(Masih pada tahun yang sama)
Akhirnya aku membuka mataku dan aku melihat sepasang mata merah menyala di sudut ruangan ini. Aku pun melompat dari kasur dan menyibak selimutku, membuka pintu, berlari keluar kamar.
.
Aku mendesak tidur di antara ayah dan ibuku. Namun ternyata ibuku terbangun, lalu mengomel karena di sini sudah cukup sempit karena adik terakhirku masih di dalam kelambu bayi sehingga banyak memakan tempat. Aku terus memohon agar dapat tidur di sela-sela orangtuaku tapi ibuku tetap tidak memperbolehkannya kecuali aku tidur di samping ayahku. Ayahku terlalu lelap tidur sehingga aku tidak tega membangunkannya hanya untuk bergeser. Aku terduduk di pinggiran kasur dan mengalami bimbang antara membangunkan ayahku dan menyuruhnya bergeser atau kembali ke kamarku. Akhirnya aku tetap memaksa untuk tidur di sela-sela orangtuaku dengan tidur menyamping. Dan ternyata ibuku kembali terusik. Karena kesal, ibuku kembali mengomeliku untuk kembali ke kamar tapi aku tetap bersikukuh dan meyakinkan ibuku bahwa aku tidak akan memakan banyak tempat untuk tidur. Karena semakin kesal, ibuku menarik paksa tanganku dan mendorongku masuk ke kamar. Ibuku keluar dari kamar dan menutup pintu kamarku. Aku tidak ingin membuat ibuku semakin marah, tapi aku tidak ingin berada di kamar ini. Aku juga tidak bisa menyalakan lampu kamarku karena dapat membangunkan kedua adikku. Akhirnya aku memutuskan untuk menyalakan lampu belajarku. Dengan tangan gemetar, aku mengetik saklar lampu belajarku. Bau tak sedap itu masih tercium samar-samar. Aku tidak berani untuk tidur di ranjangku karena bayangan hitam bermata merah itu berada di sudut ruangan dekat kaki ranjangku. Kuraih selimut yang berada di atas ranjangku, dan berusaha tertidur sambil bersandar di daun pintu yang tertutup itu. Selimut itu menutupi seluruh tubuhku hingga kepala yang meringkuk dengan gemetar. Doa dan zikir terus keluar berbarengan dengan hembusan nafasku. Tanpa kusadari kakiku sudah dingin dan airmataku menetes begitu saja. Aku merasakan sebuah usapan di rambutku, dan aku merasa seperti ada aura yang memerangi aura mengancam dari bayangan hitam itu, sehingga aku tidak menyadari jika aku telah jatuh tertidur.
.
Sudah beberapa hari berlalu setelah kejadian mencekam malam itu. Aku tidak mengadukannya kepada orangtuaku karena aku yakin pasti mereka akan mengatakan bahwa aku hanyalah berhalusinasi. Kini aku mulai terbiasa dan bayangan hitam itu hanya muncul sesekali.
Hari ini adalah hari Sabtu seperti pada sekolah dasar umumnya di daerahku, hari ini aku memakai seragam Pramuka. Aku berangkat sekolah cukup pagi karena tidak ada alasan untukku menahan diri lebih lama di rumah. Aku lebih suka datang lebih pagi dari yang lain bahkan aku sering meminta kunci kelas dari penjaga sekolahku agar aku bisa lebih cepat masuk ke kelas. Semakin cepat masuk, semakin lama pula waktuku untuk tidur hingga bel masuk berbunyi.
Kegiatan belajar mengajar masih seperti biasa diawali dengan doa dan surah pendek di pagi hari. Bel istirahat pertama berbunyi, aku pun memutuskan untuk pergi ke warung nasi kuning yang berada di samping sekolahku. Setelah selesai makan dan membayarnya, aku kembali ke sekolah dan dibingungkan dengan keributan yang sedang terjadi di depan kantor guru. Bukannya aku peduli dengan urusan semacam itu, hanya saja kelasku tepat berada di depan kantor guru. Akhirnya aku memutuskan untuk menyelip di antara kerumunan. Ketika aku sudah hampir sampai di depan kelasku, aku merasa seperti ada yang menyenggol bahuku dengan keras sehingga aku terhuyung. Untung saja Rahul yang berada di dekatku dengan sigap menangkap tanganku.
"Terimakasih, Hul. Tapi ini kenapa, sih?"
"Santai. Ah ini, katanya tadi ada anak kelas dua kerasukan."
Setelah mengatakan keadaan dengan singkat Rahul pamit untuk ke kantin sekolah. Rasa penasaranku terusik dengan keadaan yang terjadi. Mungkin nanti Masitah dapat kutanyai mengenai hal ini.
Bel masuk berbunyi dan semua kerumunan di depan kelasku sudah bubar menyisakan guru-guru yang menangani, atau bisa dibilang mengisi waktu luang karena sudah tidak memiliki jam mengajar. Aku melemparkan pandangan penasaran kepada Masitah yang baru saja menduduki kursinya. Aku menunggu dengan sabar Masitah yang mengeluarkan bukunya.
"Tah, kamu tahu gak tentang kejadian tadi?"
"Hm? Oh itu. Aku dengar dari anak-anak di kantin sih tadi katanya ada anak kelas dua kerasukan."
"Ya itu juga aku tahu. Maksudku detail ceritanya bagaimana?"
"Kalau aku gak salah ya. Tadi itu si anak kelas dua itu, dia kan hari ini kelas siang. Jadi dia menunggu bel masuk bersama beberapa temannya di depan masjid di seberang. Lalu teman-temannya bilang dia menatap pohon belimbing di seberang jalan dengan tatapan kosong. Tiba-tiba saja dia pingsan. Setelah dia membuka mata, dia langsung berlari, dan itu membuat temannya yang lain terkejut dengan gerakan impulsifnya. Saat teman-temannya berusaha mengejar, si anak kelas dua itu memasuki ruang kantor tanpa izin. Saat para guru menanyai apa yang dia lakukan di situ, tanpa menghiraukan ia menuju lemari buku dan membuka lemari buku yang berisikan Al Quran, lalu ia menghamburkan semua Al Quran itu dengan membantingnya satu-persatu di lantai. Sebelum tindakannya di luar kendali, para guru sigap menangkap kedua tangannya yang brutal itu. Hanya itu yang ku tahu."
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku tanda paham, tapi tidak lama kemudian guru yang sedang mengajar matematika di depan kelas memanggil nama kami berdua dan disuruh mengerjakan empat soal per orang. Tak apa, ini sepadan dengan rasa penasaranku yang terpuaskan.
Pagi ini aku menyiapkan seragam olahragaku karena pelajaran olahraga akan dimulai dari jam pelajaran pertama hingga istirahat pertama. Seperti biasa, aku diantar oleh ayahku ke sekolah, mencium tangannya dan mengucap salam. Sebenarnya biasanya aku beragkat maupun pulang menggunakan sepeda hanya saja saat ini sepedaku sedang diperbaiki.
Aku memasuki kelasku yang masih sepi, hanya ada beberapa anak piket yang datang. Aku menuju tempat dudukku dan menaruh tas di kolong meja. Mataku terasa berat karena udara pagi yang segar. Aku lebih suka menghabiskan waktu dengan memanjakan diriku sendiri daripada menyakiti telinga dengan mendengarkan ocehan para anak perempuan yang merasa paling sempurna itu. Aku melipat kedua tanganku di atas meja lalu menyandarkan dahiku, mencari posisi tidur paling nyaman.
Aku terbangun ketika bel masuk berbunyi. Pembacaan doa bersama yang dipimpin oleh seorang guru agama melalui alat penyaring suara menjadi rutinitas untuk membuka pelajaran. Setelah berdoa, guru olahraga kami memberikan instruksi untuk menuju ke lapangan. Dan pelajaran yang paling kubenci pun dimulai.
Bel istirahat mengembalikan binar bahagia di hatiku. Tanpa mengganti seragam terlebih dahulu, aku langsung menuju kantin dan memesan soto dan air putih. Setelah selesai makan aku membayar makanan yang telah kumakan dan berjalan dengan senang hati menuju ke kelas. Selain dari perutku yang kenyang, biasanya setelah pelajaran olahraga begini para anak perempuan akan bertahan di gudang sekolah untuk ganti baju sekaligus menggosip, sedangkan anak laki-laki akan sibuk membuat jam olahraga tambahan bagi mereka. Kelas yang sepi adalah tempat ternyaman ketiga setelah ruang kesehatan dan perpustakaan.
Aku berjalan mendekati pintu kelasku yang masih tertutup. Ketika akan membuka daun pintu itu, aku terheran mendengar suara ramai seperti seddang melapalkan... doa? Dengan rasa penasaran aku membuka daun pintu itu. Jantungku berdetak kencang melihat hal yang terjadi di dalamnya. Beberapa anak perempuan yang biasa menggosipi diriku sedang bertingkah seperti orang gila dengan teman-teman dan guruku yang membaca doa di sekelilingnya. Aku berusah acuh dan menuju tempat dudukku. Teman sebangkuku Masitah menelungkupkan kepalanya di antara tangannya yang terlipat di atas meja.
"Tah, ini kenapa, sih? Eh kamu tidur?"
Aku berusaha membangunkan Masitah dengan menepuk bahunya, tapi orang yang berhasil menjadi temanku hari ini itu tidak merespon sama sekali. Bagaimana bisa ia tidur lelap di tengah keributan seperti ini? Setelah sekian lama aku berusaha membangunkannya, akhirnya Masitah mengangkat kepalanya dan menatapku dengan mata memerah.
"Ih kamu kenapa? Jangan bercanda! Seram tahu!"
Masitah tersenyum kepadaku, lalu...
KIKIKIKIK!
'Oh sial!'
.
Bulu romaku bereaksi ketika melihat keadaan Masitah yang berada di sampingku. Matanya yang biasa terlihat jernih dan penuh binar ceria kini dihiasi dengan urat-urat merah yang menjalar seperti akar di sekitar pupilnya menatap nyalang ke arahku. Posisiku yang berbatasan langsung dengan tembok membuatku tidak dapat berkutik.
"Delin! Masitah kena?"
Suara Yovie yang nyaring mengalihkan atensi Masitah dariku. Namun ternyata keadaan tidak membaik dengan adanya itu. Di depan kelas, anak perempuan yang kutahu bernama Soraya sedang tiarap dan menggeram sambil melihat Masitah. Ketika itu juga Masitah menggeram balik kepada Soraya. Aku bingung dengan keadaan ini. Apakah ini yang dinamakan kerasukan? Tapi mengapa? Aku melihat para guru yang kewalahan menghadapi tujuh orang siswa yang kerasukan. Doa tak henti-hentinya dilantunkan. Aku melihat wajah Masitah terlihat berbeda berbeda. Mataku yang salah atau memang ia memiliki... taring?
Aku cukup terkejut saat mendengar salah seorang guru berteriak memanggil namaku dan menyuruhku serta beberapa siswa lainnya membantuku membawa Masitah ke ruang perpustakaan yang tak jauh dari kelasku karena di ruang Kesehatan terdapat seorang siswi bernama Najwa yang keadaannya tak kalah buruk dengan Masitah. Saat berada di perpustakaan tinggallah aku sendiri, para siswa yang ikut menemaniku pamit pergi karena dipanggil oleh guru. Karena ini masih awal semester, keadaan perpustakaan masih sangat berantakan. Aku melihat Masitah membuka sebuah buku sambil membelakangiku. Rasa penasaran mengusikku, sehingga aku mendekati Masitah yang ternyata tertawa kecil dengan riangnya. Aku melihat ia sedang membuka buku fabel bergambar. Halaman yang ia buka adalah sebuah gambar seekor ular yang melilit tubuh seekor buaya. Aku berpikir, apa yang menarik dari gambar yang sedang ia lihat? Apakah ia menyukai hewan-hewan melata? Aku terkejut ketika Masitah yang menengok ke arahku dengan wajah ceria lalu menarik tanganku agar aku duduk di sampingnya. Ia menunjuk gambar seekor buaya itu lalu menunjuk dirinya sendiri, kembali ia menunjuk gambar ular lalu menunjuk ke arahku setelah itu ia membuat gestur tubuh seperti berpelukan. Aku mengernyitkan dahi lantaran tak memahami bahasa tubuhnya, sedangkan aku berfirasat bahwa itu suatu hal yang penting.
Bel sekolah berbunyi, lalu terdengar pengumuman dari pengeras suara bahwa siswa diinstruksikan untuk pulang lebih awal dari biasanya karena kekacauan yang terjadi tak kunjung dapat diselesaikan. Selain itu, siswa yang kerasukan juga semakin bergilir. Seorang guru yang sama dengan guru yang mengintruksikan aku untuk membawa Masitah kemari memasuki ruang perpustakaan dan menyuruhku untuk pulang, ia yang akan menjaga Masitah. Aku menurut saja. Aku membereskan barang-barangku dan barang-barang Masitah untuk kubawa ke perpustakaan karena jika semua sudah keluar kelas akan dikunci.
Hari itu aku pulang dengan pikiran penuh akan teka-teki Bahasa tubuh makhluk ghaib yang merasuki tubuh Masitah tadi.
.
Teka-teki mengenai Bahasa tubuhmakhluk yang merasuki Masitah kemarin terus menghantui pikiranku. Hingga saatini sudah berlalu beberapa hari sejak kejadian itu. Hari-hari belakangan inidipenuhi dengan aura mistis. Setiap pagi kami membaca Surah Yasin yangmerupakan hati dari kitab suci umat Islam, Al Quran. Kejadian-kejadian kecilseperti adanya penampakan kerap terjadi setiap harinya, namun kejadiankerasukan seperti hari itu tidak terjadi lagi, atau belum. Entahlah. Pagi iniaku berharap pelajaran dapat berjalan dengan lancar karena mata pelajaran untukhari ini merupakan materi yang lumayan rumit menurutku.
Sekarang aku benar-benar tidak percaya kartun-kartun putri raja yang keinginannya selalu terkabulkan dengan berbagai macam cara. Mereka memiliki keinginan yang hampir mustahil tapi tetap terwujudkan, sedangkan aku hanya menginginkan mendapat pemahaman atas materi pelajaran yang rumit saja tidak terwujudkan. Aku akan membuang semua DVD itu pulang sekolah nanti. Lihat saja!
Keadaan pagi ini lebih ricuh dari keadaan kerasukan pertama kali. Kali ini tidak hanya kerasukkan, teman lelakiku, Rahul, menjerit sambil berjongkok di sudut belakang kelas bersama alat-alat kebersihan. Aku terkejut seorang anak nakal seperti dia dapat menangis karena ketakutan ternyata. Aku mendatanginya karena ia salah satu temanku.
"Hul, kenapa? Apa yang kamu takutkan? Biasanya kamu malah mengejek mereka yang ketakutan,"cibirku. Tapi, kemudian aku terkejut karena tangan kananku ditarik dan diremas oleh Rahul. Aku meringis merasakan kekuatannya yang tak main-main.
"L-lin... Del... Lin. I-itu, p-ph.."
"'Pppp' apa?! Yang jelas dong kalau ngomong!"
"Pocong,Del," cicitnya, tapi masih dapat kudengar. Aku membeliakkan mataku dan menengok ke belakang. Tapi tiba-tiba Rahul menjerit dan menarik wajahku hingga kini kembali melihat padanya.
"Jangan dilihat, goblok! Dia ngelihat ke sini!"
Setelah meneriakiku Rahul kembali menyembunyikan wajahnya di antara kedua tangannya yang terlipat. Aku menepuk-nepuk pelan pundak Rahul berharap dapat menenangkannya walau sedikit. Aku kembali dikejutkan dengan teriakkan Thori dan Akbar yang mengatakan hal serupa dengan Rahul. Aku berjalan ke arah tempat dudukku untuk mengemas barang-barang dan tasku. Aku berfirasat hari ini akan pulang lebih awal. Sampai di tempat dudukku aku langsung sibuk mengemas barangku.
"Tah, ada baiknya kamu ngemas barangmu sekarang, deh, karena kemungkinan hari ini kita pulang awal."
Aku berujar tanpa melihat ke arah Masitah, aku yakin ia mendengar yang aku katakan. Dugaanku tidak sepenuhnya salah, hanya saja aku berbicara dengan orang yang salah. Suara kikikan melengking membuat tubuhku kaku dan darahku berdesir sehingga jantungku bekerja lebih cepat.