Selamat membaca
"Jadi selingkuhan kamu beneran Imelda, Mas? Pantes aja kamu kasih dia kartu kreditmu. Sejak kapan?" tanyaku yang entah kenapa ingin mengetahui sejak kapan perselingkuhan mereka. Meski aku harus menyiapkan mental atas jawabannya.
"Dua tahun ini," ujarnya kelewat santai untuk orang yang ketahuan berselingkuh.
Wahhh, selama itu ternyata. Dan aku baru mengetahuinya??? Pandai sekali dia menyembunyikan bangkai.
Dasar jerk, batinku. Aku seakan tak mengenal sosok lelaki di depanku ini yang tengah menatapku malas.
"Dua tahun ya? Salahku di mana, Mas?"
"Salahmu?! Kamu nggak bisa jaga pesona kamu. Entah sejak kapan perasaanku ke kamu kian hilang. Aku malu setiap kali ada yang nanya istriku kerja apa? Secantik siapa? Aku suka iri kalau temanku membanggakan istrinya. Yang istriku cantiklah, seksilah, wanita karir lah. Lah, kamu apa yang bisa saya banggain? Kamu yang tiap hari terlihat kucel? Atau kamu yang beraroma perpaduan minyak telon dan minyak jelanta. Itu kamu! Aku butuh pendamping yang kayak Imelda, yang nggak malui-maluin kalau diajak jalan. Bikin aku bangga memperkenalannya sebagai ISTRI."
Aku tergugu di tempat. Sejelek itukah aku di matanya? Enam tahun aku persembahkan hidupku untuknya. Namun, hinaan yang aku dapatkan. Bagus juga sih. Aku jadi gampang buat move on dari lelaki yang nggak setia dan nggak bisa diandalkan sepertinya. Bagiku kini dia hanya sekedar bisul yang ada di pantat. Kehadirannya nyata—menggangu, namun kesakitannya menyadarkanku untuk waspada. Iya, waspada saat duduk supaya tak tergencet dan pecah. Setidaknya kehadirannya mengajarkan akan rasa sakit.
"Kamu malu punya istri kayak aku?"
"Iya!" tegasnya. Aku tersenyum miris, teringat betapa dia dulu memuja dan mengejar-ngejar hanya untuk mendapatkan cintaku. Dan kini dia bilang malu mengakuiku sebagai istrinya. Luar biasa sekali lelaki di depanku ini.
"Kamu pikir penampilan perlentemu itu berkat siapa? Kau dulu mana ada yang naksir Mas. Lelaki cupu berkaca mata. Aku yang merubah penampilanmu! Aku! Ingat satu hal. Jangan pernah menyesal karena sudah menceraikan aku. Karena detik itu juga, kesempatanmu rujuk denganku tertutup!"
Dia tertawa mengejek akan perkataanku.
"Jangan terlalu memandang tinggi dirimu Run. Sadarlah, pesonamu sudah menguap tak berbekas," ejeknya.
"Kalau aku ngotot nggak mau diceraiin gimana?" tantangku langsung menatap tajam mata lelaki yang baru saja melemparkan kata cerai ke arahku.
"Nggak masalah, pasti dikabulin oleh pengadilan agama kok," ucap mas Hendra santai, kan jadi pengen nampol tuh mulut yang kelewat pedes.
Apa diperutnya kini ada pabrik bon cabe ya. Bisa sepedes itu semua yang keluar dari mulutnya.
"Lalu anak-anak gimana?" tanyaku lagi. Dia hanya mengangkat bahu acuh. Sialan!
"Kamu berubah banyak, Mas. Tak adakah sesal di hatimu? Setidaknya untuk ketiga anak kita?"
"Buat apa? Mereka tetap anak aku meski kita berpisah. Tapi untuk tetap menikahimu aku sudah nggak bisa," ucapnya.
"Baiklah. Namun aku punya syarat. Anak-anak tetep sama aku, dan... Setiap bulannya kamu tetap harus memberi mereka tunjangan. Karena seperti katamu, mereka tetap anak kamu. Tanggung jawab kamu sampai kapanpun," ucapku lelah.
Sepertinya, aku juga sudah bosan dan muak akan sikap dan perselingkuhannya. Pernikahan kami memang tak bisa lagi dipertahankan. Semua tak akan lagi sama.
"Setuju."
"Kunci," ucapnya datar.
"Kunci apa?" tanyaku bingung.
"Kunci rumah. Aku mau ambil barangku di sana."
"Oh barang kamu ya, beberapa aku masukin gudang di belakang sana yang sekiranya bau perempuan ganjen itu aku kasih pemulung," sahutku santai.
"Sialan kamu Run!" bentaknya kalap. Matanya menatapku tajam. Aku menggedikkan bahu tak peduli.
"Oh ya, Mas. Satu lagi syaratnya, kamu harus memberiku TMI," ucapku tak mau memperdulikan bentakannya.
"TMI?" tanyanya dengan tampang bego-nya.
"Tunjangan Mantan Istri. Ya, anggap aja ucapan terima kasih karena aku sudah menyia-nyiakan waktu berhargaku untuk jagaian suami orang."
"Baik," serunya semangat. "Dan setelah itu aku penuhi, jangan pernah menemuiku kembali. Apapun yang terjadi," ucap suamiku penuh ketegasan.
"Siapa juga yang mau ngejer kamu ya, Mas? Jangan terlalu Pede hanya karena sudah pandai berselingkuh. Apa kamu anggap aku akan menghiba padamu untuk cintamu yang hanya sebesar biji jarah," ejekku. Belum tau saja lelaki hidung belang itu perubahanku.
Aku memang sengaja berpenampilan lusuh dengan sapuan tepung yang menyamarkan pesonaku. Bantalan yang sengaja kupasangkan di perut dan dadaku. Menutupi perubahanku. Untung saja tadi Bu Eva, tetangga lamaku mengabarkan kedatangan si hidung belang itu di rumah kami yang sengaja kugadaikan.
Bukan karena anakku harus opname seperti alasan yang kukemukakan padanya.
Aku tak seratus persen berbohong, seminggu yang lalu anak bungsuku memang sakit. Aku kebingungan mendapati suhu tubuh anakku yang meningkat, kutelpon suamiku tapi tak juga tesambung. Dengan panik dan bingung aku menggendong tubuh si bungsu di tengah malam.
Untung aku sudah piawai mengendarai mobil baruku. Jadi aku tak harus menggedor tetangga untuk minta bantuan.
Aku sadar, sebagai ibu aku harus kuat. Harus tegar. Kubuang semua sisi mellow-ku. Tak akan aku meratapi kepergian suami yang seakan hilang tertelan bumi. Biar dia puas dengan selingkuhanya. Karena bagiku dia sudah mati. Anak-anakku tak lagi bertanya ke mana ayahnya pergi. Mereka mulai terbiasa.
Semalaman aku begadang menemani anakku di
UGD. Dia terkena DBD. Untung masih belum parah. Dengan satu kali transfusi darah, dokter mengijinkan anakku rawat jalan. Karena tak mungkin aku meninggalkan kedua anakku yang lain. Meski ada pembantu dan babysitter. Aalagi kondisi si bungsu sudah membaik.
Alsanku meggadaikan rumah bersejarah kami karena saat aku mengurus mepulngan anakku. Aku melihat sosok suami dan wanita itu berangkulan mesra di poli kandungan. Apa wanita itu hamil? Cih, menjijikkan. Kumpul kebo sampai hadirnya jabang bayi.
Aku tak akan mengutuk si jabang bayi, karena dia suci. Yang bejat dan kotor adalah orang tuanya.
Segera kutinggalkan rumah sakit, supaya anakku tak melihat ayah dan selingkuhannya. Aku tak mau meracuni jiwanya yang suci.
Di halaman rumah aku terpaku menatap bangunan bersejarah itu. Di sinilah setiap detik waktu kami lalui bersama. Terlalu banyak momen kebahagiaan kami terukir. Tak adakah yang tersisa? Tak ingin bertanya ke mana semua rasa cintanya yang selalu dia dengungkan di awal pernikahan kami. Percuma. Lelaki itu seperti terkena amnesia.
Hari itu juga aku bertekad menggadaikan semua kenanganku dengannya.
Jangan pernah menyesal,Mas!
Kau sudah mencederai janji yang kau ucapkan sendiri di hadapan Tuhan dan semua yang menghadiri pernikahan kita.
Jadi jangan pernah berbalik dan memohon ampun padaku, keluargaku dan anak-anakku. Tidak kini. Tidak nanti.
Pintu hatiku sudah terkunci dan tergembok.
Berbahagialah. Aku akan marah kalau kau tak bahagia. Karena yang kau korbankan begitu banyak.
"Bagus. Aku tak akan sungkan lagi kalau begitu," ejeknya.
"Iya, berbahagialah!" ucapku sedatar papan talenan.
Dengan emosi tertahan suami—ex husband wannabe, meninggalkan kamar. Aku yakin dia akan menuju gudang di belakang rumah ini.
"Kamu serius mau cerai, Run?" tanya ibuku sendu. Matanya menyiratkan kekecewaan yang nyata. Aku hanya mampu menjawab dengan anggukan. Aku malu sungguh. Mas Herman adalah pria pilihanku sendiri. Teringat bagaimana kedua orang tuaku menentang hubungan kami, dan bagaimana perjuangan kami untuk mendapatkan restu mereka. Dan kini dengan mudahnya kata cerai kami dengungkan.
"Kenapa dulu Bapak dan Ibu tidak merestui hubungan kami? Apa karena Mas Herman miskin?"
"Tidak, Nduk. Bapak cuma merasa nggak sreg saja. Berat bapak merestui hubungan kalian waktu itu. Meski bapak nggak tau alasan pastinya. Seperti firasat orang tua Nduk," sahut Bapak yang tiba-tiba datang dan memelukku dengan sayang. Aku menangis karena sudah begitu mengecewakan beliau.
"Maafin Runa, Pak. Runa sudah bikin Bapak dan Ibu kecewa," ucapku di sela tangis yang tak mampu kutahan.
Pelukan Bapak begitu nyaman dan menenangkan. Namun hatiku menangis sedih. Aku sudah begitu menyakiti beliau. Ibu juga memeluk kami berdua meski tangannya hanya sebatas lengan Bapak. Bapak akhirnya terkekeh menyingkirkan tangan Ibu untuk dia genggam serta mengecupnya dan memeluk kami dengan sayang. Aku iri pada cinta mereka. Aku iri dengan keharmonisan yang selalu tersaji di depan mataku.
Cinta mereka begitu sederhana. Andai Mas Herman berpikir sesederhana Bapak. Ah, tak boleh ada perandaian.
Semuanya sudah berakhir.
Bersambung
Hi ... good morning
Gimana kabarnya? Sehat kan?
Author cuma mau kasih info ke kalian, kalau kalian punya akun wattpad dan dreame. Bantu follow dan like tiap karyaku ya. Nggak dipungut biaya kok, gratis.
Nama akun cahya46
Makasih.
Have a nice day.