Sore hari yang tak begitu panas, Bella pulang dari kegiatannya di sekolah. Ia mulai melangkahkan kakinya, membuka gerbang pintu pagar rumahnya. Dengan keadaan rumah yang sepi, membuat Bella sedikit terheran-heran.
"Kenapa rumah sepi sekali? Apa mamah tidak ada di rumah?" gumamnya.
Gadis itu mulai membuka pintu secara perlahan, melihat keadaan sekitar yang berubah kelam. Seketika bulu kuduknya merinding, di kala ia menemukan sesosok tubuh yang tergeletak di lantai dapur.
Ia membuka mulutnya dengan lebar, tak percaya dengan apa yang terjadi dan ia lihat. Seorang wanita paruh baya tengah terbaring dengan kaku.
"M-mamah?" ucapannya sedikit tersendat, ketika mengetahui wanita yang tergeletak itu.
…
Para polisi kini tengah berada di rumah Bella. Ia dan sang ayah tak percaya dengan kejadian ini, sampai harus kehilangan ibunya.
"Bagaimana kronologinya?" tanya seorang polisi pada Bella.
"Saya, tidak tahu Pak ... hiks ... saya baru saja pulang sekolah, dan melihat ibu saya sudah tergeletak tak bernyawa ... hiks ... hiks," ujarnya diselingi dengan suara tangisan.
"Terakhir, ada siapa di rumah ini? Apa ada orang lain selain korban?" tanya polisi itu lagi.
"Ada Pak, sepupu saya dari Bandung. Mereka berdua, hilang ketika saya sudah pulang, mereka pembunuh ibu saya Pak, mereka!" Bella meyakini kalau Meghan dan Reva lah pembunuh Sintia.
Pasalnya, mereka berdua hilang di saat Sintia tengah tak berdaya di dapur. Hingga akhirnya, para polisi itu meminta Bella untuk memberikan ciri-ciri dari Meghan dan juga Reva.
Sementara itu, yang dicari kini tengah berjalan di jalanan yang ramai. Kaki mereka tak tentu arah tujuan, melangkah kesana kemari, seperti orang yang linglung.
"Kak, kita mau kemana?" tanya Reva.
"Untuk sementara, kita cari kontrakan dulu. Tidak apa-apa, 'kan?" tanya balik Meghan.
"Kakak punya uang untuk bayar kontrakannya?" tanya gadis kecil itu lagi.
"Kalau hanya untuk malam ini, kakak punya. Ayo!" ajak Meghan, meskipun sebenarnya ia tidak tahu apakah uang itu cukup atau tidak.
Hari sudah semakin larut, tetapi mereka masih belum menemukan tempat untuk ditinggali. Memasuki satu persatu kontrakan, tapi jawaban mereka tetap sama. Yaitu, penuh dan uang mereka selalu saja tak cukup untuk membayar uang muka.
Tanpa sadar, dari arah belakang mereka terlihat sesosok bayangan hitam tengah mengikuti mereka. Suara cekikikan itu kembali terdengar di telinga Meghan. Hingga membuatnya tertegun.
"Ada apa Kak?" tanya Reva.
"Ti-tidak ada apa-apa, ayo kita lanjutkan," ujar Meghan.
Reva hanya menganggukkan kepalanya. Mereka kembali berjalan dengan cepat, suara tawa itu kembali terdengar kali ini cukup keras.
Hi-hi-hi-hi
"Kak? Kakak dengar suara itu?" Meghan berharap adiknya tak mendengar apa pun, ternyata salah. Justru Reva menyadari suara yang sejak tadi mengikuti mereka.
"Dengar apa?" tanya Meghan beralasan.
"Kakak tidak mendengarnya dari tadi? Suara tawa itu," ujar Reva.
"Tawa apa maksudmu, di sini banyak orang. Sudahlah, jangan terlalu didengarkan, sebaiknya kita bergegas pergi."
Suara tawa itu semakin jelas, tapi mereka berdua mencoba untuk mengabaikan suara aneh itu. Saking tak ingin mendengar suara aneh itu, Meghan tak menyadari ponselnya yang terus saja berdering.
Tepat pukul 18.00, mereka berhenti di sebuah rumah yang terlihat seperti kontrakan. Meghan mulai mengetuk pintu pagarnya, tapi tak ada yang keluar. Reva yang sedang melihat ke sekeliling rumah itu, mendadak melihat seorang anak kecil yang membawa mainan di tangannya.
Reva menghampiri anak itu. Namun, anak kecil itu terus saja menghindari Reva. Sontak saja, gadis itu mengikuti kemana perginya anak kecil yang ia lihat. Menyadari jika Reva hilang, Meghan sontak saja panik. Ia berteriak untuk mencari Reva. Hingga ia mendengar suara teriakan dari adiknya itu.
"Aaaaaaaa!"
"Reva?"
Meghan sontak saja langsung berlari ke arah sumber suara. Sejenak ia berhenti, ketika melihat seorang pria tengah memegang pisau di tangannya. Ia tengah menatap Reva dengan tajam, Meghan yang ketakutan mencoba untuk menolong adiknya.
"Si-siapa kamu?" tanya Meghan memberanikan diri.
Pria itu tak menggubris pertanyaan Meghan. Ia malah menatap Meghan dengan tajam, dan menyeringai ke arahnya hingga membuat ia ketakutan setengah mati.
Pria itu berjalan ke arah Meghan, melihat hal itu Reva langsung melakukan tindakan yang di luar dugaan. Ia melemparkan sebuah batu besar ke arah kepala pria itu, hingga membuatnya meringis kesakitan.
Tak melepaskan kesempatan, Reva dan Meghan langsung berlari meninggalkan tempat itu. Melihat mangsanya kabur, pria itu mengejar mereka berdua dengan cepat.
"Reva, ayo cepat lari!"
"Kaki ku sakit, Kak," ujar Reva yang secara perlahan mulai melambat.
Dering ponsel milik Meghan kembali berbunyi, dengan cepat ia mencari tempat persembunyian untuk menerima telepon. Ia menatap layar ponsel yang sejak tadi bergetar. Ia pun mengangkat telepon itu.
"Halo?" ucap suara di seberang sana.
"Ha-halo?" jawab Meghan dengan ketakutan.
"Meghan, kamu tidak apa-apa?"
"Tolong ... tolong kami!" ucapnya dengan bergetar.
"Di mana kamu? Aku akan segera kesana, cepat katakan di mana?" Erwin panik saat mendengar suara Meghan yang bergetar. Namun, gadis itu tak menjawab pertanyaan darinya. Sontak itu membuatnya semakin panik.
"Sial! Apa yang terjadi pada mereka?" ujar Erwin dengan kesal.
Sementara itu, Meghan terkejut dengan sosok yang ada di hadapannya. Pria itu berhasil menemukan mereka berdua, dengan seringai yang menakutkan, ia berjalan dengan pelan dan menghampiri mereka berdua.
"Pergi! Jangan ganggu kami!" Seru Meghan.
Ia tak menggubris perkataan Meghan, pria itu mengangkat pisau yang ada di tangannya dan dengan cepat melemparkan pisau itu hingga mengenai pipi Reva. Sontak saja, kejadian yang terjadi begitu cepat itu membuat mereka terkejut.
Apalagi dengan pipi Reva yang terluka, dan mengeluarkan darah segar. Pria itu berjalan dengan cepat, ia mencekik Meghan dengan kencang. Reva yang melihat kejadian itu, langsung berteriak histeris.
"Lepaskan Kakakku!" Dengan menahan sakit di pipinya, ia terus meminta agar pria itu melepaskan Meghan.
"Kkhhh–" Meghan sudah tak bisa menahannya lebih lama lagi. Ia merasa tubuhnya semakin kehabisan oksigen.
"Lepaskan Kakakku!" Reva terus meronta, tapi pria itu mendorong gadis itu dengan keras. Hingga membuatnya tersungkur.
"Kakak!!" ujar Reva dengan suara yang lemah.
Dorr!
Suara tembakan itu terdengar sangat keras, pria yang sejak tadi mencekik leher Meghan jatuh tersungkur di hadapannya.
Gadis itu mencoba untuk menarik napas, mengambil oksigen sebanyak-banyaknya. Pria dengan pistol di tangannya itu pun, berlari kecil menghampiri kedua gadis itu.
"Kalian tidak apa-apa?" tanya Erwin. Kedua gadis itu hanya bisa menatap Erwin, ia melihat luka di pipi Reva. "Andre! Bawa gadis ini!" perintah Erwin pada Andre.
"Kita akan membawa mereka kemana?" tanya Andre.
Erwin diam sejenak. “Bawa mereka ke apartemenku!"
Tak percaya dengan ucapan temannya, membuat Andre membelalakkan matanya. Pasalnya, ia tak pernah mengijinkan siapa pun untuk masuk ke dalam apartemennya kecuali dirinya dan juga Rio.
……
To be continued …