Lapangan basket terlihat ramai oleh puluhan penonton. Padahal bel pulang sekolah sudah berbunyi lima belas menit yang lalu. Tapi karena anak-anak basket ada jadwal latihan, membuat banyak siswi berdatangan untuk menonton.
Tujuan mereka menonton basket, lebih cenderung karena ingin melihat para anggota inti tim basket Starlight. Tidak peduli mereka paham dengan peraturan di pertandingan basket, yang terpenting bagi para penonton saat ini adalah ingin melihat wajah-wajah tampan tim basket yang diketuai Alingga.
"Minggu depan kita diajak tanding sama anak-anak Tribakti. Biasalah, Nichol kangen dikalahin sama elu, Al" ujar Oscar memberitahu pesan yang tadi dikirimkan oleh kapten basket dari SMA Tribhakti.
"Terima aja. Minggu depan gue free," kata Alingga yang saat ini sedang memakai ikat kepala berwarna hitam.
"Alingga ganteng bangeeettttt!"
"Plisss. Gue nggak kuat kalo lihat Alingga pake ikat kepala!"
"Pengin jadi pacarnya Alinggaaa!"
Alingga menoleh ke barisan tempat duduk yang diisi oleh penonton. Tersenyum miring, kemudian kembali berbalik arah setelah menampilkan wink andalannya di depan para penonton.
"Aaaaa gue jantungan tauuu!"
"Kenapa harus ngeluarin wink segala? Kan gue jadi baper!"
"Mamaa tolongin anakmu iniii!"
Seruan dari penonton tidak kunjung berhenti. Bahkan saat latihan basket dimulai, mereka terus meneriaki nama Alingga. Terlebih saat Alingga berhasil mencetak poin.
"Alingga mulu yang dipanggil. Guenya kapan coba?" heran Denis sambil sesekali melihat teman-temannya yang sedang menonton.
"Nunggu kejombloannya Alingga pensiun, baru deh lo dapat giliran, Den" sahut Oscar yang masih berusaha merebut bola dari Alingga.
"Matanya anak-anak Starlight cuma tertuju ke Alingga doang. Pilih kasih banget!" kesal Denis.
Apa-apa yang bersangkutan dengan Alingga pasti akan membuat satu sekolah heboh. Saat novel Alingga barusaja dirilis atau dibukukan, kedatangan Alingga ke sekolah sudah disambut hangat oleh pihak sekolah. Beberapa waktu yang lalu saat salah satu novel Alingga diadaptasi menjadi film, nama dan foto Alingga dipajang di depan gerbang sekolah.
"Alingganya gamau sama kalian! Jadi gausah diteriakin terus! Mending neriakin gue ajaa!"
"HUUUUUUUUU!"
Sorakan penonton membuat Denis ditertawakan oleh seluruh anggota basket. Tawa lepas Oscar terdengar sangat puas dibanding yang lain.
"Seneng banget ya lo lihat temennya dihina," sindir Denis menatap tajam ke arah Oscar.
"Elonya sendiri yang mancing-mancing mereka. Salah lo sendiri lah," sahut Oscar.
"Tau ah. Sebel gue disalahin mulu," Denis berlajan menjauhi lapangan.
"Idih ngambekan. Kayak cewek luu!" seru Oscar namun tidak digubris oleh Denis.
Oscar hendak bermain kembali, namun ia baru sadar jika yang berada di tengah lapangan hanya tinggal ia dan juga Alingga. Kemana yang lainnya?
Saat Oscar akan bertanya pada Alingga, ia baru melihat jika ada Leo yang sedang berdiri di depan Alingga. Oscar pun segera menjauh karena tidak ingin ikut campur dengan urusan mereka berdua.
Dilihat dari tatapan Alingga, sangat jelas jika Alingga tidak menyukai kedatangan Leo. Dari segi apapun, tidak ada hal yang membuat Alingga berpikir positif tentang cowok tersebut. Benci dan hanya benci.
"Kita perlu bicara," kata Leo memulai pembicaraan.
Alingga tersenyum sinis mendengarnya. Satu jenis ekspresi yang menurut orang-orang membuat Alingga terlihat mengerikan. Tipe cowok hiperaktif lalu tiba-tiba bersikap pasif.
"Tau wujudnya bangkai binatang?" tanya Alingga yang kini sudah mendekatkan dirinya dengan Leo.
"Omongan lo, lebih busuk daripada baunya mereka," Alingga beralih menatap tajam Leo.
Hanya tiga detik. Sebelum Alingga berlalu pergi dari hadapan Leo. Kembali menolak untuk berbicara dengan Leo karena satu alasan yang sama.
Alingga yang seperti ini, artinya sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun.
***
Alira masih berada di ruang guru setelah pelajaran di kelasnya selesai. Ia diminta untuk membantu guru mengoreksi ulangan yang baru saja selesai dilaksanakan di kelasnya.
"Ibu, ini sudah selesai dikoreksi semua," Alira menyerahkan lembaran kertas ulangan yang sudah ia koreksi.
"Terimakasih ya, Alira" kata Bu Ita, guru matematika di Starlight.
"Sama-sama, Bu. Untuk jawaban yang lain, ada yang perlu sama bantu lagi, Bu?" tanya Alira sopan.
"Tidak perlu. Kamu bisa pulang sekarang. Jangan lupa buat hati-hati bawa motornya," peringat Bu Ita yang terlihat diangguki oleh Alira.
"Baik Ibu. Kalau begitu saya permisi dulu. Asaalamualaikum," pamit Alira.
"Waalaikumsalam."
Sampai di luar ruang guru, Alira tampak bernapas lega. Ia mengambil botol minum miliknya yang isinya tinggal setengah. Sambil duduk di depan ruang guru, Alira menghabiskan minuman tersebut.
Merasa jika tubuhnya sudah kembali fresh, Alira beranjak berdiri. Kemudian berjalan menuju ke parkiran untuk mengambil motor kesayangannya.
Alira pikir kondisi sekolah sudah sepi, tapi ternyata dugaannya salah. Tepat di hadapannya saat ini, gerombolan siswa terlihat baru saja keluar dari lapangan basket. Beberapa siswa yang tampak berlarian tanpa sengaja menyenggol bahu Alira.
"Aww!"
Alira menjerit saat tangannya tergores plang besi yang sebagian sudah berkarat. Lengan kanan Alira tampak mengeluarkan darah. Beberapa goresan menambah rasa sakit tersebut.
"Alira!"
Leo yang baru saja keluar dari lapangan dan melihat keadaan Alira, segera berlari mendekati gadis tersebut.
"Kenapa bisa kayak gini?" tanya Leo tampak khawatir.
Alira menggeleng. Mulutnya terasa kaku karena menahan perih di tangannya. Leo yang menyadari hal tersebut tampak menuntun Alira untuk duduk.
"Lo tunggu di sini dulu. Gue ke UKS buat ngambil obat," kata Leo kemudian berlalu pergi menuju UKS.
Sambil menunggu Leo kembali, Alira terus meniup-niupkan udara dari dalam mulutnya ke arah tangannya yang terluka. Sungguh! Alira bukannya lebay. Tapi ini memang perih sekali.
Tidak ada satu menit berlalu dan Leo sudah kembali dengan kotak berisi obat yang ia bawa dari UKS.
"Sini," Leo menarik lembut tangan kanan Alira. "Biar gue bersihin dulu lukanya."
Alira menurut. Meski ia sangat ingin melakukannya sendiri, namun ia belum sanggup mengeluarkan kata-kata karena masih menahan sakit.
"Siapa yang nyenggol lo sampai luka gini, Al?" tanya Leo dengan tangannya yang telaten mulai mengobati luka di lengan Alira.
"Nggak tau," jawab Alira mulai mengeluarkan suara.
"Ada banyak banget kok orangnya. Gue mana bisa tau yang mana yang nabrak gue," imbuhnya.
Leo mengangguk paham. Pasti ini semua ulah anak-anak yang baru saja selesai menonton basket. Mereka keluar dari lapangan dan berlarian asal tanpa memperhatikan orang di sekitarnya.
"Tahan bentar ya," kata Leo yang sedang menuangkan obat merah di lengan Alira yang terluka.
Alira menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Menahan diri supaya tidak berteriak atau bahkan menangis.
"Udah," Leo tersenyum singkat saat ia berhasil menyelesaikan tugasnya.
Alira menatap luka di lengannya yang sudah diobati oleh Leo. "Makasih Leo. Maaf jadi ngerepotin."
"No problem," sahut Leo santai.
"Lo kenapa belum pulang?" tanya Alira.
"Tadi ada urusan bentar," jawab Leo seadanya.
"Udah selesai urusannya?" Alira kembali bertanya dan segera diangguki oleh Leo.
"Mau bareng ke parkiran sama gue nggak?"
Leo menoleh secepat kilat. Takut-takut jika ia salah dengar. Baru kali ini Alira menawarkan sesuatu pada Leo.
"Ayo kalo mau bareng. Keburu malem, emang lo mau nginep di sini?" tanya Alira yang sudah berdiri dari duduknya.
Dengan sigap Leo langsung berdiri. Alira yang melihatnya sempat terkekeh. Namun hanya sebentar saja. Sebelum keduanya kemudian berjalan bersamaan melewati lorong sekolah menuju ke parkiran.
***
03102021 (12.03 WIB)