"Manusia kurang ajar!"
Dylan merasakan tubuhnya terdorong, ia menabrak dinding dan pedangnya terjatuh ke lantai. Laki-laki itu mengerang pelan sambil memegangi kakinya.
Laki-laki itu ingat, ketika ia pertama kali bertemu dengan Karren. Hari di mana ia dan Leo baru saja kembali dari akademi militer.
Waktu itu ia melihat Karren seperti seorang malaikat yang turun ke bumi, wanita itu cantik dan luar biasa.
Tapi pada kenyataannya ia adalah seorang Iblis.
BRAKH!
Dylan berguling ke samping sembari mengambil pedangnya, ketika Karren datang mendekat, ia langsung mengayunkan pedang hingga suara yang keras itu terdengar.
"Kenapa?"
Sorot mata Karren terlihat aneh, wajahnya terlihat tidak nyaman dipandang dengan sebuah seringai lebar menghiasi wajahnya.
"Padahal aku memiliki anak denganmu, tapi perasaanmu hanya sebatas itu?" Karren berkata dengan nada datar, jelas ... ia terlihat sangat marah.
"Berhenti membicarakan tentang anak." Dylan mengayunkan pedang dan menerjang ke arah Karren, wanita itu berteriak dan mereka beradu sekali lagi.
"Kenapa? Kau tidak ingin melihat wajah anakmu?" Karren mendengkus, belum sempat ia berbicara lebih banyak, Dylan mendorong pedang ke lehernya dan ia terjatuh ke lantai.
ZRAKH!
Dylan tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia menindih tubuh karren dan pedangnya menancap di leher wanita itu, walaupun ular-ular kecil muncul dan menggeliat, kali ini Dylan tidak membiarkannya begitu saja, ia mengeluarkan tali dan mengikat leher Karren.
"Aku tidak pernah punya anak denganmu." Dylan menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Apa kau pikir aku begitu bodoh?"
"Apa yang kau katakan? Kita jelas-jelas melakukannya di malam itu." Karren mengangkat tangannya yang bebas dan menyentuh lengan Dylan dengan gerakan yang sensual. "Aku bahkan masih ingat bagaimana kau …."
"Aku mungkin memang sudah buta karenamu," lanjut Dylan tanpa terpengaruh sedikit pun, ia mendengkus kasar. "Tapi aku memiliki sahabat yang tidak akan membiarkan aku jatuh begitu saja."
Karren diam, matanya menatap Dylan dengan tatapan penuh tanya.
Dylan tersenyum miring, sebelum Karren bereaksi lebih banyak Ivana datang dengan obor yang menyala di tangannya.
"Dylan!"
Laki-laki bermata abu-abu itu langsung melompat dengan pedangnya ke samping, Ivana tanpa basa-basi langsung melemparkan obor ke tubuh Karren.
"Argh!" Karren berteriak, ular-ular kecil yang menyatu di tubuhnya menghindari api, mereka merangkak menjauh dan tubuhnya menjadi terberai. "Sialan, apa yang kalian lakukan?!"
Ivana menarik Dylan mundur, mereka berdua terengah-engah. Karren terlihat memberontak di bawah api yang menyala di tubuhnya, ular-ular kecil semakin menjauh dan perlahan menjadi tidak utuh lagi, kaki yang kehilangan kulitnya dan tangan yang kehilangan jari-jarinya.
"Ivana!" Karren berteriak, ia merangkak berusaha mendekati Ivana dengan perasaan marah. "Kau … kau orang tua sialan, beraninya melakukan ini pada tubuhku …."
Karrwn mengalihkan pandangannya dengan cepat pada Dylan, laki-laki itu menatap Karren balik.
"Kau akan menyesali ini." Karren berusaha untuk menyatukan kembali ular-ular kecil yang berlarian menjauhi api yang kini membakar di rambutnya. "Kau tidak akan aku biarkan keluar dari sini hidup-hidup."
"kalau begitu coba saja." Dylan maju dan menggerakkan pedangnya dengan kuat, ia menyabet perut Karren dan tubuh itu langsung terpisah menjadi dua. "Siapa di antara kita yang bisa keluar dari sini hidup-hidup, kau atau aku?"
Ivana di belakang Dylan tidak mengatakan apa-apa, baginya mengalahkan seekor ular adalah hal kecil, apalagi ular putih yang pergerakannya jauh lebih lamban dari dirinya. Ia dengan mudah menghancurkan tubuh itu menjadi beberapa bagian dan membakarnya tanpa ampun.
Sebagai ular, Ivana tahu betul, mereka menghindari tempat yang panas dan memilih tempat yang lembab, api adalah hal yang mereka jauhi.
Karren berguling dengan sumpah serapah yang keluar dari mulutnya, ia marah dengan Ivana yang mudah sekali membakarnya dengan obor dan juga ia marah dengan Dylan.
Bagaimana bisa seorang laki-laki bisa begitu picik?!
Dalam ingatan Karren, Dylan adalah laki-laki yang patuh, ia akan mengorbankan segalanya yang ia punya hamya untuk menyenangkan Karren, ia akan melakukan segalanya dan mengiyakan apa pun yang diinginkan oleh Karren.
Tapi sepertinya ketidakhadirannya lima tahun ini membuat Dylan berubah pikiran.
Karren mendengkus pelan, kedua alisnya bertaut dalam. Perasaannya saat ini sngat tidak sebang.
"Aku mungkin tidur denganmu di masa lalu." Dylan benci mengatakan ini tapi ia tahu kalau semua itu adalah bagian dari masa lalu yang tidak bisa ia pungkiri sama sekali. "Tapi aku tahu kau tidak akan bisa mempunyai anak denganku, bukan?"
Karren menggertakkan giginya, ular berguling ke tanah yang basah dan api yang menyebar di tubuhnya mulai padam, menyisakan asap yang melayang di udara, wanita itu terengah-engah. Mungkin sepanjang hidupnya baru kali ini ia mengalami hal yang tidak menyenangkan seperti ini.
"Sepertinya kita memang tidak memiliki sesuatu lagi untuk dibicarakan." Tubuh Karren yang terpisah menjadi dua itu menyatu berkat ular-ular kecil yang kembali mendekat, wanita itu kembali berdiri walau tampilannya tidak sebagus yang tadi. "Aku membencimu sampai mati."
"Aku juga." Dylan menggerakkan pedangnya dan Ivana yang ada di sampingnya juga melakukan hal yang sama. "Aku lebih membencimu dan berharap kau yang mati hari ini."
Di detik berikutnya ketiga orang itu kembali terlibat pertarungan yang sengit, tidak jarang desisan ular terndengar nyaring hingga rasanya mampu menggetarkan dinding yang ada di sekitar.
Sementara itu di bawah, Leo berdiri bersama Renee memegang sebuah obor dan menatap lurus ke depan. Mereka berdua mendengar keributan yang terjadi di atas dan beberapa kali teriakan seorang wanita terdengar, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang bicara.
Aap yang ada di atas sana bukan ditakdirkan untuk mereka ikut campur. Lebih baik mereka fokus ke tempat selanjutnya dan mengetahui siapa sebenarnya Tuan yang sebenarnya di keluarga Fern ini.
Setidaknya kalau ini berakhir, mereka bisa memastikan kalau tidak ada hal seperti imi menganggu kota Dorthive lagi dan mereka bisa hidup dengan damai.
"Jangan katakan apa pun." Leo berkata tanpa melihat ke arah Renee, pergi ke tempat ini bersama Renee saja rasanya sudah sangat berat. Untungnya ia dan Renee tidak terpisah meski retakan telah membuat mereka jatuh ke bawah.
Leo bersyukur tentang itu, tapi ia juga kasihan dengan Dylan yang tertinggal bersama Ivana di atas sana. Semoga saja sahabatnya itu akan baik-baik saja sampai mereka kembali naik ke atas.
"Aku tidak menyuruhmu pergi dariku." Renee menarik napas dalam-dalam, di depan mereka genangan air yang tinggi dan dingin terlihat. "Kita akan melewati tempat ini bersama-sama."
Leo memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam, merasa lega atas apa yang Renee katakan padanya.
"Oke."
Mereka harus mengakhiri ini segera.