"Kagetnya nggak! Udah biasa saya sama paksaan dia. Yang buat mood berantakkan itu, segala macam keputusannya untuk saya nggak pernah diskusi dulu. Di debatin pun tetap dia yang menang. Susahkan?"
Cia kayak lagi curhat sama abang sendiri. Lepas aja gitu.
"Tapi, sebelumnya bos sudah mengikuti apa yang nyonya inginkan, dan menurutnya cara itu tidak berhasil. Saya ingin mengingatkan bahwa pasangan suami istri sudah seharusnya hidup satu atap, apapun kondisinya. Maaf jika saya lancang." Boy menatap jalan dengan serius, sesekali dia melihat Cia yang duduk di kursi belakang.
"Harusnya bisa pak, kemarin itu kami renggang karena cocotnya (mulut) juga yang nggak bisa di jaga. Coba ngomong itu di pikir dulu, di saring dengan baik baru di lontarkan, jadinya kan saya nggak sakit hati! Ini nggak! Apa yang ada di otak langsung di ungkapin, nggak perduli orang yang nerima gimana perasaannya." Kesal Cia, "oh, bapak nggak lancang kok, santai aja." Lanjutnya lagi.