Kota M
Danau Kota M
Jalan setapak dengan kanan kiri pohon menjulang serta dedaunan kering di tanah adalah tempat yang saat ini sedang Gretta datangi. Ia menatap punggung si pria yang ada di depannya dalam diam, sebelum kembali melihat ke samping dan bergumam senang setelahnya.
"Ini indah," gumam Gretta.
Si pria yang mendengarnya sekilas menoleh sebelum akhirnya kembali menghadap depan dengan senyum kecil terulas "Saat sampai kamu akan lebih menyukai tempat yang aku tunjukkan," sahutnya percaya diri.
"Benarkah?" tanya Gretta dengan nada penasaran tinggi. Ia bahkan menatap netra itu dengan berbinar, menuai senyum dalam hati dari si pria ini.
"Um, tentu saja benar."
"Kalau begitu cepat jalannya," putus Gretta kemudian mendorong punggung pria di depannya yang sempat tersentak, kala punggungnya dipegang oleh Gretta yang sama sekali tidak merasa bersalah.
"Lets go!"
Seruan lanjutan dari gadis di belakangnya ini membuat bibirnya kembali mengulas senyum kecil. Ia pun menambah tempo jalannya dan kali ini memberanikan diri mengambil pergelangan tangan Gretta yang sempat tertegun, apalagi saat tiba-tiba si pria berbalik.
Grep!
"Kuat berlari?" tanya si pria dengan nada dan senyum misterius, sehingga Gretta yang melihatnya pun bingung.
Untuk apa berlari? pikir Gretta dengan kepala miring.
"Eh!?"
"Bukankah kamu ingin cepat sampai?"
"Tentu saja!" tandas Gretta melupakan rasa kagetnya, saat pergelangan tangannya digenggam lembut.
Ia baru ini merasakan genggaman seorang pria, terlebih dari orang asing. Bahkan, kekasihnya yang dulu pun tidak diizinkannya menyentuh barang seujung kuku.
Dan entah kenapa rasanya aneh, dengan debaran yang terasa berbeda namun ia tidak mengerti kenapa.
Kenapa aku menerima saat dia menggengam tanganku?
Gretta bingung tapi juga tak ingin menampiknya.
"Kalau begitu, mari kita berlari sampai tujuan!" ajak si pria sebelum akhirnya menarik tangan Gretta agar berlari mengikuti langkahnya.
"Huwaa!"
Gretta memang sempat kaget saat merasakan tarikan itu, ia bahkan mengabaikan debaran yang ia rasakan. Namun, pekikan kagetnya berubah menjadi tawa kecil dan entah sejak kapan, ia menautkan tangannya kepada si pria yang balas menggenggamnya erat.
Keduanya terlihat saling berlari sambil berbagi tawa dan sesekali si pria yang ada di depan menoleh, untuk memastikan Gretta berlari dengan benar. Juga, mencuri pandang saat senyum itu kini terulas lebar.
Tidak ada lagi raut wajah sedih dan ia senang karenanya.
Aku hanya ingin wajahmu dihiasi senyum, bukan muram durja atau bahkan air mata. Meskipun aku tidak tahu karena apa, aku hanya tidak ingin melihatmu seperti itu, batinya berharap.
Tidak lama kemudian, sampai lah keduanya di sebuah sungai dan juga sebuah lapangan hijau.
Pemandangan ini membuat Gretta yang melihatnya seketika terdiam, dengan mulut terbuka serta netra melebar, kagum.
Ia sontak menatap si pria di sampingnya dengan tidak percaya.
Sudah berapa lama ia tinggal di kota M ini? Kenapa baru saat ini ia melihat sungai indah dengan sebuah lapangan di hadapannya.
Atau
Memang dirinya lah yang tidak memperhatikan sekitar, tempat sederhana namun menurut luar biasa.
"Aku baru tahu ada tempat indah seperti ini," ujar Gretta tanpa menutupi rasa takjubnya. Ia bahkan menatap apa yang tersaji di hadapan tidak berkedip, kemudian menoleh ke arah si pria yang saat ini menatap sedang menatap sungai di depan sana.
"Bagus kan? Di sini, biasa tempat aku menyindiri. Apalagi sedang mengingat orang tuaku," sahutnya bercerita.
"Kenapa kamu mengingat orang tuamu?"
Gretta bingung dengan apa yang dikatakan pria di sampingnya, belum lagi dengan netra sendu itu dan ini membuatnya ingin sekali mengusap pipi si pria. Namun, ia menahan diri agar tidak terbawa dengan suasana saat ini.
"Karena mereka sudah bahagia di atas sana," jawab si pria dengan senyum kecil, seraya menengadahkan wajahnya ke atas sana "Mereka lebih di sayang oleh Tuhan, jadi mereka diminta tinggal di atas sana," lanjutnya sedih.
Gretta terdiam dengan tatapan sayu mendengar kenyataan sedih dari pria ini. Tangannya pun ia biarkan terangkat dan mengusap bahu si pria yang menoleh ke arahnya, kemudian tersenyum kecil berharap senyumnya dapat menenangkan.
"It's okay. Katamu, mereka lebih disayang oleh Tuhan, maka artinya mereka sudah bahagia dan kamu pun pasti akan menemukan kebahagian itu?" gumam Gretta memberi penghiburan.
Si pria ini tersenyum kecil, kemudian mengambil telapak tangan Gretta dan menggenggamnya erat.
"Tentu saja, aku akan mendapatkan kebahagianku suatu saat nanti," tukasnya mengiyakan "Jadi, apakah kamu sendiri sudah tidak sedih lagi?" lanjutnya berharap.
"Eh!?"
"Iya, aku tahu tahu saat ini pasti sedang sedih," tandas si pria yakin.
Gretta melengoskan wajahnya ke arah lain sebagai pengalihan, kemudian tergelak sumbang sebagai pengalihan dengan kepala menggeleng kecil.
"Tidak, aku tidak sedih. Aku hanya sedang ingin sendirian, itu saja."
Si pria yang mendengar ini tentu saja tidak percaya. Namun, ia tidak memaksa dan memutuskan untuk tidak bertanya lagi, ia masih tahu dan ingin menjaga batasan yang dibentang oleh si gadis yang terlihat menutupi sesuatu darinya.
Kemudian, si pria pun berjalan menjauhi Gretta yang hanya bisa menatapnya dalam diam. Ia duduk di rumput tak jauh dari sungai dan menoleh sambil melambaikan tangannya.
"Kemarilah, sebentar lagi matahari terbenam," panggilnya, setelah melupakan batasan yang dibuat.
"Umm." Gretta bergumam seraya menghampiri si pria dan duduk di sampingnya, kemudian menatap langit di atas sana yang mulai menampakkan gradasi orange dengan pendar kebiruan.
"Indanya…," gumam Gretta takjub.
"Salah satu hal yang kusukai dari semua keindahan alam adalah matahari saat terbenam, selain matahari terbit," ucap si pria tanpa menoleh ke samping, ia sibuk melihat ciptaan Tuhan yang paling agung di depannya.
Kemudian, ia menoleh ke arah Gretta yang kini wajahnya terbias oleh cahaya matahari orange. Sungguh, Gretta laksana dewi yang turun dari atas sana.
Cantik, dia sungguh cantik, pujinya dalam hati.
"Hanya matahari terbenam dan terbit? Lalu bagaimana dengan matahari siang hari?" tanya Gretta seraya menoleh ke samping dan menatap tak berkedip, saat netra sehitam malam itu turut menatapnya dalam.
"Dulunya tidak terlalu suka."
"Loh! Kenapa? Bukankah mereka sama-sama matahari?" tanya Gretta dengan kening bertaut bingung.
"Ya, dulu aku tidak suka karena mereka panas. Tapi saat ini tidak Karena (Iris matamu seindah langit siang biru dan suraimu secerah matahari siang)"
"Karena apa?"
"Eh!"
Si pria ini kelabakan saat pertanyaan juga wajah bingung Gretta terpampang di hadapannya. Ah! sepertinya ia melamun dan melanjutkan kalimat lanjutan itu dalam hati, sehingga Gretta tidak dapat mendengarnya.
"Karena mereka sama-sama matahari, seperti apa katamu," jawab si pria cepat dan hampir tergagap.
"Ah! begitu."
"Kalau kamu?"
Bersambung.