Seorang wanita berjilbab dengan mengenakan baju pasien tengah berbaring lemah di brangkar RS, dan beberapa alat medis menempel di tubuhnya. Wanita itu adalah Nadine, sementara Devian tengah duduk di kursi yang berada di samping brangkar. Pria berkemeja putih itu menggenggam erat tangan lemah sang istri. Bahkan Devian menempelkan tangan Nadine di pipinya.
Sedih, itu yang Devian rasakan saat ini, ia tidak menyangka jika istrinya menyimpan penyakit seberat itu. Dunianya terasa berhenti berputar saat mendengar pernyataan dari dokter tentang penyakit yang istrinya derita. Devian tak henti-hentinya merutuki kebodohannya sendiri, karena sebagai suami ia sama sekali tidak mengerti akan derita yang istrinya tanggung. Devian merasa telah gagal menjadi seorang suami.
"Nadine, maafkan aku. Aku memang suami yang tidak berguna, aku telah gagal." Devian mencium punggung tangan Nadine.
Seleng beberapa menit, pintu ruang rawat Nadine terbuka. Terlihat seorang dokter dan dua perawat masuk ke dalam, detik itu juga Devian bangkit dari duduknya. Dokter tersebut berjalan mendekati brangkar dengan diikuti oleh dua perawat itu. Dokter itu segera memeriksa kondisi Nadine, sementara dua perawat itu membantu mencatat hasil pemeriksaan tersebut.
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Devian.
"Kondisinya sudah stabil, tapi untuk sementara waktu ini ibu Nadine harus banyak istirahat dan jangan terlalu banyak pikiran," jelas dokter itu.
"Apa penyakit Isti saya masih bisa disembuhkan, Dok?" tanya Devian. Ia berharap semoga dokter bisa menyembuhkan penyakit istrinya.
"Kami akan berusaha, Pak. Namun semua itu tergantung pada yang di atas. Bu Nadine baru satu kali melakukan kemoterapi, jika rutin insya Allah akan ada perubahan," jelas dokter tersebut.
"Baik, Dok terima kasih," ucap Devian. Ia tidak akan menyerah begitu saja, Nadine harus sembuh.
Setelah itu, dokter yang bernama Hendra beranjak keluar dari ruang rawat Nadine dengan diikuti oleh kedua perawat tersebut. Devian menghela napas, ia memandangi wajah pucat istrinya. Meski pucat tetapi kecantikan Nadine sama sekali tidak luntur. Devian akui, ia sangat rindu melihat senyum manis sang istri, cara dia bicara sangat ia rindukan.
Devian kembali duduk, ia juga menggenggam erat tangan Nadine. Rasanya ia tidak tega melihat wanitanya terbaring lemah tak berdaya seperti saat ini. Tiba-tiba saja jemari tangan Nadine bergerak, Devian yang merasakannya sontak mengalihkan pandangannya menatap wajah sang istri. Terlihat jelas jika mata Nadine mulai bergerak, dan perlahan kelopak matanya terbuka.
"Nadine, kamu sudah sadar. Alhamdulillah," ucap Devian, tak lupa ia juga mengucap syukur.
"Mas, aku ada di mana?" tanya Nadine dengan suara yang lemah.
"Kamu tidak perlu memikirkan sekarang ada di mana. Yang terpenting kamu harus cepat sembuh," ujar Devian, tangannya mengusap-usap lembut punggung tangan Nadine.
"Maaf, Mas kalau aku .... "
"Stst, kamu tidak perlu meminta maaf. Seharusnya aku yang meminta maaf, aku yang salah. Sebagai suami aku telah gagal, aku terlalu egois." Devian memotong ucapan Nadine, ia juga menundukkan kepalanya.
Nadine menatap pria di hadapannya itu, baru kali ini ia melihat Devian seperti itu. Nadine dapat melihat jika ada penyesalan dalam diri suaminya. Perlahan Nadine menggenggam tangan besar sang suami, seketika Devian mendongak dan menatap wajah sayu istrinya. Devian mengangkat tangannya dan mencium bibir tangan istrinya dengan lembut.
"Kamu mau memaafkan aku?" tanya Devian, dan dibalas dengan anggukan seraya tersenyum.
"Terima kasih." Devian tersenyum dan kembali mengecup punggung tangan Nadine. "Aku janji, aku akan melihat apapun agar kamu bisa sembuh."
Nadine menganggukkan kepalanya. "Mas, apa aku boleh tanya sesuatu."
"Kamu mau tanya apa." Devian mengernyitkan keningnya.
"Tentang foto yang aku terima, Mas. Apa benar kalau ... aku ingin tahu foto itu nyata atau hanya rekayasa." Nadine menatap wajah tampan suaminya, berharap pria di hadapannya itu bisa memberikan jawaban yang memuaskan.
Devian mengernyitkan keningnya. "Foto? Foto apa."
"Foto ... ada di ponselku, Mas." Nadine mengalihkan pandangannya. Hatinya terasa sakit saat mengingat foto tersebut.
Devian terdiam sejenak, ia baru ingat tentang foto yang Nadine maksud. Sebelum ia membawa istrinya ke RS, Devian tidak sengaja melihat isi ponsel sang istri. Pria bermata elang itu benar-benar terkejut saat melihat fotonya sendiri bersama dengan Alexa satu ranjang. Dan yang lebih mengejutkan adalah, keduanya polos tanpa sehelai benang. Hanya selimut tebal yang menutupi tubuh mereka.
"Maaf, aku benar-benar tidak tahu kenapa aku ... Nadine tolong maafkan aku." Devian menggenggam erat tangan istrinya dan mengecupnya.
Nadine mengalihkan pandangannya, tak terasa bulir bening lolos begitu saja. "Apa kalian sudah ... melakukannya."
Devian menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak pernah merasa kalau kami melakukannya. Alexa pasti sudah menjebakku."
Nadine menatap wajah tampan suaminya, terlihat jika Devian benar-benar mengatakan yang sejujurnya. Ia dapat merasakan jika suaminya tidak berbohong. Sementara Devian menatap wajah cantik sang istri. Tangannya terulur untuk menghapus air mata Nadine yang telah membasahi kedua pipinya. Devian kembali meminta maaf, ia benar-benar tidak tahu dan tidak merasa jika telah melakukan hal keji itu.
***
Keesokan harinya, setelah mencari sarapan Devian kembali ke ruang rawat istrinya. Pria berbadan kekar itu bergegas masuk ke dalam kamar, setibanya di dalam terlihat jika Nadine tengah berusaha untuk bangun dari tidurnya. Devian yang melihat itu dengan cepat berjalan menghampiri sang istri.
"Nadine, kamu mau kemana?" tanya Devian. Kini ia sudah berada di samping sang istri.
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Nadine.
"Sini aku bantu." Devian membantu Nadine untuk duduk. Setelah itu ia juga membantu istrinya itu bangkit dari duduknya, dan memapahnya menuju kamar mandi.
Sepuluh menit kemudian, Nadine sudah kembali ke brangkar. Kini wanita berjilbab itu kembali berbaring seperti semula sementara Devian duduk di samping sang istri. Selang beberapa menit pintu ruang rawat Nadine terbuka. Terlihat seorang pria paruh baya berjalan masuk ke dalam, pria itu tak lain Gunawan, ayah Devian sekaligus ayah mertua Nadine.
"Assalamualaikum." Gunawan berjalan menghampiri putra dan menantunya itu.
"Wa'alaikumsalam." Devian dan Nadine menjawab secara bersamaan. Tak lupa keduanya mencium punggung tangan Gunawan.
"Nadine, bagaimana keadaanmu?" tanya Gunawan.
"Alhamdulillah, sudah lebih baik, Pa," jawab Nadine.
"Syukurlah, Papa lega mendengarnya. Oya, ayah dan bundamu sudah tahu kalau kamu .... "
"Nggak, Pa. Nadine melarang Dev untuk memberitahu mereka," potong Devian.
"Apa itu benar, Nak." Gunawan mengalihkan pandangannya, menatap wajah menantunya.
"Benar, Pa. Nadine tidak ingin membuat mereka cemas karena keadaanku," ungkap Nadine.
Gunawan menghela napas. "Papa tahu, tapi mereka adalah orang tuamu, mereka harus tahu."
"Iya, Pa. Nanti Dev akan memberitahu ayah sama bunda," ucap Devian.
"Pa, Nadine minta maaf karena belum sempat menyampaikan pesan dari, Papa," sela Nadine.
"Tidak apa-apa, nanti saja setelah kamu sembuh. Pikirkan dulu kesehatan kamu," ujar Gunawan.
"Memangnya ada apa, Pa?" tanya Devian, ia merasa penasaran dengan pesan yang ayahnya sampaikan kepada Nadine.
"Nanti saja, kalau Nadine sudah sembuh. Ajak ke rumah papa, ya. Ada yang ingin papa sampaikan," terang Gunawan.
"Ya sudah, papa tidak bisa lama-lama. Karena masih ada urusan, cepat sembuh ya. Jangan lupa kasih tahu mereka." Gunawan berpamitan untuk segera pergi.
Gunawan menganggukkan kepalanya. "Ya sudah, papa pamit ya. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam." Devian dan Nadine mencium punggung tangan Gunawan.
Setelah berpamitan, Gunawan beranjak keluar dari ruang rawat Nadine. Belum sempat Devian duduk, tiba-tiba pintu ruangan terbuka kembali. Terlihat jika ibunda Nadine datang, Devian nampak terkejut melihat Widya sudah berada di hadapannya. Begitu juga dengan Nadine, entah siapa yang memberitahu ibundanya itu.
"Bunda." Devian hendak mencium punggung tangan Widya, tetapi perempuan paruh baya itu berlalu mendekati Nadine, putrinya.
"Bunda, dari mana, Bunda tahu kalau .... "
"Bagaimana keadaanmu, Nak." Widya memotong ucapan putrinya. Perempuan paruh baya itu mendekap Nadine dengan sangat erat. Semenjak menikah baru sekarang mereka bisa bertemu lagi.
"Alhamdulillah, sudah lebih baik, Bunda." Nadine menjawab pertanyaan ibunya, seraya merenggangkan dekapannya.
"Syukurlah, bunda do'akan semoga Allah cepat mengangkat penyakit kamu." Widya menangkup wajah Nadine yang terlihat tirus.
"Amin, terima kasih, Bun." Nadine kembali memeluk tubuh ibunya.
"Dari mana, Bunda tahu kalau .... "
"Rama yang memberitahu ayah sama bunda. Sekarang dia ada di luar bersama ayahmu. Dia juga yang menjemput dan mengantar kami," jelas Widya.
"Tidak seperti suami yang kamu banggakan itu." Sindiran Widya mampu membuat Devian mengalihkan pandangannya. Pria yang sedari tadi memilih diam kini merasa seperti ada jarum yang menancap di hatinya. Terlebih saat mendengar nama Rama.
"Bunda tidak boleh bicara seperti itu. Bagaimanapun juga, mas Dev itu suami Nadine," belanya, Nadine merasa tersinggung dengan ucapan bundanya.
"Memang benar kan, bunda menyesal telah membiarkan kamu tinggal bersamanya," ujar Widya dengan menatap tak suka ke arah Devian.
"Bunda, Dev minta maaf kalau .... "
"Sudahlah, kami sudah memutuskan untuk membawa Nadine pulang. Bunda tidak rela Nadine hidup bersama dengan pria yang tidak pernah menghargai apa lagi mencintainya." Widya memotong ucapan Devian.
Deg, jantung Devian serasa berhenti berdetak. Ia tidak menyangka kalau pernikahannya akan berakhir seperti ini. Ada rasa sesal dalam diri Devian, tetapi semua itu sudah terlambat. Sementara Nadine memilih untuk diam, ia tidak menyalakan atas sikap yang bundanya ambil. Wajar jika Widya bertindak seperti itu, karena selama ini Devian tidak pernah menghargai Nadine sebagai seorang istri.
Selang beberapa menit pintu ruangan terbuka, terlihat jika seorang pria paruh baya berjalan masuk ke dalam. Pria itu adalah Irawan, ayah Nadine sekaligus ayah mertua Devian. Seketika mereka bertiga mengalihkan pandangannya, Irawan berjalan masuk ke dalam menghampiri putrinya. Keberadaan Devian seperti tak dianggap oleh kedua mertuanya. Ada rasa nyeri dalam hati Devian. Namun mungkin semua itu pantas ia dapatkan.
"Nadine, bagaimana keadaanmu?" tanya Irawan.
"Alhamdulillah, sudah lebih baik, Yah." Nadine mencium punggung tangan ayahnya.
"Ayah, apa benar kalau .... "
"Bundamu sudah bilang, kalau kami akan membawamu pulang." Irawan memotong ucapan Nadine.
"Ayah, Bunda, saya minta maaf untuk kesalahan yang sudah saya perbuat. Tapi tolong jangan pisahkan saya dengan Nadine, tolong beri .... "
"Nak Devian, tolong mengerti. Selama ini kami sudah membiarkan Nadine hidup bersamamu. Kami berharap kamu bisa membuat hidup Nadine bahagia, tapi apa. Kamu saja tidak pernah menganggap putri kami ada, jadi tolong. Biarkan kami membawa Nadine kembali." Irawan memotong ucapan Devian. Bahkan penjelasan yang Irawan ucapkan membuat pria beralis tebal itu terkejut.
Devian menggelengkan kepalanya. "Ayah, tolong jangan pisahkan kami. Tolong beri saya kesempatan untuk memperbaiki ini semua, tolong biarkan saya .... "
"Cukup, selama ini kami sudah bersabar. Sekarang kamu meminta kesempatan itu, apa kamu tidak sadar bagaimana dulu kami memohon. Tapi kamu sama sekali tidak memperdulikannya, kamu mau membawa Nadine bukan kemauanmu, melainkan atas permintaan ayahmu," potong Widya dengan cepat.
"Bunda, tolong beri .... "
"Kamu jangan ikut campur, Nadine. Ini urusan ayah dan bunda." Irawan memotong ucapan putrinya.
"Saya memang salah, tapi tolong beri saya kesempatan. Saya berjanji akan .... "
"Sekarang kamu baru menyesal, kemana saja selama ini. Keputusan kami sudah bulat, kami akan tetap membawa Nadine pulang. Bahkan kami akan segera mengurus perceraian kalian, Nadine berhak bahagia. Jadi tolong lepaskan Nadine, biarkan dia menemukan kebahagiaannya." Widya memotong ucapan Devian.
Deg, seketika persendian Devian serasa lemas, jantungnya terasa berhenti berdetak. Devian benar-benar tidak menyangka jika pernikahannya akan berakhir dengan cara seperti ini. Menyesal, itu yang Devian rasakan, ia tidak tahu harus berbuat apa. Pria beralis tebal itu tidak bisa membayangkan jika akan berpisah dengan wanita yang hampir tiga bulan hidup bersamanya. Menemani hari-harinya, bahkan selalu ada di setiap waktu.
Nadine menyeka air matanya yang secara langsung menetes membasahi kedua pipinya. Wanita berjilbab itu menatap iba kepada pria yang kini berdiri di hadapan kedua orang tuanya. Nadine tidak pernah menyangka jika orang tuanya bisa mengambil keputusan seperti itu. Mungkin keputusan yang Widya dan Irawan ambil itu tepat, tetapi Nadine sama sekali tidak pernah menginginkan perpisahan.