Malam nan panjang telah berganti pagi dini hari. Gegap gempita sekitaran jalan di tengah ibu kota mulai tenggelam ke dalam sunyi. Sekumpulan kios dan kaki lima yang tadinya berjajar rapih melingkari jalanan ibu kota lambat laun hilang ditelan bumi. Siklus sehari - hari dari skena kehidupan ibu kota.
Sebuah mobil melaju dengan kecepatan penuh menerobos lorong, melintasi fly-over, menerjang perempatan ibu kota dini hari. Di dalamnya, terdapat seorang pria dan seorang wanita yang nampaknya baru saja pulang dari rutinitas malam.
Dimas yang sebelumnya enggan mengantar pulang apabila Lisa sedang mabuk kini mau tidak mau harus melakukannya. Daripada membiarkan teman dekatnya itu diantar oleh seorang pria asing, lebih baik ia yang antar.
Dimas tidak habis pikir apa yang akan dipikirkan ibu Lisa apabila Lisa akhirnya diantar oleh seorang pria asing berambut pirang bermata biru tersebut. Bisa jadi Lisa dituduh wanita nakal tidak bermoral dan diusir dari huniannya.
Lisa yang semalam mabuk masih terlelap di jok mobil belakang. Dimas yang tengah mengendarai mobilnya masih menimbang - nimbang akan apa yang harus ia ceritakan kepada ibu Lisa setelah sampai nanti. Meskipun ia paham betul bukan kali pertama kawannya mabuk dan berakhir di jok mobilnya, Dimas selalu cemas dan khawatir akan keadaan Lisa dan keluarganya.
"Lisa lo emang gila, masa lo nggak mikirin nasib ibu lo yang sakit dan adik lo yang masih kuliah itu?" ucap Dimas dalam hati.
Jalanan ibu kota yang biasanya tak henti ramainya dapat ditempuh hanya dalam waktu setengah jam saja. Mobil itu memasuki area perumahan kumuh di mana rumah tempat Lisa dan keluarganya tinggal. Kawasan perumahan itu mungkin kawasan yang tertua di ibukota dan yang lumayan kumuh dibandingkan dengan kawasan perumahan lainnya. Jalan yang membawa mobil Dimas ke area perumahan itu pun nampak berlubang tidak terawat.
Sesampainya di rumah tersebut, Dimas menggotong Lisa yang setengah mabuk dan terlelap. Dimas pun khawatir dengan tanggapan tetangga - tetagga yang masih bangun bila melihatnya menggotong seorang wanita yang tertidur. Ini pula mengapa Dimas selalu enggan mengantar Lisa pulang apabila Lisa dalam keadaan mabuk.
Dimas mengetuk pintu hunian Lisa dengan lembut agar tidak mengundang perhatian tetangga - tetangga yang selalu ingin tahu urusan orang lain. Lisa masih terlelap dibopong Dimas. Seseorang membukakan pintu yang diketuk tadi, benar dugaan Dimas, tidak lain tidak bukan adalah Kumala, ibu kandung Lisa.
Wanita paruh baya itu tampak cemas melihat putrinya terkapar lemas. Dibopongnya Lisa ke dalam oleh Kumala. Dimas masih beridiri di ambang pintu sambil memikirkan kata - kata yang pas untuk diceritakan.
"Em, Ibu Kumala maaf, Lisa sepertinya sedang stress kerja sehingga…" kata Dimas sedikit gemetar khawatir.
Belum sempat melanjutkan kalimatnya, Kumala keburu memotong, "Ya Tuhan, anakku mengapa selalu berakhir seperti ini." Suaranya lemas, terdengar nada kecemasan dan keprihatinan di dalam kata - katanya.
"Maafkan saya bu telah gagal menjaga Lisa," ucap Dimas lirih, suaranya menyiratkan penyesalan.
Ibu Lisa adalah seorang janda beranak dua. Sejak pisah ranjang dengan sang suami beberapa tahun silam, Kumala Setiani terpaksa harus pindah dan menetap di rumah yang tidak terlalu layak huni. Keadaan keuangan keluarga Kumala tidak mumpuni baginya dan kedua putrinya untuk tinggal di tempat tinggal yang layak.
Kumala sudah terlalu tua untuk bekerja, terlebih ia menderita diabetes akut. Adik Lisa, Bella Soewandi masih duduk di bangku kuliah dan masih harus fokus pada studinya. Hanya Lisa lah satu - satunya putri dari Kumala yang sanggup menjadi tulang punggung keluarga meski penghasilannya masih pas - pasan.
"Sejak ayahanda Lisa pisah ranjang dengan saya beberapa tahun silam, Lisa jadi sering kehilangan kendali. Uang yang seharusnya digunakan untuk membiayai pajak hunian ini dan tanggungan lainnya malah digunakan untuk plesiran!" Kumala mulai meneteskan air mata, "sungguh aku ibu yang gagal…"
Dimas tak sampai hati melihat ibu kandung Lisa menangisi keadaan anaknya. Ditepuknya bahu Kumala sebagai simbol simpati Dimas.
"Ibu Kumala tidak usah khawatir, saya yang ceroboh tidak menjaga Lisa dengan baik," kata Dimas lembut. "Lain kali saya akan lebih perhatian lagi. Tolong ibu istirahat saja, nanti kesehatan ibu terganggu."
Dimas, meski sudah beberapa kali mengantarkan Lisa yang mabuk masih merasa bersalah. Menurutnya, Lisa masih tetap mabuk - mabukan karenanya.
Sesungguhnya ia telah menjalankan pekerjaannya sebagai bartender dengan sangat baik. Namun, jika Dimas mampu membatasi jumlah botol alkohol yang dipesan Lisa, ia yakin dengan sepenuh hatinya, Lisa mampu membawa ibu dan adiknya pada kehidupan yang lebih layak dari yang sekarang.
Tetapi hal tersebut juga beresiko bagi nasib karirnya sebagai bartender. Membatasi jumlah alkohol yang dipesan pelanggan, yang benar saja? Setiap botol alkohol yang ia jajakan adalah sesuap nasi baginya!
Dimas sampai ingin menangis melihat ibu kandung Lisa yang kini meringkuk menahan isak tangis. Betapa sulit baginya memandangi seorang janda paruh baya yang harus melepaskan karirnya karena sakit parah, terlebih ketika ia masih punya banyak sekali tanggungan biaya yang belum lunas.
Betapa Dimas tidak sanggup membayangkan apa yang akan ia lakukan bila nasib Dimas sama seperti Lisa. Mungkin Dimas juga akan mabuk - mabukan, terlebih bila Dimas ditipu dan kehilangan sejumlah uang tabungan yang sudah susah payah ia kumpulkan.