下載應用程式
96.15% Kawin Paksa (My Flatmate Husband) / Chapter 74: BAB 74: Taruhan

章節 74: BAB 74: Taruhan

Adelia merasa kepalanya seperti terpanggang. Ia telah membaca bolak-balik ketiga tugas yang akan ia serahkan besok dan lusa, namun ia merasa belum terlalu yakin dengan tata bahasa Inggrisnya. Mungkin banyak orang mengira, mahasiswa yang belajar di negara berbahasa inggris akan secara otomatis paham dan fasih akan bahasa tersebut. Tidak sepenuhnya benar. Adelia masih cukup percaya diri dengan bahasa inggris sehari-hari berkat segala macam les sejak kecil dan sering jalan-jalan keluar negeri. Tapi tentu saja berbeda bila harus membuat karya tulis dalam bahasa ini. Kosa kata yang digunakan, bahasa formal yang jarang digunakan dalam percakapan serta grammar yang sering di sepelekan, menjadi tantangan yang serius.

Adelia mencetak tugas-tugas itu di kertas-kertas bekas pakai. Ia menyeret kertas-kertas itu menuju dapur, tempat ia akan memajakan lidah dan seluruh tubuhnya. Adelia mengambil bumbu bolognese sekotak kecil. Malam sebelumnya, ia membuat sekilo bumbu bolognese dan membaginya menjadi 5 kotak, porsi untuk per dua kali makan. Dengan begitu, kapanpun ia mau makan pasta, ia tinggal mengambil sekotak, rebus segenggam pasta dan memarut keju cheddar dan mozarella. Kali ini Adelia ingin membuat seloyang pasta. Setelah menghabiskan 15 menit untuk memanaskan bumbu bolognese, membuat saus putih dan merebus pasta lembaran, snack sore Adelia masuk ke dalam oven.

"Hey Adelia what's up? You look nasty girl! (Hey Adelia, ada apa? Kau terlihat menyedihkan, girl!)", sapa Marvin dengan gaya ala-ala pemain basket. Adelia yang tengah duduk sambil memandangi makalah-makalahnya, mendongak sejenak ke arah Marvin dan tersenyum lirih. Mata pandanya tampak seperti ia memakai maskara berlebihan di bagian bawah matanya, kemudian diguyur oleh air mata.

"I am toasted with these assignment. It's due tomorrow and the day after. Yet, I haven't finished profreeding it (Aku sudah terpanggang dengan tugas-tugas ini. Besok dan lusa akan dikumpulkan. Tapi, aku belum selesai memeriksa kata-katanya", jelas Adelia sambil menunjuk tugas-tugas itu dengan bibir runcingnya.

"Hey just proofread it! What's the problem?", tanya Marvin santai. Adelia memandang tajam teman serumahnya itu.

"Since English is not my first language, I found it extremely difficult. All this marketing, finance and communicatin term, conflicts with formal and sophisticated English. I found myself lost in my own writing (Karena bahasa inggris bukanlah bahasa utamaku, aku merasa ini sangat sulit. Semua istilah dalam marketing, keuangan dan komunikasi, berkonflik dengan bahasa inggris yang formal dan canggih. Aku merasa bahkan aku tersesat dalam tulisanku sendiri)", curhat Adelia dengan depresi.

Tepat saat itu juga, tercium wangi keju cheddar berpadu dengan mozarella dari oven, yang menandakan lasagna itu sedang terpanggang dengan sempurna. Mata Marvin melotot ke arah oven, karen tiba-tiba saja ia merasa perutnya keroncongan.

"Heemm...you know, English is my first language. Even though I was born in Africa, but my whole family is english minded. I never went to non-english school. So, maybe I can help you a little", usul Marvin sambil menaik-naikkan alisnya engan antusias. Mata Adelia nyaris copot keluar ketika ide itu tercetus!

"Serius??? Eh I mean, really? Ahhhh you're so nice Marvin! How should I pay you?", tanya Adelia basa basi sambil menyerahkan dengan sukarela makalah-makalahnya dan pensil mekanik. Marvin tersenyum licik sambil menunjukkan oven dengan dagunya. Adelia perlu beberapa detik untuk memahami apa yang dimaksud Marvin.

"You're neck is hurt? (lehermu sakit?)", tanya Adelia. Karena leher Marvin terlihat berputar seakan-akan menjadi gila. Marvin depresi. Ia terus saja memainkan rahangnya, namun kali ini bibir tebalnya ikut menunjuk ke arah oven.

"Your lips hurt too? (bibirmu sakit juga?)", tanya Adelia semakin panik. Ada apa ini? Marvin bertambah depresi. Ia memicingkan matanya dan rahang serta pipinya berkedut-kedut lucu.

"Grrr Adelia. You're very slow. What I meant was, I would like anything that you bake in that oven! I am willing to help you in return to that delicious thing (Grrr Adelia. Kamu ini lambat sekali. Maksudku adalah, aku mau apapun yang kamu panggang di dalam oven itu! Aku bersedia membantumu dengan balasan yang lezat itu)", kata Marvin sambil kembali menggerak-gerakkan lehernya ke arah Oven. Adelia tertawa mengikik.

Sambil menunggu lasagna matang, mereka berdua membahas tugas-tugas Adelia. Walau sudah belasan kali Adelia memeriksa, ternyata Marvin mampu menemukan kesalahan-kesalahan dan menyarankan penggunaan kata-kata yang lebih susuai untuk tugasnya itu. Adelia seakan-akan ingin mengeluarkan air mata ketika akhirnya dalam waktu satu jam saja, tugas-tugas itu sudah selesai di periksa. Marvin pun tampak puas dengan lasagna bikinan Adelia. Setelah selesai, Adelia memutuskan untuk menemani Marvin menonton pertandingan Rugby piala dunia di televisi.

"Hey Adelia, both of Australia and South Africa have a big chance to win the world cup. Now they're are playing in Australia. I bet South Africa will win! (Hey Adelia, baik Australi dan Afrika Selatan memiliki kesempatan untuk memenangkan piala dunia. Sekarang mereka sedang bermain di Australia. Aku bertaruh, Afrika Selatan pasti akan menang!)", jelas Marvin. Adelia melihat skor pertandingan yang sudah berjalan setengah jalan. Skor mereka hampir berimbang.

"Nah, Australia will win this time! (Nah, Australia akan menang kali ini!)", spekulasi Adelia sambil meminum air dari tumblernya. Marvin langsung melirik Adelia dengan tatapan kejamnya, seakan ada laser merah yang mencuat dari matanya. Adelia berpura-pura santai, karena sepertinya ia tengah menyinggung ego seorang fans.

"What? Their score is tight, and Australia is playing in their home based. Of course they will win this time. Just see (Apa? Skor mereka sangat ketat, dan kali ini Australia bermain di kampungnya sendiri. Tentu saja mereka akan menang kali ini. Lihat saja)", jelas Adelia santai. Marvin menjadi sangat tidak santai. Selama 15 menit kemudian, ia sibuk berteriak-teriak, mengumpat dan berdansa sambil berdiri ketika sang jagoannya mencetak gol. Adelia masih santai dan kekeh akan pendapatnya.

"Hey what's up guys?", tanya Gavin yang tiba-tiba muncul di common mereka.

"Adelia and I are betting for the world cup. Adelia said that if South Afrika win this battle, she will give me 100 dollar and massage my neck! (Adelia dan aku sedang bertaruh untuk piala dunia. Adelia berkata bila Afrika Selatan menang pada pertandingan ini, dia akan memberikan aku 100 dollar dan memijat leherku!)", jelas Marvin sambil menunjuk leher betonnya. Adelia panik. Yang benar saja, terakhir kali ia kalah bertaruh dari Marvin, tangannya pegal harus memijat leher batunya itu. Lagi pula, siapa yang menyinggung soal taruhan 100 dollar!

"I did not! I did'nt say anything (Aku tidak. Aku tidak berkata apapun)", sangkal Adelia ketika ia tersedak oleh air minumnya sendiri. Tangannya ia kibas-kibaskan dengan cepat.

"Who do you think will win this time? (siapa menurutmu yang akan memenangkan pertandingan ini?)", tanya Marvin kepada Gavin. Adelia menggeleng pelan ke arah Gavin sambil melotot, seakan-akan ingin mengatakan tidak usah ikutan. Ia kana menyesal. Adelia sendiri sudah menyesal menonton pertandingan itu! Gavin pun sepertinya tidak ingin kena getahnya.

"I... I... leave the bet to you guys. I know nothing bout rugby, footy or football. For me they are just guys who wears tight and... and....(Aku biarkan taruhan ini kepada kalian saja. Aku tidak tahu apapun tentang rugby, footy atau football. Bagiku, mereka hanyalah para cowok yang mengenakan celana ketat dan...)", Gavin tidak berani meneruskan kata-katanya ketika Marvin melotot marah kepadanya. Adelia pun tak kalah sewot mengutuk kebodohan Gavin. Tega-teganya ia menyinggung ego seorang pecinta olahraga. Hah, hanya cowok dengan celana ketat???

"Guys who have tight schedule, I mean (Para cowok yang memiliki jadwal ketat)", koreksi Gavin. Adelia tidak mampu menahan tawanya. kata tight bisa memiliki arti yang berbeda disini. Tapi Marin masih sakit hati. Bokongnya terus menerus naik turun seiring dengan memanasnya pertandingan di waktu-waktu terakhir.

Seperti yang Adelia perkirakan, Australia memenangkan pertandingan itu. Marvin melonglong sedih dan berjalan mondar-mandir tidak terkendali. Akhirnya ia mengambil sebotol bir dan menghabiskannya dalam beberapa tegukan saja. Ia berjalan ke kamarnya, dan kembali untuk memberikan Adelia uang 100 dollar. Mata Adelia menjadi secerah lautan di musim semi. Mimpi apa dia? Bermodal setengah Loyang lasagna, tugas-tugasnya selesai dan ia mendapat 100 dollar!

"Adelia, in one week, they are going to play again in South Afrika. Let's do another bet. Australia versus South Africa! (Adelia, dalam satu minggu, mereka akan bermain lagi di Afrika Selatan. Ayo kita bertaruh lagi. Australia melawan Afrika Selatan!)", usul Marvin dengan emosi. Adelia tersenyum manis sambil membolak-balikkan uang 100 dollar di tangannya.

"Ok, I will bet for South Africa this time. They sure gonna win (Ok, aku akan bertaruh untuk Afrika Selatan kali ini. Mereka pasti akan menang)", ujar Adelia sambil melipat uang 100 dollar itu dan memasukkannya ke dalam sarung HP miliknya.

"Noooo nooooo. You have to be consistent. You have to pick Australia! (Tidaaakkk tidaaakk. Kamu harus konsisten. Kamu harus memilih Australia)", jawab Marvin sambil blingsatan. Adelia menggeleng imut.

"Noo noo noo I don't want to lose. I wanna pick South Africa too (Tidak tidak tidak aku tidak mau kalah. Aku juga ingin memilih Afrika Selatan)", rengek Adelia. Sesungguhnya ia tidak ingin kehilangan uang 100 dollar yang baru saja ia dapatkan. Gavin mencolek lengannya.

"Just choose Australia, and come with me now (pilih saja Australia dan ikut aku sekarang)", tutur Gavin sambil mengajak Adelia keluar. Adelia bingung.

"Where to? (Mau kemana?)", tanya Adelia.

"Get your panda look a fresh air and get your money (Mengajak muka pandamu itu mencari udara segar dan untuk mengambil uangmu)", jawab Marvin sambil terus berjalan menuju pintu keluar. Adelia langsung berlari ke kamarnya untuk mengambil tas mungil, long coat dan sepatu boot bulunya.

Mereka berjalan menuju coles. Udara sore hari benar-benar menyejukkan pipi dan mata Adelia. Membekukan lebih tepatnya. Musim dingin di Australia sudah mulai menggigit. Terakhir kali ia keluar adalah 2 hari yang lalu ketika ia menyelesaikan kelas terakhirnya untuk semester ini. Presentasi kelompoknya di acungi jempol oleh dosen dan teman-teman sekelasnya. Adelia merasa, sebuah kemenangan yang berdasar atas kerja keras memang sangatlah manis. Begitu ia menyerahkan perbaikan terakhir dari tugas-tugas yang telah di bantu oleh Marvin, ia hanya perlu berkonsentrasi untuk ujian empat mata kuliah saja.

"Let's Bet! What is this place Gave? (Let's Bet! Tempat apa ini Gave?", tanya Adelia ketika mereka berhenti di salah satu ruko di kompleks coles itu. Adelia belum pernah sampai ke sudut ini sebelumnya, sehingga ia baru menyadari ada toko itu.

"It's a sport bet. People will come here and place their bet to every game in the world. I bet the next week game Australia versus South Africa is availabe for bet now (Ini adalah tempat taruhan olahraga. Orang-orang akan datang ke sini dan memasang taruhan mereka untuk segala pertandingan di dunia. Aku bertaruh, pertandingan minggu dengan Australia melawan Afrika Selatan juga sudah ada disini)", seru Gavin sambil menuntun Adelia masuk ke dalam.

Adelia tercengang dengan penampilan interior toko tersebut. Begitu banyak layar televisi berjejer dari ujung ke ujung, yang menampilkan segala macam pertandingan olahraga di seluruh dunia secara langsung. Beberapa layar menampilkan nilai dari taruhan-taruhan dari pertandingan tersebut. Gavin tampak sedang berbicara dengan salah satu petugas.

"Adelia, you can bet for South Afrika next week, the odd is 1:4. So if you bet 100 dollar, you will win 400 dollar! (Adelia, kamu bisa bertaruh untuk Afrika Selatan disini minggu depan, Kemungkinannya adalah 1:4. Jadi bila kamu bertaruh 100 dollar, kamu bisa memenangkan 400 dollar!)",jelas Gavin. Mata Adelia kontan menjadi hijau. Ia segera memeriksa isi dompetnya dan hanya menemukan 275 dollar dan beberapa koin. Ia langsung menyerahkan 250 dollar kepada Gavin. Biar saja ia kalah dari Marvin 100 dollar, toh ia bisa mendapat 1000 dollar disini!

"You are sure that South Africa will win right? (Kamu yakin Afrika Selatan akan menang kan?", tanya Gavin sambil menerima uang dari Adelia. Ia mengangguk yakin. Sang petugas menyelesaikan transaksi mereka, sementara Adelia sibuk menghitung uang kemenangan yang belum pasti di otaknya.

"Hey Adelia, I think that's your husband (Hey Adelia, sepertinya itu suamimu)", tutur Gavin menunjuk Bastian yang sepertinya baru saja keluar dari coles bersama Maretha. Adelia kontan panik dan berusaha untuk bersembunyi di balik punggung Gavin.

"Gavin, not one word (Gavin, tidak satu kata pun)", pinta Adelia. Ia hanya ingin segera pulang. Gavin mengangguk patuh kepada Adelia. Namun kemudian ia berteriak kepada Bastian dan Maretha yang berjarak 10 meter dari tempat mereka berdiri. Kontradiktif dari permintaan Adelia sebelumnya! Grrrrrr….

"Ahoy Maretha, let's grab some pizza and eat at home! (Ahoy Maretha, ayo kita beli beberapa pizza dan makan di rumah!)", ujar Gavin. Tentu saja kelakuannya menyebabkan kedua orang itu menyadari kehadiran Gavin dan Adelia di sekitar kompleks coles itu. Bastian yang sedang memegang beberapa tas belanja menoleh ke arah Adelia. Istrinya itu ingin membuang mukanya, namun ia bingung harus membuangnya ke arah mana. Gavin terus saja berjalan kearah mereka dan sepertinya terjadi percakapan yang cukup serius. Adelia berjalan sepelan mungkin, seakan tidak ingin bergabung dengan kelompok.

"Adelia come on!" Kata Gavin sambil menyeret Adelia menuju Bastian dan Maretha. Adelia dengan enggan bergabung. Bastian tidak berkedip menatap Adelia yang diseret dengan begitu posesif oleh Gavin. Mungkin di luar negeri, biasa seorang teman berpegang tangan dengan istri orang lain. Namun hal ini sedikit menggelitik perasaan Bastian. Apalagi setelah Adelia bergabung, Gavin terus saja merangkulnya agar jalan Adelia bisa mengikuti langkah yang lain.

"Kalian pesen aja pizza, aku tadi udah makan lasagna sama Marvin", tutur Adelia ketika mereka berempat sudah sampai di common room flat 27.

"Aku mau lasagna juga", pinta Bastian tegas. Adelia menatapnya dengan sinis. Siapa juga yang nawarin?

"Udah abis", balas Adelia sambil mengambil aba-aba untuk masuk ke dalam kamarnya.

"Bikin lagi donk. Kok sama orang lain di bikin, tapi kami enggak?", hardik Bastian sambil mengambil tempat di salah satu kursi meja makan. Maretha memperhatikan Bastian dengan kesal. Ingin rasanya Adelia menjawab pertanyaan itu dengan pernyataan-pernyataan yang akan menyayat telinganya, namun ia simpan energinya untuk membaca buku teori komunikasi. Ia tersenyum sopan kepada Bastian, Maretha dan Gavin dengan sedikit membungkuk, dan ngacir ke dalam kamarnya.

Adelia membuka paksa buku-buku yang berserakan di meja belajarnya. Ia melirik sekilas ke arah pintu yang sengaja tidak ia kunci. Dalam hati kecilnya, ia berharap Bastian akan mengetuk atau bahkan memaksa masuk ke dalam kamarnya. Entah itu untuk mengajak ngobrol, memberinya potongan pizza, atau bahkan untuk berantem. Entah kenapa ia sedang haus kasih sayang dan perhatian tapi terlalu gengsi untuk memintanya. Alih-alih, Bastian memiliki begitu banyak waktu luang untuk berjalan-jalan dengan Maretha?

Adelia terus saja berusaha membaca dan menghafal materi yang sebelumnya sudah ia warnai dengan spidol terang. Per 20 menit, ia akan kembali melirik pintu kamarnya. Pintu itu belum juga terbuka, atau bahkan sekedar di ketuk. Ia kembali lagi ke materi pelajaran. Tidak terasa, 4 jam sudah berlalu hingga Adelia lelah. Waktu telah menunjukkan waktu hampir pukul 10 malam, dan ia kelaparan. Masih kah ada pizza tersisa?

Adelia bak zombie keluar dari kamarnya. Ia berharap semua orang sudah tertidur. Ketika ia sudah tiba di lorong, ia berpapasan dengan Bastian yang baru saja keluar dari kamar Maretha. Mereka saling berpandangan dengan kikuk.

"Del...", katanya dengan kuatir. Entah kenapa Bastian merasa kuatir Adelia akan salah paham. Ia baru saja keluar dari kamar Maretha karena ia ingin menumpang toilet. Selama berada di flat 27, ia selalu berada di dapur bersama Maretha, Gavin dan bahkan Marvin! Kenapa justru di menit-menit terakhir seperti ini, Adelia muncul?

Sebaliknya Adelia tiba-tiba merasa perutnya penuh dengan kekesalan sehingga laparnya hilang. Ia kembali masuk ke dalam kamarnya dengan cepat, namun kali ini ia benar-benar mengunci pintunya! Adelia beringsut masuk ke dalam selimut dan meringkuk memeluk gulingnya. Adelia menunggu, menanti dan berharap. Tidak ada ketukan. Hatinya semakin marah. Ya tentu saja, siapa juga yang ingin mengetuk pintunya, alih-alih hatinya? Bastian hanyalah suami di atas kertas. Ia bahkan ogah memakai cincin perkawinan mereka.

Ia mengambil HP miliknya dan mulai menekan pesan kepada Lisa. Segala sumpah serapah tentang Bastian dan Maretha terurai disitu. Ketika notifkasi pesan masuk, Adelia bersiap mendengar pendapat Lisa.

"Hai Adelia, gimana persiapan ujian? Kamu sehat kan?", sebuah pesan dari Justin. Hati Adelia membuncah bahagia tiba-tiba. Ia seperti melayang jatuh ke dalam jurang, namun pada detik-detik terakhir ia dijemput oleh pangeran dengan sayap-sayap indahnya. Ia seperti ingin tenggelam ke dalam samudra, namun seorang pangeran menangkap raganya dan menenangkan jiwanya. Ada begitu banyak alasan untuk menjadi bahagia...begitulah kira-kira ucapannya...

Adelia galau...haruskah ia membalas pesan yang telah menggetarkan hatinya ini?


next chapter
Load failed, please RETRY

每周推薦票狀態

Rank -- 推薦票 榜單
Stone -- 推薦票

批量訂閱

目錄

顯示選項

背景

EoMt的

大小

章評

寫檢討 閱讀狀態: C74
無法發佈。請再試一次
  • 寫作品質
  • 更新的穩定性
  • 故事發展
  • 人物形象設計
  • 世界背景

總分 0.0

評論發佈成功! 閱讀更多評論
用推薦票投票
Rank NO.-- 推薦票榜
Stone -- 推薦票
舉報不當內容
錯誤提示

舉報暴力內容

段落註釋

登錄