下載應用程式
90.47% My Janu ( BEING WITH YOU) / Chapter 19: Hanya status

章節 19: Hanya status

Pagi itu Janu baru saja keluar dari rumah. Tak disangka Nandes benar-benar menjemputnya. Remaja bertubuh tegap itu duduk di atas motor ninja miliknya di depan pagar rumah Tante Melda. Melihat Janu keluar dari pintu pagar Nandes menyambut remaja itu dengan senyuman.

"Pagi Janu ...." sapa Nandes dengan wajah sumringah.

"Pagi." seperti biasa dengan wajah jutek khas miliknya.

"Nih ...." Nandes langsung menyodorkan helm ke arah Janu.

Baru saja Janu akan memakai helm, ia dikejutkan oleh suara Tante Melda.

"Janu!"

Janu menoleh.

"Kamu jangan pulang telat lagi, sore ini aku akan pergi dan pulang malam, Ricky gak ada yang temani," ucap Tante Melda, wanita itu berdiri tak jauh dari Nandes dan Janu.

"Iya Tante ... " jawab Janu.

Tante Melda melirik ke arah Nandes, sebelum wanita itu kembali masuk ke dalam rumah.

"Itu Tante kamu?" tanya Nandes setelah Tante Melda benar-benar masuk dalam rumah.

"Iya ... "

"Jadi kamu gak tinggal sama orangtua kamu?" tanya Nandes lagi.

"Aku tinggal di sini karena aku sekolah di sini, kampung halamanku jauh dari kota ini."

"Oh gitu, aku kira kamu asli orang sini, ternyata pendatang ya."

"Kamu kenapa?" Janu balik bertanya.

"Kenapa apanya?" Bingung Nandes.

"Sejak kapan ngomong aku kamu, kemana bahasa gaulmu itu?"

"Hehe .... Aku kamu kedengarannya lebih lembut Nu."

"Aku bukan cewek gak usah sok lembut sama aku."

"Oh .... Jadi sukanya dikasarin nih mainnya?" sahut Nandes sambil senyum-senyum gak jelas.

Janu mengerutkan kening.

"Ngomong apa sih gak nyambung."

Remaja itu lalu memakai helm dan naik ke atas motor.

"Loh kan benar, lawan kata lembut kan kasar. Kamu gak mau di lembutin berarti munya dikasarin donk."

"Berhenti ngomong ngawur, buruan jalan."

Nandes terkekeh lalu menghidupkan mesin motornya. Perlahan motor Nandes mulai meninggalkan gang rumah Tante Melda.

"Janu ... kamu tahu gak? Kamu orang pertama yang naik di atas motorku sejak aku punya motor ini," kata Nandes setengah berteriak di tengah perjalanan mereka.

"Terus istimewanya apa?"

"Hehehe Nadira pacarku saja gak pernah."

"Itu salahmu sendiri kenapa kamu gak jemput dia, kenapa malah jemput aku."

"Kalau jemput dia gak bisa jemput kamu dong."

"Apa!?" Janu tidak begitu mendengar jawaban Nandes.

"Aku bilang aku maunya jemput kamu!"

Janu tak menyahut lagi. Remaja itu sibuk dengan pertanyaan yang berkutat dalam hati 'kenapa dia jadi lebih penting untuk Nandes dibandingkan Nadira'.

Selang lima belas menit kemudian Nandes dan Janu sampai di sekolahan. Dua remaja cowok itu seketika jadi pusat perhatian. Penghuni sekolah Nusa Bangsa mereka melongo dengan apa yang mereka lihat. Nandes datang ke sekolah bareng Janu.

Sepertinya apa yang diikrarkan Nandes tempo hari di kantin sekolah bahwa Janu adalah bagian dari geng-nya, bukanlah candaan semata. Nyatanya Nandes sering terlihat bersama Janu belakangan ini dibandingkan dengan Nadira yang notabenenya adalah sang pacar.

Nadira juga baru datang ke sekolah gadis remaja cantik itu baru saja turun dari mobil sang ayah. Dari depan gerbang Nadira melihat Nandes yang lebih dulu datang menuju area parkir motor. Pacarnya itu tidak sendiri, ada Janu di belakang Nandes duduk di atas motor Nandes. Salah satu hal yang belum pernah Nadira rasakan sejak menjadi kekasih cowok remaja bertubuh atletis itu.

Nadira sempat tertegun sesaat. Nandes menjemput Janu, dia saja tidak pernah dijemput oleh Nandes untuk berangkat sekolah bareng.

"Hei .... Ngelamun aja!" kejut Davina, gadis itu tiba-tiba saja ada di samping Nadira.

"Lihatin apa sih?" tanya Davina, ia mengikuti kemana arah mata Nadira melihat.

"Oh .... Itu, kali aja mereka kebetulan berangkat bareng ya kan," Davina seakan mengerti apa yang sedang Nadira pikirkan.

"Berasa aneh gak sih Vin?" tanya Nadira pelan.

"Aneh kenapa?" Davina balik bertanya.

"Mereka dua, Nandes dan Janu. Kok mereka jadi akrab gitu. Dia kalau ngajak jalan aku naik motor ibunya bukan motor punya dia itu."

"Sudah gak usah lo permasalahin kayak gitu Ra, gak penting juga. Yang penting kan lo pacarnya Nandes ya kan."

"Buat kamu gak penting Vin, tapi buat aku itu hal penting." ucap Nadira dengan wajah muram.

Gimana gak penting memangnya cewek hanya butuh status saja. Davina yang gak pernah punya pacar mana dia paham.

"Ya masa lo mau cemburu sama Janu, nggak masuk akal banget deh, kalau yang dibonceng itu mbak-mbak kampus boleh lo khawatir. Lha ini Janu ...."

Nadira hanya bisa mendesah lemah. Apa yang dikatakan Davina ada benarnya juga.

"Kenapa? Lo mulai panik ya, cowok lo lebih dekat sama tu anak dari pada sama lo."

Nadira dan Davina menoleh kedatanganya suara itu.

Sefria dan pengikutnya berdiri di belakang mereka berdua. Menyilangkan kedua tangannya di dada mulutnya bergerak-gerak mengunyah permen karet. Menatap mengejek ke arah Nadira.

"Heran deh lo kok suka banget nyempil sama urusan orang lain," ketus Davina.

"Suka-suka gue dong, lagian gue gak ngomong sama lo dayang."

"Ehhh gue bukan dayang!" Davina melotot ke arah Sefria.

"Tapi semua anak bilang lo dayang tuh, dayangnya Nadira yang ke mana-mana ngikutin Nadira biar bisa dapet traktiran gratis," olok Sefria. Tidak lupa dengan senyum mengejek miliknya.

"Kurang ajar banget ya mulut lo!" Davina hampir saja meraih rambut ikal Sefria. Namun, Nadira buru-buru menghalangi sahabatnya. Jangan sampai adegan saling Jambak terjadi depan sekolah di pagi hari.

"Vin! Sudah ah gak usah diladenin!"

"Ini anak perlu diberi pelajaran Ra ...!!"

"Buat apa? Biar jadi tontonan satu sekolahan?!"

Davina akhirnya menahan amarahnya. Namun, bukan Sefria namanya kalau gak bisa membuat orang lain makin geram.

"Tuh kan ... gue bilang apa dia nurut tuh sama apa kata majikannya. Ya gak guys hahaha..." gelak tawa Sefria diikuti ketiga pengikut setianya.

"Dan buat lo, si tuan putri." Sefria melangkah mendekati Nadira kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga gadis cantik itu.

Sefria berbisik, tak ada yang bisa mendengar apa yang dibisikkan Sefria pada Nadira. Yang jelas sesaat setelah itu wajah Nadira berubah merah padam.

Sefria menyungingkan senyum mengejek ke arah Nadira lalu gadis rambut ikal itu berlalu pergi dari hadapan Nadira dan Davina diikuti ketiga pengikutnya.

"Ngomong apa si setan itu Ra?" Davina penasaran dengan apa yang Sefria bisikkan pada sahabatnya.

"Gak penting, dia ngomong gak jelas. Dah ahh kelas yuk," ajak Nadira sambil merangkul tangan sahabatnya lalu mereka berdua jalan menuju kelas.

Davina tahu, Nadira tidak ingin memberi tahu apa yang Sefria katakan. Padahal mereka adalah sahabat sejak masih di sekolah menengah pertama. Haruskah Nadira menyembunyikan sesuatu seperti itu. Davina kecewa dalam diam. Mungkin masalah sepele untuk Nadira namun tidak untuk Davina.

xxxx

Nandes gelisah, berkali-kali cowok remaja itu sembunyi-sembunyi mengintip ponselnya. Nandes gelisah karena sedang menunggu jam istirahat pertama. Bukan karena perutnya lapar minta diisi. Namun dia ingin segera meluncur ke kelas anak IPA. Kurang sepuluh menit lagi jam istirahat, akan tetapi rasanya lama sekali seperti sepuluh purnama.

Kring...

Begitu bunyi bel tanda istirahat tiba. Nandes segera bangkit berdiri dari duduknya.

"Al, tunggu gue di kantin ya," ucap Nandes sambil berlalu pergi keluar kelas tanpa menunggu untuk sekedar mendengar jawaban Alsaki. Secepat kilat Nandes lari melesat meninggalkan kelasnya.

"Si Nandes kebelet apa gimana sih," ujar Enda, menghampiri tempat duduk Alsaki.

"Ya biasa lah punya cewek, lo kalau punya pacar bawaannya juga pasti gitu pengennya ketemu doi terus. Bucin kayak Nandes."

"Eh... ngomongin tentang cewek, nanti pulang sekolah anterin gue ke SMK Raditama ya."

Alsaki menoleh ke arah Enda.

"Mau ngapain?" tanya Alsaki. Suaranya berubah jadi tegas dan serius.

SMK Raditama adalah salah satu sekolah kejuaraan yang mayoritas muridnya adalah perempuan.

Enda nyengir, memarkan deretan gigi putihnya.

"Nemuin gebetan," jawab Enda dengan tatapan memohon.

"Males!!!!" jawab Alsaki cepat.

Jawaban yang sudah Enda duga.

"Please.... Al, gue udah terlanjur janji sama dia pulang sekolah mau mampir nemuin dia."

"Bodo amat!" Alsaki bangkit berdiri lalu berjalan ke arah pintu kelas.

Enda mengikuti langkah Alsaki. Sambil terus merengek.

"Pokoknya pulang sekolah anterin gue!" paksa Enda.

"Gue gak mau!" Alsaki gak sudi dipaksa apalagi disuruh jadi ojek buat nemuin cewek. No way!!!

"lo tuh gitu, gue mau bawa motor sendiri hari ini lo larang. Sekarang lo gak mau anterin gue." Enda mulai ngambek, mulai menyalahkan.

"Gue larang lo bawa motor sendiri karena gue ngeri lihat lo bawa motor di jalan raya Nda..."

"Lo pikir gue anak TK gak bisa bawa motor sendiri!" mulai tersinggung.

"Gue ngeri, lo suka sen kiri belok kanan kalau bawa motor." Alsaki terus melangkah berjalan ke arah kantin.

"Gue gak sepayah itu Al!" kata Enda setengah menjerit tertahan menahan kesal.

Pasalnya dia disamakan dengan Emak-emak yang terkenal sen kiri belok kanan di jalan raya.

Alsaki tidak tahu sekarang Enda sudah lincah bawa motor sendiri. Tidak seperti dulu saat pertama kali masuk sekolah Nusa Bangsa. Enda pernah nabrak pagar sekolahan. Salah satu alasan Alsaki jadi tukang ojek antar jemput Enda.

"Gak mau tahu lo harus anterin gue!"

Alsaki berhenti melangkah memutar tubuhnya cepat ke arah Enda. Karena Alsaki berhenti melangkah mendadak Enda hampir saja menabrak tubuh Alsaki.

"Bentar lagi ujian bukannya belajar malah mau cari gebetan." kata Alsaki mengingatkan.

Mendengar itu Enda mencebikkan bibir.

"Mulai deh kayak emak gue bawel."

"Gue bener kan, lo harus rajin belajar. Jangan malah mau cari pacar!"

"Harusnya gue yang ngomong gitu ke elo, kayak nila lo bagus aja. Nasehatin gue begitu." cibir Enda.

Alsaki dan Nandes hampir sama dua cowok itu minus dalam hal pelajaran selain bidang olahraga.

"Keputusan gue tetap sama gak ada acara mampir ke SMK Raditama. Titik!"

Alsaki kembali melanjutkan langkahnya.

"Al..." rengek Enda sambil mengekor di belakang Alsaki.

"Gue traktir selama seminggu deh," bujuk Enda.

"Males!!" Tak akan goyah.

"Gue bawain tas elo tiap hari."

"Bukankah itu sudah jadi tugas rutin lo ya!"

Enda memutar otak supaya Alsaki mau menuruti maunya.

"Nginep di rumah gue!!" Senjata pamungkas.

Alsaki memperlambat langkahnya, hati mulai goyah. Membayangkan tidur di kamar Enda yang empuk dan nyaman. Makan masakan Mamanya Enda yang super enak. Ahhhh indahnya.

"Oke deal!!!!" kata Alsaki dengan semangat empat lima.

xxxx

Baru saja Nandes mau masuk kelas anak IPA, di depan pintu Nandes bertemu Nadira, gadis itu baru saja akan pergi ke kantin.

"Ra .... "

"Kebetulan banget, ayok langsung kantin saja." Nadira menarik tangan Nandes. Untuk segera meninggalkan kelasnya.

"Tunggu dulu Ra ..." cegah Nandes. Kedua matanya mencari-cari seseorang dalam kelas.

"Janu udah keluar barusan, kalau gak di kantin mungkin dia di perpustakaan." kata Nadira seakan tahu siapa yang dicari Nandes.

"Ohhh gitu ya ...." Nandes menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil nyengir.

"Ya udah deh ayok kantin." ajak Nandes, suaranya terdengar tak semangat.

Sesampainya di kantin Nandes dan Nadira menghampiri Alsaki dan Enda yang lebih dulu duduk di tempat biasa mereka kumpul jika makan di kantin. Ternyata tidak hanya Alsaki dan Enda. Di sana juga ada Davina dan juga Janu.

Melihat ada Janu bibir Nandes diam-diam tersenyum. Hal itu tak luput dari pandangan Nadira.

"Kalian sudah pesan makanan?" Nandes memilih duduk tepat di samping Janu.

"Sudah lah, lo gue pesenin juga sekalian"

Depan Nandes ada semangkuk bakso dengan kuah yang masih mengepulkan uap panas.

"Tahu aja lo gue udah laper Al."

"Biar lo gak rugi punya temen kayak gue, oh ya nanti kalau bayar sekalian punya gue ya, hehee....." Ujung-ujungnya Alsaki minta traktir.

Sebenarnya tidak hanya Nandes saja, Davina juga sudah memesankan menu makanan yang sama untuk Nadira. Jadi ketika pasangan sejoli itu datang hanya tinggal makan.

"Emang dasar jiwa gratisan lo Al." olok Nandes yang merasa kena jebakan Alsaki.

"Janu .... suka makan toge gak?" tanya Enda pada Janu. Kebetulan bakso milik Janu gak ada toge dan mie hanya bakso saja.

"Iya suka, kenapa?" Janu balik bertanya.

"Baksonya tukeran sama gue ya, gak apa-apa kan, Alsaki bego sudah tahu gue gak suka toge masih aja pesen bakso pake toge," sungut Enda.

"Lupa kasih tahu yang jual tadi Nda ...." Alsaki membela diri.

Yang sebenarnya Alsaki gak lupa. Remaja itu sengaja memesan bakso untuk Enda di kasih toge. Biar Enda makan toge, sayuran itu kan bagus buat kesuburan.

Janu menyodorkan semangkuk bakso miliknya yang belum ia makan.

Ngomong-ngomong kebetulan semua memesan menu makanan yang sama. Bakso.

"Makasih ya Nu," girang Enda dia bisa makan bakso dengan lahap. Tanpa harus menyisihkan satu persatu toge yang sudah tercampur dalam kuah baksonya.

Baru saja Janu akan menyuapkan satu pentol bakso kecil ke dalam mulutnya, Nandes menghentikan pergerakan tangan Janu dengan tiba-tiba.

"Kamu makan punyaku saja." Nandes menukar bakso miliknya dengan milik Janu.

Semua mata memandang heran ke arah Nandes.

"Enda sudah kasih banyak sambal, kamu gak bisa makan pedes nanti sakit perut." kata Nandes dengan suara lembut penuh perhatian.

Remaja itu tidak peduli sikapnya membuat suasana di meja itu jadi hening.

Janu jadi canggung, semua mata memandang heran ke arahnya dan Nandes. Kecuali Nadira, gadis itu terlihat tak terpengaruh ia sibuk menikmati bakso miliknya, malah menambah dua sendok sambal dan juga saus cabe. Kuah bakso milik Nadira berubah merah keruh perpaduan warna saus dan sambal.

"Ra ... itu pedes banget," ucap Davina mengingatkan.

"Gak terasa pedasnya sama sekali." jawab Nadira yang justru membuat suasana semakin canggung.

Alsaki dan Enda saja sampai melongo. Sejak kapan Nandes tahu Janu gak bisa makan pedas. Sejak kapan Nandes berubah menggunakan kata ganti kamu ketika bicara pada Janu. Yang mereka tahu Nandes dan Janu kemarin sore pulang bareng. Apa yang terjadi pada mereka berdua kemarin sore. Kenapa auranya justru mereka berdua yang jadi pasangan.

Mereka berdua duduk berdekatan sedangkan Nadira justru duduk depan Nandes di samping davina, Nandes juga begitu perhatian pada Janu. Tidak rela Janu makan pedas.

"Lo juga gak bisa makan pedas Nadira," kata Davina, berusaha menyingkirkan bakso yang sedang Nadira makan.

Nadira menghentikan makannya, gadis remaja itu menahan rasa pedas membakar bibirnya. Namun ada tempat lain yang lebih terbakar lebih pedas dan panas yang ia rasakan. Hatinya.

Dia yang menjadi pacar Nandes tapi mengapa bukan dia yang Nandes perhatkan. Dia yang menjadi pacar Nandes tapi mengapa Nandes bahkan tidak tahu Nadira suka makan apa.

Lalu siapa Nadira bagi Nandes. Apa mereka berdua hanya sebatas status pacaran. Namun, dalam hubungan mereka tak benar-benar ada ikatan antara dua hati.

Satu bulan menjadi pacar Nandes tak sekalipun berangkat sekolah bareng Nandes. Tak sekalipun pulang bareng Nandes. Yah... Nadira mendengar beberapa teman kelasnya membicarakan tentang kemarin sore melihat Nandes dan Janu di sekitar bendungan seribu tempat banyak pasangan menikmati senja.

Gadis remaja itu juga ingin sesekali di jemput dengan motor kesayangan Nandes itu. Ingin pergi ke tempat romantis dengan remaja yang orang bilang keren itu. Namun, nyatanya Nadira tak pernah merasakan itu.

Nandes datang padanya hanya ketika ia meminta. Nandes tak pernah lebih dulu menghubunginya. Selalu Nadira yang lebih dulu mengirim pesan dan melakukan panggilan. Belakangan ini malah pesannya sudah jarang di balas oleh Nandes.

Iri, itu yang Nadira rasakan saat ini. Gadis remaja cantik dan pintar itu iri pada Janu. Siswa pendiam gak punya teman di sekolah mampu merebut perhatian Nandes yang ia dambakan selama ini.

Perlakuan Nandes ke Janu itu berbeda. Cara Nandes memandang Janu itu beda tidak sama seperti Nandes memandang ke arah Alsaki dan Enda sekalipun dua orang itu adalah sahabat dekatnya.

Sorot mata Nandes ketika melihat Janu itu teduh, tatapan mata Nandes seolah melindungi Janu memperhatikan Janu. Nadira bisa merasakan perbedaan itu. Nandes tak pernah melihat ke arahnya dengan tatapan seperti itu.

Bisikan Sefria teriang di telinga Nadira. Seakan ada Sefria di sisi kanan dan kiri telinganyamembisikkan kalimat yang sama.

"Ra .... " panggil Davina pelan.

Nadira tersadar dari lamunannya. Gadis remaja cantik bak artis itu mengulas senyum.

"Kok pada lihatin aku gitu sih, gak di makan baksonya, keburu bel masuk nanti." kata Nadira sambil tersenyum ke arah empat cowok yang menatap ke arahnya.

Tak ada yang tahu di bawah meja, satu tangan Nadira mengepal erat.

Bersambung...


next chapter
Load failed, please RETRY

每周推薦票狀態

Rank -- 推薦票 榜單
Stone -- 推薦票

批量訂閱

目錄

顯示選項

背景

EoMt的

大小

章評

寫檢討 閱讀狀態: C19
無法發佈。請再試一次
  • 寫作品質
  • 更新的穩定性
  • 故事發展
  • 人物形象設計
  • 世界背景

總分 0.0

評論發佈成功! 閱讀更多評論
用推薦票投票
Rank NO.-- 推薦票榜
Stone -- 推薦票
舉報不當內容
錯誤提示

舉報暴力內容

段落註釋

登錄