下載應用程式
40.74% Petak Umpet Joe / Chapter 11: Memori Kelam Tragedi Malam Itu

章節 11: Memori Kelam Tragedi Malam Itu

"Mataku melotot, bibirku bergetar, jantungku tidak bisa berhenti berdebar melihat orang tuaku tewas tergantung di langit kamar."

***

"Hey bukankah itu milikku?" suara seseorang dalam ruangan serba putih. Terdengar samar-samar seperti bunyi radio bernada jadul. Suaranya semakin membesar hingga telingaku sakit mendengarnya. Aku tidak tahu entah di mana sekarang, juga omongan seseorang tadi tak lagi terdengar kembali. Suaranya seperti anak-anak berusia delapan sampai sepuluh tahun. Namun yang pasti saat ini, aku masih bisa merasakan alunan ritme napasku. Tampak begitu tenang dan teratur.

Plop!

Ruangan yang semula putih itu berganti menjadi latar taman bunga di sore hari. Tunggu dulu, kali ini aku bisa merasakan tubuhku kembali. Aku tersadar berada di taman ini tepat di tengah patung pahlawan, dikelilingi semburan air yang mengarah ke atas. Kulihat tanganku, kusentuh wajah hingga badanku. Semua baik-baik saja, aku masih mengenakan setelan kemeja kantor.

Di depanku ada anak kecil duduk menghadap ke bawah di salah satu kursi taman, wajahnya kusut dan tampak kecewa. Anak itu memakai pakaian berwarna hitam, kancing dibiarkan terbuka sehingga terlihat kaos putih sebagai dalemannya, ia mengenakan celana hitam, rambutnya berantakan seperti habis berkelahi. Entahlah aku tidak tahu persis apa yang terjadi padanya, ia duduk sendirian di taman ini. Tidak ada orang lain selain aku dan dia. Bersama suasana sore hari yang sebentar lagi akan gelap.

Diam sebentar. Aku berpikir.

Ini pasti mimpi, ingatan terakhirku adalah aku pingsan di balkon gedung dua bersama Rayyan. kami berdua pingsan setelah bertarung melawan Haniyah lalu Rachel mencoba menyelamatkan kami dengan terjun bersama Haniyah. Mengorbankan dirinya sendiri. Tapi lihat sekarang, tiba-tiba aku berada di sini. Taman bunga di sore hari lengkap dengan anak di depanku yang terlihat murung.

Satu hal yang kutahu tentang anak itu.

Anak itu adalah aku.

Ya, aku sendiri.

Dan lebih anehnya lagi sekarang aku berbicara pada diriku sendiri tentang diriku yang melihat diriku sendiri di depan mataku. Nah loh,

Aku langsung mengenali baju warna hitam itu. Itu warna kesukaanku. Style tersebut juga menjadi favoritku karena pakaian itu pemberian ibuku di malam hari raya. Pada saat itu, Ibu sengaja tutup mulut terlebih dahulu karena sebelumnya aku mengeluhkan ingin dibelikan baju yang baru. Ibu tersenyum dan tidak membalas perkataannku. Saat itu kupikir ibu tidak akan beli namun ternyata tidak, ibu memberikan hadiah itu tepat saat malam hari.

Kembali ke anak itu, Aku masih belum berani mendekat. Jarak kami hanya beberapa meter saja tapi aku enggan mendekati diriku tersebut. Rasanya aneh saja berbicara dalam kondisi sadar dalam mimpi pada diri sendiri. Ini seperti Lucid Dream atau Dream Controller. Mungkin kalian banyak yang sudah tahu apa arti kata tersebut. Kita berada di mimpi dan kita sadar di dalam mimpi tersebut lalu kita bisa mengendalikan mimpi kita sesuka hati. Kondisi ini persis sepertiku, hanya saja kurang satu. Apa benar aku bisa mengendalikan mimpi? Mengubahnya atau bahkan menghapusnya? Ruangan putih sebelumnya yang tiba-tiba berganti menjadi taman sore hari ini apakah itu kehendakku?

Jawabannya tidak, sadar saat bermimpi saja tidak.

"Kak!!" panggil seseorang. Membuyarkan segala pemikiranku.

Dari arah belakang, anak berusia lebih muda berlari menghampiri diriku yang masih duduk ditempat tersebut. Aku menoleh anak kecil tersebut.

Itu pasti Adikku. Vivi.

"Mesti nang kene ae kuwi iki (Selalu saja ke sini, kak). Nggak liat apa udah sore. Ayo pulang disuruh ibu." Kata Vivi. Tangan kecilnya menarik tangan diriku dan langsung terjungkal akibat saking kerasnya tarikan.

Uih, kasar banget.

Diriku tidak menjawab, juga tidak marah. Hanya tatapan kosong menggambarkan hati yang tak pernah disinggahi seseorang. Njir.

"Ihh. Kakak kenapa sih, nggak kesambet kan? Jawab dong. Kok malah bengong." Kata Vivi. Kesal karena tidak kunjung mendapat respon diriku yang wajahnya kisut setengah mati. "Ah, ngeselin diem mulu. Ayo pulang." Tarik Vivi sekali lagi hingga diriku mau nggak mau ikut tertarik. Mereka memunggungiku dan pergi menjauh.

Kenapa aku terlihat murung ya?

Aku juga tidak ingat tentang kejadian sore ini. Maksudku apakah hari ini memang pernah benar-benar terjadi persis seperti yang barusan kulihat.

Plop!

Suasana berubah lagi.

Kali ini aku berada di ujung lorong yang gelap. Tampaknya ini mati lampu. Di dekatku ada jendela, kulihat rumah sekitar juga mengalami hal yang sama. Aku menyimpulkan satu komplek mati total.

Eh, bukankah rumah ini tak asing bagiku?.

Berdiri di atas karpet warna merah yang tergelar di setiap sisi rumah. Ini rumah nenek. Memiliki tiga lantai dengan keseluruhan kamar dalam rumah mencapai tujuh ruangan.

Aku masih bingung. Padahal jika memang aku dapat mengendalikan mimpi tentu saja aku tidak ingin mengubah latar tempatnya menjadi latar rumah nenekku. Aku mengalami kejadian buruk di sini.

"Iki lapo sih, jangkrik (Ini kenapa sih, jangkrik)." Batinku. Aku melihat kanan kiri. Lorong lantai dua sepi, hanya perabotan rumah kanan kiri masih tertata rapi. Rumah nenek memang selalu tampak seram baik luar maupun dalam. Apalagi patung macan sebelah kiriku ini. Hampir terkejut setengah mati aku dibuatnya.

Yah, walaupun ini bukan pertama kalinya tapi suasana ini masih tetap mencekam.

"Ayo cepat. Kemari." Bisik seseorang.

Anak perempuan yang membuntutinya tidak berkata apa-apa.

"Dia tidak akan menemukan kita jika kita terus bersembunyi. Kita hebat dalam permainan ini kan." Bisik anak laki-laki pada si perempuan. Mencoba menjelaskannya di tengah lorong yang gelap.

Aku memperhatikannya lebih lanjut sumber suara yang datang tiba-tiba dari balik bayangan.

Benar sesuai dugaan. Seorang anak kecil menggandeng tangan anak perempuan lainnya keluar dari kegelapan. Kakak beradik. Sang kakak menoleh kanan kiri dan sesekali menoleh kebelakang. Menuntun sang adik dengan hati-hati.

"Ya tuhan." Napasku tiba-tiba sesak. Tidak beraturan dan menyakitkan. Apa maksud mimpi ini diperlihatkan kepadaku. Ini jelas bukan fantasi mimpi. Ini adalah kenangan masa kecilku yang entah bagaimana bisa kulihat kembali. Berdiri di depan mereka tidak saling pandang, menganggapku tidak ada di sana. Lagi-lagi kakak adik tersebut adalah aku dan adikku.

Aku curiga memang. Dari awal mimpi, kenangan ini dibuka dengan diriku dan adikku. Kemudian berlanjut hingga kenangan di rumah nenek ini. Semua terhubung layaknya potongan puzzle tersusun dengan sendiri. Sialnya, malam ini adalah malam yang benar-benar tak kuinginkan terjadi.

"Permainan itu." kataku pelan.

Aku hendak mengejar diriku dan adikku yang telah melewati lorong meninggalkanku. Membuka pintu kamar dan memasukinya. Tapi dari ujung lorong sosok lain secara bersamaan keluar di antara cahaya dan bayangan tembok. Sosok tersebut bukan bagian dari keluarga, tapi seseorang yang lain.

Itu NightMan

Monster berwajah rusak dengan gigi runcing seruncing pisau menampakkan dirinya. Tubuh penuh borok bernanah tampak jelas kulihat sekarang. Tubuhnya dirantai. Darah keluar dari sayatan kulit yang terbuka lebar menyebabkan daging merah terlihat diselubungi belatung putih di pipinya. Mata merahnya menyala perlahan meneteskan darah hingga pipi. Ini mirip seperti zombie ketimbang monster dan hantu.

Satu lagi. Ia menggenggam sebuah kapak, di bagian bilahnya berlapis darah menetes jatuh ke lantai.

Bicara tentang diriku saat ini?

Tentu saja aku sangat ketakutan. Bola mataku tidak kuat melihatnya lama-lama. Secepat mungkin kualihkan seakan-akan tidak terjadi apapun. Napasku semakin sesak. Aku mencoba setenang mungkin.

Makhluk itu berjalan dari samping lalu lewat depanku.

Astaga.

Aku rasa ini bukan kenangan. Lebih tepatnya sebuah kutukan.

Makhluk itu tidak menyadari keberadaanku. Saat ia melewatiku begitu saja aku merasa seperti sebuah roh. Tidak nampak sama sekali baik wujud maupun hawa keberadaan. Meski demikian tetap saja sensasi mengerikan masih kurasakan sampai ubun-ubun.

Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Karena ini sebuah memori dan memang sudah terjadi. Jika aku mencoba menolong diriku atau menghalangi makhluk tersebut semuanya akan sama saja. Seperti sebuah mimpi masa lalu yang terjadi 10 tahun silam. Aku berdiri di sini dari masa depan yang tidak sengaja teringat kembali akan kejadian mengerikan ini.

10 tahun lalu. Satu jam sebelum lampu mati tepat pukul 11.30 malam. Kala itu aku bersama adikku tidak sengaja menemukan buku tua kusam yang diletakkan di sebuah kotak kaca peninggalan kakek. Di ruang perpustakaan pribadi aku bersama adikku gemar sekali baca buku di sana. Bukan hanya baca buku, kami juga sering bermain di sana. Petak umpet menjadi mainan favorit. Pos penjaganya berada di ruang perpustakaan dan tempat bersembunyinya terserah. Bersembunyi di rumah tiga lantai ini juga bukan masalah, kami sepakat untuk tidak keberatan. Alhasil seluruh petak rumah nenek kami mengetahuinya dan menghafalnya. Kami juga pandai dalam bersembunyi, berlari, dan mengecoh. Apalagi saat Vivi yang bersembunyi. Adik kecilku ini sangat lihai dalam memainkan perannya. Tak jarang aku kesulitan untuk menemukannya, ia tiba-tiba mendadak muncul entah dari mana mengagetkanku dari belakang.

Harus kuakui. Vivi sangat lihai jauh melebihiku.

Tapi malam itu, aku membaca buku tersebut dan menceritakannya pada Vivi tentang permainan yang dijelaskan pada buku tersebut. Aku memberitahu kalau permainan ini berhantu. Aku yang saat itu penasaran sekali dan ingin mencobanya mengajak Vivi untuk bermain bersama.

Vivi ikut penasaran. Merebut buku yang kugenggam dan membacanya. "Dari mana kakak dapet?" tanya Vivi membalik halaman ke halaman selanjutnya. Aku menunjuk kotak kaca di atas meja tersebut.

"Perasaan di meja kakek nggak pernah ada kotak kaca itu. Tapi nggak tau malam ini kok tiba-tiba ada."

"Main yuk!" kata Vivi semangat setelah membaca sekilas tentang permainan ini.

"Lah. Nggak takut?" tanyaku memastikan.

"Berhantu lho. H-a-n-t-u. " tambahku serius.

Vivi tidak menghiraukan perkataanku. Kami sama-sama penasaran tentang permainan ini. Jadi kami memutuskan untuk bermain di rumah nenek. Tepat di ruangan ini. Perpustakaan.

Benar saja. Midnight Man benar-benar datang tepat tengah malam. Mengetuk pintu rumah kami sebanyak tiga kali persis setelah kami menyelesaikan ritual pemanggilan arwah. Kami langsung bersembunyi. Dari satu ruangan ke ruangan lain. Awalnya aku mengira orang tua kami baik-baik saja, tertidur pulas di kamar tengah. Tapi perasaan itu meleset. Aku menyaksikan sendiri di depan mata kepalaku, mayat ibu ayah terbujur kaku tergantung dengan tali terikat di langit-langit kamar.

Saat itu kami benar-benar Shock melihatnya. Aku dan Vivi memutuskan untuk segera menyelesaikan permainan ini. Makhluk itu datang, kami harus lari dan bersembunyi. Tidak sempat menyiapkan lilin sebelumnya menambah rasa histeris permainan ini dengan sempurna.

Kami harus bertahan hidup sampai jam tiga.

Atau mati di tangannya.

"Ahh." Aku yang mengingat kejadian 10 tahun itu tiba-tiba merasakan sakit di bagian kepala.

Plop!

Suasana kembali berubah.

Aku berada di sebuah balkon kotor. Angin malam menerpa tubuhku, terasa begitu dingin dan membingungkan. Sekarang dimana lagi?

Cahaya bulan purnama terlihat menyala terang dari luar balkon. Ini malam yang tenang. Aku melihat dengan seksama pemandangan indah ini. Balok kayu, batu, daun, gedung-gedung, dan mobil.

"Gerbang." Mataku terbelalak ketika mendapati gerbang yang terpampang di bawah gedung ini. Di luar gerbang terdapat beberapa mobil dan sepeda motor.

"Ini asrama." Kataku.

Namun tiba-tiba terdengar suara.

"Ya. Ini asrama." Suara dari belakang terdengar serak. Itu bukan suaraku. Lebih tepatnya suara sosok Haniyah yang berdiri di balik kegelapan. Aku balik badan dan melihat wajah Haniyah yang buruk rupa tersebut juga bersama teman-teman yang lain. Kholqi, Zakky, Adlan, Eugine, Akmal, Rayyan. Mereka berdiri menatap ke arahku. Tatapan penuh emosi kebencian layaknya dendam tak terbalaskan.

Kulit mereka putih seputih mayat. Mereka sudah mati. Mata mereka sepenuhnya putih. Luka-luka sayatan dan gorokan di leher terlihat jelas di depan mataku. Darah keluar begitu deras seperti habis digorok barusan. Kepala Kholqi yang terpenggal, Eugine yang tertusuk besi hingga menembus bagian belakang kepalanya, Zakky yang kesakitan dalam suara napasnya karena lehernya tidak tergorok sempurna, hanya setengah saja dan memiringkan kepalanya menampakkan tulang leher mendongak ke atas.

Ada apa ini sebenarnya.

"Lo harus tanggung jawab Bal." Kata Haniyah.

Keringatku bercucuran.

"Lo harus mati Bal." Kata seseorang dari belakangku. Aku terkejut hingga refleks bergerak mundur. Mereka malah maju hingga menyudutkanku. Aku tidak bisa kemana-mana lagi.

Sosok itu.

Aku melihat Rachel dengan wajah rusaknya. Jari telunjuknya mengacung ke arahku dengan mata merah menyala. "Lo harus mati."

***


next chapter
Load failed, please RETRY

每周推薦票狀態

Rank -- 推薦票 榜單
Stone -- 推薦票

批量訂閱

目錄

顯示選項

背景

EoMt的

大小

章評

寫檢討 閱讀狀態: C11
無法發佈。請再試一次
  • 寫作品質
  • 更新的穩定性
  • 故事發展
  • 人物形象設計
  • 世界背景

總分 0.0

評論發佈成功! 閱讀更多評論
用推薦票投票
Rank NO.-- 推薦票榜
Stone -- 推薦票
舉報不當內容
錯誤提示

舉報暴力內容

段落註釋

登錄