Sebelah tangannya ia julurkan keluar jendela. Membiarkan rintik hujan membasahi tangannya itu.
"Hah. Seandainya aja Bunda gak ngelarang, aku pasti udah ada di halaman depan, sekarang." Gumaman kecil keluar dari bibir Raina.
Tadinya, Raina memang berniat untuk keluar dan menikmati air hujan membasahi tubuhnya. Tapi niatnya itu harus diurungkan karena sang Bunda yang berhasil memergokinya. Jadilah, ia sekarang ini hanya bisa puas dengan menikmati air hujan yang membasahi telapak tangannya.
Cklek
Pintu kamar Raina yang tadinya tertutup kini terbuka, menampilkan sosok Ayahnya yang baru saja masuk sambil tersenyum hangat.
"Putri cantik Ayah lagi ngapain, nih?" tanya Ayah Raina sambil duduk di tepi tempat tidur Raina.
"Cuma lagi basahin tangan aja, Yah," jawab Raina sambil memasang wajah cemberut. "Raina tadi ketahuan sama Bunda pas mau keluar rumah," adu gadis itu kemudian.
Ayah Raina tersenyum. Ia beranjak mendekati putrinya itu dan berbisik. "Kebetulan, Bunda lagi tidur sekarang. Mau keluar main bareng Ayah?"
Kedua mata bulat Raina berbinar memandang Ayahnya. Kepalanya ia angguk-anggukkan dengan semangat. "Mau, Yah!"
"Oke, ayo. Tapi jangan lama-lama, ya," peringat Ayah Raina.
Raina mengangkat sebelah tangannya dan meletakkannya di samping dahinya. "Siap, Bos!"
Ayah dan anak itu pun diam-diam berjalan keluar. Melangkah menuju halaman, membiarkan dan menikmati tiap tetesan air hujan yang mengenai tubuh keduanya.
Raina tersenyum lebar. Ia senang, Ayahnya memiliki kesukaan yang sama dengan dirinya. Sama-sama menyukai hujan. Bahkan, Ayahnya sendiri lah yang mengenalkannya tentang betapa menyenangkannya hujan itu.
- - -
"Akhirnya si pengecut dateng ke sekolah juga, ya."
Sapaan 'hangat' itu menyambut Rian dan Arga yang baru saja melangkah memasuki ruang kelasnya.
Rian mendengus, lalu menatap si sumber suara sambil tersenyum miring. "Kenapa, emang? Lo kangen sama gue, ya?"
"Gila, lo! Najis amat gue kangen sama lo!" seru Leo.
Rian mengangkat kedua bahunya sambil memasang wajah polos. "Gitu, ya. Abisnya lo langsung nyapa gue sih, tadi. Gue 'kan jadi salah paham."
Pfffttt...
"Buahahahaha!" Ledakan tawa dari Arga membuat Leo memandang Arga dengan tajam.
"Wo, wo. Santai bro, gak usah natep gue kayak gitu, dong. Lo udah kayak mau makan gue aja," ujar Arga sambil tersenyum mengejek.
"Duh, udah deh. Gak usah bikin masalah lagi," tegur Aurel ketika melihat aura tak enak di antara tiga cowok tadi. "Bentar lagi jam masuk. Duduk yang rapi, gih," perintah Aurel kemudian. Lelah ketika harus melihat perdebatan mereka bertiga.
Yah, memangnya kapan sih, mereka itu akur? Itu adalah hal yang paling mustahil! Jika bukan Leo yang memulai, pasti yang memulai adalah Arga. Dan Rian akan ikut terseret di antara keduanya. Rian biasanya bersikap masa bodoh dengan Leo, tapi sesekali Rian juga akan meladeni Leo seperti tadi.
Tiga cowok itu akhirnya duduk di bangku mereka masing-masing. Beberapa saat kemudian, Pak Baskoro, Guru Bahasa Indonesia mereka masuk ke kelas. Pembelajan pun berlangsung dengan tenang.
"Oke, anak-anak. Sekarang Bapak mau masing-masing dari kalian buat puisi," ujar Pak Baskoro setelah selesai menjelaskan materi tentang puisi pada para murid.
"Tema puisinya Ibu, ya," tambah Pak Baskoro.
Mendengar hal itu, Rian mendengus. Kenapa temanya harus itu, sih? Pikirnya.
"Yang nanti sudah selesai, bisa langsung kumpul puisinya dan keluar," ujar Pak Baskoro lagi.
Karena kalimat terakhir Pak Baskoro, para murid menjadi lebih bersemangat untuk menulis puisi. Lumayan kalau dapat jam istirahat tambahan, pikir mereka.
Sementara semua teman-temannya kini sibuk merangkai kata demi kata untuk puisi mereka, Rian malah menyandarkan punggungnya di kursi sambil menatap bukunya dengan datar. Sama sekali tak ada keinginan untuk menyentuhnya dan memulai puisi karyanya.
"Yan, Rian!" Arga yang duduk di samping Rian memanggil Rian dengan pelan sambil menyenggol-nyenggol bahunya beberapa menit kemudian.
"Nih, gue udah buat satu puisi buat lo," kata Arga ketika Rian menatapnya.
"Cepet salin ke buku tugas lo," kata Arga lagi.
"Lo gimana?" tanya Rian.
"Tenang aja. Urusan merangkai kata kayak gini sih, kecil buat gue. Gue udah punya puisi buat gue sendiri," jawab Arga sambil tersenyum bangga.
Rian ikut tersenyum. Tanpa banyak tanya lagi, ia segera menyalin puisi yang telah dibuat Arga ke buku tugasnya. Tapi--
"Wah, puisi lo udah selesai ya, Arga? Eh, lo buat dua puisi?"
Rian menghentikan gerakan tangannya yang sedang menulis. Secara kompak, ia dan Arga menoleh ke sumber suara dengan kesal. Siapa lagi kalau bukan Leo Alvarendra, yang kini tengah menatap keduanya sambil tersenyum miring.
Tap ... tap ... tap ...
Suara langkah kaki yang mendekat membuat Arga dan Rian mengalihkan tatapannya dari Leo. Rian buru-buru merobek puisi yang baru selesai ia tulis satu bait dan memasukkannya dengan cepat ke dalam laci mejanya.
"Bapak 'kan tadi bilang, kalau sudah selesai, langsung kumpul dan keluar kelas. Lagi pula, kenapa kamu buat dua puisi?" Pak Baskoro menghampiri Arga.
"Ah, itu. Saya tadi agak ragu sama puisi saya, Pak. Bagus atau enggak. Jadi saya buat dua puisi dan setelahnya saya ngebaca ulang puisi saya," jawab Arga sambil berusaha tersenyum.
Pak Baskoro mengambil buku tugas Arga dan membaca dua puisi yang telah dibuat Arga kemudian mengangguk-angguk.
"Dua-duanya bagus. Kamu kumpul dua-duanya saja. Sekarang, kamu boleh keluar." Pak Baskoro menutup buku tugas Arga lalu berjalan kembali menuju tempatnya dan duduk.
"Tunggu apa lagi, keluar sekarang. Jangan ganggu teman-teman kamu yang lain," ujar Pak Baskoro ketika melihat Arga yang masih duduk di bangkunya.
"I-- iya Pak," kata Arga sedikit terbata.
"Sorry bro, gue gak bisa bantuin lo," bisik Arga pada Rian sebelum akhirnya berdiri dan berjalan keluar kelas.
Rian menghela napas. Habis sudah. Ia tidak akan mendapat nilai Bahasa Indonesia kali ini.
Sementara Leo tersenyum puas. Ia berhasil menggagalkan rencana kerja sama dua sahabat itu. Haruskah kita memberikan penghargaan pada Leo yang begitu memperhatikan Rian dan Arga? Setiap gerak-gerik keduanya tampak diamati dengan cermat oleh Leo.
Menit demi menit berlalu, dan Rian belum menulis satu kata pun.
Tak!
Rian meletakkan pulpen yang ia pegang sedari tadi di atas meja. Ia menyerah. Tak ada lagi harapan untuknya. Satu nilai yang kosong bukanlah masalah yang besar untuknya.
Rian mengangguk-angguk membenarkan pemikirannya itu. Benar. Tidak masalah. Ia akan menebus nilai kosongnya nanti pada pelajaran lain dengan nilai yang tinggi.
Satu persatu teman-temannya telah mengumpulkan puisi mereka. Hingga tinggallah tiga orang di kelas itu. Rian, Pak Baskoro, dan juga Aurel. Aurel berdiri dari duduknya kemudian menghampiri Rian.
"Tinta pulpen lo abis, ya. Nih, gue pinjemin pulpen gue," ucap Aurel cukup nyaring, sambil membelakangi Pak Baskoro.
Rian tentunya mengernyitkan dahi bingung. Tinta pulpennya masih banyak, kok. Tapi kemudian Rian mengerti maksud Aurel ketika gadis itu menyodorkan sesuatu pada Rian. Bukan pulpen seperti yang ia katakan tadi, tadi sebuah lembar kertas yang telah dilipat rapi. "Gue buat dua puisi juga tadi," bisik Aurel.
Setelah Rian mengambil kertas yang ia berikan, Aurel pun melangkah menuju Pak Baskoro untuk mengumpulkan buku tugasnya. Lalu ia mengajak Pak Baskoro berbincang-bincang. Berniat mengalihkan perhatian guru berkumis lebat itu dari Rian, agar Rian punya waktu dan kesempatan untuk menyalin puisinya.
"Tumben sekali kamu yang paling lambat menyelesaikan tugas. Biasanya kamu yang paling cepat selesai," kata Pak Baskoro ketika Rian menghampirinya beserta buku tugasnya.
Rian hanya tersenyum kecil sebagai tanggapan. "Biar saya bantu Bapak bawa buku-buku ini ke ruang guru," ujar Rian kemudian sambil mengangkat tumpukan buku teman-teman sekelasnya.
"Ya sudah kalau begitu. Ayo!"
"Rian!"
Rian yang baru saja melewati pintu kelas menoleh dan mendapati Arga yang berdiri di depan kelas dengan cemas.
"Gimana tadi? Lo udah buat puisi?" tanya Arga cepat.
"Udah, kok. Aurel bantu gue tadi. Nanti gue ceritain, gue harus bawa buku-buku ini ke ruang guru sekarang," kata Rian lalu berjalan cepat mengejar Pak Baskoro yang sudah cukup jauh darinya. Meninggalkan Arga yang masih terlihat cemas.
"Tenang aja, Ga. Tugas Rian aman, kok. Untung gue peka tadi," ujar Aurel yang datang dan berdiri di samping Arga.
Arga menghembuska napas pelan. "Makasih udah bantuin Rian tadi," kata Arga pada Aurel.
Aurel tersenyum. "Dibandingin sama banyaknya bantuan yang sering Rian kasih ke gue, bantuan gue tadi bukan apa-apa."
"Tapi gue baru tahu, seorang Adrian Alfarizki ternyata lemah sama puisi, ya. Gue pikir dia jago di semua mata pelajaran, tapi ternyata dia gak bisa buat puisi," tambah Aurel.
'Rian bukannya gak bisa buat puisi. Dia jago banget malahan. Yang jadi masalah adalah tema puisi tadi,' batin Arga.
🌦🌧⛈️
To be continued