Ibuku mengetis kuku jemarinya secara berulang-ulang. Kepalanya berputar-putar ke segala arah. Dia bahkan mengalihkan pertanyaanku karena dibuatnya bingung. Lalu, kerisauannya berhenti, mengarah padaku lagi.
"Kamu tadi mau ngomong apa? Maafin mama, mama sedikit cemas."
Yah, ibu menampakkan rautnya di sampingku. Aku tidak akan heran lagi karena tingkahnya memang sangat mencintai ayah sepenuh hati. Apa lagi, mereka telah membuangku karena sengaja mendorong ke jurang kesuraman.
Tanganku tidak bisa menarik kembali goresan yang ada di atas kertas putih bercoretan perjanjian. Dan kenangan membeku, sebab diriku yang bodoh.
"Nggak jadi, Ma. Kita tunggu aja. Siapa tahu mereka udah keluar sebentar lagi."
Aku sengaja berpura-pura mengucapkan kalimat lirih, supaya ibu menjadi lebih tenang dibanding sekarang ini. Akhirnya, jemariku menempel hangat di atas punggung telapak tangannya. Kami saling pandang, bukan sebagai seorang kekasih, tetapi hubungan alirah darah yang sama.
"Ocha."