Rian berjalan pelan menuju sebuah warung yang tidak terlalu jauh dari penginapan yang ia tempati. Sesekali, ia menatap vila keluarganya yang terlihat dari kejauhan. Vila yang selama lima tahun terakhir pintunya tertutup rapat, kini terbuka lebar dengan beberapa individu di dalamnya.
Hah.
Rian menghela napas sesaat. Yah, insiden itu sudah terjadi sejak lima tahun yang lalu, tapi Rian masih saja tidak bisa lepas dari bayang-bayang ketakutan. Setiap hujan turun, bayang-bayang masa lalu akan datang menghampiri seakan ingin menerkamnya.
Langkah Rian segera terhenti tepat di depan warung. Sekali lagi, Rian menghela napas. Warung itu ternyata tutup. Baru saja ia berbalik dan mengambil langkah untuk kembali ke penginapan, suara gemuruh dari langit beserta kilatan cahaya menyambar dengan cepat.
Ctar!
Petir yang tiba-tiba muncul itu sontak saja menghentikan langkah Rian. Rian mendongak menatap langit yang memang terlihat mendung. Sedetik kemudian, hujan langsung turun dengan cukup deras.
"Sial," desis Rian, lalu dengan cepat berlari ke teras warung. Kenapa hujan harus turun saat dia berada di luar, sih? Dengan cekatan, ia segera mengeluarkan ponsel dan earphone yang ia bawa dari dalam saku jaketnya. Ia memasang earphone-nya di telinga, dan segera memutar playlist lagu yang ada di ponselnya. Setidaknya, dengan mendengarkan lagu-lagu, suara derai hujan tidak akan terdengar terlalu jelas di telinganya.
Rian menatap tetes demi tetes hujan yang turun. Jarak antara warung dan penginapannya memang tidak terlalu jauh, tapi Rian tetap tak ingin mengambil resiko. Ia khawatir, jika ia nekat menerjang hujan sekarang, ia akan terkena serangan panik lagi. Itu tentunya akan bukan hal yang bagus. Selain akan menyiksanya, hal itu juga akan membuat orang lain repot.
Tanpa sengaja, tatapan Rian tertuju pada vila keluarganya yang masih dapat terlihat dari posisinya saat ini. 'Oh? Mereka sudah pergi?' batin Rian ketika melihat pintu vila yang sudah tertutup rapat.
Tatapan Rian kemudian beralih pada seseorang yang terlihat berlari mendekat padanya. Rian menyipitkan kedua matanya untuk mempertajam penglihatan. Saat Rian akhirnya bisa mengenali siapa yang mendekat itu, mulutnya membentuk huruf O kecil. Oh?
"Raina?" panggilnya kemudian.
"Eh? Kak Rian!" kaget Raina yang baru saja tiba di depan warung.
"Mau beli sesuatu?" tanya Rian sambil tersenyum.
"Iya, aku mau beli-" ucapan Raina terhenti tatkala melihat pintu dan jendela warung yang tertutup rapat.
"Sayangnya, warungnya lagi tutup, nih," kata Rian cepat.
"Yaaaah ...," desah kecewa Raina. Dengan gontai, Raina melangkah dan berdiri di samping Rian.
Sudut bibir Rian sedikit terangkat melihat Raina yang tiba-tiba melemas.
"Emangnya mau beli apa, sih?" tanya Rian lagi.
"Pokoknya sesuatu yang bisa ngilangin haus," jawab Raina.
"Oh, mau beli minum ternyata," tanggap Rian.
Raina mengangguk-angguk. "Padahal jarak vilanya gak jauh, tapi tetep aja haus."
Rian segera menolehkan kepalanya dengan cepat pada Raina. "Vila?"
"Ah. Iya. Tadi aku bareng Kak Arga sama temen-temennya Kakak ke vila keluarga Kakak," aku Raina.
"Hm ... gitu, ya," tanggap Rian singkat.
Raina mengangguk pelan.
"Gimana?"
"Ya?" Rian yang bertanya tiba-tiba membuat Raina sedikit terkejut.
"Vilanya."
"Itu ... cukup berdebu," kata Raina.
"Yah, jelas aja, sih. Udah lima tahun dianggurin," gumam Rian.
Tiba-tiba, ponsel Rian berdering. Segera saja, ia menggeser tombol hijau.
["Yan, lo dimana sekarang?!"] Segera, suara Arga yang penuh kekhawatiran terdengar.
"Gue lagi di warung, nih. Niatnya tadi mau beli camilan, taunya warungnya tutup. Pas gue mau balik, malah ujan," jawab Rian santai.
["Lo baik-baik aja? Perlu gue susul ke sana?"] tanya Arga cepat.
"Gak usah. Gue baik-baik aja, kok."
["Serius?"] ragu Arga.
"Iya, serius," tekan Rian. "Lagian gue gak sendirian. Ada Raina juga di sini," tambahnya.
["Raina?"]
"Hm."
["Kasih HP lo ke Raina bentar, deh,"] pinta Arga.
Rian pun meyodorkan ponselnya pada Raina. "Arga katanya mau ngomong sama kamu."
Raina sedikit bingung, tapi kemudian segera mengambil ponsel Rian dan mendekatkannya pada telinga. "Iya, kenapa Kak?"
["Raina! Rian bener-bener baik-baik aja, 'kan? Dia gak sesak napas atau gimana, gitu?"] tanya Arga langsung.
"Baik-baik aja, kok. Tenang aja," jawab Raina sambil tersenyum tipis.
["Seriusan, nih?"] tanya Arga lagi.
"Iya, serius. Udah, deh. Percaya aja, Kak."
["Oke, oke. Kakak percaya, deh. Tapi kalau ada apa-apa, langsung telepon Kakak, ya!"]
"Iya, iya."
["Ya udah. Kamu bisa balikin ponselnya ke Rian,"] putus Arga.
Raina pun segera menyodorkan ponsel itu ke Rian. "Ini, Kak."
Rian menyambut ponselnya kembali. "Udahan nih, ngomongnya?"
["Bro, pokoknya kalau ada apa-apa, lo harus telepon gue, ya. Harus! Minta tolong ke Raina juga. Oke?"] bukannya menanggapi Rian, Arga malah tetap mengeluarkan kekhawatirannya.
"Iya, iya. Bawel banget, sih lo," gerutu Rian. "Padahal gue bener-bener baik-baik aja, kok," lanjutnya.
["Ya cuma buat jaga-jaga aja. Gue kan khawatir."]
"Iya deh, iya. Tenang aja. Gue bakal langsung nelepon lo kalau ada apa-apa nanti. Oke? Udahan, ya."
Tut.
Rian memutuskan sambungan teleponnya.
"Hah. Arga overthinking banget, deh," gerutunya.
Raina tersenyum. "Itu karena Kak Arga khawatir sama Kakak."
"Iya sih, tapi .... Ah, udahlah," putus Rian.
"Ngomong-ngomong, Arga ada cerita tentang aku ke kamu, gak?" tanya Rian kemudian sambil menoleh menatap Raina.
"Ah, iya. Kak Arga cerita dikit. Katanya Kakak benci hujan karena Kakak punya pengalaman buruk pas hujan," jawab Raina pelan.
Rian mengangguk-angguk. "Bener. Aku sebenarnya dulu takut. Tapi sekarang, daripada takut, aku jadi lebih benci sama hujan."
Raina hanya bisa terdiam mendengar itu.
"Kalau kamu suka hujan, 'kan?" tanya Rian.
Raina sedikit tersentak. "Ah, iya."
"Alasan suka hujan apa?" tanya Rian lagi.
"Hm ... bisa dibilang pengaruh Ayah?" jawab Raina sambil tersenyum. "Ayah aku suka banget sama hujan, jadi sejak kecil aku sering diajak main hujan-hujanan sama Ayah. Yah, meskipun ujung-ujungnya bakal dimarahin sama Bunda," cerita Raina sambil tertawa ringan.
"Beberapa orang mungkin tidak suka dan berpikir hujan itu menganggu. Tapi gimana, ya? Mungkin karena terbiasa sejak kecil, aku selalu ngerasa nyaman dan seneng banget tiap hujan turun," tambah Raina.
Rian tersenyum tipis menatap Raina. "Gitu, ya? Kamu mirip banget sama adek aku." Rian menatap ke langit. "Dia juga bahagia banget kalau hujan turun," kata Rian lirih sambil tersenyum tipis.
Raina menatap Rian. Rian terlihat tersenyum, tapi kedua matanya memancarkan kesedihan.
"Tapi ... hujan yang sangat ia sukai itu malah merenggut nyawanya," tambah Rian dengan padangan mata yang nanar.
- - -
To be continued