Diperjalanan Dewan menawari Zalfa untuk makan siang dulu, karena memang sudah waktunya.
"Gimana kalau kita makan siang dulu?" tanya Dewan pada Zalfa yang sedang asik memperhatikan jalanan.
"Enggak deh, pengen makan di kantor aja," jawab Zalfa sembari tersenyum misterius.
"Yeee bucin! Bilang aja mau makan siang bareng Figo."
"Masalah? Situ sirik? Kan kita makan siang juga bareng Figo."
"Dih, kok jadi kesannya gue ngeposesifin si Figo sih," ujar Dewan tak terima.
"Emang." Ledek Zalfa pada lelaki itu. Dan mendapatkan satu buah cubitan dipipinya.
"Dewannn! Gue bilangin Figo nih ya, tau rasa Lo."
"Gak perduli! Kayak bakal dibela aja sama tuh orang."
Canda-canda ringan, mereka lontarkan. Bukan hal aneh, jika ujung-ujungnya justru Zalfa cemberut karena ucapan-ucapan yang dilontarkan Dewan semuanya benar.
Mereka kembali ke kantor. Dengan perasaan yang berbunga-bunga.
"Kalian sudah dapat kontraknya?"
Zalfa mengangkat map bersampul coklat, kemudian memberikannya pada Delvis.
"Kerja bagus."
"Dapet pujian dong nih, bonusnya mana?" tanya Dewan polos.
"Perusahaan bisa bangkrut, kalau karyawannya belum juga kerja, sudah minta bonus!"
"Perusaan bakal bangkrut kalau pelit sama karyawan. Kalau gak dapet bonus karyawan jadi malas kerja, kalau males kerjanya nanti hasilnya gak maksimal, terus dikomplain klien, dan saat mereka gak puas. Mereka gak akan mau pakai jasa perusahaan lagi. Karena dibalik suksesnya perusahaan, ada karyawan yang tidak tidur."
"Zalfa tolong telepon Pak Bram. Bilang Dewan sudah bosan kerja."
"Siap Pak ketua," ucap Zalfa dengan semangat.
"Gak asik kalian mah!" Dewan kesal, selalu kalah jika menghadapi mereka berdua.
"Figooo! Udah makan siang belum? Makan siang bareng yuk! Tenang Zalfa traktir deh, kebetulan Zalfa baru dapet project besar nih."
"Gak." Singkat, padat dan jelas. Sangat ciri khas seorang Figo yang sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Zalfa sudah biasa, dia tidak akan menangis hanya karena ini. Zalfa mengulum senyumnya.
"Figo hari ini gantengan deh, pakai kemeja biru muda begini, biasanya juga warna-warna gelap."
"Apaan si," ujar Figo berdiri dan pergi meninggalkan Zalfa yang sudah siap ditertawakan oleh kedua teman kerjanya. Dewan mendekati Zalfa kemudian melingkarkan tangannya di leher wanita itu.
"Mending makan siang bareng gue, ditraktik masa nolak, ayo!" Zalfa tidak diberikan jeda untuk menjawab. Lelaki itu, menyeret Zalfa untuk ikut dengannya ke kantin. Dengan Delvis yang mengekor di belakang.
Baru sampai di kantin, dia melihat Figo yang sedang memakan sesuatu dari kotak bekal makanan. Zalfa pikir, itu adalah makanan yang diberikan Ervina untuk Figo. Namun saat mereka duduk berhadapan, barulah Zalfa sadar, itu kotak bekal miliknya, yang ditaruh di meja Figo tadi pagi, karena tadi Figo belum datang. Zalfa tersenyum bahagia. Figo mau memakan pemberiannya.
"Jangan geer, gue gak suka liat makanan mubadzir." Senyum merekah milik Zalfa seketika memudar setelah ucapan Figo selesai. Dewan berinisiatif untung mengambil makanan tersebut, tapi keburu dihabiskan Figo, dalam satu kali kunyah.
"Takut mubadzir, atau emang laper?" Sindir Dewan telak.
Figo menaik-turunkan bahunya. Kemudian bangkit, dan pergi dari tempat itu. Manusia super dingin, super aneh dan yang pasti super super keren kalau dilihat dari kaca mata Zalfa uang sudah dibutakan oleh cintanya pada Figo.
"Huh. Mentang-mentang ganteng." Dewan selalu kesal dengan sikap Figo. Tapi berkali-kali dewan mengingatkan Figo, berkali-kali juga Dewan kalah dengan segala ucapan pedas dari bibir lelaki itu.
"Emang Lo gak ada niat untuk cari cowok lain gitu?"
Kedua orang yang duduk di hadapannya terdiam. Zalfa melirik ke arah Delvis yang tidak merespon sama sekali. Dia sih masih mending, mendenga. Sedangkan Delvis, lelaki itu asik dengan handphonenya.
"Lo nanya gue?" Zalfa bertanya dengan bingung.
"Masa iya, bang Delvis. Yakali, dia kan normal."
"Kata siapa saya normal?" tanya Delvis mengagetkan kedua rekan kerja yang sudah dia nggap sebagai adik-adiknya sendiri. Di mana terkadang, suka sekali membuat kepalanya berdenyut-denyut.
"Bang," ujar mereka berbarengan, meminta penjelasan sejelas-jelasnya. Bahwa, yang mereka dengar adalah kebohongan. Tapi, wajah serius Delvis membuat mereka ingin menangis. Mereka menggelengkan kepalanya, masih tidak percaya dengan apa yang didengar.
"Bercanda," ujar Delvis santai, sembari kembali memainkan handphonenya. Sumpah demi apapun, Delvis harus masuk kelas bagaimana cara bercanda yang baik dan benar. Ini sangat garing kriyuk-kriyuk krenyes-krenyes sekali. Tampang beloon dari Zalfa dan Dewan menyadarkan bahwa yang barusan adalah prank.
Kedua orang itu, tertawa terpaksa, bahkan sampai sakit perut. Karena laper dari tadi nunggu makanan gak datang-datang.
"Lain kali, kalau bercanda intro dulu Bang," ucap Dewan membuat Zalfa menginjak kaki rekannya itu. Maksudnya, Zalfa senang karena Delvis punya sedikit kemajuan. Lelkai itu kan jarang sekali melucu. Ini hal yang luar biasa, harus dicatat tanggalnya.
Setelah makan, Zalfa ijin untuk pergi lebih dulu, karena kedua temannya masih melahap makannanya. Zalfa ingin menemui Figo. Dia tau saat ini pujaan hatinya itu, pasti sedang ada di atap.
"Uhuks uhuks." Zalfa sengaja batuk keras. Dia ingin Figo tidak asik sendiri dengan dunianya dan menyadari ada Zalfa di sini.
Figo tetap melanjutkan merokoknya, dia sudah hafal dengan kebiasaan perempuan itu. Zalfa duduk di sebelah pria yang merokok sembari mendengarkan musik di telinganya.
Figo masih bertahan dengan posisinya, dia tidak peduli, ada atau tidaknya Zalfa. Sejujurnya, dia malah tidak ingin diganggu sama sekali. Apalagi orangnya Zalfa. Wanita itu sudah seperti benalu untuknya, menempel di mana saja dia berada.
"Figo," ujar Zalfa pelan, dia juga membuka handset yang bertengger di telinga pria itu. Figo hendak memasangnya kembali, tapi segera di tahan oleh Zalfa.
"Figo kenapa sih, benci banget sama Zalfa?"
"Gue udah punya pacar Zalfa, Lo gak berhak untuk terus menerus deketin gue." Tegas Figo. Zalfa menelan ludahnya. Dia selalu diperingati soal ini, tapi berkali-kali juga dia tetap mendekatinya.
"Apa yang buat Figo, begitu suka sama Ervina?"
"Baik, sopan, gak pecicilan, dan dia cantik." Padahal dia sudah pede, tapi mendengar kata cantik, Zalfa tersenyum kikuk. Zalfa memikirkan dirinya, mungkinkah dia bisa cantik juga. Apa mungkin, selama ini, itu yang membuat Figo tidak menyukainya.
"Kalau Zalfa cantik, Figo bakal suka?" Figo diam, kemudian menatap ke arahnya. , Zalfa jadi deg-degan ditatap seperti itu oleh Figo.
"Gue harus gimana supaya Lo berhenti ngejar-ngejar gue?"
Kali ini, Zalfa diam. Dia juga bingung, kapan dia akan berhenti menyukai Figo.
"Ah iya, Figo jangan sering-sering ngerokok, nanti kalau Figo sakit, Zalfa khawatir." Zalfa kembali memakaikan Figo handset yang tadi dicopotnya.
Zalfa pergi dari hadapan Figo, dia masuk keruanga, menarik kursinua, lalu ditempatkan di depan meja Delvis.
"Abang sudah makannya?" tanya Zalfa basa-basi.
"Sudah."
" Hari ini banyak kerjaan gak?"
"Banyak."
"Aku nebeng pulang boleh ya!" Pinta Zalfa memaksa, tak lupa, dia memberikan tatapan memohonnya.
"Kapan Aku nolak?"
Zalfa salting sendiri, dia mengambil pulpen yang ada di kotak.
"Kayaknya kenal deh ini pulpen, mirip sama punya-," Zalfa benar-benar salah tingkah.
"Ambil aja sana!"