Dua hari sejak ilham berada di penjara kepolisian, meri dengan rutin membawakannya makanan. Walau bukan masakan tangannya, dia selalu membawa makanan terbaik dari restoran terkenal di Los Angeles. Itu karena ia besar di kota itu jadi lidahnya cukup familiar dengan menu dan restoran yang terkenal enak di sana.
Seakan kembali saat ia selalu membawakan makanan untuk jackob. Sebenarnya, sejak ia kembali ke paris dan mendengar cerita dari bibi grace, ingatannya sudah kembali hampir seluruhnya. Setelah menemukan benda yang sudah sejak lama hilang, dia benar-benar senang dan mulai memulihkan segalanya.
Sudah dua hari ilham di tahanan dan sudah dua hari pula rafa sadar. Dia sudah terlihat merespon walaupun masih terlihat lemah. Setidaknya dia masih bernafas dan tidak terdapat cidera tulang.
Pengeroyokan itu cukup sadis karena menggunakan senjata tumpul untuk memukulinya, beruntung sedikit bekal beladiru serta latihan juga fitnes membuat rafa merasa terbiasa dengan pukulan itu.
Hanya pukulan pada bagian kepala dan dada yang membuatnya tersungkur tak berdaya dan berakhir di ranjang rumah sakit. Meri tidak henti-henti memperhatikan kakaknya.
Usai mengurus rafa, dia akan segera pergi ke kantor polisi. Begiyulah dia selama dua hari itu. Segala perhatiannya tercurah pada dua pria malang itu dan tanpa memperhatikan bahwa selama itu seseorang terus mengawasinya.
Hari inipun ia masih sama. Berjalan menuju parkiran untuk memanggil taksi dan segera menuju ke kantor polisi dengan kotak makanan di tangannya.
Tiba di halaman kantor, meri berjalan masuk dengan santai tanpa perasaan ragu atau firasat buruk apapun. Saat ia sudah akan mencapai tempat di mana banyak pengunjung turun dan naik dari mobil, sebuah minivan tiba-tiba melaju kencang ke arahnya.
Sedetik kemudian, dia merasa tubuhnya terbang dan terhempar ke badan aspal. Suara teriakan terdengar nyaring di mana-mana di iringi langkah kaki yang mendekat.
Meri hanya merasakan perih pada bagian belakang hingga kepalanya dan mulai merasakan sesuatu yang basah di sekujur tubuhnya. Suasana riuh itu berubah kepanikan.
"panggil ambulance"
"oh tidak. Sepertinya dia hamil dan keguguran"
"tidak, itu pasti darah dari kepalanya yang membasahi sekujut badannya"
"panggil suaminya. Dia di tahan di dalam"
Meri masih mendengar semua suara jeritan penuh kekhawatiran itu tapi tidak sempat memikirkan hal lain dan hanya memandang kosong ke arah langit yang semakin buram.
Di dalam tahanan, ilham berlari keluar seperti orang yang kehilangan akal setelah mendengar istrinya tertabrak mobil tepat di halaman kantor polisi.
"minggir. Minggir" ilham menggeser kerumunan itu, membelah mereka untuk mengambil jalan menerobos ke tengah.
Matanya seketika berair melihat betapa mengenaskannya keadaan istrinya saat ini.
Meri masih membuka matanya saat ilham menghampirinya, namun tidak dapat melihat dengan jelas siapa yang berada di sekelilingnya termasuk ilham. Dia hanya melihat seseorang dengan warna pakaian yang tidak asing baginya.
"meri. Apa kau mendengarku?"
Baru setelah mendengar suara itu dia mengenalinya. Dia sudah mengeluarkan tenaganya untuk menimbulkan suara bahwa dia masih mendengarnya tapi nafasnya tersengal mengunci suaranya hanya di kerongkongan.
Melihat tak ada respon, ilham merasa langit akan runtuh menimpanya. Dengan frustasi dia mengusap kepalanya.
Di kejauhan, seorang pria tua di seret masuk ke dalam kantor polisi dan melirik sekilas ke arah wanita yang baru saja tertabrak. Ilham melihatnya melalui celah dari kerumunan dan mengenalinya sebagai pria yang selama ini di lindunginya.
Hatinya semakin sakit melihat kenyataan itu. Dia memelihara anjing penjaga dan seketika menerkam wanita yang di sayanginya lebih dari nyawanya.
"ambulance, panggil ambulance" teriak ilham.
Karena kondisi meri yang sangat parah, dia bahkan tidak berani menyentuhnya pebih dati sekedar memeriksa denyut nadi dan pernafasannya.
"sayang, bertahanlah. Aku mohon" pintanya berderai air mata.
"tetaplah terjaga. Gerakkan jarimu"
Respon saraf meri sangat buruk. Tidak ada yang tahu betapa sakit hati seorang suami menyaksikan istrinya terkapar karena ulah ayahnya dan tidak bisa melakukan apa-apa bahkan dengan gelar ahli bedah saraf.
Ambulance datang dengan sebuah tandu dan dua orang ahli medis. Namun mereka terkejut bahwa yang terkapar dan wali korban adalah teman dan dosen mereka.
"penyangga leher" ilham sendiri yang menangani istrinya.
Dia tahu gerakan tangannya mungkin gemetar tapi ia masih cukup percaya diri untuk melakukan penyelamatan.
Mereka dengan cepat memindahkan meri ke brankar, mendorongnya ke ruang ICU namun ilham memerintahkan langsung ke ruang operasi.
"dokter, kita setidaknya perlu melakukan pindai" ujar salah seorang residen yang membantu mendorong brankar.
"tidak perlu. Katakan pada departemen obgin untuk datang dan bersiap untuk oprasi kuretase. Panggil ahli bedah saraf terbaik di rumah sakit ini dan katakan, cidera batang otak. Siapkan juga darah golongan AB positif sebanyak yang kalian miliki"
Perawat dan dokter yang mendengar diagnosa tanpa pemindai itu tercengang. Mereka jelas bukan tuhan yang serba tahu hingga pada isi hati manusia.
Sudah jelas mereka bersama sejak di lokasi kejadian dan belum melakukan pemeriksaan mendalam tapi pria itu bahkan sudah mampu menarik kesimpulan hanya dengan melihat posisi jatuh pasien.
"apa yang kau tunggu. Lakukan sekarang"
"ah iya"
Rumah sakit itu seketika gempar dengan kehadiran ilham yang selalu mendominasi dimanapun dia berada. Mulai dari ketampanan, pembawaan, aura hingga setiap kata yang keluar dari bibirnya selalu memcengangkan.
"dokter. Semua sudah siap"
"baik, mari kita mulai"
"prof, anda tidak di perbolehkan untuk ikut dalam operasi ini. Pasien adalah istrimu dan salah satu etika kedokteran untuk tidak membiarkanmu melakukan operasi pada kerabatmu sendiri" salah seorang ahli bedah saraf menahan ilham yang akan masuk ke ruang operasi.
"aku hanya akan menjadi asisten dokter" kata ilham keras kepala.
"tetap tidak bisa. Itu akan memberi tekanan psikis pada dokter yang melakukan bedah. Tetaplah tenang. Kami akan melakukan yang terbaik untuk menyelamatkannya"
Di ruang operasi, alat pindai sudah di siapkan. Mereka jelas tidak berani mengambil resiko dengan mengoperasi tanpa mengetahui letak pasti cidera. Terlebih itu adalah bagian kepala. Salah sepersekin centi dan pasien dapat mengalami cacat bahkan kehilangan nyawa.
Satu jam pertama, ruang operasi terlihat tenang namun di jam berikutnya, perawat yang membantu operasi itu keluar masuk ruang operasi dengan langkah panjang. Mereka terburu-buru dengan kantong darah juga alat defibilator.
Melihat ke kacauan itu, jantung ilham turut berdetak kacau. Dia tidak akan sanggup menerima kenyataan jika istrinya pergi bersama dengan bayinya.
Di ruang operasi, semuanya menjadi kacau karena terdapat pendarahan lain di tempat yang sangat beresiko.
Di tempat lain, andre yang mendengar berita buruk itu berlarian mengejar waktu berharap tidak terlambat untuk bisa melihatnya. Junior yang juga ikut bersamanya seperti terlempar di atas arena trampolin karena berada di punggung ayahnya yang terus berlari tanpa lelah. Dia terlihat bingung melihat ayahnya berlari ke rumah sakit lain, namun menilai ekspresi kecemasan dan kesedihan di matanya, dia tahu itu jelas bukan hal yang baik.
Ayahnya tiba-tiba menyambar tangannya yang sedang memijat lembut tangan rafa dan berteriak meminta maaf karena harus meninggalkan rafa dan istrinya untuk keadaan darurat. Setelah itu, junior melihat dirinya sudah berada di punggung ayahnya, melaju di jalan raya dengan kecepatan di luar batas dan kembali berakhir di punggung ayahnya.
"suster, korban kecelakaan di depan kantor polisi?" tanya andre terengah-engah.
"dia masih berada di ruang operasi. Di ujung koridor belok kanan lalu naik lift ke lantai tiga" suster itu memberi arahan singkat melihat sikap terburu-buru dari andre yang ia duga keluarga pasien.
Tidak menunggu untuk mengucapkan terima kasih, andre kembali berlari mengikuti arahan suster itu dan naik ke lantai tiga.
Keluar dari lift, dia melihat pintu ruangan itu terlihat kacau dengan orang berbaju hijau dengan masker dan penutup kepala berlarian keluar masuk.
Di sudut lain, ilham terus berjalan tak tentu arah sambil sesekali menatap jam tangan dan pintu operasi bergantian.
Andre dengan segera menghampirinya, memberondongnya dengan pertanyaan yang terasa kelu untuk di jawab. Bibirnya bahkan bergetar menahan kepedihan hatinya untuk mengakui bahwa semua yang terjadi karena kesalahannya.
"aku sudah mengatakan hal ini sebelumnya. Psikopat itu seharusnya sudah lama mati"
Frustasi, ilham menggaruk kepalanya dengan wajah suram dan mata berkaca-kaca.
Di hadapannya juniot berdiri mematung masih mencoba mencari tahu mengapa mereka berdiri di depan ruang operasi. Dan siapa yang berada di dalam sana yang membuat dua pria dewasa itu kalang kabut dan siapa psikopat yang di maksud ayahnya.
"dadi, bukankah seharusnya kau di kantor polisi bersama ibu?"
Mendengar pertanyaan putranya, ilham tidak bisa untuk tidak merasa hatinya terbakat dengan penyesalan.
"junior, ibumu di dalam sa..."
"andre. Apa kau tidak memikirkan psikisnya" teriak ilham memotong andre untuk memberitahu situasi sebenarnya.
"apa? Lalu apa yang harus kita katakan? Apa kau pikir dia anak kecil lugu yang hanya akan mengangguk saat kau mengatakan ibunya berjalan-jalan, berbelanja atau berkeliling kota?" bentak andre.
Melihat dua pria itu berdebat antara memberitahunya atau tidak di tambah lagi kekhawatiran mereka, pertanyaan yang di ajukan ayahnya kepada suster membuatnya memgerti.
Matanya tertuju pada pintu operasi dan saat melihat seorang wanita dengan wajah dan kepala tertutup keluar, dia berlari menghampirinya.
"apa ibuku akan baik-baik saja?" memegang ujung baju wanita itu untuk menahan langkahnya junior bertanya serius dengan mata yang sudah berembun dengan air mata.
Wanita itu berjongkok sebentar untuk memberikan ketenangan kepada anak kecil itu.
"dia akan baik-baik saja"
Respon yang di berikan junior lebih tenang dari yang bisa orang dewasa bayangkan. Dia hanya mengangguk setuju dengan pernyataan suster itu seakan juga yakin bahwa itulah yang akan dan seharusnya terjadi. Dia bahkan menghapus air matanya, takut itu akan menjadi kutukan buruk untuk kondisi ibunya.
Tiga pria itu kini duduk di kursi dengan tenang menunggu operasi itu selesai. Tak ada suara apapun yang terdengar kecuali suara kaki lalu lalang. Semuanya terdiam hingga andre memecah kebisuan itu.
"seberapa buruk keadaannya?"
"sangat buruk, bahkan jika dia selamat aku tidak tahu seberapa besar dia akan bertahan jika tahu dia tidak akan bisa menjadi ibu lagi" jawab ilham ketir.
Sangat jelas dari nada suaranya bahwa bukan hanya meri, dia sendiri terpukul dengan kenyataan ini.
"apa maksudmu?"
"kami harus kehilangan bayinya"
"meri sedang hamil?" andre bertanya untuk memastikan maksud dari kalimat yang ia dengar.
"Mmm"
Terkejut, itulah yang bisa di gambarkan setelah melihat ekspresi andre mendengar kenyataan itu. Ia merasa seakan terlempar ke tujuh tahun silam.
"dia masih bisa memilikinya lagi nanti. Yang terpenting adalah dia selamat"
Ilham dengan lemah menggelengkan kepalanya. "tidak akan ada lain kali. Rahimnya sudah bermasalah saat melakukan operasi kelahiran junior. Kehamilannya kali ini bahkan terlalu lemah dan dengan kecelakaan ini, rahimnya terpaksa di angkat atau itu akan menimbulkan masalah yang pebih fatal di lain waktu"
"omong kosong. Ilham, aku tahu kau jenius tapi obgin bukan bidangmu. Kau hanya seorang ahli bedah saraf. Kau juga manusia biasa dan bukan tuhan yang bisa menentukan masa depan" andre meradang mendengar keadaan miris yang menimpa ibu satu anak itu.
"ini semua salahku"
"seberapa besar kemungkinan dia selamat?" andre terus bertanya kemungkinannya.
"tidak lebih dari 40 persen"
"ahhhh, aku akan gila. Kau bajingan, tidak bisakah kau membiarkan si tua itu mati. Aku bisa melakukannya jika itu berat untukmu"
"dia masih ayahku, apa kau tidak berpikir mengenai perasaan ibu?"
"ibu baik-baik saja sampai hari ini. Baginya pria tua itu sudah mati dan itu yang dia yakini, apa kau melihat ibu berubah gila? Dia sangat baik setelah kepergian pria tua itu" ujar andre.
"dia... Ayahku"
"huft, lihat apa yang terjadi sekarang. Untuk seorang binatang, kau mengorban dua malaikatmu dan bahkan menutup jalan untuk malaikat lain muncul. Apa yang bisa kau lakukan sekarang? Saat dia bangun dan tahu kenyataan bahwa dia keguguran dan tidak akan bisa hamil lagi, apa kau bisa menatap matanya? Apa kau akan siap melihat kesedihannya saat melihat wanita di lingkungannya hamil dan memiliki anak? Apa yang akan kau lakukan jika saat itu tiba?"
"aku akan menerimanya" ilham masih bersikeras bahwa mereka pasti bisa melewati semuanya.
"lalu bagaimana dengan meri? Apa kau pikir dia bisa tetap bahagia dengan kenyataan dia menjadi istri yang tidak bisa memnuhi kewajibannya?"
"lalu aku harus bagaimana? Kau mau aku bagaimana? Apa aku harus berlari ke kantor polisi dan membunuh ayahku sendiri? Dengan begitu apa anakku akan kembali?"
"ckckck, penyesalanmu saat ini tidak berarti apa-apa. Tunggu sampai meri terbangun dan mengetahui semuanya. Saat itu, setiap tetes air matanya akan ku hitung dengan pukulan yang akan mendarat di wajahmu"
Author kembali. Maaf baru bisa melanjutkan novel ini lagi. Semoga bisa konsisten ke depannya. Tapi untuk saat ini hanya satu chapter per hari ya.