Ana menyeruput kopinya di kantin rumah sakit dengan nikmat, sembari mendengar ocehan Hobi tentang wanita pujaannya. Selama bertahun-tahun mengenalnya baru kali ini Ana melihat pria itu begitu antusias menceritakan seorang wanita. Ana sampai berpikiran buruk bahkan pernah bertanya secara langsung apakah pria itu tidak menyukai wanita yang tentu saja mendapat toyoran di kepalanya.
"Kau mendengarkanku tidak sih?" Hobi mendengus melihat Ana yang tampak enggan mendengar ceritanya
"Memangnya kau pikir aku sedang apa? tentu saja mendengarkanmu"
"Kau nampak malas menanggapiku"
"Bagaimana tidak? Kau selalu menceritakan hal sama, berapa kali kukatakan jika memang mencintainya kenapa harus gengsi menghubunginya lebih dulu?"
"Kau tidak mengerti, ini namanya tarik ulur"
"Ya...ya....Lakukan saja terus sampai talinya putus, lalu kau tidak bisa lagi menggenggamnya. Jika sudah terjadi jangan ceritakan padaku kalau kau kehilangannya." Berbicara dengan pria keras kepala memang menguras tenaga, sulit sekali rasanya membuatnya mengerti. Apalagi kalau ia sudah merasa yang paling benar. Hobi tak mau menanggapi ucapan Ana, lalu nampak teringat sesuatu dan merogoh saku jaketnya. Tak lama ia mengeluarkan kotak yang dibungkus kertas kado, menyerahkannya pada Ana.
"Lupakan tentang ceritaku, aku kesini ingin memberi hadiah pernikahan mu." Ungkapnya dengan senyuman secerah matahari, Ini yang membuat Ana senang berteman dengan Hobi bukan karena kado dari pria itu, tapi Hobi selalu bisa menciptakan suasana menyenangkan kendati perasaannya sendiri semendung awan saat ini. Pria itu terlalu pintar menyembunyikan perasaannya. Ana menatap haru pada Hobi, menerima kado tersebut dengan ragu.
"Kau tidak perlu memberikannya Hobi. Kau tau bagaimana latar pernikahanku" ucap Ana lirih, Hobi menggenggam tangan Ana, menatapnya dengan serius.
"Memang benar pernikahanmu ini pernikahan kontrak, tapi semua proses yang kau jalani bersamanya bukan main-main. Kau melakukan proses sakral itu secara real Ana. Semuanya sah secara hukum dan agama. Tetap saja hari itu adalah hari spesialmu dan kau pantas mendapatkannya" Mata Ana sudah berkaca-kaca, tak menyangka Hobi memikirknnya sampai sejauh itu. Ia berterima kasih atas kebaikan hati Hobi. Perlahan membuka kadonya dengan hati-hati, saat terbuka sebuah kalung dengan inisial huruf namanya nampak berkilau dimatanya. Ana memeluk Hobi berterima kasih atas kado yang diterimanya.
"Ya...ya sama-sama aku tahu, aku pria tampan yang baik hati" Ana memukul lengan pria itu kesal
"Kenapa sih merusak suasana sekali. Bantu aku memasangnya."
"Omong-omong kau menginap disini? Suamimu tahu?" Tanya Hobi sembari membantu Ana memasangkan kalungnya di leher putih wanita itu. Ana terkekeh mendengar pertanyaan Hobi.
"Suamiku? Terasa janggal sekali mendengarnya. Aku belum bisa menghubunginya sejak tadi siang ponselnya mati. Dia sedang berduaan dengan kekasihnya. Jadi aku tidak ingin mengganggunya."
"Kekasih?"
"Ceritanya panjang, aku sedang malas menceritakannya nanti saja"
"Baiklah, setidaknya kabari lewat pesan siapa tahu dia mencarimu" Ana hanya diam tak menanggapi, haruskah ia mengabari? Rasanya aneh mengingat pria itu bersama kekasihnya, ada perasaan tidak suka tapi juga Ana tidak terlalu memusingkannya. Sebenarnya Ana ini kenapa?
🌹🌹
Nita masih merengek meminta Kei untuk bermalam lagi, tapi dengan tegas Kei menolak, menurutnya ia sudah terlalu lama berada ditempat Nita, bukan karena memikirkan Ana, Kei hanya merasa harus pulang, lagipula sebelum ia menikah juga memang tidak pernah Kei menginap melebihi satu hari. Kei pria bebas tidak suka ada seseorang membatasi pergerakannya, jika ia menetap itu berarti memang keinginannya cukup hari ini ia menuruti Nita karena perasaan bersalahnya menikahi wanita lain. Tapi jika itu berlebihan jelas Kei sangat tidak menyukainya.
"Kei~"
"Tidak Nita, jangan memaksaku! Kau jelas tidak ingin melihatku marah" Jika sudah begitu Nita tidak bisa berbuat apa-apa lagi, kemarahan Kei bukanlah sesuatu yang bagus, pria itu cenderung kasar, meski tidak pernah menyakitinya, Nita pernah melihat pria itu menghancurkan apapun, bahkan memukuli orang-orang bawahannya hingga tak sadarkan diri. Nita menghela nafasnya menyerah.
"Kau harus janji menginap lagi nanti" Kei hanya menggukkan kepalanya lalu mengecup kening Nita singkat, setelahnya ia pergi dari tempat itu tanpa berkata apa-apa lagi. Mood Kei terlanjur buruk.
Kei sampai di kediamannya pukul 10 malam, keningnya mengerut melihat lampu rumah yang gelap seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Kei memanggil nama Ana beberapa kali tapi tidak ada yang menyahut. Lalu tungkainya menuju kamar milik Ana, mengetuk beberapa kali sama seperti sebelumnya tidak ada sahutan apapun, maka Kei membuka kamar Ana yang ternyata kosong.
Dengan cepat Kei mencari ponselnya yang baru ia ketahui ternyata mati. Seingatnya ponselnya tidak ia matikan, pantas saja rasanya hari ini terlau tenang. Saat ponsel itu nyala banyak notifikasi panggilan dari beberapa orang termasuk Ana. Kei mendial kembali nomor Ana, namun panggilan tersebut dialihkan. Kei jadi bertanya-tanya kemana perginya wanita itu, apa sedang dirumah sakit bersama adiknya?
Tapi Kei tidak tahu dimana adiknya dirawat, Kei akan menanyakannya pada Hobi, namun kesialan lagi berpihak padanya sama halnya dengan Ana, panggilan itu teralihkan. Kemana? Kemana Kei harus mencari Ana. Ada perasaan khawatir juga kesal saat mengetahui fakta bahwa Kei tak mengetahui apapun tentang Ana.
"Shit!!!!! Kenapa aku tidak tahu apapun tentang Ana" kembali menguhubungi seseorang, Kei mengambil kunci mobilnya lagi lalu keluar dari rumah. saat seseorang disana menjawab, Kei langsung memerintahkan sesuatu padanya
"Cari tahu dimana adik Ana dirawat, segera kirim padaku!"
Kei mengendarai mobil dengan cepat, setelah mendapat alamat dimana adiknya Ana dirawat Tanpa berpikir panjang Kei segera menuju kesana. Kei bingung dengan dirinya sendiri kenapa ia begitu khawatir kepada Ana, padahal dengan Nita ia tidak pernah seperti ini, Kei mulai melihat gedung rumah sakitnya, lalu ia memarkirkannya disana. Pria bermata hijau itu segera menuju kamar milik Ana. Karena bodohnya ia yang tidak tahu dimana kamar milik adik Kei, akhirny menuju receptionist.
"Permisi suster, ruangan inap atas nama Anastasya Vienca dimana?" Suster dihadapannya tidak langsung menjawab karena tengah terang-terangan memandang kagum wajah tampan Kei. Kei yang jengah ditatap seperti itu kembali memanggilnya lagi.
"Suster!"
"Ma-maaf tuan siapa tadi, Anastasya? Oh maksud tuan kamar milik Mikail Vienca" Kei mengangguk mengiyakan.
"Tapi jam besuk sudah habis tuan, anda bisa datang esok hari" Kei menatap tajam suster di hadapannya, auranya tampak dominan seperti predator tengah menatap mangsanya. Kei tidak suka jika keinginannya tidak dituruti, lagipula ia suami Ana jadi dia bukan kerabat.
"Saya suaminya!!!!" Gebrak Kei pada meja, membuat orang-orang disana terlonjak kaget. Sudah dikatakan bukan Kei dalam mood yang sangat buruk. Kei tidak peduli, setelah ditelusuri lagipula rumah sakit ini milik keluarganya, ia tidak takut orang-orang itu menututnya. Setelah meminta maaf, suster yang baru saja menjadi "samsaknya" Kei memberi tahu letak kamar Mikail, tanpa menunggu lagi, Kei bergegas menuju ruangan itu.
Kakinya semakin mendekati ruangan milik Ana, sebelum masuk Kei lebih dulu melihat Ana yang tengah terlelap di kursi dengan kepala di atas ranjang samping Mikail dibalik kaca. Kei menghela nafasnya pelan, kemarahannya menguap begitu saja saat matanya menangkap Ana yang baik-baik saja. Perlahan ia masuk dan mendekat lalu melihat wajah cantik Ana yang tengah terlelap, meski begitu wajah kelelahan Ana tampak terlihat jelas. Kei mengelus pucak kepala Ana dengan lembut agar wanita itu tidak terbangun.
Dengan gerakan perlahan Kei mulai mengangkat tubuh Ana ala bridal, wanita itu sempat membuka mata melihat Kei sekilas dan bergumam tak jelas setelah itu matanya kembali terpejam. Kei meletakkan tubuh Ana diatas sofa panjang lalu menyelimutinya. Lagi pria itu mengusap pucak kepala Ana lalu mengcupnya singkat.
"Selamat malam Ana, mimpi indah" ucap kei mengiring kepergian pria itu dari ruangan.