"Mas Jefri! Hentikan!" pinta Jeni tanpa melihat ke arah Jefri yang tubuhnya kini menghimpit tubuh Jeni dan nyaris tak ada jarak diantara mereka.
"Kamu sudah berubah, Jen! Apa ini gara-gara, Wili?" Jefri bertanya dengan serius.
"Tidak, bukan gara-gara siapa pun! Aku hanya tidak mau terus-menerus menyakiti istrimu!" tegas Jeni. isi jantungnya begitu berdegup kencang. Jeni mencoba menenangkan dirinya. Ia hanya takut jika Jefri akan melakukan itu siang ini. Nafas Jeni yang tak beraturan membuat Jefri sadar kalau dia telah membuat istrinya sesak dan ketakutan.
Dengan segera, Jefri melonggarkan himpitannya. Ia berdiri masih di depan Jeni namum memberikan jarak agar istri mudanya itu bisa bernafas dengan lega.
"Baiklah, Jen. Kamu tidak usah khawatir. Aku akan segera menceraikan, Selin. Dan kamu akan menjadi istri satu-satunya bagiku. Tapi, harus kamu ingat! Siang ini juga kamu harus memutuskan hubunganmu dengan, Wili!" pinta Jefri dengan tegas dan penuh penekanan. Ia tampak serius dengan ucapannya karena Jefri memang tak pernah main-main.
"Kamu sudah tahu kan akibatnya kalau kamu masih berhubungan dengan, wili? Jangan pernah main-main denganku, Sayang."
Jefri kemudian mendekatkan mulutnya lebih dekat ke arah telinga Jeni, lalu berbisik. "I love you!" Dikecupnya pipi Jeni dalam beberapa detik.
Saat bibir hangat itu menempel di pipi Jeni, ia sama sekali tak merasakan getaran apa-apa. Jeni hanya merasa takut, Jefri yang sekarang tidak selembut dahulu. Jeni merasa kalau suaminya telah berubah menjadi ganas dan membuat Jeni merasa ketakutan.
Setelah mengecup pipi Jeni, Jefri melangkah mundur. Ia merapihkan Jas, kemudian keluar dari kamar Jeni tanpa pembicaraan lagi.
Jeni pun menghela nafas leganya. Akhirnya lelaki ganas itu pergi dan tak melampiaskan hasratnya. Meski pun begitu, Jefri tetap mentaati perjanjian mereka yang tak bisa melakukan hubungan cinta sesuka hatinya.
Satu hal yang membuat Jefri merasa lega adalah Jeni tak akan bisa menikah dengan siapa pun, termasuk Wili. Ia kini berjalan tenang masuk ke dalam kendaraan roda empatnya dan akan segera pergi ke kantor.
"Jeni, Jeni. Kamu memang benar-benar menggemaskan," desis Jefri berbicara sendiri saat ia mulai melajukan kendaraan roda empatnya. Bibirnya melebar karena perasaannya merasa senang.
Namun, saat setengah perjalanan, Jefri mengingat sesuatu. Ia tampak menepikan kendaraan roda empatnya, lalu mengambil ponsel yang berasa di dalam saku jasnya. Jefri tampak memainkan kedua ibu jarinya pada layar ponsel guna mengirimkan pesan kepada Jeni.
Isi pesan Jefri, sekedar mengingatkan pada istrinya itu agar selalu meminta izin saat kemana pun dia akan pergi, tanpa terkecuali. Jefri juga meminta pada Jeni untuk segera memutuskan hubungannya dengan Wili hari ini juga.
Setelah ia berhasil mengirimkan pesan sebagai penegasannya, Jefri kemudian melanjutkan perjalanannya menuju kantor. Sesampainya di kantor, ia dibuat terkejut saat melihat Wili tengah duduk santai di ruang kantornya.
Wili yang merupakan adik kandungnya memang sering kali kaluar masuk ruangan Jefri dengan bebas.
Wili sudah menunggu satu jam kedatangan Jefri. Walau pun bosan, ia tetap menunggu demi sebuah keinginan.
"Dari mana saja, Mas? Aku sudah menunggu satu jam di sini!" gerutu Wili saat melihat Jefri yang baru saja masuk dan duduk kursi kebesarannya.
"Aku tidak menyuruh kamu datang! Memangnya ada apa?" ketus Jefri tanpa sedikit pun mengukir senyuman.
"Mana uang yang lima ratus juta, Mas? Kembalikan padaku. Bukankah Mas Jefri telah memberikannya, tapi seenaknya mengambilnya kembali." Wili tampak kesal dengan kakaknya itu. Ia berpikir kalau kepergian Jeni adalah karena uang lima ratus juta kemarin yang gagal diberikan kepadanya.
Jefri tersenyum sinis sambil menggelengkan kepalanya. "Wili Wili. Bocah ingusan," cibirnya.
"Aku sudah dewasa dan aku bukan lagi bocah ingusan, Mas!" bantah Wili dengan ketus.
Kedua kakak beradik itu tampak saling berkata dengan sinis satu sama lain. Jefri yang murka melawan Wili yang murka pula.
"Untuk apa kamu meminta uang itu lagi? Jangan pernah katakan kalau uang itu untuk wanita murahan kemarin!" sergah Jefri.
"Dia bukan wanita murahan, Mas!" sanggah Wili tampak berani. Andai Jefri bukan kakaknya, tentu Wili tak akan segan-segan untuk sekedar menampar pipinya guna memberikan peringatan. Namun, apalah daya. Biar bagaimana pun Jefri adalah kakaknya yang tetap harus ia hormati.
Jefri tampak menarik sedikit bibirnya ke samping, tersenyum sinis. Ingin rasanya ia tertawa sekencang-kencangnya mencibir tingkah adiknya yang ia rasa bodoh itu. Namun cukup kasian dan urung ia lakukan.
"Lalu untuk apa kamu meminta uang itu kembali? Hah!" Jefri kembali bertanya sekedar basa-basi karena sebenarnya ia sudah bisa menebak jawaban adiknya itu.
"Gara-gara uang yang Mas Jefri ambil kemarin, Jeni kini pergi entah kemana. Aku kehilangam jejaknya," jawab Wili menggerutu.
"Apa hubungannya? Kepergian wanita itu semakin memastikan kalau dia hanya mencintai uangmu, bukan dirimu!" tegas Jefri yang terkesan menasehati. Ia begitu piawai dalam menyembunyikan kebusukannya. Menasehati adiknya, sedangkan dirinya sendiri merasa paling benar.
"Aku hanya berniat menolongnya, Mas. Dia memiliki hutang lima ratus juta. Dia dikejar-kejar penagih hutang. Akhirnya sekarang dia pergi dari rumahnya, berlari entah kemana. Katakan padaku, Mas. Laki-laki macam apa aku yang telah membiarkan calon istrku sendiri dalam masalah yang besar." Wili berusaha meyakinkan kakaknya.
'Apa! Hutang? Apa benar kalau Jeni memilki hutang? Pantas saja dia melotot saat kucuran lima miliar itu aku sodorkan. Dasar wanita mata duitan!' Jefri tampak bergumam dalam hatinya. Ia terdiam dalam beberapa detik namun bukan iba dengan cerita Wili, ia hanya terkejut mendengar penjelasan Wili jika istrinya tengah dikejar-kejar hutang.
"Kenapa diam saja, Mas? Uang lima ratus juta itu tidak besar bagimu, Mas. Tolong berikan padaku. Jangan ambil lagi apa yang sudah menjadi hakku, Mas. Biarkan aku memperjuangkan cintaku," pinta Wili dengan wajah memelasnya. Ia terus saja berusaha meyakinkan kakanya, berharap ada sedikit rasa iba yang masih tersimpan di dalam dada Jefri padanya.
"Aku bosan menasehati kamu, Wil. Bukankah kemarin sudah aku bilang kalau itu hanya bagian dari trik perempuan mata duitan seperti kekasihmu itu. Kamu jangan jadi lelaki bodoh, Wili! Buka mata kamu lebar-lebar. Di luar sana masih banyak wanita calon istri yang baik untuk kamu!" Jefri masih saja bersi kukuh.
"Oke kalau Mas Jefri tak bisa mengembalilan uang lima ratus juta itu. Akan akan minta pada Mamah hari ini juga agar Mamah yang langsung memintanya pada Mas Jefri," ancam Wili seraya bangkit dari tempat duduknya yang hari ini terasa panas.
"Ya, Oke! Aku berikan sekarang!" kata Jefri terlihat kesal. Bukan ia mengalah, ia hanya tidak mau berdebat dengan mamahnya yang memiliki penyakit tekanan darah tinggi dan diabetes. Ia tak mau membuat mamahnya banyak pikiran hanya karena masalah sepele seperti ini.
Jefri pun turut serta bangkit dari tempat duduk, ia mengambil tas berwarna hitam yang kemarin ia letakan di dalam brankas di ruang kerjanya.
"Ambil dan pergilah dari sini." Tanpa ingin memperpanjang perdebatannya, Jefri pun menyodorkan tas berwarna hitam yang berisi uang senilai lima ratus juta itu kegadapan adiknya, Wili.