下載應用程式
0.91% Serendipty / Chapter 2: Pulang Bareng

章節 2: Pulang Bareng

Ada rasa yang mulai tumbuh, diantara kita.

.

.

.

.

Hujan adalah anugerah tersendiri untuk Rinai, ia jadi ingat mengapa namanya 'Rinai Hujan' itu karena Bundanya dahulu melahirkannya saat hujan turun. Mata Rinai berkaca-kaca, ia rindu Bundanya.

Bau petrichor menyeruak masuk kedalam indra penciumannya. Rinai melangkahkan kakinya masuk ke gerbang ber plang SMA Alam Nusantara. Ia tersenyum sambil menghentak-hentakan kakinya saat ada genangan air didepannya.

"Rinai!" si empunya nama melihat kearah koridor dimana sumber suara itu berada. Rinai menampilkan deretan giginya saat tau siapa yang memanggilnya. Ia yakin sebentar lagi pasti ia akan diceramahi panjang lebar.

"Lo tuh ya, udah tau gak kuat dingin masih aja bandel mau masuk rumah sakit lagi?" lihat. Baru juga Rinai menginjakan kaki di koridor. ia sudah diceramahi oleh sahabatnya ini, siapa lagi kalau bukan Yuira.

Rinai adalah salah satu dari banyaknya orang yang mengidap penyakit 'Gak tahan suhu dingin' tapi anehnya dia adalah manusia yang malah menyukai hujan. Tentu saja, suhu udaranya dingin.

"Ra, hujan nya juga gak deres tau, kamu kan tau aku suka sama hujan." Rinai tersenyum meyakinkan.

"Udahlah ayo ke kelas. Dingin tau." Yuira mengeratkan jaket coklatnya.

Kedua gadis itu melangkahkan kaki mereka, kearah koridor 12 IPA

"Lo udah ngerjain PR dari Pak Zen?" tanya Yuira saat keduanya sudah duduk dibangku masing-masing.

Rinai mengangguk sebagai jawaban.

"Ehh tau gak, si Rayyan anak IPA 2 cakep banget." Yuira tertawa, namun netranya tetap menatap layar Handphone nya.

"Iyaa, ketua OSIS kan?" Yuira mengangguk tanpa mengalihkan pandangan.

Rinai mengeluarkan Handphone berlogo apel digigit dari saku almamater sekolah kebanggaanya.

Ia membuka aplikasi Line nya banyak Message dari grup yang teman-temannya buat. Ia kembali memasukan Handphone nya kedalam saku almamater.

"Aku bosen nih, aku mau keperpustakaan ya." Rinai berdiri, netra nya menatap pergelangan tangannya, bel masih lima belas menit lagi itu waktu yang cukup untuk belajar.

Rinai membawa dua buku paket dari rak buku, ia duduk dibangku dan mulai mengeluarkan notebook catatan.

Ia terlalu asik dengan dunia nya membuat ia tak sadar menit sudah berlalu begitu cepat. Hingga suara bel yang begitu nyaring membuat ia tersadar.

Bagi siswa-siswi SMA Alam Nusantara, dimohon untuk masuk kedalam kelas masing-masing. Terima kasih.

Rinai membulatkan matanya kala suara bel khas Alnus bergema keseantero sekolah, ia buru-buru membereskan buku-buku yang ada diatas meja perpustakaan. Rinai sedikit berlari keluar perpustakaan ia tak mau telat mengikuti pelajaran 'Matematika'. Bu Tima tak akan memberikan toleransi bagi mereka yang terlambat.

Kembali, tepat dikoridor pemisah antara kelas 12 IPA dan 11 IPS ia menabrak bahu seseorang. Kali ini ia hampir terjungkal kebelakang kalau saja seseorang itu tidak memegang tangan Rinai.

"Rinai?" seseorang itu tersenyum kearah Rinai.

Rinai mendongakkan kepala, kala mengenali suara seseorang itu. "eh, hai Langit." Rinai tersenyum.

Langit membantu Rinai berdiri tegak.

"Setiap gue ketemu lo, pasti pas lagi lari-lari." Rinai tertawa mendengar penuturan Langit.

Dan lagi-lagi seorang Langit Aldebaran terkesiap oleh tawa yang diciptakan Rinai.

"Eh, aku buru-buru hari ini ada kelas Bu Tima." Rinai kembali berlari menaiki tangga untuk sampai dikelasnya.

Langit menatap punggung Rinai yang semakin hilang dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan.

***

"Lo kenapa sih? Katanya 15 menit tau-taunya lewat." Yuira mengunyah baksonya.

"Biasa, aku keasikan baca buku. Btw, tadi aku nabrak Langit lagi." Rinai tertawa pelan. Yuira tersedak.

"Lagi?" tanya nya tidak percaya.

"Aku juga gak tau suka banget nabrak dia di tenpat yang sama, lagi." Rinai meminum jus Alpukatnya.

"Jodoh, maybe." Jawab Yuira asal.

Rinai menatap bangku pojok kantin, disana banyak siswa kelas 11 IPS. Termasuk Langit.

Ia tersenyum saat kedua netra coklatnya menubruk netra hitam legam milik Langit. Langit membalas senyuman milik Rinai.

"Sebentar lagi ada yang Fall nihh." Regan tertawa. Langit mengedikan bahu acuh.

***

Tiga puluh menit yang lalu bel pulang sudah berbunyi. Namun, gadis dengan kacamata yang bertengger dimata nya masih setia duduk sendiri didalam kelas, tangannya terus menuliskan kata demi kata.

Rinai melirik jam yang melingkar dipergelangan tangannya. Jam menunjukan pukul 15:30. Tiga puluh menit ia berdiam diri dikelas, ini saat nya ia harus pulang.

Langkah kakinya menyebabkan bunyi hentakan dari sepatu berlogo centang. Dari arah lain seseorang berjalan kearah yang sama, saat sudah sampai dipersimpangan keduanya hampir menabrak satu sama lain.

"Eh, maaf." Rinai menatap seseorang itu.

"Rinai?" Langit tertawa kala netranya menatap gadis didepan nya, membuat beberapa siswa dan siswi yang kebetulan lewat menatap keduanya sebentar.

"Lagi-lagi gue sama lo dipertemukan di tempat yang sama dan hampir tabrakan lagi," Rinai tersenyum simpul mendengar penuturan Langit.

"Lo belum pulang?" Langit menatap Rinai heran.

"Belum. Kamu sendiri kenapa belum pulang?" Rinai balik bertanya.

"Gue ada latihan Futsal." Rinai menepuk jidatnya.

"kenapa juga aku tanya ya? Kamu kan pakai Jersey." Langit tersenyum mendengar ucapan polos Rinai.

"Lo pulang naik apa?" kini keduanya sama-sama berjalan kearah parkiran.

"Aku naik Bus. Yaudah aku duluan ya, 10 menit lagi Bus nya lewat Halte sekolah." belum Rinai berjalan kearah gerbang tangannya dicekal oleh Langit.

"Bareng gue aja, gue gak terima penolakan." Langit menarik pelan lengan Rinai. Ia memberikan helm yang selalu siap sedia dimotornya. Rinai menatap motor sport hitam milik Langit

"Em, Langit aku gak bisa naiknya." Rinai menatap Langit dengan tatapan polosnya. Lagi dan lagi Langit tersenyum.

"Pegang bahu gue." Langit menunjuk bahunya. Rinai memegang bahu Langit dan naik keatas motor milik Langit.

"Kalau lo butuh pegangan, peluk pinggang gue." Rinai menatap Langit bingung.

"Harus ya?" Langit menggeleng. Rinai sungguh polos batinnya.

Motor sport keluar dari pekarangan sekolah. Angin sore membuat badan Rinai mengigil. Bagaimana bisa ia lupa membawa jaket yang ia simpan diloker? Padahal Rinai pulang sedikit terlambat. Hujan memang sudah selesai sejak lima belas menit mereka baru pulang. Namun, dinginnya masih setia membekas.

Langit merasa pegangan Rinai ditasnya semakin kuat, ia menatap wajah Rinai yang pucat dari spion. Membuat Langit meminggirkan motornya.

"Lo kenapa?" Rinai menggeleng.

"Aku nggak papa." Langit tak percaya dengan ucapan Rinai, karena keadaan gadis itu pun sedang tidak baik-baik saja.

"Lo kenapa?" Langit menggulang pertanyaannya.

"Aku lupa, jaket aku ada diloker. Aku gak kuat dingin." tanpa kembali melontarkan pertanyaan, Langit mengeluarkan jaket bomber coklat dari tasnya dan memberikan pada Rinai.

"Pake ini." Rinai mengangguk dan buru-buru memakai jaket milik Langit. Langit kembali melanjutkan laju motornya.

Kini keduanya sudah sampai didepan rumah minimalis milik Rinai. Asri, satu kata yang menggambarkan pekarangan rumah Rinai, banyak bunga-bunga tertanam disana, begitu juga bunga Anyelir.

"Gue balik." Langit melihat kearah Rinai kalah gadis itu sudah berada disampingnya.

"Jaketnya?" Kala Rinai ingin melepaskan jaket milik Langit, ia sudah dicekal oleh si empunya.

"Pake aja dulu, balikin nya gampang." Rinai mengangguk mengerti.

"Nggak mau mampir?" Rinai kembali bertanya

Langit menggeleng "lain kali gue mampir," laki-laki itu menghidupkan mesin motornya. Rinai mengangguk dan tersenyum.

"Makasih Langit." motor sport hitam milik Langit memecah jalanan sore yang mulai ramai oleh pengendara lain. Tanpa Rinai tau, Langit tersenyum dibalik helm full face nya.

"Udah pulang Non?" Rinai berbalik dan melihat Bibi Sumi dengan kantong plastik yang Rinai yakini adalah sampah, dikedua tangannya.

"Iya Bi. Papa udah pulang?" Bibi menggeleng lemah. Rinai tersenyum mencoba kembali mengerti.

"Sini Bi, Rinai bantu." Bi Sumi menggeleng.

"Ndak usah Non. Non Rinai masuk aja ganti baju, jangan lupa makan terus istirahat." Rinai tersenyum dan mengangguk.

"Yaudah Rinai naik ya Bi." Bibi mengangguk.

Rinai masuk kedalam rumah dan menaiki tangga. Ia menghempaskan tubuhnya diatas queen size miliknya, Rinai menatap langit-langit kamarnya. Helaan nafas kasar terdengar keluar, ia melihat kearah tasnya dan mengeluarkan benda berlogo apel digigit.

Rinai mengetikan nama seseorang di kolom pencarian. Saat sudah ketemu ia memfollow akun seseorang itu, ia menaruh handphone nya. Rinai melangkahkan kakinya kearah kamar mandi.

Tiga puluh menit kemudian Rinai keluar dari kamar mandi, suara notification dari Handphone nya membuat ia buru-buru membuka akun sosial media.

LangitAldebaran_following back you.

Rinai Hujan : Makasih Langit, buat jaket dan tumpangannya.

Langit Aldebaran : Its okay, Lo nggak papa kan?

Rinai Hujan : Aku nggak papa kok.

Langit Aldebaran : Bagus deh.

Istirahat yang cukup ya.

Rinai Hujan : Thanks Langit.

Iya.

Langit Aldebaran : Urwel.

Tanpa mereka sadari, keduanya sama-sama tersenyum.

Seunik itu takdir mempertemukan entah serumit apa takdir akan memisahkan atau bahkan membuat mereka banyak menemukan masalah-masalah yang tak semudah dipandang mata, biarkan semua berjalan apa adanya untuk sekarang.

••••


next chapter
Load failed, please RETRY

禮物

禮品 -- 收到的禮物

    每周推薦票狀態

    Rank -- 推薦票 榜單
    Stone -- 推薦票

    批量訂閱

    目錄

    顯示選項

    背景

    EoMt的

    大小

    章評

    寫檢討 閱讀狀態: C2
    無法發佈。請再試一次
    • 寫作品質
    • 更新的穩定性
    • 故事發展
    • 人物形象設計
    • 世界背景

    總分 0.0

    評論發佈成功! 閱讀更多評論
    用推薦票投票
    Rank NO.-- 推薦票榜
    Stone -- 推薦票
    舉報不當內容
    錯誤提示

    舉報暴力內容

    段落註釋

    登錄