Cia memberikan kotak bekal makan siang itu pada Boy, "buat pak Boy, kalo nggak enak buang aja. Saya pamit ya." Cia langsung berlari dan masuk kedalam lift.
Dia meremas kedua tangannya dengan kuat, menahan diri supaya nggak nangis. Nggak, dia nggak boleh nangis di sini. Dia tau pasti ada cctvnya, dan dia nggak mau terlihat lemah.
Dhika terpaku, menatap kepergian istrinya. Dia pun salah paham karena Cia lebih memilih mengatakan dia sebagai adiknya Boy daripada istrinya.
'Sebegitu sulitkah jujur sekali saja. Syilla?'
**
Cia sudah berdiri di depan perusahaan yang masih terlihat kecil, karena Dhika baru merintis bisnisnya sendiri yang di percayakan ayah mertuanya. Tapi Boy bilang saat ini, mereka sedang membangun perusahaan yang lebih besar, di karenakan usaha Dhika sudah maju dengan pesat.
"Nyonya." Cia menoleh, ternyata Boy mengejarnya.
"Saya antar. Tunggu--"