Zee segera mematikan laptopnya lalu mencoba menyiapkan dirinya menengok keadaan korban yang kini sudah dipindah ke ruang perawatan khusus. Zee segera melangkah keluar dari ruang pribadinya menuju ke lift setelah mengunci semua ruangan dan memastikan bahwa tidak ada lagi akses menuju apartemennya terbuka untuk umum. Langkah panjangnya membawa dia segera masuk ke sebuah ruang perawatan di mana di sana seorang laki-laki sedang tergeletak lemah di bed pasien seorang diri.
Hanya ada beberapa perawat jaga yang menemani Afzal di ruang jaga perawat, sedang Afzal yang masih terbaring lemah hanya mampu berbaring seorang diri. Melihat kedatangan Zee mereka berdiri sambil membungkukkan badannya memberi hormat kepada pemilik klinik.
"Selamat malam dokter Lia. Mengapa dokter tidak beristirahat dan memanfaatkan waktu untuk mengumpulkan kembali sisa tenaga hari ini untuk menyiapkan hari esok?"
Zee menggelengkan kepalanya lalu ia melangkah menuju kursi kosong yang ada di depan para perawat. Ia memandang anak buahnya satu persatu kemudian memandang pintu ruang perawatan Afzal yang tertutup.
"Laki-laki itu sudah ada di sana? Apakah kalian sudah berusaha untuk menghubungi keluarganya?"
Beberapa anak buah Zee menggelengkan kepalanya. Lalu menunduk karena merasa bersalah pada atasan yang kini duduk memandangnya dengan sorot mata menyelidik.
"Kami tidak berani melakukannya, dok. Laki-laki itu meskipun dalam kondisi lemah sekali tapi dia memiliki kharisma luar biasa sehingga tidak berani untuk menanyakan identitasnya."sahut Amira yang kini menunggu reaksi Zee selanjutnya. Ia tidak sedang membual. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah bahwa Afzal memang memiliki kharisma luar biasa yang membuat para dokter dan perawat jaga malam itu merasa gentar untuk menanyakan identitasnya.
"Bagaimana mungkin kalian menjadi petugas yang baik kalau kalian bertanya saja tidak berani. Apa yang akan kalian lakukan jika terjadi sesuatu kepada pasien kita. Apakah kalian akan bertanggung jawab?"
Semua petugas menggelengkan kepalanya lalu menunduk menyadari kebodohan masing-masing.
"Kami mohon maaf dok, belum bisa seberani dokter Lia dalam menangani pasien dan melakukan hubungan dengan keluarga pasien. Kami akan berusaha belajar lebih banyak lagi kepada dokter Lia untuk perkembangan kami selanjutnya."
"Saat semua sudah terjadi di hadapan kalian, kalian baru akan belajar? Apakah itu tidak terlambat? Bagiku akan sangat lebih baik ketika belum terjadi sesuatu di klinik kita dan kalian sudah belajar. Selama ini apa yang kalian lakukan?" Zee meninggalkan anak buahnya menuju kamar Afzal. Ia perlahan membuka pintu dan mencoba untuk masuk ke ruangan laki-laki yang ditolongnya tanpa menimbulkan suara. Saat dia sudah berhasil memasuki ruangan yang berukuran tujuh kali sembilan, Zee memandang pasien yang memejamkan matanya. Wajahnya pucat pasi tidak menunjukkan gairah hidup sama sekali. Laki-laki itu memang tampak sangat arogan kalau dilihat dari garis wajah yang tampak nyata menampilkan kesombongan dan keangkuhan walau dalam kondisi lemah.
Zee Masih berdiri sambil memandang ke arah Afzal yang belum membuka matanya sama sekali. Ia ingin duduk di sebelah pasien tersebut, namun ia urungkan karena sebelum semuanya ia lakukan, Afzal membuka matanya dan memandangnya dengan sorot mata tajam.
"Siapa kamu? Mengapa masuk ke kamarku tanpa izin?" Zee menggelengkan kepalanya lalu mencoba duduk di sebelah Afzal. Di kursi yang dekat dengan bed pasien, ia duduk sambil memandang laki-laki yang saat ini masih menatapnya dengan sinis.
"Apakah seorang petugas medis harus meminta izin dulu kepada pasien yang sedang tidur untuk melakukan observasi Tuan? Aku seorang yang bertugas untuk melihat perkembangan pasienku . Sebelum pasien ditunggu oleh anggota keluarganya, aku tetap memiliki hak untuk masuk ke ruangan ini tanpa meminta izin terlebih dahulu kepadamu. Sekarang katakan kepadaku bagaimana kondisimu saat ini? Apakah ada keluhan?"
Bukan menjawab pertanyaan Zee, Afzal justru mencoba untuk mencari sesuatu di saku celananya. Zee memandang betapa angkuhnya Afzal. Saat ini ia hanya bisa diam menunggu reaksi Afzal selanjutnya.
"Aku mencari ponsel dan dompetku. Tidak ada di saku celanaku. Jangan bilang engkau sudah mencurinya dan mencoba untuk mengambil alih hak kepemilikan atas barang-barangku. Aku tidak akan pernah toleransi terhadap seseorang yang mencoba melakukan kejahatan termasuk pencurian barang pribadiku."
Zee mengedikkan bahunya. Sebenarnya ia ingin mengangkat kepala pasien yang ada di depannya untuk membenarkan posisi kepalanya agar pasien nyaman, namun ia urungkan. Ia tahu apa yang harus ia lakukan kepada seorang laki-laki yang terlalu menampilkan kekuatan diri kepadanya. Ia ingin memberikan pelajaran kepada laki-laki itu tentang kehidupan dan menyadarkan dirinya bahwa dunia tidak selamanya akan menjadi miliknya walaupun dia mampu membelinya.
"Bahkan saat engkau dalam keadaan lemah seperti ini, engkau tampil dengan begitu arogannya. Aku heran mengapa engkau bisa kalah dan terkapar di sini seperti ini. Dengan melihat kondisimu yang banyak luka, aku yakin engkau baru saja mengalami penyiksaan yang mengerikan. Kamu selamat dari maut namun kamu sama sekali tidak mengambil pembelajaran atas peristiwa yang kau alami. Jangan menyerah begitu saja pada kondisimu sehingga membuat engkau berdarah-darah. Kalau dengan perempuan sepertiku engkau berani, seharusnya dengan musuhmu yang sudah membuat engkau lemah tak berdaya, engkau bisa membuat mereka takluk dan tunduk di bawah kakimu." Zee mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan merapatkan gigi giginya. membuat Afzal memandang dengan menautkan kedua alisnya. Ia ingin sekali mengumpat dan memaki, namun ia urungkan. Ia cerna semua perkataan gadis yang masih memeriksa kondisi luka dan mencatat semuanya dalam dokumen yang ia pegang. Sebenarnya ia membenarkan apa yang dikatakan oleh Zee, namun sisi arogannya menolak. bibirnya justru mengeluarkan pertanyaan yang membuat Zee semakin melotot.
"Kau tidak akan mengatakan dimana dompet dan ponselku? Awas saja kalau sampai ketahuan bahwa kau yang mengambilnya dariku. Aku tidak akan segan-segan mengurungmu dalam penjara bawah tanahku."
Zee menempelkan telunjuknya di bibir, meminta Afzal diam dan tak melakukan apapun karena dia ingin melihat seberapa parah luka yang dialami pasiennya. Melihat Zee diam sambil terus melakukan kerjanya, Afzal mencebik. Tangannya ia ulurkan untuk menyentuh wanita yang sangat menyebalkan bagi Afzal.
"Auw"
Zee yang sibuk mencatat beberapa temuan, memandang Afzal yang masih meringis sambil mendesis, mirip suara ular.
"Makanya diam. baru kehilangan dompet dan ponsel saja sudah kebakaran jenggot."
"Apa? Jadi kamu yang mengambil semua barang milikku? Kembalikan!"
"Apa?"
"Kembalikan barangku dan jangan pernah berani untuk datang lagi ke ruanganku. Aku akan memanggil direktur rumah sakit ini dan melaporkan smeua kejahatanmu yang telah menyiksaku di sini."
Zee melotot. Sebenarnya ia ingin tertawa mendengar apa yang dituduhkan Afzal kepadanya. Ia sama sekali tidak melakukan apapun dan Afzal ingin melaporkan tindakannya kepada direktur rumah sakit?"
"Ha ha ha"
Afzal terpana mendengar tawa Zee. Ia tidak mengerti mengapa wanita di depannya menertawakannya.