Aku bisa melihat beberapa truk besar terparkir di sisi kiri lahan luas, tempat yang memang digunakan sebagai pemberhentian bagi para sopir truk —atau yang lain— untuk beristirahat setelah menempuh perjalanan panjang. Yang tentu saja menjadi pilihan menarik, karena para sopir itu tak perlu mengeluarkan uang lebih untuk menyewa motel hanya sebagai tempat tidur. Mereka terbiasa tidur di dalam truk, toh bagian belakang truk biasanya memang digunakan sebagai tempat tidur sementara. Ada selimut dan kasur tipis di sana. Aku mengetahui semua itu karena pernah merasakannya, akhir musim dingin ku lewati dengan berpergian bersama Dad mengirim barang ke negara bagian selatan. Ketika aku kelas 5 SD.
Perbatasan yang ku pikir menakutkan, karena aku sering melihat di film banyak tentara berjaga di sana dan tampang mereka lebih garang daripada penjahat. Aku sering merasa ngeri, tetapi kenyataannya tidak separah itu. Kebanyakan dari mereka memang membawa senjata laras panjang, aku tidak tahu jenis apa, tetapi aku yakin bahwa itu bisa melubangi kepala meski dalam jarak lumayan jauh. Mereka tidak garang, malah sangat ramah.
Aku pernah mendapatkan satu set pakaian musim dingin serta beberapa makanan dari para tentara yang menjaga perbatasan. Mereka berbau rokok dan alkohol, tetapi senyum mereka sangat hangat. Kalau saja mereka tak memakai seragam dan membawa senjata di punggung, mungkin aku mengira mereka hanyalah warga sipil biasa.
Kadang aku mendengar Dad menyapa para tentara tersebut dengan nama asli mereka. Itu menjelaskan kenapa para tentara itu sangat ramah pada Dad.
Pintu mobil terbuka seiring dengan keluarnya Lucas, kemudian aku mengikuti keluar. Mengekor di belakangnya saat dia mulai memasuki minimarket. Dia berjalan ke arah kasir, mengatakan hendak membeli bensin dan menyetorkan sejumlah uang untuk deposit sebelum kembali keluar menuju dispenser bahan bakar.
"Astaga! Kau mengagetkanku!" serunya saat berbalik dan mendapatiku sudah berada tepat dibelakangnya. "Kenapa kau di sini?"
"Kau mematikan mesin mobil, membuat AC didalamnya juga mati," jelasku. "Akan seperti berada di sauna kalau aku hanya menunggu di dalam sana seperti orang bodoh." Aku berjalan ke bagian depan minimarket, dimana kotak pendingin berisi penuh dengan es krim berada.
"Ini kan pombensin, tentu saja aku harus mematikan mesin saat mengisi bahan bakar."
Aku bisa mendengar langkah kakinya berada tepat di belakangku. "Terserah kau saja. Tapi kau harus menepati janjimu itu."
"Iya iya.." Dia mencondongkan tubuhnya, meneliti isi kotak pendingin. Sama sepertiku, dia sedang memilih rasa mana yang menurutnya paling enak. "Ambilkan rasa pisang untukku," ujarnya seraya menepuk punggungku dua kali sebelum keluar dari minimarket. Dari balik dinding kaca, aku dapat melihat sosoknya berjalan ke arah dimana mobilnya terparkir. Honda Civic itu bergerak mendekati dispenser bahan bakar, kemudian Lucas terlihat menekan beberapa digit angka sebelum memasukan selang pada tangki mobilnya.
Sementara aku memiliki tugas sendiri. Membawa beberapa eskrim yang telah ku pilih ke meja kasir.
"Satu Es krim pisang dan dua Es Krim cokelat, apa ada lagi?" tanya kasir itu setelah menghitung barang-barang tadi.
"Tidak ada."
"Totalnya 20 dollar, cash atau debit?"
"Pemuda tadi yang akan membayarnya."
Kemudian aku berjalan, melewati susunan rak yang berjejer untuk sampai di bagian paling epan tetapi masih di dalam minimarket. Ada tempat duduk yang memang diletakan di sana, meja panjang yang memang menempel pada dinding kaca. Tempat paling pas untuk melihat pemandangan di luar. Terik matahari benar-benar menyilaukan, berada di dalam minimarket ini adalah keputusan paling bagus daripada aku memaksakan diri duduk di luar sana.
Aku tak masalah dianggap sebagai pria lemah dan sebagainya, mereka yang mengatakan demikian tentu tak akan mau kalau harus suka rela berada di bawah terik matahari. Bagi Lucas sekalipun, karena aku bisa melihatnya berjalan cepat setengah berlari dengan tangan meneduhi wajahnya.
Pintu kaca berdecit ketika terbuka, Lucas ada di sana dengan nafas memburu. Entah akibat berlari tadi atau karena kepanasan, mungkin juga dua-duanya. Dia menatapku yang juga menatapnya, alisnya terangkat, seolah bertanya 'Sudah?' Dan aku membalas dengan menggerakan mataku ke arah kasir. Lucas mengangguk kemudian berjalan ke arah kasir, hendak meminta kembalian atau mungkin mengeluarkan uang tambahan untuk membayar es krim ini.
"Kau rakus sekali," tuturnya tepat setelah mendaratkan pantat pada kursi di sebelahku. Lucas merengut saat membuka bungkus es krim rasa pisang.
"Salahkan cuaca terik di luar sana," sahutku tidak terlalu mempedulikan. "Lagipula kau sendiri yang mengatakan akan meneraktirku."
"Dua Es Krim? Kau ternyata punya lambung yang cukup luas yah."
"Ayolah, kau tak akan jadi miskin karena membelikan dua Es krim untukku."
Perdebatan kembali berakhir begitu saja. Sama seperti sebelum-sebelumnya. Aku selalu berhasil menang, satu langkah lebih dulu ketimbang Lucas. Entah karena dia tak memiliki argumen lagi atau sengaja mengalah. Tetapi bagaimanapun, aku tetapi selalu menang.
Lucas lebih dulu menghabiskan es krim, karena dia hanya makan satu buah sedangkan aku dua. Lalu tanpa meminta izin, dia berjalan keluar. Suara pintu berdecit kembali terdengar, dan aku bisa melihatnya duduk di salah satu bangku tanpa diteduhi oleh apapun sebagai atap, langsung terkena sinar matahari. Dia mengeluarkan sebungkus rokok dan mulai membakarnya. Semua itu dapat ku lihat dari tempatku duduk, meski hanya bagian punggungnya saja dan asap yang mengepul.
Aku tak pernah merokok, dan itulah alasan mengapa Lucas tak mengajakku keluar untuk merokok. Dia juga tak pernah merokok di dekatku, selalu memisahkan diri, pergi ke tempat lumayan jauh agar asap rokoknya tak sampai di tempatku.
Padahal itu bukanlah masalah, aku bukan tipikal orang yang akan memberi kritik pedas kepada orang yang merokok. Ini negara bebas, dimana setiap orang bahkan memiliki setidaknya satu pistol di rumah mereka, dimana minuman keras dapat dibeli meskipun umurmu belum dewasa, tetapi semuanya berjalan teratur atas kesadaran diri. Dan Lucas salah satu contoh warga sipil yang taat peraturan, dengan tak memaksaku minum alkohol, atau menjauhkan diri saat dia hendak merokok.
Meskipun kadang wajahnya telah menimbulkan kesalahpahaman.
Es krimku telah habis dan aku pun memilih keluar, menghampiri Lucas yang sepertinya belum menyadari kehadiranku. Dia tampak menikmati setiap isapan pada busa di ujung rokok, katanya manis, tetapi aku tak tahu seberapa manis sampai membuat dia selalu menghabiskan setidaknya satu bungkus setiap hari.
"Hoy!" Aku menepuk bahunya sekali. Membuatnya terkejut dan langsung membuang batang rokok yang sepertinya baru dibakar, menginjaknya dengan sepatu boots kulit sintetis warna hitam. "Hey, kau tak perlu membuangnya, lanjutkan saja.." kataku seraya mendudukan diri di salah satu kursi sebelahnya. Ternyata di luar sini tak terlalu panas, tentu karena waktu telah berlalu dan sekarang tak lagi siang. Sudah sore hari. Cahaya kuning menyilaukan tak berarti apa-apa selain sisa-sisa terik semata.
"Tidak masalah," sahut Lucas sambil mengantongi bungkus rokoknya lagi. "Sudah selesai? Ayo pergi lagi."