'Jangan lupa datang ke pesta ulang tahunku!'
Joy mendesah membaca isi pesan di ponselnya. Acara ulang tahunnya akan diadakan pada hari Sabtu nanti yang berarti dia memiliki tiga hari untuk membeli hadiah.
Bukannya dia sengaja melupakan pesta temannya, hanya saja untuk saat ini dia lebih mementingkan hubungannya dengan keluarganya daripada pesta ultah temannya.
Karena itu saat melihat kedua orangtuanya bisa berbincang tanpa bertengkar, sudah merupakan kemajuan baginya.
Joy nyaris tidak bisa menahan tawanya saat melihat ekspresi ibunya. Tiba-tiba saja tangan yang memijat berubah menjadi besar dan saat melihat dirinya membawa semangkuk sup hangat kedepannya, mata beliau membelalak lebar. Tentu saja beliau pasti terkejut.
"Jangan bergerak." perintah ayahnya saat ibunya hendak protes.
Mungkin karena godaan nikmat dari pijatan ayahnya, ibunya tidak membantah dan membiarkan pundaknya dipijat dengan mahir oleh ayahnya.
"Kau ini.. kau harus menjaga kesehatanmu. Bagaimana kalau kau jatuh sakit?"
Joy menelan ludah dengan gugup. Kenapa ayahnya menyinggung topik yang sensitif?
Joy berpura-pura tidak mendengar mereka dan duduk di pojokan sambil minum teh yang baru diraciknya.
"Kau pikir aku ingin bekerja terus? Ini semua gara-gara kiriman itu."
Joy baru bisa merasa lega. Setidaknya ibunya tidak menyalahkan ayahnya yang tidak bekerja seperti yang sudah-sudah.
"Kiriman?" ayahnya bertanya dengan rasa penasaran.
Kemudian ibunya menjelaskan secara detail pada ayahnya.
Seorang pelanggan memesan kaca disalah satu usaha yang dikelola ibunya. Tampaknya pihak pengiriman kurang hati-hati dalam membawa barangnya, sehingga saat tiba di tempat tujuan, ada bagian yang retak.
Pihak konsumen tidak mau membayar barang yang sudah dikirim kalau perusahaan tidak mau mengganti barangnya.
Ibunya juga sudah menuntut pihak pengiriman tapi tetap saja beliau harus menemukan solusi untuk meredamkan amarah pihak konsumen.
Joy tidak terlalu mengerti detailnya, namun dia yakin pemilik perusahaan yang merupakan saudara ibunya; pasti tidak mau pusing untuk menyelesaikan masalah ini.
Joy menghela napas yang panjang sambil menikmati uap tehnya yang mengepul keluar dari gelasnya.
Apakah tidak ada cara untuk membuat ibunya lepas dari semua usaha keluarganya?
Dia merasa keluarga ibunya hanya bersantai sementara ibunya yang selalu menerima tekanan dan cacian maki dari para konsumen.
"Istirahatlah dulu. Percuma kau memikirkan masalah ini sekarang."
Joy mendengar ayahnya berbicara dengan tegas. Dia bertanya-tanya kapan ayah bisa berbicara setegas ini, bahkan sanggup membuat ibunya tidak bicara.
Atau apakah mungkin karena kebetulan ibunya sudah terlalu lelah sehingga tidak ingin berdebat dengan ayahnya?
Joy sama sekali tidak tahu jawabannya.
Setelah ibunya masuk ke kamar mandi, ayahnya berjalan menghampirinya.
"Joy, kamu juga cepatlah tidur. Setelah tehmu habis, masuk ke kamar."
"Iya." sahutnya.
Joy menyebul tehnya dengan lebih kencang dari sebelumnya dan segera menghabiskan tehnya.
Bibi Keya membantunya mencuci gelasnya dan memasukkan buku-buku ke dalam tasnya.
Setelah cuci muka dan sikat gigi, Joy berbaring di atas ranjangnya berusaha untuk tertidur. Sayangnya, meskipun dia sudah memakai penutup mata agar matanya tetap terpejam, pikirannya terus berjalan.
Joy berguling ke arah sisi kirinya. Dia berusaha untuk tidur sambil menghitung dalam pikirannya.
Satu..dua..tiga..empat.. hingga lima puluh, dia masih belum tertidur. Kali ini dia berguling hingga tubuhnya menghadap ke arah sisi kanannya, sekali lagi menghitung dari awal.
Satu..dua..tiga..
"..."
Empat..
"..."
Samar-samar terdengar suara pria sedang berbicara.
Dua puluh.. dua puluh satu..
"..."
Setelah hitungannya mencapai angka lima puluh, Joy memutuskan bangun untuk mencari tahu pemilik suara tersebut.
Joy berjalan keluar dari kamarnya dan menuju ke arah suara yang didengarnya. Semakin lama dia berjalan, semakin jelas suara yang didengarnya. Itu adalah suara ayahnya
"Tentu saja. Seperti yang kubilang, aku tidak akan memaafkan mereka jika mereka menyentuh milikku."
Joy mengintip dari pintu kerja ibunya yang terbuka sedikit. Dia bisa melihat ayahnya sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya.
Apa yang ayahnya lakukan di ruang kerja ibunya?
"Aku sendiri yang akan menghubunginya. Kau urus saja yang seperti biasa. Dan tambahkan pinaltinya. Lagipula ini bukan yang pertama kalinya."
Kening Joy berkedut sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkan ayahnya. Kemudian ayahnya menekan sebuah nomor dan hal berikutnya membuat Joy terkejut.
Ayahnya berbicara serentetan kalimat yang tidak dimengertinya. Bahasa asing yang belum pernah ia dengar. Seperti bahasa Perancis? Jerman? Entahlah.
Jika bahasa Inggris, Cina, Jepang maupun Korea, dia masih bisa mengerti. Namun yang diucapkan ayahnya adalah bahasa yang belum pernah ia dengar sebelumnya.
Tapi untuk saat ini yang membuatnya lebih terkejut adalah ayahnya bisa berbicara dalam bahasa asing?? Sejak kapan? Dan kenapa dia tidak pernah mengetahuinya? Tidak. Kenapa ayahnya tidak pernah memberitahunya?
Tidak.. tidak.. tidak.. Yang benar, kenapa dulu dia menutup diri dan tidak mau meluangkan waktunya bersama ayahnya.
Joy memperhatikan penampilan ayahnya yang terasa asing diingatannya. Ini pertama kalinya dia melihat ayahnya menggunakan kacamata, pertama kalinya dia melihat beliau memasang wajah serius.
Tidak hanya itu, dia yakin meja kerja ibunya telah rapi tidak ada barang apapun sebelumnya. Namun kini dia melihat kertas-kertas berserakan di atas meja kerja ibunya.
'Papamu suka menghamburkan uang mamamu. Makanya lebih baik mereka cerai saja.'
Joy teringat ucapan saudara-saudara ibunya. Apakah mungkin ayahnya diam-diam mensabotase pekerjaan ibunya? Apakah mungkin diam-diam ayahnya mengambil uang hasil kerja ibunya?
Melihat ayahnya yang memasuki ruang kerja ibunya membuatnya berpikir bahwa yang diucapkan tante dan omnya tidak sepenuhnya bohong.
Ada kemungkinan ayahnya juga turut andil dalam menghabiskan uang keluarga mereka? Kalau begitu akan semakin sulit bila dia ingin memperbaiki keuangan keluarganya.
'Uang kita selalu habis untuk papamu. Kamu juga tahu sendiri kalau papamu itu suka makan yang mahal-mahal.'
'Papamu itu banyak sekali sifat buruknya. Sudah bodoh, malas, suka menghabiskan uang juga.'
'Lebih baik cerai saja,'
'Iya, cerai saja. Tidak perlu menunda-nunda lagi.'
Pikiran Joy terlalu penuh dengan ucapan-ucapan keluarga ibunya yang tidak ingin diingatnya. Namun hatinya mulai bimbang. Dia sudah tidak tahu yang mana yang benar atau yang salah.
Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak, untuk bernapas saja sangat sulit. Kepalanya mulai terasa pusing dan dunia disekitarnya seolah berputar.
Joy memaksakan diri untuk bertahan dan berjalan kembali ke kamarnya. Begitu kakinya menyentuh ranjangnya, dia membiarkan tubuhnya terjatuh di atas ranjangnya. Disaat bersamaan dia diliputi kegelapan... untuk kesekian kalinya.
Dia berdiri disana, di tengah-tengah kegelapan yang tak berujung. Dia sama sekali tidak bergerak ataupun bersuara. Dia hanya diam berdiri ditempatnya.
Satu per satu ingatan yang tidak ingin diingatnya muncul di kepalanya.
'Joy, apa kamu sudah bilang papa kalau Joy ingin papa mama cerai?'
'Joy, kamu ikut mama saja ya setelah papa mama cerai'
'Joy, kamu benci papa kan?'
Dia mengingat dengan jelas semua perkataan yang terucap dari om dan tantenya. Mereka semua menginginkan perceraian kedua orangtuanya. Kenapa? Kenapa mereka begitu ingin memisahkan kedua orangtuanya?
'Mama sudah capek. Mama tidak bisa hidup seperti ini.' dia ingat ibunya pernah mengucapkan kalimat ini padanya.
'Papa, kenapa papa tidak bekerja?' Joy ingat dia pernah bertanya pada ayahnya.
'Untuk apa papa bekerja? Mama kan sudah bekerja.'
Jawaban inilah yang membuatnya semakin membenci ayahnya waktu itu.
'Papamu itu tidak bisa bekerja, sukanya menghabiskan uang mamamu'
'Dasar pemalas. Sudah lima tahun kau tidak bekerja dan hanya makan dan tidur saja. Apa kau sama sekali tidak memikirkan keluarga ini huh?'
"Aku sudah capek. Aku sudah tidak mau bekerja lagi. Memang kau mau apa huh?'
TIDAAAAKK!! Joy berjongkok sambil menutupi kedua telinganya dengan erat. Air matanya bercucuran sambil memohon dalam hatinya agar dia terbangun dari mimpi buruknya.
Semakin keras dia menutupi telinganya semakin keras pula tangisan ketakutannya.
Dia menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya, dia duduk disana berusaha melindungi dirinya sendiri.
Dirinya saat ini seperti seseorang yang duduk dengan kedua kaki ditekuk kearah depan dadanya, sementara wajahnya tertutup rapat diantara kedua lutut dan dadanya. Kedua tangannya yang sebelumnya menutupi telinganya kini melingkar di kedua kakinya dan terus menangis.
Ditengah kegelapan itu, tubuhnya terasa dingin dan gemetar. Namun ada sebuah suara yang lembut berbisik di telinganya.
'Sstt.. jangan takut. Tidak akan ada yang melukaimu.'
Disaat bersamaan dia merasakan tubuhnya didekap oleh sesuatu yang berat namun hangat.
'Sst..sst.. Tidurlah. Hanya mimpi buruk, saat kau bangun nanti, semuanya akan baik-baik saja.'
Mendengar itu Joy mulai merasa tenang kembali dan secara perlahan dia terbangun dari tidurnya.
Joy segera menyadari ada yang berbeda dengan dirinya. Dia bangkit berdiri tiba-tiba untuk melihat sebuah kalendar diatas meja belajarnya.
Dia takut kalau dia kembali ke masa dimana ibunya telah tiada dan ayahnya yang akan memiliki seorang istri baru. Dia masih belum ingin kembali ke masa itu.
Joy segera melihat tahun di kalender yang ada di meja belajarnya. Begitu melihat empat digit angka di pojok kanan atas kalendernya, Joy terduduk lemas di kursinya.
Dia bernapas dengan lega saat mengetahui dia masih berada di kamarnya. Kamar yang sama seperti kemarin, dan dia hampir melupakan bahwa dalam dua hari dia harus menemukan hadiah untuk Meryl.
Joy segera masuk ke kamar mandi untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Sama seperti saat dia tidak mengingat mimpi buruknya, dia juga tidak ingat ada seseorang yang memberinya selimut tebal.
Kini selimut tersebut berada di lantai, terjatuh akibat dia bangkit berdiri dengan terburu-buru.