"Gara-gara kamu! Gara-gara kamu, Caca jadi meninggal!"
"Mama ... hiks ... maaf ... maafin Rian ...."
"Gara-gara kamu juga, suamiku jadi meninggal!"
"Maaf, Ma ... Rian salah ...." Rian kecil terus menangis sambil berlutut.
"Dasar anak pembawa sial!"
"Mama ... Mama mau kemana?" Rian kecil berlari mengikuti Mamanya yang melangkah keluar rumah dengan membawa sebuah koper besar.
"Mama! Jangan pergi, Ma!" Rian kecil menarik sebelah tangan Mamanya. Tapi tangan kecil itu segera ditepis dengan kasar.
"Minggir! Mama gak mau liat wajahmu lagi!" Mama Rian menghentikan sebuah taksi dan segera naik.
"Mama!" Rian kecil berlari mengejar taksi yang membawa Mamanya di tengah hujan.
"Mama! Jangan tingalin Rian sendiri! Rian takut, Ma!"
Rian terus berlari. Hujan turun semakin deras, dan taksi yang membawa Mama Rian semakin menjauh. Rian akhirnya terduduk di tengah jalan sambil menangis hebat. "MAMA! MAMAAA!!!"
"Hah!"
Rian terbangun dari tidurnya dengan peluh yang membanjiri tubuhnya. Dadanya naik turun dengan cepat. Ia menoleh menatap jam. Jam 02.00 dini hari.
Rian mengusap wajahnya kasar. "Sial ... Kenapa mimpi itu harus datang lagi?"
Rian menghela napas berat. Dengan gontai, ia menurunkan kakinya ke lantai dan mengambil langkah berat menuju ke dapur. Tenggorokannya terasa kering. Tiba di dapur, ia segera menenggak segelas air.
Baru saja ia meletakkan gelasnya di atas meja, suara petir dan guntur segera terdengar di telinganya. "Hah. Sial. Gue gak bakal bisa tidur lagi kalau gini," gumamnya.
Tanpa menyalakan lampu rumahnya, Rian membawa kakinya melangkah menuju ke ruang depan. Tiba di ruang depan, ia segera menghempaskan diri di sofa dan menyenderkan punggungnya. Suara gerimis hujan mulai terdengar.
Tangan Rian meraba-raba sekitarnya untuk mencari remote TV. Keadaan sekitar Rian yang gelap gulita mengharuskannya melakukan itu. Ia terlalu malas untuk menyalakan lampu. Satu-satunya lampu rumahnya yang menyala hanyalah lampu di bagian teras, yang memang ia biarkan menyala sepanjang malam.
Dapat!
Saat Rian akhirnya mendapatkan remote, ia mulai menyalakan TV dan memindah-mindahkan channel yang sekiranya menarik untuknya. Tapi nyatanya, tak ada yang bisa menarik perhatian Rian. Rian pun hanya menatap datar TV yang ada di depannya.
Rian tertegun ketika melihat cahaya TV yang mengenai foto keluarganya. Dengan pelan, Rian melangkah turun dari sofa. Ia mengambil foto keluarganya itu dan menatapnya dengan lekat.
Ia sengaja merobek semua bagian foto Mamanya agar ia bisa melupakan wajah wanita itu, tapi ternyata wajah wanita itu tetap teringat dengan jelas di otaknya. Bahkan setelah lima tahun berlalu, wajah dan kenangan menyakitkan yang wanita itu tinggalkan tetap terekam dengan jelas. Membuat Rian merasa tersiksa.
⛈️🌧🌦
Rian berjalan gontai dengan wajah layaknya zombie. Entah sudah berapa kali ia menghela napas pagi ini.
"Hey, bro! Muka lo keliatannya kusut banget." Arga yang baru saja menghampiri Rian segera merangkul bahu sahabatnya itu.
"Ah, jangan dibahas, deh," timpal Rian dengan malas.
Arga pun hanya diam. Ia duga, tidur Rian kembali tak nyenyak karena pertemuannya dengan sang Mama kemarin. Terlebih, hujan turun saat subuh dan baru berhenti sekitar jam setengah tujuh pagi.
Haaah.
Rian kembali menghela napas panjang. Mood-nya benar-benar buruk pagi ini. Ia rasanya tak ingin berangkat ke sekolah pagi ini, tapi ia sudah berjanji pada Arga kemarin.
"Arga, lo duluan ke kelas, deh. Gue mau ke toilet dulu buat cuci muka," kata Rian kemudian. Rian berharap, pikirannya sedikit lebih segar setelah membasuh mukanya.
Arga mengangguk. "Hm ... oke, deh."
Rian pun segera berlalu dari hadapan Arga menuju toilet sekolah. Arga sendiri melanjutkan langkahnya menuju kelas. Secara tak sengaja, Arga melihat Bu Nisa yang baru saja keluar dari ruang guru. Segera saja, Arga mempercepat langkahnya dan menghampiri Bu Nisa.
"Pagi, Bu," sapanya ketika telah berdiri tepat di hadapan Bu Nisa.
"Pagi," balas Bu Nisa sambil tersenyum.
Arga menatap Bu Nisa dengan datar. Hah. Bisa-bisanya orang ini tersenyum seperti itu, sementara Rian menderita.
"Apa ada yang mau kamu tanyakan ke Ibu?" tanya Bu Nisa ramah.
Bukannya menjawab pertanyaan Bu Nisa, Arga malah balik bertanya. "Ibu ingat saya, gak? Kemarin Ibu masuk ke kelas saya."
Bu Nisa menatap wajah Arga, mengingat-ingat wajah para murid yang baru saja ia temui kemarin. Sesaat kemudian, kedua matanya membulat. Ia ingat, murid yang ada di hadapannya sekarang ini adalah orang yang duduk di sebelah Rian kemarin.
Arga tersenyum miring melihat perubahan ekspresi Bu Nisa. Ia yakin, Bu Nisa pasti sudah mengingatnya. "Saya Arga, sahabatnya Rian," kata Arga.
Bu Nisa menatap Arga dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Kenapa Ibu harus kembali ke sini, sih? Apa Ibu gak tahu kalau Rian sangat membenci Ibu?" tanya Arga dengan tatapan tak suka. Ia sangat mengerti Rian. Tidak mungkin sahabatnya itu tidak membenci orang yang sudah meninggalkannya seorang diri.
Bu Nisa menunduk. "Ibu ... tahu, kok," ujarnya dengan suara sedikit bergetar. "Ibu juga sangat kaget. Ibu bener-bener gak nyangka ... kalau Rian ternyata bersekolah di sini," lanjutnya.
Hah.
Arga tertawa sarkas. "Begitu? Yah, mau gimana lagi. Ibu gak bisa ngatur dengan seenaknya mau ngajar dimana. Tapi saya harap, sebisa mungkin Ibu enggak terlalu sering menampakkan diri di depan Rian. Cukup hanya ketika jam pelajaran Kimia dia harus ngeliat wajah Ibu."
Bu Nisa tak menjawab apapun. Ia hanya menunduk. Arga menghela napas sesaat kemudian berbalik pergi, melangkah kembali menuju kelasnya. Tapi baru beberapa langkah berjalan, tubuh Arga tiba-tiba limbung. Sakit kepalanya kembali menyerang. Arga memejamkan matanya dan bersandar pada dinding. "Please ... jangan lagi ...," gumamnya lemah.
⛈️🌧🌦
Rian mengerutkan keningnya ketika baru saja masuk ke dalam kelas. Bangku Arga masih kosong.
'Kemana tuh anak? Kok belum nyampe ke kelas?' batin Rian sambil melangkah menuju bangkunya.
Dddrrrtttt ....
Ponsel Rian tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan dari Arga masuk.
Bro, sorry, nih. Gue harus pulang sekarang.
Kening Rian kembali berkerut ketika membaca pesan Arga itu. Segera saja, ia mengetikkan balasan.
[Hah? Kenapa? Kok tiba-tiba banget?]
Hanya selang beberapa detik, balasan Arga tiba.
[Gue ada urusan keluarga mendadak. Gue udah pamit sama Bu Freya tadi]
"Ah, gitu ya," gumam Rian sambil mengangguk-angguk membaca balasan pesan dari Arga.
[Oh iya, Yan. Kayaknya untuk beberapa saat gue gak bisa megang HP, jadi kalau lo telepon atau chat gue gak bakal bisa ngangkat dan ngebales chat lo]
Sekali lagi, pesan dari Arga kembali masuk. Rian segera mengetikkan balasannya.
[Gitu, ya. Gak papa. Fokus aja sama urusan keluarga lo dulu]
Semenit kemudian, emoji senyum dan jempol terkirim sebagai balasan dari Arga.
😊👍
⛈️🌧🌦
To be continued