajaan.
Bukan Morgan saja yang berduka, Michelle pun masih berduka atas kehilangan saudaranya, keluarganya dan pack yang paling ia rindukan.
Michelle marah, ia marah karena ia tidak punya lagi siapa yang bisa ia salahkan atau ini, ditambah ia mendengar jika kerajaan sengaja memerintahkan pack Red Moon membantai packnya, ia menjadi membabi buta untuk melampiaskan amarahnya.
"Prajurit perbatasan?!" Iris melotot ke arah Michelle.
Prajurit perbatasan kerajaan Megalima bukanlah prajurit biasa, mereka terdiri dari orang-orang pilihan dari semua ras yang dilatih dengan khusus, mereka jelas bukan orang-orang yang dianggap remeh.
"Menurutku mereka tidak akan berangkat malam ini," kata Alita kemudian, ia melirik wajah Iris yang memucat.
Ia sudah berkelana hanya untuk mencari sosok Thomas di lima wilayah kerajaan Megalima, dari ibukota, Timur, Selatan, Barat dan Utara. Alita sudah hapal dengan kebiasaan para prajurit itu.
"Otakmu ternyata tidak sedangkal yang aku kira."
Alita membuka mulutnya, ingin mengumpati beberapa kata kasar untuk Michelle, tapi ia tidak sanggup. Ia bangkit dan melompat ke serigala wanita itu, menjambak rambutnya.
"Anjing sialan! Kemari biar kutunjukkan seperti apa kemarahanku!"
Michelle menjerit tertahan, ia berusaha menghindari jambakan Alita dan dua orang itu berguling-guling di tanah.
Iris terlalu sakit kepala mendengarkan pergulatan dua orang itu, ia menjentikkan jarinya dan akar langsung muncul di tanah, mengurung Michelle dan membentuk kerangkeng besar.
"Heh! Rasakan itu!" Alita bersorak, ia berkacak pinggang dan tersenyum penuh kemenangan, ia kemudian berbalik ke arah Iris.
Morgan ingin ikut memberi cemoohan pada Michelle, tapi Iris menahan tangannya dan menggelengkan kepalanya. Penyihir itu melihat pakaian Morgan yang penuh robekan, ia menghela napas.
"Kita tidak akan menyusulnya sekarang?" tanya Iris menatap Morgan dan Alita.
"Sebentar lagi akan senja," kata Alita sambil mengeluarkan sebuah kain lembut dari ruang penyimpanannya, ia menaruhnya di pundaknya. "Aku khawatir kita tidak bisa menyusulnya sekarang."
"Iris …." Morgan meraih kain itu lalu memegang lengan penyihir itu. "Kita tidak bisa menyusulnya sekarang. Terlalu bahaya bertarung dengan para prajurit perbatasan di malam hari."
Iris menggelengkan kepalanya dengan lemah, merasa tidak setuju dengan perkataan Morgan. Tapi ia tidak berdaya untuk membantahnya.
"Kalau begitu aku akan mengirim Litzy untuk memantaunya malam ini." Iris melambaikan tanganya, Litzy langsung berubah menjadi seekor burung gagak dan berputar ke atas langit, terbang menjauhi mereka.
"Morgan benar, Iris. Terlalu bahaya untuk menyusulnya di malam hari, dan juga desa manusia tempat tujuan kita sepenuhnya dikuasai oleh peri bunga, kita tidak tahu berapa banyak desa menuju kerajaan Megalima yang bernasib sama."
Morgan sama sekali tidak tahu tentang kejadian peri bunga, Iris dengan perlahan menjelaskan semuanya, bahwa pengaruh dari Andreas dan Ratu Valerie tidak main-main saat ini. Andreas sudah mengetahui identitas mereka, ia mungkin tidak akan sungkan mengeluarkan sayembara untuk memenggal kepala mereka pada para pemburu hadiah.
"Kita harus istirahat untuk malam ini di sini." Morgan menyentuh bahu Iris, ia meremasnya dengan pelan dan tangannya bermain-main di rambut panjang wanita itu. "Terutama kau Iris, kita harus mengumpulkan kekuatan. Besok sebelum fajar kita akan menyelamatkan Thomas."
"Ya."
Iris mengangkat tangannya dan mengeluarkan sebuah kain yang terlihat mirip dengan milik Alita, ia menaruhnya di bahunya. Morgan tersenyum lebar, diam-diam ia merasa senang dengan perhatian kecil Iris.
"Aku ingin mandi. Jangan mengintipku!" Alita melengos, memisahkan Iris dan Morgan, kemesraan mereka membuatnya sakit mata, ia kemudian turun ke telaga dan mulai membasuh tubuhnya.
Peri bunga dan Sarah yang bersama mereka sudah menghilang, mungkin mereka sudah puas melihat pertunjukan tadi dan memutuskan kembali secara diam-diam.
Iris terdiam, kedua tangannya saling bertaut dan jika diperhatikan dengan seksama, tangan itu gemetar.
Morgan melihat semuanya, ia mengabaikan tatapan penuh kebencian milik Michelle yang terkurung di dalam kerankeng dan memegang tangan Iris.
"Kau tidak baik-baik saja … katakan padaku, kau sebenarnya masih mengkhawatirkan bocah itu kan?"
Morgan menatap mata Iris yang berpura-pura terlihat tegar, penyihir itu balik menatapnya dengan mata berkaca-kaca, sesaat Morgan merasakan hatinya seperti ditusuk oleh duri.
Mengapa bocah itu harus ada di hatimu? Mengapa bukan dirinya yang bertemu Iris terlebih dahulu?
Morgan tidak mengatakan semua keluhannya, ia menarik tangan Iris dan membawanya ke pelukannya.
"Kalau kau khawatir, katakan saja. Tidak usah membohongi dirimu sendiri."
Iris membalas pelukan Morgan, kedua tangannya melingkari pinggang manusia serigala itu, ia menyesap dalam-dalam aroma tubuh khas yang dimiliki Morgan dan perasaannya yang tadi berkecamuk mulai merasa tenang.
"Aku memang khawatir dengannya," aku Iris dengan suara pelan, ia kemudian teringat momen bagaimana perlahan-lahan rambutnya itu memutih dan penglihatannya yang mulai hilang beberapa waktu yang lalu, tetapi laki-laki itu tidak mengeluh padanya.
Thomas tidak seperti Morgan yang terbuka dengan isi hatinya, Iris menyadari itu. Laki-laki itu mungkin menyimpan semua keluh kesahnya di dalam hatinya.
"Kita akan menyusulnya besok, bocah itu cukup kuat. Dia pasti bisa melindungi dirinya sendiri." Morgan menepuk punggung Iris dengan pelan, tiba-tiba tanpa alasan ia jengkel pada Thomas.
Morgan akui ia cukup pesimis dengan hidup Thomas, ia terkena kutukan, tubuhnya lemah dan ia mungkin akan mati ketika dilempar dari atas pohon ke tanah, tapi ketika melihat laki-laki itu berubah ke sosok aslinya, ia akui ada perasaan gentar di dalam hatinya.
Thomas dalam wujud aslinya sama sekali tidak menggemaskan dan lemah seperti yang biasa ia lihat, tetapi untunglah perubahannya itu hanya sebentar.
Jika tidak, mungkin Morgan harus menyiapkan hatinya bahwa bocah itu jauh lebih kuat daripada dirinya.