Tak terasa hari kelulusan telah tiba. Seluruh alumni SMK KECUBUNG, mulai mendatangi hotel bintang lima berlokasi di Kota Subang. Gedung menjulang tinggi dikelilingi oleh perkebunan teh.
Fasilitas serba mewah membuat siapa pun merasa bangga mengunjungi hotel. Para petugas hotel, dengan ramah menyambut para alumni yang baru saja datang. Mereka mengenakan baju jas, kebaya, serta baju terbaik mereka.
Kebahagiaan terukir jelas pada raut wajah para siswa, serta guru-guru yang hadir malam ini. Namun, di saat momen penting yang akan segera berlangsung sekali seumur hidup, Fadil belum terbangun dari tidurnya.
Selama seharian, dia membantu kedua orang tuanya mengurusi keperluan warung. Dan dia juga lupa memberitahu kedua orang tuanya, bahwa ada acara perpisahan akan berlangsung hari ini. Sebuah notifikasi ponsel miliknya berbunyi, lalu dengan rasa mengantuk dia meraih ponsel di bawah bantal.
"Mas Fadil, elu dimana?" tanya Dimas teman asal kelas jurusan listrik.
"Di rumah baru bangun," balasnya.
"Gile lu ndro, sekarang hari kelulusan elu gak ikut?"
"Hah? bukannya besok?"
"Bapak kau besok! Acaranya hari ini kambing, cepat siap-siap gue tunggu kedatangan elu," ketusnya.
Selesai membaca pesan, seketika raut wajah Fadil menjadi panik lalu dia langsung pergi ke kamar mandi, serta mempersiapkan segala keperluan dengan tergesa-gesa. Tingkahnya membuat Sang Ibu menatap heran lalu ia bertanya kepada Fadil mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
Dengan penuh tergesa-gesa, Fadil memberitahu bahwa hari ini akan diadakan acara perpisahan. Acara berlangsung di Hotel Forzen Kota Subang. Mendengar hal itu, Sang Ibu ikut panik lalu menatap anaknya dengan kesal.
"Dasar kamu Fadil, dari dulu hingga sekarang tidak pernah berubah selalu saja dadakan!" kata Sang Ibu pada putranya yang sedang tergesah-gesah.
Pemuda itu menghiraukan perkataan ibunya, dan memilih untuk menyelesaikan segala urusannya dengan cepat. Motor supra putih sudah dikeluarkan, kini saatnya bagi Fadil untuk mengenakan jas. Tidak mungkin baginya untuk pergi ke sana, hanya dengan selembar handuk.
Sayangnya jas yang harus dia kenakan hari ini, belum dia pesan sehingga membuat raut wajahnya semakin pucat. Dia tidak tau, harus kemana untuk memesan sebab untuk mendapatkan jas tidak bisa dadakan. Harus memesan terlebih dahulu untuk mendapatkannya.
Kemudian Fadil pun duduk, di atas ranjang tempat tidur hanya selembar handuk menutupi tubuhnya. Dia hanya bisa pasrah, dengan apa yang ada terjadi sembari meratapi nasib.
Beberapa saat kemudian, suara ketukan pintu kamarnya mulai terdengar lalu Fadil berjalan untuk membukakan pintu. Ibunya pun masuk sembari membawa jas, serta celana bahan berwarna biru dongker di kedua tangannya.
"Ini jas milik Ayahmu sewaktu pernikahan. Kalau dilihat dari ukurannya, sepertinya cocok untukmu. Sekarang cepat kenakan," ujarnya sembari memberikan jas.
"Wah! Terimakasih ibu, Fadil akan langsung menggunakannya." Timbalnya dengan rasa senang.
Dengan sigap Fadil langsung menggunakannya, lalu dia pun memandang dirinya sendiri pada sebuah cermin. Model rambut comma hairstyle, kulitnya yang putih serta tubuhnya yang agak gemuk terlihat tampan ketika memakai jas milik ayahnya.
Kemeja putih yang dipadu oleh dasi coklat, di balik jas membuat dirinya terlihat semakin cocok. Selesai mengenakan jas, dia pun berjalan keluar. Ibunya terlihat sangat senang, melihat anaknya memakai jas milik ayahnya.
Seketika ibunya teringat momen pernikahan bersama Sang Ayah di sebuah aula hotel di Jakarta. Momen dimana semua orang menikmati kebahagiaan, walau hanya berlangsung selama satu hari. Kemudian Fadil pun mencium tangan ibunya, lalu ia pun pergi ke luar begitu saja.
Baru tiga langkah meninggalkan rumah, ibunya memanggil dirinya lalu Fadil pun menoleh ke belakang. Dia diminta oleh ibunya, untuk pamit kepada kakeknya terlebih dahulu. Kemudian dia kembali masuk ke dalam rumah, lalu ia berjalan memasuki sebuah kamar tepat di samping kamar orang tuanya.
Disana dia melihat pria tua terbaring lemah di atas kasur. Tubuhnya kurus hanya menyisakan tulang, hanya kaos kutang dan pampers menutupi tubuhnya di balik selimut yang tebal.
Kedua matanya masih terpejam, rasanya Fadil tak tega untuk membangunkannya namun dia harus melakukannya. Dia pun berjalan perlahan, lalu menepuk Sang Kakek secara perlahan.
"Kek bangun," ujarnya membangunkan Sang Kakek.
"Iya?"
"Sekarang ada acara perpisahan, Fadil mau pamit dulu kek." Ujarnya sembari meraih tangan Sang Kakek, lalu menciumnya.
"Ya sudah hati-hati, kakek tunggu ceritamu." Timbalnya sembari mengelus kepala cucunya.
Mendengar hal itu Fadil pun tersenyum, sembari menatap sedih kakeknya yang sedang terbaring lemah. Dia pun berjalan perlahan meninggalkan Sang Kakek lalu menutup pintu secara perlahan. Setelah itu dia berjalan keluar, sambil membawa helm hitam di kedua tangannya.
Kemudian dia menaiki motor lalu ia mulai melaju kendaraanya. Jarak dari rumah menuju hotel cukup jauh, butuh waktu satu jam setengah untuk sampai kesana. Di perjalanan dia harus berhati-hati terhadap truck dan bus karyawan yang selalu melintas di atas jam enam sore.
Apalagi jalan berlubang serta minimnya penerangan, membuat Fadil harus extra berhati-hati. Angin berhembus dengan kencangnya, seiring bertambahnya laju kendaraan. Dengan lincahnya Fadil menyalip setiap kendaraan yang ada di depannya.
Bahkan dia nekat menerobos lampu merah, beruntung tidak ada polisi di sana sehingga dirinya masih bisa untuk melanjutkan perjalanan. Sekian lama diperjalanan, akhirnya dia pun sampai. Lalu dia memarkirkan kendaraannya, pada sebuah parkiran khusus di lantai bawah.
Kemudian dia berjalan menaiki tangga, lalu ia dituntut oleh petugas hotel untuk memasuki sebuah aula di lantai tiga. Kedua matanya tak berkedip ketika, dia memasuki sebuah ruang aula yang sangat luas.
Disana terdapat bangku merah yang sudah berjejer rapih, lalu ia melihat audium serta dua meja memanjang. Di atas dua meja, terdapat berbagai macam makanan. Fadil pun berjalan, sambil melirik kesana kemari mencari bangku yang kosong. Seorang pemuda berkulit sawo matang, memakai kacamata kotak, mengenakan jas biru muda, memanggilnya lalu Fadil pun menoleh ke arahnya
Dan ternyata orang yang memanggilnya adalah Dimas. Dia pun berjalan, lalu duduk tepat di sampingnya. Mereka berdua saling melempar senyuman dalam kebahagiaan. Tak lupa mereka berfoto bersama, sebagai kenang-kenangan sebelum momen ini berakhir.
Puas berfoto mereka menatap ke depan, menyimak berbagai sambutan dari pihak sekolah. Satu jam telah berlalu, akhirnya sambutan dari pihak sekolah pun telah berakhir. Seluruh alumni berbaris, untuk mengantri makanan.
Ketika sedang mengantri makanan, tiba-tiba kepalanya di tepuk oleh seseorang. Tepukkan tersebut, membuat dirinya sedikit terdorong ke belakang. Dia pun sedikit terkejut kemudian dia mengusap kepalanya, sambil menoleh ke belakang.
Seorang pemuda berjas putih, berkulit sawo matang serta bertubuh kekar menatapnya sambil tertawa. Melihat sosoknya membuat raut wajahnya menjadi pucat, Dimas yang tau siapa sosok tersebut hanya terdiam. Dia kembali menoleh ke depan, tak ingin ikut campur dengan urusan temannya.
"Hei, Mas Fadil," sapa Bagas teman sekelasnya.
Seketika dia teringat, dengan perbuatan Bagas terhadap dirinya. Dulu semasa sekolah, Fadil adalah seorang babu jawara di kelasnya. Setiap hari, dia harus memberikan selembar dua ribu pada Bagas, jika tidak wajahnya ditampar hingga tersungkur.
Juga selangkangannya pernah di gesek secara paksa pada sebuah tiang. Ketika kerja kelompok Fadil selalu mengerjakan semuanya seorang diri. Tak hanya itu, ketika kegiatan praktek bengkel berlangsung Bagas beserta komplotannya pernah memfitnahnya dengan menuduhnya telah menghilangkan kunci dan baut.
Juga dia di tunduh memotong besi gerbang sekolah, padahal itu adalah perbuatan Bagas dan komplotannya. Karena perbuatannya, selama tiga tahun hidup Fadil sangatlah menderita. Beruntung ada Dimas, serta dua teman sekelasnya yaitu Ari dan Rizki tempat dimana ia mengadu.
Namun semua itu tidaklah cukup, untuk membuat dirinya bahagia. Maka dia hanya bisa jalani hari dengan bersabar. Bagas berdiri memandang rendah Fadil, ia dengan sengaja menepuk punggungnya dengan sangat keras.
Lambat laun percikan amarah, mulai muncul di dalam hatinya lalu dia menatap Bagas dengan tatapan kebencian. Bagas pun hanya tertawa, lalu memanggilnya dengan sebutan babu.
"Pecundang sepertimu berani sekali menatapku seperti itu. Jika kamu berani ayo pukul aku," ujarnya memancing emosi.
"Siapa juga yang mau memukul Bagas, alias babi ganas hitam jelek seperti dirimu." Timbalnya sembari menatap Bagas dengan rendah.
"Dasar idiot, jika kamu punya nyali setelah acara ayo kita berkelahi!" terpancing oleh ocehannya.
"Mengoceh saja soal nyali, memukulku sekarang pun tak berani."
Amarah telah membutakan hatinya, dia pun memukul wajah Fadil dengan sangat keras. Fadil pun tersungkur, seluruh alumni membentuk formasi lingkaran lalu memberikan ruang bagi mereka berdua untuk berkelahi. Mereka pun bersorak, bagaikan menonton acara gladiator.
Beberapa oknum guru, memberikan dukungan dengan memberitahu petugas hotel agar tidak ikut campur. Para oknum itu berpendapat, bahwa yang dilakukan oleh muridnya merupakan duel sekaligus simbolis perpisahan.
Begitu juga dengan para mantan siswi, yang tak jauh berbeda dengan oknum tersebut. Mereka berdua saling berhadapan, serta menatap satu sama lain dengan kebencian. Kedua tangan mereka berdua mengepal, sembari mengamati pergerakan lawannya.
Sedangkan Dimas, melihat temannya dengan rasa khawatir mengingat dirinya tak bisa berkelahi. Begitu juga, dengan pemuda berambut cepak mengenakan jas hitam, bertubuh agak gemuk. Dan pemuda bertubuh kurus, berkulit sawo matang mengenakan baju batik coklat.
"Ini sudah keterlaluan," kata Rizki teman sekelas Fadil yang mengenakan baju batik coklat.
"Parah emang angkatan kita, bully-nya sudah keterlaluan." Timbal Ari teman sekelasnya, mengenakan jas hitam.
"Ayo kita pisahkan!"
"Jangan," kata Ari.
"Kenapa? Kasian Mas Fadil di permalukan seperti itu."
"Percuma, mending kita rekam. Viralin biar satu angkatan malu," saran Ari pada temannya.
Sesuai dengan saran Ari, akhirnya tidak ada yang bisa Rizki lakukan selain merekam. Sementara itu mereka berdua saling bertatapan, lalu Fadil melempar segelas air berisi soda ke arah wajahnya.
Secara mengejutkan Fadil langsung memukul wajahnya, hingga hidungnya mengeluarkan darah. Spontan Bagas langsung menendang perutnya, hingga Fadil pun terbatuk-batuk. Kemudian Bagas pun berlari, lalu melompat ke arahnya sembari mendaratkan siku hingga mengenai dadanya.
Fadil merasakan kesakitan, lalu Bagas menduduki perutnya dan ia pun memukul wajahnya hingga babak belur. Luka memar mulai menghiasi wajahnya, darah pun mulai menetes.
Air matanya mulai mengalir, sembari menatap Bagas dan semua orang dengan tatapan kebencian. Kemudian Bagas melepas jas Fadil, lalu merobek kemeja putih yang dia kenakan. Setelah itu dia menendang serta menampar wajahnya di hadapan semua orang.
Selamat pagi, siang dan malam wahai pembaca sekalian. Jangan lupa review, komen chapter and power stone. Terimakasih :)