下載應用程式
55.55% Petak Umpet Joe / Chapter 15: Rencana Kedua

章節 15: Rencana Kedua

"Kalian anggap ini permainan setan, ku anggap ini permainan yang menyenangkan."

***

Aku dibawa masuk ke suatu ruangan. Di dalamnya ada seseorang duduk dengan kaki terangkat ke meja. Lilin di depannya menyala terang menerpa sebagian ruangan itu hingga aku dapat melihatnya. Kausar.

Sorot matanya tertuju padaku setelah Citra berjalan masuk ruangan tanpa membawa lilin di tangannya. Kautsar mengeluarkan sebungkus kotak kecil. Menarik sebatang rokok dan menyalakannya.

"Gue mau bicara." Kata Citra membuka obrolan.

Kautsar menterengkan kepalanya sedikit lebih pelan. Meniup keluar asap rokok miliknya. Menyedot batang rokok kembali dan mengeluarkannya. Bolak-balik.

"Dan orang di belakang lo itu?" tanya balik Kautsar.

"Oh ya, gue ketemu dari gedung tujuh. Dan-"

"Dan lo bawa ke sini tanpa minta izin dari gue. Lagian itu bukan perintah gue. Perintah gue! nyuruh lo keluar buat ngamanin jalan keluar, bukan malah bawa lagi beban ke sini."

Aku tahu arah pembicaraan ini langsung memanas. Kautsar tengah marah saat ini, di belakang Citra aku hanya bisa mendengar. Aku harus bicara, kalau tidak semua akan tambah buruk sepertinya.

"Ada alasan penting dan mendesak Sar. Gue nggak bisa jelasin tapi Iqbal bisa jelasin hal penting itu. Tentang permainan ini." Jelas Citra. Dari wajahnya terlihat khawatir alasannya ditolak Kautsar. Lebih-lebih Kautsar tipe orang yang nggak seneng banget perintahnya dilanggar. Apalagi menambah masalah.

Pikirku. Kenapa nggak dia sendiri ngelakuin tugas itu. Tapi malah nyuruh orang lain.

Alasanya cuman satu. Otoriter, memiliki sikap keras kepala merasa ia yang paling kuat dan berkuasa di tempat ini. Siapapun termasuk Tsaqib bisa tunduk di hadapannya.

"Cit. Kita sembunyi sampai jam tiga, permainan setan ini bisa selesai. Nggak perlu ada alibi lain soal masalah penting. Masalah penting sekarang gimana caranya bertahan hidup sampai jam tiga. Lo denger gak?" nada bicara Kautsar dingin sekali.

Citra tertekan. Kautsar meludah ke samping. Menyedot putung rokok dan mengeluarkannya perlahan.

"Gini Sar. Gue sebenernya nggak bermaksud-" kataku memberanikan diri.

"Diem!" potong Kautsar tiba-tiba.

"Gue nggak nyuruh lo bicara, bedebah."

"Sebaiknya lo diem atau gue lempar lo dari menara ini" ancam Kausar.

Kurang ajar.

Kausar bangkit dari duduknya. Berjalan mengelilingi kami dengan mata melotot geram. "Akses keluar?" tanya Kautsar pada Citra. "Aman. Gue udah pasang pengikatnya, memblokir jalan belakang dan mastiin kalau gedung Sembilan tujuh nggak ada orang." Jawab Citra cepat.

"Bagus. Permainan bentar lagi kelar. Kurang satu jam lagi."

"Tapi gimana kalau permainan ini emang nggak berjalan." Sergah Citra.

Kautsar menoleh. "Maksud lo?"

"Gimana kalau permainan ini emang dari awal nggak berjalan. Dan arwah joe yang kalian sebut itu nggak nyata. Semua hanya rekayasa." Tambahku. Aku berusaha berani membantah orang ini. Bukan masalah takut atau tidaknya. Tapi kalau nggak segera memberitahu yang lain keadaan akan semakin kacau.

"Jangan ngaco lo. Temen-temen banyak yang mati, brengsek. Dan lo pikir permainan ini nggak berjalan? Bodoh lo Bal." Caci Kautsar .

"Bukan joe yang bunuh. Tapi seorang psikopat."

"Pfffttt!!!! Omong kosong apa ini." Kautsar tertawa. Ngakak di depan kami. Aku terdiam membiarkan.

"Adududu. Cerita apa lagi ini Bal? hah? Psikopat? Nggak sekalian aja tukang jagal lo bawa?"

"Gue nggak bohong. Ini nyata." Kataku

"Apa hah? Buktinya apa? Foto lo dikejar-kejar psikopat? Atau foto lo selfie sama psikopat?"

Selera humornya persis bapak-bapak warung depan rumah.

"Lo punya korek api kan?" tanyaku. Kebetulan aku nggak bawa korek api saat ini.

Kautsar mengangkat bahu "Udah habis." Citra menggelengkan kepala. Tanda tidak punya. "Tsaqib mungkin punya. Bentar gue ambilin." Kata Citra keluar ruangan. Meninggalkan diriku dengan Kautsar yang lagi asik kebal kebul rokok. Sesekali ia tersenyum padaku. Ejekan lama. Tidak ada rasa jengkel sekian lama tak berjumpa dengan Kautsar hingga detik ini aku merasakannya lagi.

Kautsar memiliki perawakan tinggi dengan rambut pirang disisir ke kiri. Wajahnya lumayan dengan brewok rapi atas bawah. Eh, Maksudku bawah hidung dan dagu. Matanya coklat pekat. Wajahnya ada bekas luka seperti cakaran di pelipisnya. Akibat tawuran dengan sekolah lain. Aku nggak bisa ingat jelas berapa kali ia digiring ke kantor polisi cuman perkara tawuran dan tentu saja itu merugikan pihak sekolah dan orang tua karena nama mereka tercoreng. Apalagi ayah Kautsar yang menjadi seorang tentara. Pasti berat rasanya memikul beban anak satu ini. Ayah Kautsar sering bersikap keras terhadapnya, masalah sikapnya yang memang luar biasa kampret. Entah kenapa atau kepalanya emang sejak awal isinya batu, semua gertakan dan nasehat yang datang tertolak mentah. Kausar ya Kausar, bangsat ya bangsat.

Citra kembali dengan korek api di tangannya.

Ia memberikan korek itu padaku.

"Lo mau apa dengan korek api itu?" tanya Kautsar .

Aku tidak menjawab. Mendekati meja dan meniup lilin di hadapan Kautsar . Tiba-tiba sekali aku melakukannya. Imbasnya Kautsar panik dan mulai marah.

"Hey Bodoh!! apa yang lo lakuin." Teriak Kautsar marah. Berdiri dari kursi hendak mengambil korek api dariku. Aku mengelak. Tidak mau memberikannya.

"Maksud lo apaan, anjing!" kata Kautsar .

"Tunggu Sar!! Tunggu sampai sepuluh detik. Lo tenang dulu." Jelas Citra.

"Pala lo tenang!! Mati iya bodoh!!." Kautsar mendorongku hingga jatuh membentur dinding. "Goblok!!" teriaknya. Ia mengambil kursi berencana menghantamkannya kepadaku. Citra yang tahu maksud situasi ini menahan Kautsar dengan menggenggam erat tangannya. Mengunci sekuat mungkin agar tidak terlepas. Kautsar tambah marah. Matanya melotot. Berusaha sekuat mungkin melepaskan cengkraman Citra. Citra juga demikian. Gerakan mengunci tangan Kautsar tidak ia kendorkan sama sekali. Malah tambah kuat untuk seukuran wanita.

4

3

Aku berdiri dan membantu Citra mengunci. Kautsar menyundul kepalaku keras sekali sebanyak tiga kali beruntun. Aku kesakitan dan jatuh. Lagi.

Sialan ini orang.

2

1

...

Hening. Tidak terjadi apa-apa.

Dari arah tangga suara gemuruh langkah terdengar. Tsaqib dan dua orang lain yang kuketahui namanya Ulvan dan Haqi, masuk ruangan membawa satu lilin menyala. Wajah mereka terheran-heran sekaligus terkejut melihat Citra menggenggam erat Kautsar . Kausar menarik paksa lengannya. Wajahnya merah banget kali ini.

Canggung.

"Ada masalah di sini?" tanya Ulvan. Ia meletakkan lilin yang dibawanya ke atas meja.

"Ada yang gak beres sampai-sampai lo teriak Sar? Suaranya kedengaran sampai bawah." tanya Haqi

"Tanya dua babi ini." jawab Kautsar . Ia pergi begitu saja meninggalkan kami yang masih kebingungan bagaimana menjelaskannya. Aku menghela napas. Menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

Tsaqib menatap Citra.

"Lo nggak lagi macem-macem kan Cit." kata Tsaqib. Ia memicingkan matanya. Raut wajah mereka terdiam tak kala aku bangkit dari jatuh. "Nggak. Nggak ada apa-apa. Cuman sedikit sentuhan kecil ngobrol ama Kautsar ." Jawab Citra. Dahinya berkeringat lalu mengusapnya. Citra mengeluarkan tenaganya ekstra.

Tsaqib keluar. Hendak menyusul Kautsar .

Haqi menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya. "Gue pikir joe datang. Jadi gue buru-buru kemari." Kata Haqi. "Tapi okelah syukur nggak ada apa-apa." tambahnya.

Dari arah belakang pintu, orang-orang lain muncul. Eugine dan Yasmine. Mereka melihat sekitar dengan wajah penuh tanda tanya.

"Ada apa di sini? Semuanya baik-baik saja kan?" tanya Yasmine

"Aman. Nggak ada masalah." Jawab Haqi lalu kemudian keluar ruangan.

"Kausar tadi ngapain kok mukanya marah-marah gitu Cit?" tanya Eugine pada Citra. Citra menoleh. Dan buru-buru buang muka.

"Owh nggak, nggak ada apa-apa. Biasalah, Kausar badmood mendadak. Cuman gara-gara masalah rokok." Jawab Citra asal. Manggut-manggut dan mereka meng'iya' i saja. Lagian watak Kautsar semua orang sudah tahu.

Aku menahan tawa mendengar jawaban Citra. Bisa juga dia ngelak.

Yasmine dan Eugine melihatku.

"Sejak kapan lo datang. Bal?" Tanya Yasmine.

"O. Sejak di menara ini atau datang ke asrama ?" tanyaku balik

"Datang ke asrama."

"Dua jam yang lalu." Jawabku.

Yasmine dan Eugine menganggukan kepala. Mereka akhirnya keluar ruangan juga. Aku menyandarkan badanku ke tembok. Sisa aku, Citra, dan Ulvan. Ia diam sebentar melihatku dengan Citra. Ulvan dulu teman sekelas . Orangnya waspada dan selalu hati-hati. Tidak begitu akrab denganku tapi yang pasti ia orangnya baik dan tidak ada maksud tertentu. Sejak perpisahan kabar Ulvan tidak lagi kudengar. Hingga saat ini aku bisa melihatnya lagi. Pria yang memakai kemeja hitam dengan poni ala oppa korea. Mungkin saat ini ia tengah berpikir apa yang sebenarnya terjadi pada Kautsar.

"Lo lagi mikirin apa Van?" pancingku.

"Maksa Kautsar marah-marah tentang masalah rokok dan ngomong kasar bukan alasan yang tepat menurutku. Apalagi putung rokok Kautsar masih menyala di meja. Lilin mati dan saat masuk Citra megang tangan Kautsar."

Tebakanku benar.

Ulvan mengamati sekitar.

"Yup benar. Nggak logis Kautsar marah-marah kayak anak kecil kalau nggak ada kejadian serius." Kataku.

"So. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Ulvan.

Aku menatap Citra. Memastikan bisa nggak yah Ulvan menerima informasi tentang ini. Atau jangan-jangan kami akan berdebat lagi sama halnya dengan Kautsar. Tapi kuyakin Ulvan bisa menerima ini.

Aku menyalakan lilin yang padam tadi.

Mengisyaratkan sesuatu penting jika Ulvan dapat menebaknya.

"Kita nggak lagi bermain permainan arwah." Kataku. Ulvan berpikir terlebih dahulu. Dahinya mengkerut dan sorot matanya berputar-putar. Diam sebentar. Ruangan ini canggung. Citra yang telah mengetahui semua ini menatap Ulvan dengan tatapan khawatir.

"Apa ini ada kaitannya dengan lilin?" tanya Ulvan.

"Tepat." Kataku.

"Apa ada bukti lain?"

"Mayat Haniyah. Dia nggak jadi penjaga. Gua nemuin mayat Haniyah di gedung satu." Jawabku. Lalu kuperlihatkan foto jasad Haniyah yang sempat kuambil melalui ponsel sebelum pergi meninggalkan area gedung satu.

Ulvan melihatnya dengan teliti. Dari atas ke bawah semuanya real. Pakaian di foto tersebut sama persis dengan apa yang dikenakan Haniyah saat acara reuni. Hanya saja sedikit menjijikan foto ini menampakkan wajah haniyah yang rusak akibat benturan lantai. Tubuhnya juga bersimbah darah mengalir. Ulvan pun percaya.

"Kalau emang permainan ini berhantu, kenapa gue bisa ketemu Haniyah di gedung dua sementara gue nemuin mayat dia di gedung satu sebelumnya. Ini jelas aneh. Lo nggak akan percaya dia bisa hidup lagi. Gila kan? cuman dua jawabannya. Pertama, dua Haniyah ini sebenarnya dua orang berbeda. Kedua, permainan ini emang bener-bener aktif. Tapi nyatanya lo bisa mikir sendiri. Aturan sepuluh detik lilin mati itu nggak ada. Artinya permainan ini emang nggak aktif dari awal."

"Gue percaya." Tanpa pikir panjang.

"Bagus. Langkah selanjutnya tinggal beritahu semuanya yang di sini." Kataku memasukkan ponsel ke dalam saku.

"Nggak perlu lama-lama. Gue kumpulin sekarang juga."

Aku suka cara kerja Ulvan. Andaikan Kautsar bisa gunain otaknya sedikit lebih baik, semua bakal lebih mudah.

"Oke. Kita kumpul di lantai satu sekarang. Gue akan coba ngomongin ini ke Kausar." Kata Citra bergegas keluar.

Aku mengangguk.

***

Kini aku berdiri menyandar pilar penyangga. Menunggu yang lain untuk datang kemari sesuai kesepakatan. Lagi-lagi rasa khawatir menyerang. Pikiranku saat ini tertuju pada Meira. Ia tidak di sini. Masih di luar sana. Berkeliaran entah kemana bersama psikopat tersebut. Masih tidak ada petunjuk Meira di mana. Entah ia masih hidup atau tidak kalau Meira terjadi kenapa-kenapa, aku tidak akan bisa memaafkan diriku.

Tuhan. Tolong lindungi Meira sampai aku datang menjemputnya.

Aku merasa sedikit bersalah saat ini. Mungkin Meira marah-marah nanti. Jika saja nggak lupa untuk menghadiri acara reuni. Mungkin Meira nggak akan terjebak dalam situasi menjengkelkan malam ini. Langsung mengantarkannya pulang dan nggak perlu repot-repot menuruti teman-teman memainkan permainan setan. Sialan.

Aku melihat sekeliling. Mereka datang. Satu persatu sambil membawa lilin di tangannya. Aku melepaskan sendekapku. Beranjak duduk diantara mereka. Membentuk lingkaran dengan lilin di tengah.

Setelah semuanya berkumpul dan menenangkan keheningan ini. Aku berbicara.

"Teman-teman makasih buat hadir. Nggak usah banyak omong langsung ke intinya saja. Karena waktu kita nggak banyak."

"Semuanya harap mendengarkan." Tambah Citra

"Gue emang datangnya agak telat dan nggak tau tentang permainannya. Nggak tau aturannya tapi akhirnya gua ketemu sama Rayyan di gedung satu, dia yang beritahu gue aturan permainannya. Kali ini gue mau nyampein dua hal." Kataku

"Pertama. Gue udah ngerasa janggal ama satu peraturan yang dimana arwah takut dengan cahaya. Masih ingat aturan lilin?"

"Ya."

"Sepuluh detik lilin nggak nyala maka akan terjadi sesuatu buruk. Tapi gue nggak akan ngelakuin pembuktian itu lagi. Karena gue, Citra, dan Kautsar udah ngebuktiin di lantai dua tadi hasilnya nggak terjadi apa-apa. Nihil. Aturan itu nggak terbukti. Kalau kalian masih nggak percaya silakan tiup aja lilin yang ada di depan kalian ini."

"Omongan Iqbal gue rasa bener. Gue alamin sendiri saat ngejar Haniyah di gedung sepuluh. Dalam keadaan gelap gue lari ngejar Haniyah yang terseret. Lebih dari sepuluh menit nggak ada hal aneh yang menimpa. Jadi mungkin itu bisa jadi bukti kalau aturannya nggak berjalan." Tambah Citra mendukung pendapatku.

Tunggu dulu. Aku tidak tahu cerita ini. Mungkin terjadi sebelum aku datang.

"Tunggu. Tunggu dulu. Apa maksud lo Haniyah diseret?" tanyaku pada Citra.

"Itu kejadian sebelum lo datang." Kata Eugine.

"Saat itu katanya Akmal ritual udah dilakukan. Kita disuruh masuk gedung sepuluh terlebih dahulu buat mulai permainannya. Tapi naas. Permainan belum setengah jam berjalan, baru aja dimulai hal-hal aneh muncul dan kejadian itu terjadi."

"Apa?" tanyaku memancing.

"Yah pintu tiba-tiba tertutup tanpa ada yang ngaku menutupnya. Lampu yang dibawa Zakky padam mendadak lalu Haniyah tiba-tiba diseret oleh sesuatu yang nggak bisa kita lihat." Tambah Haqi. Ia tampak sedih menjelaskan kejadian mengerikan tersebut.

"Saat itu kita panik. Haniyah yang terseret beberapa orang coba ngejar. Dan sisanya karena ketakutan keluar dari gedung melarikan diri. Eugine dan Citra, mereka ngejar Haniyah." Kata Ulvan.

Aku mengerutkan dahi. Menatap wajah Citra. Ia membuang wajah. Enggan membalas tatapanku. Citra menyembunyikan sesuatu. Disisi lain Eugine menundukan kepala.

"Apa Meira juga ikut ngejar?" tanyaku.

"Kurasa iya. Sebelum gue keluar, gue lihat rombongan Meira, Akmal, Rayyan, Nawal diam gitu, kemudian Akmal bicara sepertinya sih buat nenangin situasi lalu mutusin ngejar Haniyah. Setelahnya gue nggak tau." Kata Tsaqib. Ia angkat bicara

Jadi Rayyan sama Akmal tahu Meira dimana.

Tapi kenapa aku nggak diberitahu?

"Saat itu cuman Citra, Kholqi, Adlan, Abid dan satunya lagi Rachel mutusin ngejar Haniyah. Sementara gue langsung ke atas." Jelas Eugine. "Katanya ada yang nyerang, gimana ceritanya Cit?"

"Iya. Sampai di balkon ada orang nyerang kita berlima dari arah belakang. Gue nggak tau persis wajahnya tapi sekilas mirip ama Haniyah tapi nggak mungkin Haniyah nyerang kita. Gue nggak tau lagi harus buat apa saat orang itu berhasil bunuh Kholqi. Gue langsung cabut lari ke lantai atas. Pikir gue permainan udah dimulai." Kata Citra.

"Nggak. Ini yang mau Gue omongin ke lo semua. Kalau permainan ini sejak awal nggak berjalan. Nggak aktif. Nggak berhasil ngundang arwah joe yang lo sebut." Kataku

Semua orang heran. Beberapa saat menelaah argumen dariku.

"Terus gimana lo jelasin matinya temen-temen yang lain? Kholqi misalnya. Menurut lo Kholqi mati gara-gara orang lain yang bunuh? Bukan arwah?" tanya Tsaqib.

"Arwah nggak akan bisa bunuh orang. Tapi orang yang berpura-pura jadi arwah, bisa." Jawabku.

Semua orang terdiam. Jawabanku mewakili tujuanku duduk di sini.

"Maksud lo ada psikopat di antara kita?"

"Bener."

"Gak mungkin. Nggak ada temen yang tega bunuh temannya sendiri, alasannya apa coba?" Sanggah Yasmine yang sedari tadi diam mulai angkat bicara.

"Bisa. Nggak sedikit kasus di luar sana psikopat bunuh temannya sendiri, keluarga, apalagi orang yang nggak dia kenal. Orang psikopat itu bermasalah kondisi mentalnya, keinginan jati dirinya. Nggak ada pengaruh lo jadi temen atau keluarga psikopat, kalau emang jati dirinya psikopat ya psikopat. Lo bisa dibunuh." Jelas Citra.

"Memang nggak salah alasan gitu. Tapi juga nggak menutup kemungkinan bukan temen kita sendiri yang jadi psikopatnya. Melainkan orang luar." Tambahku.

Suasana kembali hening. Masing-masing dari kita dibuat tenggelam dalam pikiran. Mempertanyakan ini beneran terjadi atau sebatas argumen diri sendiri. Kita masih meraba-raba apa benar orang lain ikut campur di sini. Psikopat bermain dalam permainan setan, seakan-akan permainan sudah dimulai padalah permainan itulah yang tengah ia mainkan. Memainkan kami untuk dibunuh tanpa ampun.

"Terus apa yang harus kita lakuin?" tanya Ulvan

Aku menghela napas.

"Kita jebak psikopat itu dalam permainan yang dia ciptakan sendiri."

"Tapi sebelum itu. Ada hal lain lagi yang akan gue bicarain." Tutupku.

***


next chapter
Load failed, please RETRY

每周推薦票狀態

Rank -- 推薦票 榜單
Stone -- 推薦票

批量訂閱

目錄

顯示選項

背景

EoMt的

大小

章評

寫檢討 閱讀狀態: C15
無法發佈。請再試一次
  • 寫作品質
  • 更新的穩定性
  • 故事發展
  • 人物形象設計
  • 世界背景

總分 0.0

評論發佈成功! 閱讀更多評論
用推薦票投票
Rank NO.-- 推薦票榜
Stone -- 推薦票
舉報不當內容
錯誤提示

舉報暴力內容

段落註釋

登錄