Gelapnya misteri kejahatan bisa dibongkar ilmu pengetahuan. Forensik dapat menjelaskan yang buram, mengangkat bukti-bukti yang karam dan menangkap pelaku kejahatan.
Setelah Madeline pergi meninggalkan Benjamin, Benjamin segera masuk ke dalam kantor dan ternyata suasana di dalam mulai tampak sepi, hanya beberapa petugas yang masih berjaga di area kantor kepolisian.
Benjamin akhirnya memutuskan untuk pergi ke ruangannya dan tak lama dia tiba di ruangannya, ia segera duduk beristirahat sejenak.
"Untuk pertama kalinya aku merasa lelah dalam menghadapi sebuah kasus pembunuhan," gumam Benjamin.
Benjamin merenung sejenak untuk menenangkan pikirannya, seketika ia melirik ke arah barang-barang miliknya dan teringat akan sesuatu, sontak Benjamin segera menghampiri barang-barang pribadi miliknya.
"Bagaimana mungkin aku melupakan hal ini," gumam Benjamin.
Terlihat Benjamin segera membuka tas dan didapati sebuah foto dari mendiang istrinya saat bersamanya, kemudian Benjamin segera membereskan barang-barangnya kembali.
Setelah selesai merapihkan barang-barangnya, Benjamin kembali duduk di kursi miliknya sambil membawa foto mendiang istrinya bersama dirinya.
"Grace, seandainya kau masih hidup dan mungkin saat ini kau akan memberikanku dukungan," gumam Benjamin sambil mengusap foto tersebut "Dunia ini memang tidak adil, namun kurasa kau akan mengatakan hal sebaliknya dengaku,"
Namun tak lama terdengar suara jendela di ketuk dari luar, Benjamin yang mendengar hal itu segera menyimpan foto tersebut di laci meja.
"Siapa diluar?" tanya Benjamin.
Namun tidak ada siapapun yang menjawab, akan tetapi suara ketukan masih saja terdenger. Tidak terlihat apapun dari jendela karena memang tertutup kain gorden.
Tok... Tok...
"Jika ada yang ingin kau bicarakan, katakan sesuatu," teriak Benjamin.
Namun suara ketukan tersebut tiba-tiba berhenti, Benjamin yang merasa bingung segera menghampiri jendela dan membukannya, Benjamin terkejut saat membukan jendela karena tidak ada siapapun dibalik jendela
"Ini aneh tidak ada siapa-siapa disini, apa mungkin itu hanyalah orang iseng? Ah sudahlah,"
Namun Benjamin baru sadar, ternyata ada sebuah jalanan kecil tepat di belakang kantor kepolisian, jalanan yang hanya mampu di lewati satu orang saja. Benjamin yang menghiraukan hal itu segera menutup kembali jendela.
"Aku sudah lelah dalam menangani kasus ini, Grece. Sudah semua hal yang ..."
Tok... Tok...
Suara ketukan jendela tersebut kembali terdengar.
"Astaga, siapa yang menggangguku ini,"
Benjamin yang merasa kesal pun kembali menghampiri jendela, namun ketika dibuka alangkah terkejutnya Benjamin yang melihat sebuah kertas yang menempel di kaca.
"Aku rasa ini bukan orang iseng, sepertinya ada yang sengaja menemuiku dengan maksud tertentu tapi siapa dia," batin Benjamin.
Benjamin segera membuka jendela lalu mengambil selembar kertas tersebut, ia segera membuka kertas tersebut yang sepertinya tertulis sebuah alamat di dalamnya.
"Pergilah ke Le Mistral malam ini! Apa maksud tulisan ini? Kenapa ia memberiku alamat ini?" Benjamin mulai kebingungan.
Benjamin segera menutup jendela itu kembali, namun sebelum itu ia memperhatikan jalanan lalu kemudian menutup jendela rapat-rapat. Ia segera kembali duduk di kursinya.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa kertas ini bisa membuka jalanku untuk melanjutkan misi?" gumam Benjamin yang bertanya-tanya dalam pikirannya.
Tak lama setelah beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan dari arah pintu, namun kali ini terdengar suara seseorang memanggil-manggil nama Benjamin.
Tok.. Tok..
"Ben? Apa kau di dalam?"
"Siapa disana?" teriak Benjamin.
"Ini aku, Devon,"
"Oh ternyata kau, Dev. Masuklah, pintu itu tidak terkunci,"
Devon segera masuk ke dalam ruangan tersebut.
"Hai, Ben. Apa aku mengganggu waktumu?" tanya Devon.
"Tidak sama sekali, Dev. Kemarilah,"
Devon segera menghampiri Benjamin dan kembali menutup pintu rapat-rapat.
"Bagaimana kau tahu aku ada disini, Dev?" tanya Benjamin.
"Sebenarnya aku sempat melihat seseorang sedang memasuki ruangan ini, ternyata itu memang benar kau,"
"Ada apa kau menemuiku? Apa ada sesuatu yang ingin kau bicarakan?" tanya Benjamin.
"Tidak ada, Ben. Aku hanya ingin menemuimu saja, ngomong-ngomong kau kanapa? Terlihat kau punya masalah?" tanya Devon.
Benjamin hanya terdiam menatap wajah Devon, terlihat raut wajah Benjamin yang ragu untuk menceritakannya kepada Devon.
"Sepertinya kau mengkhawatiran sesuatu, Ben? Tapi jika kau ragu untuk menceritakannya padaku tidak masalah,"
"Tidak, Dev. Sebenarnya ada satu hal yang saat ini mengganjal perasaanku,"
"Memangnya ada apa? Katakan saja, Ben,"
"Sesaat sebelum kau kesini, ada seseorang yang memberikanku kertas ini," ucap Benjamin sambil memperlihatkan kertas tersebut kepada Devon.
"Hmm ... Kertas apa ini?" tanya Devon.
"Di dalam kertas itu terdapat sebuah alamat, namun aku tidak tahu tujuan yang ia maksud," ucap Benjamin.
"Le mistral? Kurasa aku mengetahu lokasi tempat ini dimana, Ben,"
"Benarkah, Dev? Apa kau tahu lokasi ini dimana?" tanya Benjamin.
"Tentu saja, Ben. Hanya ada satu tempat dengan nama itu, lokasinya tidak jauh dari kantor kepolisian ini," ucap Devon.
"Kalau begitu, Dev. Sebaiknya kita pergi sekarang," ucap Benjamin.
"Baiklah, Ben. Tapi sebelum kita pergi, aku ingin ke ruangan dulu untuk mengambil sesuatu," ucap Devon.
"Baiklah, Dev. Tapi cepat,"
"Tenang saja, Ben. Aku tidak akan lama,"
Devon segera keluar dari ruangan Benjamin, lalu ia segera pergi ke ruangannya.
"Siapa sebenarnya orang yang ini? Aku merasakan ada sesuatu yang aneh ... Ah sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja," gumam Benjamin.
Benjamin segera bersiap-siap, kali ini ia mengganti pakaiannya menggunakan kemeja putih dengan rompi berwarna hitam serta sebuah celana trouser yang sangat ia sukai.
"Sudah lama sekali aku tidak menggunakan pakaian ini, tapi sepertinya semua ini masih nyaman untuk di pakai," gumam Benjamin.
Setelah selesai mengganti pakaian, Benjamin kembali duduk di kursinya dan kembali merenung.
"Aku harap apa yang aku lakukan ini akan menghasilkan sebuah bukti untuk menyelesaikan kasus kematian Tuan Albert,"
Beberapa saat kemudian, Devon masuk kembali ke ruangan Benjamin, ia sedikit terkejut dengan pakaian yang tengah di kenakan Benjamin.
"Bagaimana, Ben. Apa kau sudah ... Ya ampun, Ben. Kau terlihat gagah dengan pakaianmu ini,"
"Sudahlah, Dev. Kau tidak terlalu berlebihan begitu,"
"Tidak, Ben. Aku serius ... Ah sudahlah, ngomong-ngomong bagaimana rencana kita untuk pergi kesana?" tanya Devon.
"Untuk saat aku tidak bisa berpikir jernih, Dev,"
"Tapi, Ben. Jika kita terlalu terburu-buru pergi kesana, aku khawatir terjadi sesuatu dan bisa saja hal ini merupakan sebuah jebakan,"
"Hmm ... Kau benar, Dev. Tapi tidak ada pilihan lain selain pergi kesana dan sepertinya akan ada sesuatu yang akan mengancam kita, apa kau sanggup?"
"Dengar, Ben. Kita sudah melewati masa sulit ketika kita mengunjungi bar, kau lupa apa yang terjadi saat kita mengunjungi bar Baldovino?" tanya Devon.
"Aku mengerti, Dev. Jika kau siap menerima apapun resikonya, kurasa lebih baik kita pergi sekarang,"
"Lebih cepat akan lebih baik, Ben,"
Benjamin dan Devon memutuskan untuk pergi ke tempat Bernama Le Mistral, Benjamin sedikit merapihkan barang-barang miliknya yang ia simpan di ruangannya itu.
"Apa kau siap, Dev?" tanya Benjamin.
"Tentu saja, Ben,"
Benjamin dan Devon segera pergi keluar meninggalkan ruangannya, mereka mulai menyusuri area kantor yang semakin sepi. Tak lama mereka tiba diluar kantor kepolisian.
"Aku sangat penasaran, apa yang akan terjadi mulai dari sekarang, Ben,"
"Apapun itu, kita harus menghadapinya siap ataupun tidak,"