"Kau yakin bisa membawa kotak yang berat dan besar ini? Sebenarnya kau belikan apa paman itu?"
"Bukan urusanmu. Woi kembalikan! Aku bisa membawanya sendiri."
"Kalau kau tidak cepat cepat aku akan pergi sendiri."
"Ha? Memang siapa yang ikut siapa di sini? Sialan!"
Amy berjalan cepat dan terpaksa mengikuti langkah Alfa yang cepat.
Mereka naik bus bersama, duduk bersebelahan namun tidak melihat satu sama lain. Sekali mereka melihat, keduanya akan membuang muka kembali. Alfa menoleh dan menatap Amy lama, Amy menatap keluar jendela, saat ia menoleh, wajah mereka menjadi begitu dekat dan Alfa terkejut, begitu juga Amy yang tidak mengira wajah Alfa sedekat itu.
"Jangan dekat dekat, Bodoh!" teriak Amy, hingga beberapa penumpang memperhatikannya.
"Bertengkarnya nanti saja, Bodoh!" balas Alfa, namun ia membisikinya pelan.
Sesampainya di sana, mereka berdua masuk ke bar dan mencari Arvy yang tengah bersantai di depan komputer. Bar nya tidak buka pagi hari namun siang hari, beruntung Arvy sudah ada di bar.
"Amy? Kau sudah baikan?" Arvy heran Amy datang pagi pagi ke barnya padahal dirinya kemarin hampir terlibat kecelakaan.
"Dia seratus persen sehat, Kak," timpal Alfa dengan wajah malas.
Amy meliriknya sinis.
"Ada apa kalian kemari?" Arvy mempersilakan duduk di tempat yang nyaman.
"Aku datang karena ingin memberikan ini pada Paman Mark," mata Amy berbinar.
Arvy tertegun mendengarnya. Amy menyadari ekspresi Arvy.
"Ada apa?"
"Apa aku belum memberitahumu?"
"Apa?"
"Mark sudah kembali semalam. Aku hanya menyewanya selama sehari."
"APA?" Amy cemberut. "Kenapa kau tidak bilang kemarin."
"Yaaahh hemmm…" Arvy menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.
"Haaaahhh," Alfa menghela napas panjang. "Padahal kado ini berat sekali, aku membawanya dengan hati hati, tapi Amy masih marah marah. Aku mengangkatnya dengan susah payah."
"Bukan kadonya yang berat, tapi kau yang lemah."
"Aiiishhh sialan kau! Coba bilang lagi!"
"Kau memang lemah!"
"Bilang lagi!"
"Memangnya mau apa?"
"Kalau bilang lagi aku akan menciummu."
"APA?!" Arvy dan Amy berteriak bersamaan.
Arvy menelan ludahnya.
Amy dan Alfa saling berpandangan dengan mata melotot.
"Dasar bodoh!" pipi Amy memerah.
"Woi woi…sudahlah," sela Arvy. "Apa kalian akan terus bertengkar?"
"Cih!" Amy dan Arvy menyilangkan kedua lengannya bersamaan dan membuang muka ke arah yang berlawanan.
Arvy yang melihatnya hanya bisa tersenyum miris sembari menggeleng pelan.
"Ya ya, kalian memang jodoh."
"Jadi apa yang harus aku lakukan dengan hadiahnya?" Amy memanyunkan bibirnya.
"Ya mau bagaimana lagi," sahut Alfa.
"Memang apa isinya sampai sebesar ini."
"Sebenarnya ini bukan buat Paman Mark, tapi putrinya. Aku sengaja membeli banyak boneka squishy dan juga buket camilan.
"Ah pantas saja berat," keluh Alfa lagi.
"Kau sendiri yang bilang mau membantu, tapi sekarang malah mengelah mengeluh. Pulang sana sialan!"
"Tunggu tunggu," Arvy sedikit khawatir. "Buat siapa tadi?"
"Putrinya Mark. Dia bilang punya putri yang cantik sepertiku," Amy tersenyum lebar dan senang karena dipuji.
"Tidak tidak, tidak, jangan berikan," panik Arvy.
"Kau ini kenapa sih? Malah bertingkah seperti Alfa."
"Maksudku…" Arvy terdiam, lalu menundukkan kepala dan menghela napas.
"Kenapa malah jadi begini," batinnya.
"Memangnya kenapa?" tanya Amy.
"Apa ada sesuatu yang buruk?" tanya Alfa.
Namun Arvy tak bisa menjawab. Ia hanya menghela napas.
Flashback kemarin malam.
"Aku masih khawatir dengan Dik Amy," kata Mark. Ia membuat segelas wine untuk Arvy.
"Dia pasti baik baik saja." Arvy meminum wine. "Ah ya, aku tidak tahu kau bisa berlari secepat itu, saat aku menoleh sepertinya sudah terlambat untuk berlari ke sana karena truknya sangat dekat. Aku pun tidak bisa berbuat banyak, aku sangat takut saat melihat truk itu akan menabraknya. Pokoknya terima kasih, sudah menyelamatkan sepupuku. Aku berhutang nyawa padamu."
"Bukan masalah besar."
"Aku tahu kau memang bodyguard level A, tapi aku tetap berterima kasih. Apa kau sering mendapat kasus seperti ini?"
"Tentu saja. Aku sering mengawal anak anak dari para bangsawan atau pengusaha, pejabat, businesswoman yang sibuk mengurus anaknya. Aku sudah sering menjaga anak anak remaja."
"Begitu ya. Kenapa?"
"Eh? Apanya yang kenapa?"
"Kenapa kau ingin menjaga orang orang?"
"Entahlah."
"Kalau aku sangat benci," Arvy menatap gelas wine yang ia pegang. "Aku benci menjaga seseorang."
Mark menatap Arvy dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Namun ia mendengarkan dengan seksama.
"Aku sangat sangat benci menjaga seseorang."
"Kenapa?" tanya Mark dengan hati hati. Arvy sepertinya setengah mabuk.
"Pada akhirnya orang orang yang kujaga sepenuh hati pergi, mereka pergi dan tak menyisakan kenangan indah, mereka pergi dan tak menyisakan senyuman, mereka pergi dan perlahan melupakan. Jadi kenapa aku harus menjaga mereka?"
Mark hanya membisu dan mengelap gelas gelas bir dengan hati hati.
"Sepertinya kau sangat suka anak anak," terka Arvy.
"Tentu saja."
"Tapi kau tidak selalu menjaga anak anak kan? Kau ini level A." Arvy menghela napas panjang. "Maafkan aku karena membuat bodyguard level A sepertimu bekerja jadi bartender."
"Bartender tidak buruk juga. Sepertinya kau harus sering sering menyewaku agar aku bisa istirahat."
"Cih," Arvy tersenyum tipis.
Arvy terdiam menunduk lama.
"Kau mabuk. Istirahatlah, kau bekerja keras seharian. Sebentar lagi jam 9." Mark memeriksa jam di pergelangan tangannya. "Aku harus pergi."
"Mark," panggil Arvy.
"Ada apa?"
Arvy mendongak.
"Kenapa kau jadi pengawal?
"Kau menanyakan hal yang sama dua kali"
"Benarkah?"
"Kau mabuk."
"Tidak, tidak, tidak," Arvy menggeleng geleng dengan setengah sadar. Dirinya memang mabuk.
"Apa cita citamu jadi terminator?"
"Terminator tidak buruk juga." Mark tertawa miris. "Sekarang ganti aku yang tanya, kenapa kau menyewa pengawal?"
"Tentu saja karena aku membutuhkannya."
"Alasan klise seperti itu tidak mempan, Tuan Arvy. Kau jelas jelas kaget saat kita bertemu di taman. Kau sangat mencolok dengan mobilmu. Begitu juga air mukamu yang kebingungan. Aku ke sana menggantikan Rataka, pengawal yang kau pesan sebelumnya."
"Ah Rataka…" Arvy masih setengah sadar. "Benar, aku memesannya. Tapi malah kau yang datang."
"Kenapa kau ingin dia yang menjadi pengawalmu? Apa kau mengenalnya?"
"Tidak, tidak sama sekali. Dia cuma cosplayer aneh yang tiba tiba kutemui di jalan secara tidak sengaja. Dia memberiku kartu nama. Aku penasaran dan ingin bertemu dengannya lagi. Makanya aku memesannya."
"Apa?" Mark mendadak ngeri. Dilihat dari cerita Arvy. Ceritanya terdengar seperti ia tertarik pada Rataka. "Kau sangat ingin bertemu dengannya?"
"Apa maksudmu?!"
"Yah tidak, hanya saja aku akan memakluminya jika kau memang tertarik padanya."
"Sialan! Aku ini masih normal!"
Mark tertawa kecil.
"Aku bercanda."
"Kau bilang kau punya isteri kan? Apa putrimu tinggal bersama isterimu?"
"Kenapa tiba tiba tanya itu?"
"Putrimu…"