Emma memandang Haoran dengan pandangan tidak berkedip, berusaha mencari tahu apakah Haoran bercanda, atau memang sengaja ingin mencari kesempatan.
Tidak ada.
Pemuda itu memang serius ingin menjaganya.
Aku tidak akan berjalan dalam tidur, pikir Emma dalam hati. Ia tadi berbohong kepada Haoran, tetapi rupanya pemuda itu menganggap ucapannya serius. Emma tidak tahu bagaimana meyakinkan Haoran bahwa ia baik-baik saja, tanpa mengakui kebohongannya.
Tidak bisa. Akhirnya ia hanya bisa mengangguk pasrah. Ah, mungkin ada baiknya juga ia tidur di dekat Haoran malam ini. Ia akan dapat bertanya tentang apa saja yang terjadi selama dua hari terakhir. Hal terakhir yang diingatnya adalah membalas SMS Haoran di sekolah. Lalu...
Apa yang terjadi?
"Haoran..." Emma memanggil nama pemuda itu begitu lift berhenti di lantai 10 dan pintunya terbuka.
"Hmm?" Haoran hanya menoleh kepadanya dan memberi tanda agar Emma mengikutinya berjalan. Gadis itu menurut. Mereka berjalan beriringan dan berhenti di depan kamar bernomor 1015 yang terletak di paling ujung. Haoran membuka kunci dengan kartu dan mempersilakan Emma masuk. "Bicara di dalam saja."
Begitu mereka masuk ke dalam, Emma seketika terkagum-kagum melihat kamar hotel pemuda itu. Haoran tidak menginap di kamar biasa, melainkan di sebuah suite mewah yang sangat luas. Ahh... bagaimana bisa Emma lupa kalau pemuda itu adalah anak keluarga terkaya kelima di Asia?
"Kau tidak menginap di kamar biasa?" Namun, tetap saja Emma terdorong untuk bertanya. Haoran mengerutkan keningnya dan mengetuk kening Emma pelan.
"Kau kan sudah tahu? Kenapa bisa lupa?" tanyanya keheranan.
Emma hendak mengatakan bahwa ia tidak dapat mengingat peristiwa yang terjadi selama dua hari terakhir, tetapi akhirnya ia mengurungkan niatnya. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan kepada Haoran. Akhirnya ia hanya mengangkat bahu.
"Aku tidak ingat. Itu saja." Emma menatap Haoran agak lama dan tiba-tiba saja ia menyadari sesuatu.
Ia tidak mendengar suara-suara itu. Saat ia bersama Haoran, ia tidak lagi mendengar pikiran orang di sekitarnya seperti saat baru terjadi mati lampu dan ia terbangun di puncak Menara Eiffel. Apakah kemampuan itu hanya sementara?
Ataukah keberadaan Haoran memblokir suara-suara itu?
Ia juga baru menyadari bahwa ia tak dapat membaca pikiran Haoran.
Ahh... sungguh membingungkan. Emma merasa sangat bingung karena ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di benaknya tetapi ia tidak tahu jawabannya. Alangkah senangnya ia jika dapat bertemu orang tuanya dan menanyakan itu semua.
Ibunya pasti dapat menjawab mengapa Emma dapat mendengar pikiran banyak orang, tetapi ia tak dapat mendengar pikiran Haoran. Ibunya juga pasti akan dapat mengajari Emma untuk mengontrolnya. Buktinya, ibunya tidak pernah tampak terganggu dengan suara-suara yang didengarnya.
"Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Haoran sambil menutup pintu. Ia memperhatikan Emma yang menatapnya dengan pandangan aneh. "Ada sesuatu di wajahku?"
Gadis itu menggeleng. "Tidak. Aku hanya bingung. Ada beberapa hal yang aku tidak ingat."
Haoran mengangguk. "Mungkin itu karena kau berjalan sambil tidur tadi. Sebaiknya sekarang kau beristirahat saja dan besok kita mengobrol lagi. Aku akan menceritakan semua yang ingin kau ketahui. Sekarang tidurlah. Sudah hampir jam 2 pagi."
Emma mengedarkan pandangan ke sekeliling suite itu dan memperhatikan bahwa di dalam suite luas itu ada satu kamar tidur, satu ruang tamu besar dengan sofa yang nyaman, ruang duduk, dan ruang makan. Gila! Tempat ini bahkan lebih luas dari seluruh apartemen Oma Lin.
Ia akhirnya mengangguk dan berjalan ke arah sofa untuk membaringkan tubuhnya.
"Baiklah.. kita tidur sekarang," kata Emma kemudian sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa.
"Kau ngapain di situ?" tanya Haoran keheranan. "Kau tidur di kamar. Aku di sofa."
"Eh...? Tentu saja kau yang di kamar. Ini kan suite-mu. Aku di sofa saja. Lihat, sofanya besar dan nyaman sekali," komentar Emma.
Haoran menghampiri Emma dan menarik tangannya lalu dibawa masuk ke dalam kamarnya.
"Percuma saja aku menyuruhmu di sini kalau kau tidur di ruang tamu. Nanti kalau kau berjalan dalam tidur lagi, bagaimana aku bisa tahu?"
Aku sebenarnya tidak berjalan dalam tidur, keluh Emma dalam hati.
Sayangnya ia telah terlanjur berbohong sekali, sehingga kini akan sulit baginya untuk menarik ucapannya. Ia tak ingin Haoran menilai ia adalah seorang gadis pembohong.
Akhirnya ia menurut dan membaringkan tubuhnya di tempat tidur di kamar Haoran. Pemuda itu baru puas setelah ia memastikan Emma benar-benar tidur dan menutupi tubuhnya dengan selimut, dan keluar dari kamarnya untuk tidur di sofa ruang tamu.
"Selamat tidur," kata Emma sebelum Haoran menutup pintu di belakangnya. Pemuda itu hanya mengangguk dan tersenyum.
Emma tidak dapat segera tidur. Ia masih berusaha keras mengingat apa yang terjadi selama dua hari terakhir. Namun, hingga satu jam lamanya ia tidak juga berhasil. Akhirnya ia pun menyerah.
Emma hanya berharap saat ia tidur, ia akan dapat memimpikan orang tuanya. Ia sangat bahagia karena telah berhasil mengingat wajah mereka. Walaupun ia kehilangan ingatan selama dua hari, Emma rela.
***
Emma bangun saat jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Ketika ia membuka matanya, Haoran tampak sedang memilih pakaian dari lemari.
"Eh, kau sudah bangun? Maaf aku barusan masuk untuk mengambil pakaian," kata pemuda itu meminta maaf. "Acara hari ini dimulai pukul 10 pagi. Kita akan mengunjungi Museum Louvre. Kau mau turun sarapan jam berapa?"
Emma menggeleng. "Aku tidak tahu."
"Jam sembilan saja ya," kata pemuda itu. "Habis sarapan kita bisa langsung bergabung di lobi bersama teman-teman lainnya."
Emma bangun dari tempat tidur. "Boleh. Kalau begitu aku mau ke kamarku sekarang untuk mandi dan berganti pakaian. Kau tahu aku ada di kamar berapa?"
Haoran mengangguk. "Kau di kamar 512."
Emma meraba tubuhnya berusaha mencari kunci kamar tetapi tidak menemukannya.
"Kunciku tidak ada..." keluh gadis itu.
"Tunggu di sini," kata Haoran. Ia segera menghampiri telepon di meja dan menelepon resepsionis. Ia bicara dengan singkat tentang Emma yang kehilangan kunci dan meminta pihak hotel untuk mengirim petugas dengan kunci baru ke Suite-nya. Staf di ujung telepon segera mengiyakan dan Haoran menutup telepon.
"Mudah sekali," cetus Emma. "Aku pikir kalau aku menghilangkan kunci mereka akan mendendaku..."
Haoran menggeleng. "Tidak mungkin mereka berani. Kalau mereka mendendamu, aku akan membeli hotel ini dan memecat petugas yang mendendamu."
Emma menatap Haoran dengan sepasang mata membulat. "Kau ini bicara apa, sih? Kalau bercanda jangan keterlaluan."
Haoran hanya mengangkat bahu dan tersenyum.
Lima menit kemudian terdengar ketukan di pintu dan seorang petugas hotel datang membawakan kunci kamar 512 untuk Emma. Gadis itu hanya terkesima melihat betapa mudahnya hidup bagi seorang anak orang terkaya kelima di Asia. Apa pun yang diinginkannya dapat diperolehnya dengan mudah.
"Terima kasih, Haoran. Ah.. bagaimana aku bisa beruntung berteman denganmu?" tanya gadis itu sambil tersenyum lebar menerima kunci dari tangan pemuda itu. "Aku ke kamarku dulu dan bersiap-siap. Sampai jumpa di restoran untuk sarapan."
"Sampai jumpa!"
Emma berjalan keluar dari suite Haoran dan menuju lift. Ia masuk ke dalam lift dan memencet tombol untuk lantai 5. Sepuluh menit kemudian ia telah tiba di kamarnya dan segera bersiap-siap.
Tepat pukul sembilan Emma dan Haoran telah bertemu kembali di restoran untuk sarapan bersama.