Sepanjang perjalanan, tak ada obrolan apa pun yang terdengar di antara dua anak manusia tersebut. Andra sedang fokus dengan kemudinya, sedangkan Andine sibuk dengan kebisuannya, dengan sesekali membuang pandangan ke luar jendela, mengamati suasana malam kota Jakarta.
Sunyi, hening, bagai tak berpenghuni. Itulah yang terasa pada atmosfer di dalam mobil tersebut. Sepasang suami istri saling mendiamkan, tak ada pembahasan berarti. Andra dibuat bingung oleh istrinya sendiri, meskipun bibirnya berkata ia tak peduli, tetapi hati tak bisa dibohongi.
Andra menoleh sekilas ke sebelah kiri, dilihatnya Andine sedang duduk dengan pandangan lurus ke depan. Raut wajahnya datar, terdiam dengan bibir terkunci rapat. Dia bagai patung yang bisa bernapas dan mengedipkan mata.
Pria itu menghela napas seraya mengalihkan tatap ke arah jalanan beraspal yang ada di depan sana.
"Kamu kenapa sih, An? Kok diem aja dari tadi?" Pertanyaan itu akhirnya terlontar dari bibir Andra.
Andine menoleh singkat, kemudian kembali membuang pandangan ke arah berlainan. Gadis itu menghembuskan napas pendek, bahkan tak berniat sedikit pun untuk menjawab pertanyaan sang suami.
"Astaga, ditanyain malah diem," gerutu lelaki berhidung mancung itu. Kesabarannya tengah diuji saat ini lewat perlakuan sang istri.
"Aku lagi tanya, An. Kenapa nggak dijawab?" Pria itu menunjukkan protes. "Aku udah memperlakukan kamu dengan baik ya, An. Kok kamu nyebelin gini?"
"Kamu yang nyebelin, Mas!" Gadis itu menoleh dan memberontak dengan kalimat penuh penekanan. Kedua matanya tajam tertuju ke arah sang suami duduk.
Andra terdiam sambil terus fokus mengendalikan kemudi.
"Aku tahu, kamu memang memperlakukan aku dengan baik. Tapi itu cuma di depan umum, selebihnya? No. Kamu kasar, ketus, nggak punya perasaan sama sekali!" Entah keberanian dari mana, wanita itu melontarkan semua uneg-uneg yang mengganjal di dalam hatinya.
Sekarang posisi berganti, Andra yang terdiam dengan bibir terkunci rapat. Dengan napas tercekat, dan dada bergemuruh hebat.
Gadis ini, berani sekali dia berteriak di telinga Andra. Jika mau, lelaki itu sudah balik membentaknya dan membuat Andine bungkam dengan seribu penyesalan sebab sudah seberani ini.
Namun, Andra tidak mau sesuatu yang tidak diinginkan terjadi nanti.
"Pasti sangat menyenangkan ya jadi pusat perhatian semua orang? Bernyanyi dengan suara merdu kamu bareng sama seorang wanita. Kamu kelihatan enjoy banget, Mas. Beda banget waktu sama aku." Andine kembali bersuara, sambil menahan geram di dada ia berucap menumpahkan semuanya.
Andra hanya diam mendengarkan, seolah membiarkan wanita itu melepas semua yang mengganjal di dada.
Andine menghela napas panjang seraya membuang pandangan ke jendela, ia sudah diam dengan dada yang masih terasa panas.
Andra menoleh sekilas, kemudian kembali menatap lurus ke depan. Dengan sikap tenang dan santai, pria itu membawa laju mobilnya dengan kecepatan sedang di atas jalan raya.
"Udah marah-marahnya?" tanya Andra kemudian, yang justru membuat Andine menoleh dan menghadiahkan tatapan tajam pada lelaki itu.
"Kalau belum, silakan marah-marah lagi. Keluarkan aja semuanya, biar lega. Supaya nggak mengganjal terlalu lama, takutnya nanti jadi penyakit." Masih dengan sikap santainya Andra melanjutkan, yang justru membuat Andine semakin meradang. Jadi, ia putuskan untuk membuang muka dan mengabaikan sang suami.
Hening beberapa saat.
Andra menarik napas dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Setelah itu, tak ada percakapan apa pun sampai keduanya tiba di rumah.
Andra mematikan mesin mobil dan mencabut kuncinya, lelaki itu kemudian membuka seat belt. Saat hendak melangkah keluar, ia mengurungkan niat dan kembali duduk serta menoleh pada sosok wanita yang masih mematung di tempatnya.
"Ingat, An. Pernikahan ini bukan keinginanku, jadi kamu harus mengerti bahwa aku belum bisa menerimanya. Jangan paksa aku untuk menjadi suami yang baik, karena aku juga tidak yakin bisa menjadi seperti itu. Jangan terlalu banyak berharap padaku, aku tidak akan bertanggung jawab atas rasa sakitmu."
Setelah mengatakan kalimat itu, Andra pun pergi meninggalkan Andine seorang diri di sana. Ya, benar-benar sendirian.
Dari banyaknya kalimat kasar atau menyakitkan yang meluncur dari bibir Andra, kalimat barusan adalah yang paling menyakitkan.
Gadis itu menunduk menahan perih di hati, sambil mengusap dada ia pun bergumam. "Hati sekeras batu milikmu, dapatkah aku meluluhkannya? Atau, lebih baik menyerah saja?"
Andine menghela napas sambil mengangkat kepala, dilihatnya dari kejauhan, Andra baru saja masuk ke rumah mereka. Bahkan pria itu berlalu tanpa menunggu sang istri yang detik ini masih berada di dalam mobil.
"Jika aku mati sekali pun, kamu tak akan peduli, Mas," gumam Andine penuh keputusasaan, ia tersenyum miris dengan hati teriris perih.
Semangat yang selama ini dibangun untuk mencoba menerobos kerasnya hati Andra, langsung lenyap begitu saja. Andine pikir, saat-saat kebersamaan berdua seperti beberapa waktu lalu mampu menghidupkan suasana serta rasa di antara keduanya. Namun, ekspektasi tak seindah realita.
Andra tetaplah Andra, lelaki kaku yang memiliki hati sekeras batu. Tak berperasaan, tak memiliki empati sama sekali.
Terbesit tanya di benak Andine, kenapa bisa dia sampai menikah dengan lelaki seperti itu? Andine bergegas menggelengkan kepala, saat menyadari bahwa ia sudah menyalahkan takdir Sang Kuasa.
Gadis itu bergegas melangkah keluar dari mobil, lalu berjalan dengan langkah gontai menuju ke rumah.
Di dalam bangunan besar dan luas itu, Andine tak melihat Andra di mana pun. Mungkin sang suami sudah masuk ke kamarnya, pikir gadis itu.
Andine pun melanjutkan langkah dan pergi ke kamarnya sendiri.
Keesokan paginya, rutinitas kembali dijalani oleh pasangan itu. Andra dan Andine sarapan bersama dengan hening yang begitu mencekam. Ruang makan itu terasa dingin, tak ada kehangatan layaknya sebuah rumah yang dihuni oleh sebuah keluarga yang bahagia.
Andra dan Andine menikmati makanan dalam kesunyian dan bibir membisu, bahkan Andine yang biasanya menunjukkan kepedulian, kini terlihat tak acuh. Sedangkan Andra, juga tak terlalu mempedulikan gadis itu.
"Berangkat sama Pak Joko, aku duluan." Suara Andra memecah keheningan, pria itu bicara tanpa sedikit pun menoleh ke arah sang istri. Andra bangkit berdiri dan bersiap pergi, langkahnya yang tegas kemudian menjauh. Ditinggalnya Andine sendirian di sana.
Lastri, yang diam-diam mengamati pasangan itu hanya bisa menatap iba dan cemas. Bagaimanapun juga ia sudah menjadi saksi bagaimana kehidupan sebenarnya kedua anak manusia itu. Jauh di dalam lubuk hati, ia sungguh merasa sedih. Namun, tidak bisa berbuat apa-apa.
Tak berselang lama, Andine pun bangkit dari duduk dan berlalu pergi meninggalkan ruang makan tanpa menghabiskan sarapan di piringnya. Gadis itu menyambar tas dan blazer yang tersampir di salah satu kursi. Tapak sepatunya yang beradu dengan lantai menciptakan bunyi yang tegas, sama tegasnya dengan langkah Andra.
"Duh, kalau ego keduanya sama-sama tinggi … bagaimana suara tangis bayi akan terdengar di rumah ini?" gumam Lastri, sosok asisten rumah tangga yang turut menanti kehamilan Andine. Walau memang sangat sulit tentunya untuk terjadi, sebab wanita paruh baya itu pun tahu sendiri bahwa selama ini Andra dan Andine memang tidur terpisah.