Danny bangun lebih pagi dari biasanya. Bukan bangun juga, karena semalaman dia tidak bisa tidur. Apalagi setelah bertemu dengan sosok yang beberapa bulan ini mengacaukan hidupnya dan kedua putranya.
Sebelum kedua putranya bangun, Danny sudah melajukan mobilnya menuju tempat yang baru dia datangi kemarin. Kemana lagi kalau bukan rumah Nadira.
Tidak sopan memang berkunjung terlalu pagi, tapi dia tidak memiliki kesempatan lain, selain pagi ini. Agar apa yang sudah dipendamnya bisa dia utarakan. Apapun hasilnya, yang penting dia mencoba terlebih dahulu.
Ketukan kesekian kalinya, pintu baru dibuka. Itupun bukan Nadira yang membukanya.
"Maaf, apa Nadira ada di rumah? Saya ingin bertemu." ucap Danny tanpa basa-basi.
"Anda siapa?"
"Ah, maaf belum memperkenalkan diri. Daniel Sebastian." tak lupa, Danny mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Gadis di depannya tampak menilai dirinya. Terlalu mencolok juga, karena melihat Danny dari ujung kepala ke ujung kaki dengan jelasnya.
"Oh, si Duda. Mau ngapain nyari temenku?"
Kalau bukan karena Danny memiliki misi khusus, tentu saja dia akan langsung membalas ucapan sang gadis yang ada dihadapannya itu. Apa coba maksudnya menyebut dia dengan 'si Duda'?
"Ada hal yang ingin dibicarakan. Penting."
Lagi, gadis itu memperlihatkan Danny dengan tatapan menilainya.
"Tunggu, aku tanya dulu."
Pintu langsung tertutup begitu gadis itu selesai dengan kalimatnya. Meninggalkan Danny nunggu di luar tanpa bisa melakukan apapun.
Tak berselang lama, Nadira keluar. Hanya melihat wajah Nadira saja rasanya sudah begitu membahagiakan. Apalagi jika memilikinya? Eh?
"Ada yang bisa dibantu?" tanya Nadira ramah.
"Danny, call me Danny." ucapan itu dimaksudkan untuk menenangkan hati Danny yang tidak karuan. "Bisa kita berbicara? Ada hal penting yang ingin saya bahas."
"Apa itu?'
"Ali and Alex."
Tidak sulit ditebak kalau Nadira akhirnya menyetujui ajakan Danny. Mantranya selalu berhasil ketika menyebut nama kedua putranya. Itu adalah kelemahan Nadira.
Bingung harus kemana untuk berbicara, akhirnya mereka memutuskan untuk berbicara di dalam mobil. Kali ini tidak ada kekhawatiran kalau akan akan gunjingan, tidak seperti ketika Nadira masih berstatus sebagai guru.
"Maaf, aku tidak tahu kalau masalah akan serumit ini. Tapi aku harap kamu mau mempertimbangkannya." Danny menjeda ucapannya. "Kembalilah. Ali dan Alex membutuhkanmu. Aku juga membutuhkan kehadiranmu."
Keterkejutan jelas tergambar di wajah Nadira, dengan mata yang membulat. Sebenarnya Danny juga merasa terkejut dengan apa yang diucapkannya barusan. Benar memang Ali dan Alex membutuhkan Nadira, tapi fakta bahwa dia juga membutuhkan Nadira dan fakta itu terungkap. Hmm, patut dicurigai.
"Aku tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi, kamu keluar dari sekolah adalah hal yang aku inginkan. Aku ingin kamu hanya mengurusi si kembar."
Danny rasanya ingin berlari ke tengah jalan dan menabrakkan dirinya ke kendaraan yang lewat. Apa yang baru saja dia ucapkan bisa diartikan sebagai sebuah lamaran, dan dia mengatakannya tanpa ada persiapan. Bahkan tempatnya sangat tidak tepat.
"Sepertinya Anda salah ucap. Aku anggap kalimat itu tidak pernah aku dengar."
"No, itu benar." berulang kali Danny mengusap wajahnya. "Kalau aku tahu masalah yang sebenarnya, tentu aku akan ikut membantu menyelesaikannya. Aku dengan tegas berkata bahwa kita memang ada hubungan spesial. Awalnya aku hanya ingin sosok ibu untuk Ali dan Alex, agar mereka tidak merasa ditinggalkan ketika aku terlalu sibuk bekerja. Lama kelamaan, biasa dengan kehadiranmu membuatku berpikir ulang. Tidak hanya Ali dan Alex yang membutuhkanmu, tapi aku juga."
Pengakuan itu meluncur dengan mulusnya dari mulut Danny. Seolah dia sudah memikirkan kalimat apa yang akan keluar. Tapi, itu terjadi dengan alami. Bahwa Danny memang menginginkan seorang Nadira. Bukan hanya menjadi ibu dari kedua putranya, tapi juga menjadi pasangannya.
"Marry me, Nadira."
Perlu beberapa waktu bagi Nadira untuk mencerna apa yang baru saja diucapkan oleh Danny. Rasa terkejut dan tidak percaya jelas melingkupi hati gadis itu.
"Maaf, saya tidak bisa." suara lirih Nadira bagai palu yang menghantam kepalanya.
Tanpa banyak kata, Nadira keluar dari mobil Danny dan meninggalkan pria itu. Danny yang belum sepenuhnya sadar dari penolakan itu hanya bisa melihat tubuh itu menghilang dibalik pintu.
Apa ini akhir dari semuanya? Bagaimana dengan si kembar?
***
Mendekati hari terakhir liburan ketiga pria Sebastian itu, tampaknya mereka tidak menikmati lagi semua acara yang sudah mereka buat. Pikiran mereka melayang entah kemana.
"Dad, gimana kalau kita ke rumah Miss Nadira? I miss her so much." rayuan Alex terdengar sangat menggoda. Tapi Danny dengan tegas menggelengkan kepalanya.
"What you've done?" pertanyaan Ali membuat Danny merasa semakin bersalah.
Tak bisa memperlihatkan wajahnya kepada dua remaja dihadapannya, Danny memilih untuk menunduk. Berulang kali menghela napas agar lebih tenang, nyatanya tidak membuat dirinya lebih baik.
"Tadi pagi Dad menemui Miss Nadira. I proposed her, and I was rejected."
Meski pelan, Danny tetap bisa mendengar umpatan Ali. Bahkan Alex juga mengumpat. Sepertinya si adik sudah mulai terpengaruh sang kakak.
"Seriously? Dad melamar Miss Nadira tapi nggak ada persiapan?" tanya Ali tidak percaya.
"Ya ampun, aku malu punya ayah seperti Dad." tambah Alex.
Danny memperhatikan kedua putranya. Dia tahu betul kalau sebenarnya mereka setuju dengan apa yang dilakukannya, tapi mungkin memang caranya yang kurang tepat. Well, Danny sendiri mengakui kalau tadi pagi dia bertindak tanpa memikirkan lebih dulu.
"So, what shoul I do now?" tanya Danny lesu.
"Minta maaf, ofcourse." jawab Ali mantap.
Ini hari terakhir liburan mereka di Bali. Besok pagi, mereka akan kembali ke rutinitas mereka yang melelahkan di kota asal mereka. Dan tentu saja mereka tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
Bertiga, mereka berkendara menuju rumah Miss Nadira. Sempat kecewa karena ternyata orang yang mereka cari sedang bepergian. Beruntungnya, keras kepala mereka yang menunggu, akhirnya terbayar juga.
Hanya ada Ali dan Alex yang menemui Miss Nadira, karena mereka tidak mau ayah mereka membuat kesalahan lain padahal belum meminta maaf atas kesalahan yang sebelumnya.
"Ada apa kalian kesini?" tanya Nadira sedikit terkejut.
"Kami pulang besok. Just wanna say good bye." ucap Ali tenang.
"Kami juga ingin meminta maaf atas kelakuan Dad ke Miss Nadira. Kami merasa malu karena Dad bisa bertidak begitu bodoh." tambah Alex.
Entah apa yang lucu dari perkataan Alex, tapi nyatanya Miss Nadira tersenyum. Kebahagiaan kedua remaja itu seketika mengembang ketika melihat wajah guru favorit mereka dihiasi senyum.
"I like when you smiling." Ali tulus mengatakannya. Bahkan terdengar seperti gombalan kalau saja dihadapan mereka adalah anak seumuran Ali.
"Jangan terlalu marah kepada Dad kalian. Dia pasti punya maksud melakukan hal itu." ucapan Miss Nadira seperti mengisyaratkan bahwa dirinya tidak marah kepada sang Ayah.
"Miss Nadira nggak marah sama Dad?" Alex berusaha memastikan.
"Sedikit, tapi setelah dipikir lagi, nggak ada gunanya marah terus kan. Kalian mau masuk?"
Terlihat Ali dan Alex melihat kearah mobil mereka. Disana Danny masih terus memantau kedua putranya dengan rasa ingin tahu yang begitu besar.
"Ibu yang akan meminta ijin kepada ayah kalian."
Tanpa ragu, Miss Nadira berjalan mendekati mobil yang berisi Daniel Sebastian. Mereka bertiga memang sepakat untuk memarkitkan mobil sedikit jauh, agar Danny tidak bisa menguping pembicaraan si kembar bersama Miss Nadira.
"Boleh saya mengajak Anda dan si kembar mampir ke rumah? Mungkin lebih nyaman berbincang di dalam rumah."
Tawaran yang menggiurkan, tapi langsung ditepis oleh Danny.
"Di luar saja? Menghindari omongan orang-orang sekitar."
Miss Nadira langsung menganggukkan kepalanya dan melambaikan tangan, meminta si kembar untuk mendekat.
"Ayah kalian ingin menraktir Ibu makan malam. Join with us." suara riang Miss Nadira membuat mereka merasa bahagia.