"Permisi."
Semua orang yang berada di dalam camp menoleh keluar.
"Aku hanya ingin mengingatkan, Komandan Haides ingin kita berkumpul di campnya lima belas menit lagi."
"Ba-baik Ksatria Hera."
"Jangan panggil aku ksatria, panggil Hera saja."
Semua orang memandangnya bingung.
Hera tersenyum dan meninggalkan camp.
"Lihatkan," kata Leucos dengan nada malas.
"Itu yang kumaksud," sahut Owen.
Demure, Noah, dan Alaska saling tatap.
"Bukankah bagus kalau begitu?" tanya Noah acuh tak acuh.
"Tentu saja ti-"
"Sudahlah Leucos, singkirkan sikap egoismu."
Mats dan Owen mulai jengkel. Leucos hanya berdecik sebal dan keluar meninggalkan campnya.
"Dia kenapa sih?" tanya Alaska.
"Ia menginginkan posisinya yang dulu."
"Lantas apa hubungannya dengan Hera?"
"Kalian tau sendiri kan sikap Hera yang dulu," sambar Owen.
Semuanya mengangguk.
"Leucos berpikir jika Hera selalu menganggap bahwa ia lebih hebat darinya, mungkin Komandan Haides dapat mengembalikan posisinya yang dulu."
Semuanya mengangguk paham.
"Dasar anak kecil," decik Noah.
"Udahlah lebih baik kita bersiap-siap untuk rapat," sela Demure sebelum ceritanya menjadi lebih detail.
Semua prajurit sudah berada di camp Komandan Haides untuk berdiskusi, kecuali Hera dan Kharysor yang berada di sana dari awal.
"Bagaimana cara kita melalui terowongan yang tidak memiliki tanahnya itu?"
"Kami sudah memutuskan untuk turun dan berjalan melewati gua," jawab Kharysor.
"Ya. Turunkan tiga perahu karena kita berlayar dari dalam gua," sambung Hera.
"Tidakkah ada cara yang lebih praktis?" tanya Leucos acuh tak acuh.
"Kau ada ide?" tanya Kharysor dingin.
Leucos langsung bungkam.
"Berarti sudah diputuskan bukan? Bawa perlengkapan kalian selengkap-lengkapnya! Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di sana," ujar Komandan Haides.
"Baik Komandan," semuanya menjawab.
Grudukk!
Hera berada di campnya.
"Kenapa malah hujan," guman Hera.
"Hera."
Hera menengok ke arah pemilik suara.
"Kau li-" Kharysor terkejut.
"Apa yang kau lakukan?"
"Ini?"
Hera mengangkat baju zirahnya.
"Aku melepasnya," katanya santai.
"Kau yakin?"
"Iya. Lagipula aku tidak nyaman," kata Hera sambil membalutkan sebuah kain di lengannya.
"Ada apa kau kemari?"
"Ah itu," Kharysor kebingungan.
Hera memiringkan kepalanya ikut bingung.
"Kemana bukuku?"
"A-aku tidak tahu," jawab Hera gugup.
"Aku serius, mana bukuku?" tanya Kharysor tajam.
"Aku pinjam sebentar nanti ku kembalikan," Hera keluar camp menghindari Kharysor.
Hera meninggalkan Kharysor sebelum ia bertanya lebih lanjut tentang bukunya.
"Hera dimana bukuku?" Kharysor mengikuti Hera.
"Nanti," jawab Hera singkat.
Kharysor menghela nafas sabar.
Semua prajurit telah berkumpul bahkan Komandan Haides sekalipun.
"Kita bergerak sekarang!" perintah Komandan Haides.
"Baik."
Semuanya bergerak ke air terjun tanpa kendaraan, dikarenakan jaraknya tidak begitu jauh dari camp mereka.
"Kharysor, Hera. Kalian yang pertama turun dan pasang tali untuk menuruni gua."
"Baik," jawab mereka bersamaan.
Hera dan Kharysor berjalan perlahan menembus air terjun, Hera dengan sigap langsung menyangkutkan tali di sebuah batu besar sehinnga dapat menahan mereka agar tidak jatuh saat menuruni gua.
"Aku turun duluan," kata Kharysor yang langsung menuruni gua.
Kharysor perlahan-lahan sampai ke dasar gua.
"Kau baik-baik saja?" teriak Hera dari atas.
"Ya," Kharysor balas berteriak.
Hera keluar dari dalam air terjun, memberi tanda kepada Komandan Haides bahwa Kharysor berhasil turun ke dasar gua dengan selamat.
Tanpa mereka sadari, hujan telah turun. Banyak kabut dimana-mana, bahkan selepas masuk ke dalam air terjun mereka tidak dapat melihat dengan jelas. Hera sudah turun menuju gua, ia menghampiri Kharysor.
"Kabutnya," Hera berdeham.
"Jangan dihirup!" kata Kharysor cepat.
"Ya," jawab Hera samar.
Sejujurnya ia memiliki alergi terhadap udara dingin, Hera akan bersin-bersin atau bisa juga pilek. Biasanya ia membawa obatnya kemana-mana untuk berjaga-jaga tetapi kali ini tidak.
"Sepertinya di situ ada jalan," Hera menunjuk sebuah cela yang tertutup kabut.
"Kita coba periksa."
Mereka berdua menuju ke cela itu.
"Sepertinya ini jalannya."
"Aku tidak dapat melihat apa-apa di sana, kabutnya sangat tebal."
"Komandan sepertinya ini adalah jalannya," teriak Hera.
Komandan Haides yang mendengar itu langsung menyuruh pasukannya untuk menyiapkan kapal-kapal mereka untuk menuju ke Pulau Carehayes.
"Pasang pelampung kalian! Naik ke kapal!"
Semua orang sudah berada di kapalnya masing-masing. Mereka semua bergerak menerjang hujan.
"Bergerak!"
Masing-masing kapal berisi enam orang dan satu kapal sebagai cadangan. Komandan Haides, Hera, Kharysor, Demure dan dua prajurit tambahan berada di kapal pertama sedangkan Leucos, Owen, Mats, Noah, Alaskan dan satu prajurit tambahan berada di kapal kedua.
"Komandan a-aku tidak dapat melihat apapun," kata Hera.
"Aku juga. Tetapi kita melihatnya kan kemarin," balas Komandan Haides.
"Tentu saja."
"Kharysor juga melihatnya, bahkan ia sampai terkagum-kagum," kata Hera di tengah hujan yang bertambah deras.
Komandan Haides mengangguk.
"Komandan, kita sudah sangat jauh. Apakah belum sampai?" tanya Leucos dari kapal belakang.
Komandan Haides terdiam, ia terlihat ragu.
"Leucos benar komandan. Ini sudah sangat jauh dari Hutan Moist," kata prajurit yang sedang mendayung di belakang Hera.
"Baik. Diam sejenak," Komandan Haides memberi komando.
Ia melihat sekitarnya sejenak.
"Ti-tidak ada apa-apa di sini," kata Komandan Haides.
"Apa?"
"Kalian membawa kabar burung?" tuduh Leucos.
"Tentu saja tidak," sergah Kharysor.
Hera terdiam.
"Apakah aku salah lihat?" batin Hera.
"Sekarang bagaimana komandan?" tanya Demure.
Komandan Haides menghela nafas berat.
"Kita kembali, aku tidak ingin mengambil resiko yang tidak diinginkan."
Mereka semua memutar kapal mereka di tengah hujan dan menuju ke tempat sebelumnya.
Tiba-tiba terdapat sebuah ombak besar menerjang mereka sehingga kapal mereka terombang-ambing. Terdengar sebuah nyanyian yang samar-samar dari kejauhan.
"Tutup telinga kalian semua! Itu siren," teriak Komandan Haides.
Semuanya menutup telinga mereka cepat.
Siren adalah manusia setengah ikan yang memiliki banyak sisik dan sirip di tubuh yang berwarna gelap. Mereka memilik tanduk kecil, mata yang berwarna hitam, gigi-gigi yang runcing dan sebuah sirip kecil di leher mereka. Semua siren itu memekik marah karena tidak ada yang terhipnotis dengan nyanyiannya. Kapal kembali terombang-ambing dan kali ini lebih kencang.
"Pegangan semuanya."
Kapal mereka telah di serang oleh siren, beberapa sirenmenari-nariknya agar kapal mereka terbalik.
"Siapkan pedang!" perintah Komandan Haides.
Mereka menyingkirkan tangan-tangan siren yang berusaha menarik kapal menggunakan pedang mereka masing-masing.
"Kita harus cepat sebelum mereka merusak kapal kita, Ayo!"
Para prajurit yang bertugas mendayung perahu berusaha sebisa mungkin untuk menggerakkan perahu lebih cepat.
"ARKHHHH!" siren-siren itu berteriak marah.
Hera berusaha mencari cara untuk menghentikan siren.
"Api."
"Iya api," desak Hera kepada Komandan Haides.
"Pemikiran bagus Hera," kata Komandan Haides bangga.
Komandan Haides mengambil sebuah korek api dan menyalakannya. Ia menutupi api dari atas agar tidak terkena air hujan. Api itu di dekatkan kepada siren yang ada di sekitar kapal.
"ARKHH!" siren itu mengerang menjauh karena ketakutan.
Itu merupakan kesempatan emas bagi mereka untuk kabur, sayangnya tidak semudah itu untuk melarikan diri. Siren itu kembali bernyanyi.