Usia pernikahan yang mulai memasuki tahun ke 3 sudah mulai terasa hambar bagi ku, tapi aku tetap bertahan karena masih mencintai dan juga menghormati nya sebagai seorang suami.
Semenjak kami pindah ke kota kelahiran ku dan mulai membuka usaha disini sikap nya mulai berubah kepadaku.
Walau pun memang sejak awal menikah dia tidak terlalu percaya padaku apalagi masalah keuangan, tapi semenjak kami pindah dan membuka usaha sikap nya semakin menjadi jadi saja.
Dia mulai perhitungan dalam segala hal dan aku pun mulai malas berlama-lama berada di rumah dan memilih pergi kerumah orang tua ku yang tinggal tidak jauh dari rumah kami.
Aku selalu menahan semua nya sendiri tanpa memberi tahu keluarga tentang sikap suami ku itu, Tapi semua nya berubah ketika ibunya meninggal dunia.
Aku masih ingat betul dari awal menikah semua kebutuhan ku di cukup oleh ibu mertua yang memang satu rumah dengan ku, sedangkan suami hanya menjatah uang seadanya saja. Dari awal menikah aku memang tidak memakai pengaman sehingga bisa langsung hamil dan sampai usia kehamilan ku 7 bulan ibu mertua yang mencukupi semuanya bahkan biaya untuk acara 7 bulan pun beliau yang mengeluarkan.
Setelah kehamilan ku memasuki usia 7 bulan aku kembali ke rumah orang tua karena akan melahirkan disana, suami seminggu sekali pulang ke rumah orang tua ku dan selebih nya tinggal di rumah orang tua nya yang berada di kota berbeda dengan ku.
Setelah aku melahirkan anak pertama suami lebih sering berada di rumah bersama ku, yang awal nya hanya pulang hari Sabtu dan Minggu sore atau Senin pagi dia sudah kembali ini bisa sampai 4 hari berada di rumah.
Awalnya aku tidak mencurigai nya sama sekali aku pikir karena pekerjaan nya yang memiliki waktu fleksibel jadi dia ingin lebih banyak waktu bersama istri dan juga anak nya.
Tapi satu hal yang aku baru tahu, saat makan malam telepon nya berbunyi dia pun langsung mengangkat telpon itu di hadapan ku.
"Hallo,"
"…"
"Oh maaf Bu saya sudah tidak bekerja di bank itu lagi, tapi saya bisa memberikan nomer telepon salah satu teman saya yang memang masih bekerja disana"
Aku yang sedang makan malam bersama nya masih menyimak pembicaraan nya di telepon, yang aku heran dia tidak pernah mengatakan kalau dia berhenti bekerja di tempat nya sekarang.
Pantas saja setiap pagi aku tidak pernah menerima telepon atau pun SMS dari atasan nya mas Hendi itu, Biasanya setiap pagi atasannya itu akan menghubungi mas Hendi untuk urusan pekerjaan sekalipun itu hari libur.
Aku masih diam saja tidak banyak bertanya karena kami masih makan dan masih ada keluarga yang lain juga disana.
Selesai makan aku langsung masuk kamar dan seperti biasanya dia akan berada di luar rumah bersama ayah sekedar merokok dan juga mengobrol.
Setelah cukup malam dia baru masuk ke kamar dan aku pun memberanikan diri bertanya kepadanya.
"Mas tadi aku dengar waktu kamu bicara di telepon katanya sudah tidak bekerja di bank lagi apa itu benar.…?" Tanya ku pelan karena takut menyinggung nya.
Awalnya dia hanya diam saja sambil terus bermain bersama anak kami yang memang masih belum tidur.
"Mas apa itu benar…?" Tanya ku lagi
"Iya sekarang mas sudah tidak bekerja lagi di bank sudah susah cari nasabah buat masukin aplikasi." Tuturnya
"Terus kalau kamu sudah tidak bekerja di bank kamu bekerja di mana sekarang..? Kamu tahu kan kebutuhan kita sekarang semakin banyak " jujur saja aku sedikit kecewa dengan nya tapi aku tidak bisa apa-apa.
" Sekarang mas bekerja di salah satu perusahaan swasta, balik lagi ke tempat yang dulu sebelum menikah tapi sekarang lebih gampang kerja nya."
"Bukan nya tempat kamu bekerja dulu sudah tidak ada di kota itu ya, makanya kamu berhenti. bukan nya karena perusahaan itu sekarang sudah pindah ke kota K…?" Tanya ku yang masih belum mengerti
"Iya tapi sekarang disana juga ada cabang nya dan mas kerja lagi di sana tapi cuma masuk-masukin barang saja ke konter-konter kecil waktunya juga lebih fleksibel, jadi bisa punya banyak waktu di rumah."
Aku pun percaya saja dengan perkataan nya toh selama ini dia tidak pernah lalai memberiku jatah uang belanja, apa pun pekerjaan nya yang penting halal itu pikir ku.
Ketika usia anak kami sudah menginjak 7 bulan kami pun kembali memutuskan untuk pindah ke rumah orang tua nya yang kini sudah kosong.
Itu di karena kan ibu mertuaku jatuh sakit tepat di saat aku akan melahirkan anak pertama kami, dia terkena stroke dan tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa berbaring di tempat tidur saja.
Karena kondisi ku juga tidak memungkin kan untuk merawat beliau akhirnya beliau di pindahkan kerumah sebelah, lebih tepat nya rumah kakak ipar ku.
Aku pun sering datang melihat keadaan ibu mertua ku itu, aku juga sering menemani beliau seharian jika di rumah kakak ipar ku kosong karena hanya itu yang bisa aku lakukan.
Dan selama itu pula mas hendi tidak pernah keluar rumah untuk bekerja, aku tidak tahu dia mendapatkan uang dari mana karena dia tidak pernah mengatakan nya kepadaku semua nya dia tutupi dengan rapat.
Jika aku bertanya pun dia hanya menjawab seperlunya saja, pernah suatu hari di rumah sudah tidak ada apa-apa bahkan untuk makan dan membeli kebutuhan anak kami saja tidak bisa.
Aku pun merelakan cincin yang pernah mas hendi berikan dulu saat melamar ku, aku memutuskan menjualnya untuk menutupi kebutuhan kami sekeluarga selama beberapa hari, lagi pula cincin itu sudah lama tidak aku pakai karena sudah tidak cukup lagi di jari ku ini.
Sejujur nya cincin itu hendak aku berikan kepada putri pertama kami untuk menjadi kenangan nantinya, tapi aku tidak punya pilihan lain selain merelakan cincin itu untuk di jual.
"Mas bagaimana kalau kita jual saja cincin ini untuk memenuhi kebutuhan kita, uang nya lumayan kan…?" Kata ku sambil memperlihatkan cincin yang memang aku simpan di dalam lemari kepadanya.
"Tapi itu kan cincin kamu, mas memberikan cincin itu di saat akan melamar kamu" sahut mas Hendi sambil mata nya melihat kearah cincin yang aku pegang.
"Ya tapi mau bagaimana lagi hanya ini yang kita punya sekarang, kamu tahu kan keperluan via sangat banyak belum lagi popok dan susu nya yang sudah habis, memang nya kamu punya uang untuk membeli itu semua...??" Tanya ku
Mas Hendi tampak diam dan berpikir sejenak, jujur saja sebenarnya aku juga tidak rela kalau cincin ini harus dia jual, tapi ya mau bagaimana lagi saat ini kami tidak punya pilihan.
"Baiklah kita jual saja cincin itu dulu dan nanti jika mas punya uang pasti mas akan mengganti nya" kata mas Hendi pasrah
"Iya mas"
Setelah mengatakan itu kami pun mulai bersiap-siap pergi ke pasar untuk menjual cincin itu, 400 ribu rupiah uang yang ku dapat pada waktu itu.